Oleh Moh Ilyas
“We are born to be our self, not other”
“Every thing I do is under my consideration”
Seperti biasa, malam pergantian tahun menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Indonesia untuk merayakannya. Berbagai aneka hiburan disajikan secara meriah hampir di sudut-sudut kota, tak terkecuali Bandung sebagai kota yang kerap disebut 'Paris van Java'.
Di Ibu Kota Provinsi Jawa Barat ini, malam tahun baru menjadi malam istimewa. Hampir semua remaja merayakannya dengan berbagai macam agenda, mulai dari hanya bersantai ria, bermain kembang api, dan meniup terompet, tak terkecuali pula anak-anak di usia dini yang masih tergolong bocah.
Tentu saja, kaum remaja - yang punya pasangan - memanfaatkannya dengan pasangan masing-masing. Mereka mencari titik-titik tertentu yang dianggap ideal sebagai tempat menghabiskan waktu menunggu malam pergantian tahun, misalnya seperti di Alun-Alun, Bandung Indah Plaza (BIP), Monumen Juang, Lembang, Tangkuban Perahu, dan tempat-tempat keramaian dan keindahan lainnya.
Ledakan kaum remaja, bahkan juga kaum tua yang ikut-ikutan, yang tumpah ruah, tak ayal membuat Bandung macet total. Misalnya di sepanjang Jalan Asia Afrika, Braga, Martadinata, Ahmad Yani, Sukajadi, Pasteur, Supratman, dan Setia Budi. "Hari-hari biasa saja sudah macet, apalagi sekarang," demikian ungkapan orang-orang Bandung kebanyakan.
Di Jakarta pun, pergantian tahun baru lebih tumpah lagi. Terlebih di titik-tempat wisata, seperti Ancol, Monas, Bundaran HI, dan Taman Mini. Bahkan, pengalaman saya malam akhir tahun 2009 lalu, untuk menempuh jarak sekitar dua kilometer di kawasan Kramat Jati menuju TMII, membutuhkan waktu sekitar dua jam.
Semua kendaraan macet total, termasuk kendaraan roda dua, yang biasanya tak separah roda empat. Tapi saat itu, tak ada pengecualian, semuanya macet total. Seingat saya mulai dari fly over di Kalibata, depan Giant hingga Pasar Kramat Jati. Ternyata seorang teman saat itu yang kebetulan ke Monas dan Bundaran HI juga sama, macet total.
Nah, inilah dinamika tahun baru. Sebuah pergantian tahun yang identik dengan pesta ria, foya-foya, riang gembira, santai ria, hingga bermacet ria.
Lantas apa orientasi semua itu? Saya pikir jawabannya satu kata, kepuasan. Mereka melakukan semua itu hanya demi mencapai kepuasaan. Meski ia sangatlah sesaat, namun ia mampu menghipnotis jutaan umat manusia melakukannya.
Apakah itu adalah fenomena memburu kepuasan yang salah kaprah? Barangkali ya. Sebab, mereka melakukannya cenderung tidak berdasarkan pada asumsi individu yang tulus, tetapi pada asumsi ikut-ikutan. Dengan kata lain, mereka berlomba-lomba menunggu pergantian tahun itu karena terlena terhadap apa yang dilakukan orang lain.
Andaikata banyak individu tidak melakukannya, barangkali yang lain juga tidak seperti itu. Dengan begitu, saya mencoba secara ekstrim menegaskan bahwa tumpah ruah perayaan malam tahun baru ini hanyalah sekadar ikut-ikutan belaka. Ini artinya, masih terlalu banyak orang yang tidak memiliki kemerdekaan individu. Mereka melakukan, karena orang lain juga melakukannya.
Walaupun saya pribadi ingin mengungkapkan bahwa ‘taklid’ semacam itu tidak selamanya buruk. Hanya saja, kemerdekaan individu yang selalu melandasi tindakannya dengan pertimbangan individu secara matang akan jauh lebih berharga daripada hanya terlena terhadap lingkungannya.
Maribaya, Lembang,
Bandung, 31/12/2010
Pukul 22.59 WIB
Friday, December 31, 2010
Noda-noda Demokrasi
Moh Ilyas
Pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) selalu membuat kita terkaget-kaget. Setelah banyak mewariskan kekerasan dan anarkisme, kini sistem yang dianggap bagian demokrasi itu mengagetkan kita dengan catatan pelanggaran yang begitu dramatis.
Betapa tidak, pada tahun ini saja dari 224 Pemilukada yang terlaksana, 177 di antaranya digugat ke MK. Gugatan itu, karena kuatnya indikasi kecurangan dan pelanggaran. Bahkan Bawaslu menerima 1.767 laporan pelanggaran yang terdiri dari pelanggaran administrasi 1.179 kasus, pidana 572 kasus, dan kode etik 16 kasus.
Sayangnya, KPU sebagai penyelenggara Pemilukada tidak sigap dan seperti tutup mata dengan laporan pelanggaraan tersebut. Pasalnya, dari laporan pelanggaran sebanyak itu, hanya 2,29 persen atau 27 laporan yang diteruskan KPU (Media Indonesia, 23/12).
Fenomena ini tentu merupakan persoalan dan bahkan ranjau tersendiri dalam catatan demokrasi di Indonesia. Setidaknya, ia telah menodai essensi dan penyelenggaran pemilukada yang notabene sebagai salah satu tolak ukur kesuksesan demokrasi di Indonesia.
Betapa tidak, pemilukada yang diorientasikan dapat membuahkan hasil maksimal, terutama dalam proses transformasi kepemimpinan, ternyata diganggu dalam proses perjalanannya. Akibatnya, ia cenderung berdampak bukan seperti yang diinginkan, tetapi sebaliknya ia hanya menjadi semacam ‘media’ penghambur-hamburan uang rakyat.
Andai coba kita renungkan secara mendalam, betapa banyak pemilihan yang dilakukan secara langsung, namun dampaknya tidak lebih baik daripada pemimpin yang dipilih dengan sistem perwakilan di DPRD. Belum lagi, pelanggaran dalam pemilukada kerapkali berkutat pada ‘uang’ sebagai identitas pembusukan makna demokrasi. Tentu semua ini menjadi catatan buruk bagi proses demokrasi di Indonesia.
Pelanggaran lainnya yang juga mencoreng identitas demokrasi semisal adanya regulasi yang tidak sinkron atau independensi KPUD yang tak bisa dipercaya. Sehingga wajar bila belum lama ini, Ketua Badan Pengawas Pemilu, Nur Hidayat Sardini menyatakan, "Kualitas pemilukada 2010 buruk. Ini terkait dengan kemampuan pengelolaan."
Padahal, kalau kita kembali menengok dari jendela tentang demokrasi semisal di Amerika Serikat, tak ada fenomena uang yang merusak sistem demokrasi. Di Negeri Paman Sam itu tidak ada kamus politik uang. Di sana juga masih berkembang teori etika deontologi yang merupakan kebalikan teologi atau utilitarianisme. Dalam teori ini dijelaskan bahwa seorang yang memberi sesuatu kepada anggota masyarakat karena ada pamrih agar mereka pada saatnya memilih dia merupakan perbuatan tidak etis. Sementara kita seperti sudah terlanjur menganggapnya sebagai sebuah kewajaran.
Seandainya teori ini berlaku dalam praktik demokrasi di negeri ini, maka tak ada yang perlu dikhawatirkan dalam pelaksanaan pemilukada, baik itu anarkisme maupun pemilukada ulang, yang akhir-akhir ini ramai terjadi.
Tapi sayang, teori ini seperti hilang dalam identitas demokrasi di Indonesia. Sehingga pemilukada justru menjadi semacam instrumen yang membuat perseteruan dan bahkan konflik. Pemilukada dalam hal ini, seperti telah mengajarkan watak tempramen. Seseorang yang biasanya tidak anarkis, tapi akibat pemilukada menjadi anarkis. Anarkisme mereka rata-rata bermuara pada adanya pelanggaran dalam pelaksanaannya.
Jika demikian, anarkisme dan amuk massa seperti menjadi sesuatu yang absah terjadi di tengah situasi demokrasi semacam itu. Secara teori, amuk massa itu oleh Antonio Gramsci dalam bukunya, War of Position disebut 'Perang Parit', yakni gerakan mengkritik pusat kekuasaan dalam hal ini KPUD dan Panwaslu yang tidak adil.
Tentu saja kita tidak perlu tergesa-gesa menyalahkan adanya tindak anarkisme dan amuk massa ini. Sebab, polanya pun sudah dinodai sendiri oleh ‘sopir-sopir demokrasi’ seperti KPUD maupun Panwaslu. Yang perlu kita evaluasi adalah sumber dari tindak anarkisme itu, apakah sikap tempramen mereka yang over atau memang karena tingginya pelanggaran dari proses demokrasi itu sendiri? Ini soal yang mesti kita jawab.
Jika menelusuri banyaknya keputusan Mahkamah Konstusi pada tahun 2010 yang meminta pelaksanaan pemilukada ulang, maka asumsi bahwa anarkisme itu bermuara pada penyelenggara pemilu memang sesuatu yang tak terbantahkan. Setidaknya, KPU dan Panwaslu dapat dikatakan gagal jika tak mampu menyelamatkan pemilukada secara benar.
Untuk sekadar menyebut contoh beberapa daerah yang terpaksa melaksanakan pemilukada ulang misalnya seperti di Kota Tangerang, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, Pandeglang, 11 wilayah di Kabupaten Sumbawa, sembilan kecamatan di Kabupaten Gresik, 11 desa di Kota Konawe Utara Sulawesi Tenggara, dan Kota Manado.
Bagaimanapun, kita tidak bisa mengingkari bahwa inilah fenomena demokrasi kita saat ini. Ia ada hanya karena tuntutan demokratisasi. Sementara hasilnya juga belum terlihat ‘seindah’ yang kita bayangkan tempo dulu tentang demokrasi itu sendiri. Kita selalu membayangkan bahwa dengan adanya demokrasi, kesejahteraan masyarakat akan tercapai, pembangunan infrastruktur dan non-infrastruktur mulai tingkat desa hingga kabupaten dapat terwujud. Namun, semua itu hanya seperti utopia demokrasi belaka.
Lembang Bandung, 31/12/2010
Pukul 20.40 WIB
Pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) selalu membuat kita terkaget-kaget. Setelah banyak mewariskan kekerasan dan anarkisme, kini sistem yang dianggap bagian demokrasi itu mengagetkan kita dengan catatan pelanggaran yang begitu dramatis.
Betapa tidak, pada tahun ini saja dari 224 Pemilukada yang terlaksana, 177 di antaranya digugat ke MK. Gugatan itu, karena kuatnya indikasi kecurangan dan pelanggaran. Bahkan Bawaslu menerima 1.767 laporan pelanggaran yang terdiri dari pelanggaran administrasi 1.179 kasus, pidana 572 kasus, dan kode etik 16 kasus.
Sayangnya, KPU sebagai penyelenggara Pemilukada tidak sigap dan seperti tutup mata dengan laporan pelanggaraan tersebut. Pasalnya, dari laporan pelanggaran sebanyak itu, hanya 2,29 persen atau 27 laporan yang diteruskan KPU (Media Indonesia, 23/12).
Fenomena ini tentu merupakan persoalan dan bahkan ranjau tersendiri dalam catatan demokrasi di Indonesia. Setidaknya, ia telah menodai essensi dan penyelenggaran pemilukada yang notabene sebagai salah satu tolak ukur kesuksesan demokrasi di Indonesia.
Betapa tidak, pemilukada yang diorientasikan dapat membuahkan hasil maksimal, terutama dalam proses transformasi kepemimpinan, ternyata diganggu dalam proses perjalanannya. Akibatnya, ia cenderung berdampak bukan seperti yang diinginkan, tetapi sebaliknya ia hanya menjadi semacam ‘media’ penghambur-hamburan uang rakyat.
Andai coba kita renungkan secara mendalam, betapa banyak pemilihan yang dilakukan secara langsung, namun dampaknya tidak lebih baik daripada pemimpin yang dipilih dengan sistem perwakilan di DPRD. Belum lagi, pelanggaran dalam pemilukada kerapkali berkutat pada ‘uang’ sebagai identitas pembusukan makna demokrasi. Tentu semua ini menjadi catatan buruk bagi proses demokrasi di Indonesia.
Pelanggaran lainnya yang juga mencoreng identitas demokrasi semisal adanya regulasi yang tidak sinkron atau independensi KPUD yang tak bisa dipercaya. Sehingga wajar bila belum lama ini, Ketua Badan Pengawas Pemilu, Nur Hidayat Sardini menyatakan, "Kualitas pemilukada 2010 buruk. Ini terkait dengan kemampuan pengelolaan."
Padahal, kalau kita kembali menengok dari jendela tentang demokrasi semisal di Amerika Serikat, tak ada fenomena uang yang merusak sistem demokrasi. Di Negeri Paman Sam itu tidak ada kamus politik uang. Di sana juga masih berkembang teori etika deontologi yang merupakan kebalikan teologi atau utilitarianisme. Dalam teori ini dijelaskan bahwa seorang yang memberi sesuatu kepada anggota masyarakat karena ada pamrih agar mereka pada saatnya memilih dia merupakan perbuatan tidak etis. Sementara kita seperti sudah terlanjur menganggapnya sebagai sebuah kewajaran.
Seandainya teori ini berlaku dalam praktik demokrasi di negeri ini, maka tak ada yang perlu dikhawatirkan dalam pelaksanaan pemilukada, baik itu anarkisme maupun pemilukada ulang, yang akhir-akhir ini ramai terjadi.
Tapi sayang, teori ini seperti hilang dalam identitas demokrasi di Indonesia. Sehingga pemilukada justru menjadi semacam instrumen yang membuat perseteruan dan bahkan konflik. Pemilukada dalam hal ini, seperti telah mengajarkan watak tempramen. Seseorang yang biasanya tidak anarkis, tapi akibat pemilukada menjadi anarkis. Anarkisme mereka rata-rata bermuara pada adanya pelanggaran dalam pelaksanaannya.
Jika demikian, anarkisme dan amuk massa seperti menjadi sesuatu yang absah terjadi di tengah situasi demokrasi semacam itu. Secara teori, amuk massa itu oleh Antonio Gramsci dalam bukunya, War of Position disebut 'Perang Parit', yakni gerakan mengkritik pusat kekuasaan dalam hal ini KPUD dan Panwaslu yang tidak adil.
Tentu saja kita tidak perlu tergesa-gesa menyalahkan adanya tindak anarkisme dan amuk massa ini. Sebab, polanya pun sudah dinodai sendiri oleh ‘sopir-sopir demokrasi’ seperti KPUD maupun Panwaslu. Yang perlu kita evaluasi adalah sumber dari tindak anarkisme itu, apakah sikap tempramen mereka yang over atau memang karena tingginya pelanggaran dari proses demokrasi itu sendiri? Ini soal yang mesti kita jawab.
Jika menelusuri banyaknya keputusan Mahkamah Konstusi pada tahun 2010 yang meminta pelaksanaan pemilukada ulang, maka asumsi bahwa anarkisme itu bermuara pada penyelenggara pemilu memang sesuatu yang tak terbantahkan. Setidaknya, KPU dan Panwaslu dapat dikatakan gagal jika tak mampu menyelamatkan pemilukada secara benar.
Untuk sekadar menyebut contoh beberapa daerah yang terpaksa melaksanakan pemilukada ulang misalnya seperti di Kota Tangerang, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, Pandeglang, 11 wilayah di Kabupaten Sumbawa, sembilan kecamatan di Kabupaten Gresik, 11 desa di Kota Konawe Utara Sulawesi Tenggara, dan Kota Manado.
Bagaimanapun, kita tidak bisa mengingkari bahwa inilah fenomena demokrasi kita saat ini. Ia ada hanya karena tuntutan demokratisasi. Sementara hasilnya juga belum terlihat ‘seindah’ yang kita bayangkan tempo dulu tentang demokrasi itu sendiri. Kita selalu membayangkan bahwa dengan adanya demokrasi, kesejahteraan masyarakat akan tercapai, pembangunan infrastruktur dan non-infrastruktur mulai tingkat desa hingga kabupaten dapat terwujud. Namun, semua itu hanya seperti utopia demokrasi belaka.
Lembang Bandung, 31/12/2010
Pukul 20.40 WIB
Tekad Hidup
(Refleksi Perjalanan Kp Melayu-Kp Rambutan)
Mobil-mobil angkot itu menumpuk di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur. Tak kurang dari 100 angkot ngetem di tempat itu. Sementara para sopir tampak berebutan mengejar dan mencari penumpang.
Di Jalan Mayjen Sutoyo, sebelum Halte Busway BKN, sebuah mobil taksi melaju dengan kecepatan tinggi. Bahkan, di traffic light (TL), mobil itu hendak memaksa berbelok, padahal lampu belokan masih berwarna merah. Akibatnya, busway yang saya tumpangi nyaris membentur kepala mobil itu.
Di depan Terminal Kramat Jati, beberapa wajah pedagang terlihat sedih. Tak ada satupun pembeli yang menghampiri dagangan yang mereka jajakan. Begitupun para pedagang di pertokoan sepanjang Jalan Raya Bogor. Mereka tampak menunggu pembeli yang nyaris tak terlihat satupun.
Wajah-wajah mereka sebenarnya bukanlah wajah tanpa harapan. Mata mereka berbinar, tanda bahwa harapan itu masih begitu tinggi. Tekad hidup mereka sepertinya menjadi lintasan semangat yang tak menyulutkan langkah-langkah mereka untuk melanjutkan hidup secara ideal.
Begitupula dengan sopir-sopir angkot dan taksi itu. Mereka sejatinya takut akan rasa lelah, apalagi marabahaya. Tetapi rasa takut itu seperti mereka hapus sendiri dari lembaran kehidupan mereka, sebab will to life (baca: tekad hidup) yang mereka miliki tak dapat membendung rasa takut itu.
Tidak hanya di tempat itu saja, di depan RS Harapan Bunda, Kramat Jati, beberapa orang tampak keluar masuk silih berganti. Sebagian mereka ada yang terlihat hanya mengantarkan kerabat dekat atau teman sejawatnya. Ada pula yang datang berobat sendiri ke RS tersebut.
Sementara hampir di sepanjang jalan antara Kampung Melayu-Kramat Jati, kendaraan roda dua selalu berebutan. Mereka seperti dalam kontes motor (road race) yang merebut posisi terdepan. Hampir tak ada yang mau mengalah satu sama lain. Inilah gaya kompetisi di Ibu Kota.
Semua ini menjadi sesuatu yang menarik diamati, baik dengan cara pandang kehidupan Jakarta yang kompetitif maupun tingginya tekad hidup warga Ibu Kota. Sulit dipercaya, bahwa mereka melakukan semua itu hanya karena alasan yang tidak begitu berarti.
Saya menerjemahkan semua ini sebagai sikap ksatria mereka yang memiliki tekad hidup. Sikap pantang menyerah - seperti juga ditampilkan laga Final Timnas Indonesia melawan Malaysia di Gelora Bung Karno tadi malam - ini, tampak jelas merona di wajah mereka.
Mereka memaknai masa depan sebagai alat untuk bergerak dan berikhtiar. Tanpa keinginan untuk hidup lebih baik, bahkan ideal, sudah pasti mereka tak akan melakukan semua ini. Mungkin dalam pikiran mereka tertanam petuah Nabi, 'Bekerjalah untuk duniamu seakan kau hidup selamanya'. Sehingga semangat pantang menyerah itu sungguh luar biasa terjadi pada mereka.
Terminal Kp Rambutan, 30/12/2010
Pukul 10.35 WIB
Mobil-mobil angkot itu menumpuk di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur. Tak kurang dari 100 angkot ngetem di tempat itu. Sementara para sopir tampak berebutan mengejar dan mencari penumpang.
Di Jalan Mayjen Sutoyo, sebelum Halte Busway BKN, sebuah mobil taksi melaju dengan kecepatan tinggi. Bahkan, di traffic light (TL), mobil itu hendak memaksa berbelok, padahal lampu belokan masih berwarna merah. Akibatnya, busway yang saya tumpangi nyaris membentur kepala mobil itu.
Di depan Terminal Kramat Jati, beberapa wajah pedagang terlihat sedih. Tak ada satupun pembeli yang menghampiri dagangan yang mereka jajakan. Begitupun para pedagang di pertokoan sepanjang Jalan Raya Bogor. Mereka tampak menunggu pembeli yang nyaris tak terlihat satupun.
Wajah-wajah mereka sebenarnya bukanlah wajah tanpa harapan. Mata mereka berbinar, tanda bahwa harapan itu masih begitu tinggi. Tekad hidup mereka sepertinya menjadi lintasan semangat yang tak menyulutkan langkah-langkah mereka untuk melanjutkan hidup secara ideal.
Begitupula dengan sopir-sopir angkot dan taksi itu. Mereka sejatinya takut akan rasa lelah, apalagi marabahaya. Tetapi rasa takut itu seperti mereka hapus sendiri dari lembaran kehidupan mereka, sebab will to life (baca: tekad hidup) yang mereka miliki tak dapat membendung rasa takut itu.
Tidak hanya di tempat itu saja, di depan RS Harapan Bunda, Kramat Jati, beberapa orang tampak keluar masuk silih berganti. Sebagian mereka ada yang terlihat hanya mengantarkan kerabat dekat atau teman sejawatnya. Ada pula yang datang berobat sendiri ke RS tersebut.
Sementara hampir di sepanjang jalan antara Kampung Melayu-Kramat Jati, kendaraan roda dua selalu berebutan. Mereka seperti dalam kontes motor (road race) yang merebut posisi terdepan. Hampir tak ada yang mau mengalah satu sama lain. Inilah gaya kompetisi di Ibu Kota.
Semua ini menjadi sesuatu yang menarik diamati, baik dengan cara pandang kehidupan Jakarta yang kompetitif maupun tingginya tekad hidup warga Ibu Kota. Sulit dipercaya, bahwa mereka melakukan semua itu hanya karena alasan yang tidak begitu berarti.
Saya menerjemahkan semua ini sebagai sikap ksatria mereka yang memiliki tekad hidup. Sikap pantang menyerah - seperti juga ditampilkan laga Final Timnas Indonesia melawan Malaysia di Gelora Bung Karno tadi malam - ini, tampak jelas merona di wajah mereka.
Mereka memaknai masa depan sebagai alat untuk bergerak dan berikhtiar. Tanpa keinginan untuk hidup lebih baik, bahkan ideal, sudah pasti mereka tak akan melakukan semua ini. Mungkin dalam pikiran mereka tertanam petuah Nabi, 'Bekerjalah untuk duniamu seakan kau hidup selamanya'. Sehingga semangat pantang menyerah itu sungguh luar biasa terjadi pada mereka.
Terminal Kp Rambutan, 30/12/2010
Pukul 10.35 WIB
Friday, December 24, 2010
Bola dan Nasionalisme
Oleh Moh Ilyas
Setelah tontonan spektakuler World Cup usai pertengahan Juli lalu, kini jutaan mata di Indonesia kembali tertuju ke benda bulat itu. Mereka bergegap gempita menuju Gelora Bung Karno (GBK) untuk menyaksikan olahraga kesebelasan Tim Nasional Indonesia. Bahkan mereka berani menghabiskan waktu berjam-jam dengan mengantre demi mendapatkan selembar tiket masuk.
Bedanya, jika Piala Dunia kemarin masyarakat Indonesia menjagokan pilihan masing-masing negara kelas kakap dalam percaturan sepakbola sejagat, kali ini tidak. Kali ini, dukungan masyarakat Indonesia "satu suara" dan tidak alasan untuk pecah. Sebab tim yang berlaga atraktif dan memesona adalah kesebalasan Timnas Indonesia sendiri.
Dalam perhelatan semifinal Indonesia-Filipina Babak kedua misalnya, ribuan manusia berani mengantre mulai sekitar pukul 11.00 siang hingga pukul 16.00 di tempat pembelian tiket GBK. Tak hanya itu, di Terminal Bus Akap Kampung Rambutan, salah seorang penumpang bus Jakarta-Bandung memaksa turun dan menggagalkan tumpangannya demi menyaksikan laga Timnas. Alasannya karena di bus yang dia tumpangi tak tersedia televisi.
Ahad (26/12) ini, penggila bola Tanah Air akan kembali memfokuskan perhatiannya pada final AFF antara Indonesia-Malaysia. Meski babak pertama tak digelar di kandang sendiri, namun tentu saja hati masyarakat Indonesia akan 'dag dig dug' menunggunya. Bahkan sejak beberapa hari sebelum pertandingan.
Kondisi semacam itu tak rumit dijumpai. Misalnya, banyaknya masyarakat yang menyaksikan langsung latihan Timnas menjelang laga final. "Saat ini, latihan saja menarik ditonton orang-orang," kata salah seorang pemerhati bola. Belum lagi Talk Show, Diskusi, hingga Humor yang menampilkan tayangan bola, baik melalui pengamat, pelatih, maupun pemainnya secara langsung.
Bahkan simbol Garuda Pancasila yang dikumandangkan melalui lagu 'Garuda di Dadaku' membahana di setiap sudut kota. Anak-anak usia Sekolah Dasar pun ceria sembari berlari menendangkan lagu ini. Maklum, masyarakat Indonesia di semua usia bisa dibilang mendadak demam bola sejak kemenangan berturut-turut sejak dalam babak penyisihan AFF. Berawal dari kemenangan besar 5-1 atas Malaysia, membantai Laos 6-0, menundukkan Thailand 2-1, dan mempermalukan Filipina 2-0 dalam dua babak semifinal.
Tidak Semata Gila Bola
Tentu saja sebagian penonton kesebelasan Timnas baik langsung di GBK maupun melalui stasiun televisi di rumah merupakan penggemar atau penggila bola. Namun, penonton tetaplah penonton. Tak perlu dibedakan antara mereka yang memang gila bola maupun yang tidak.
Lantas, adakah yang perlu dibedakan? Nasionalisme. Barangkali tidak sedikit orang yang - mungkin awalnya tidak begitu tertarik terhadap sepakbola, tapi ketika pemain lapangan hijau adalah kontingen Indonesia sendiri yang sedang melawan negara lain, maka saat itulah fanatisme dan kegemaran menyaksikan permainan lapangan hijau itu tumbuh.
Fenomena ini secara tidak langsung mencerminkan masih hidupnya rasa nasionalisme kita. Kita tidak akan pernah rela jika rasa kebangsaan kita diusik dan diganggu. Kita juga tidak ingin darah harga diri bangsa ini tercecer berjatuhan, apalagi 'direndahkan' bangsa lain.
Sepakbola memang bukanlah permainan yang diperuntukkan menjatuhkan negara tertentu. Tetapi tak bisa dipungkiri bahwa dari sepakbola pulalah, harga dan martabat bangsa akan semakin tinggi. Tak ayal, olah raga ini bisa dikategorikan salah satu piranti membangun masa depan bangsa.
Sekadar imsal, Brazil yang merupakan negara terbesar kelima terpadat pendduknya dan negara terbesar kelima setelah Rusia, Canada, Republik Rakyat Cina, dan Amerika Serikat, sebenarnya sangat istimewa. Tetapi, apakah lantas negara seluasa 8.511.965 kilometer persegi itu puas dengan itu? Tentu saja tidak.
Popularitas Brazil di pentas internasional tidak dibangun karena faktor luas wilayah, tetapi karena kualitas persepakbolaannya. Barangkali jika kita bertanya kepada orang-orang di belahan bumi ini dengan pertanyaan semisal, 'Apa yang anda ketahui tentang Brazil?' Jawabannya menurut hemat penulis tidak akan jauh dari, 'Brazil adalah negara hebat dalam sepakbola'.
Dengan jawaban ini, masyarakat dunia memahami bahwa Brazil sebenarnya bukanlah negara sempurna, sebagaimana kualitas sepakbola mereka. Tetapi, justru ketidaksempurnaan itu ditutupi dengan kualitas olahraga yang memiliki peminat terbesar itu.
Inilah fenomena sepakbola yang mampu menjadi jembatan nasionalisme. Walaupun jenis olah raga lainnya seperti tinju, bulu tangkis, dan seterusnya juga bisa menjadi alat mempertaruhkan jati diri bangsa, namun tak sehebat sepakbola.
Rasa nasionalisme masyarakat kita tidak perlu diragukan akan luntur, justru ia sepatutnya mendapatkan pujian dan apresiasi, terutama ketika mengambil variabel sepakbola sebagai instrumen penilaiannya. Tentu saja pikiran kita akan berdebar-debar dalam beberapa hari ke depan saat final AFF antara Indonesia dan Malaysia. Kita menunggu Timnas juara.
Inkonsistensi Nasionalisme
Lagu-lagu simbol nasionalisme, seperti 'Garuda di Dadaku' boleh jadi menggema di semua sudut negeri ini. Tetapi sekadar menyanyikan lagu pada prinsipnya tidak cukup menerjemahkan nasionalisme yang sebenarnya. Sebab nasionalisme sejatinya bukan hanya perkataan atau ungkapan melalui lisan, tetapi ia menyeruak masuk menjadi perasaan hati.
Dengan kata lain, perwujudan nasionalisme tentu harus menyentuh ke relung-relung hati kita, sehingga untuk menodai negeri ini dengan berbagai tindakan tidak mungkin terjadi.
Sementara, penulis menilai bahwa masih terjadi salah kaprah dan inkonsistensi rasa nasionalisme di negeri ini. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya masyarakat kita yang mengungkapkan kecintaan dan dukungan terhadap Timnas, namun di sisi lain ia menodai negeri ini, misalnya dengan tindak korupsi.
Wacana nasionalisme menjadi usang ketika kita memerhatikan masalah korupsi. Betapa tidak, korupsi sudah begitu terkoordinasi dan terstruktur. Bahkan tak tanggung-tanggung, The Straits Times, salah satu koran terkemuka di Singapura, pernah sekali memberitakan bahwa Indonesia sebagai The Envelope Country (negara amplop).
Belum lagi kasus skandal hukum, mafia pajak, dan isu suap yang lagi menggerogoti penegak hukum kita. Jika kita mengingat hal itu, wacana nasionalisme sepakbola menjadi tergadaikan. Namun, apa boleh dikata, nasi sepertinya telah menjadi bubur. Keinginan memberanguskan skandal korupsi tampaknya hanya menjadi sekadar keinginan semata, tak pernah ada realisasi. Sehingga kita seperti kehilangan harapan menegakkan nasionalisme secara universal. Kendati demikian, kita masih memiliki harapan bahwa tumbuhnya rasa nasionalisme secara universal nantinya bisa hadir dari tontonan sepakbola ini.
Terminal Leuwi Panjang,
IZI Learning Center Jln Ambon,
dan Taman Pramuka Bandung, 24/12/2010
Pukul 21.33 WIB
Setelah tontonan spektakuler World Cup usai pertengahan Juli lalu, kini jutaan mata di Indonesia kembali tertuju ke benda bulat itu. Mereka bergegap gempita menuju Gelora Bung Karno (GBK) untuk menyaksikan olahraga kesebelasan Tim Nasional Indonesia. Bahkan mereka berani menghabiskan waktu berjam-jam dengan mengantre demi mendapatkan selembar tiket masuk.
Bedanya, jika Piala Dunia kemarin masyarakat Indonesia menjagokan pilihan masing-masing negara kelas kakap dalam percaturan sepakbola sejagat, kali ini tidak. Kali ini, dukungan masyarakat Indonesia "satu suara" dan tidak alasan untuk pecah. Sebab tim yang berlaga atraktif dan memesona adalah kesebalasan Timnas Indonesia sendiri.
Dalam perhelatan semifinal Indonesia-Filipina Babak kedua misalnya, ribuan manusia berani mengantre mulai sekitar pukul 11.00 siang hingga pukul 16.00 di tempat pembelian tiket GBK. Tak hanya itu, di Terminal Bus Akap Kampung Rambutan, salah seorang penumpang bus Jakarta-Bandung memaksa turun dan menggagalkan tumpangannya demi menyaksikan laga Timnas. Alasannya karena di bus yang dia tumpangi tak tersedia televisi.
Ahad (26/12) ini, penggila bola Tanah Air akan kembali memfokuskan perhatiannya pada final AFF antara Indonesia-Malaysia. Meski babak pertama tak digelar di kandang sendiri, namun tentu saja hati masyarakat Indonesia akan 'dag dig dug' menunggunya. Bahkan sejak beberapa hari sebelum pertandingan.
Kondisi semacam itu tak rumit dijumpai. Misalnya, banyaknya masyarakat yang menyaksikan langsung latihan Timnas menjelang laga final. "Saat ini, latihan saja menarik ditonton orang-orang," kata salah seorang pemerhati bola. Belum lagi Talk Show, Diskusi, hingga Humor yang menampilkan tayangan bola, baik melalui pengamat, pelatih, maupun pemainnya secara langsung.
Bahkan simbol Garuda Pancasila yang dikumandangkan melalui lagu 'Garuda di Dadaku' membahana di setiap sudut kota. Anak-anak usia Sekolah Dasar pun ceria sembari berlari menendangkan lagu ini. Maklum, masyarakat Indonesia di semua usia bisa dibilang mendadak demam bola sejak kemenangan berturut-turut sejak dalam babak penyisihan AFF. Berawal dari kemenangan besar 5-1 atas Malaysia, membantai Laos 6-0, menundukkan Thailand 2-1, dan mempermalukan Filipina 2-0 dalam dua babak semifinal.
Tidak Semata Gila Bola
Tentu saja sebagian penonton kesebelasan Timnas baik langsung di GBK maupun melalui stasiun televisi di rumah merupakan penggemar atau penggila bola. Namun, penonton tetaplah penonton. Tak perlu dibedakan antara mereka yang memang gila bola maupun yang tidak.
Lantas, adakah yang perlu dibedakan? Nasionalisme. Barangkali tidak sedikit orang yang - mungkin awalnya tidak begitu tertarik terhadap sepakbola, tapi ketika pemain lapangan hijau adalah kontingen Indonesia sendiri yang sedang melawan negara lain, maka saat itulah fanatisme dan kegemaran menyaksikan permainan lapangan hijau itu tumbuh.
Fenomena ini secara tidak langsung mencerminkan masih hidupnya rasa nasionalisme kita. Kita tidak akan pernah rela jika rasa kebangsaan kita diusik dan diganggu. Kita juga tidak ingin darah harga diri bangsa ini tercecer berjatuhan, apalagi 'direndahkan' bangsa lain.
Sepakbola memang bukanlah permainan yang diperuntukkan menjatuhkan negara tertentu. Tetapi tak bisa dipungkiri bahwa dari sepakbola pulalah, harga dan martabat bangsa akan semakin tinggi. Tak ayal, olah raga ini bisa dikategorikan salah satu piranti membangun masa depan bangsa.
Sekadar imsal, Brazil yang merupakan negara terbesar kelima terpadat pendduknya dan negara terbesar kelima setelah Rusia, Canada, Republik Rakyat Cina, dan Amerika Serikat, sebenarnya sangat istimewa. Tetapi, apakah lantas negara seluasa 8.511.965 kilometer persegi itu puas dengan itu? Tentu saja tidak.
Popularitas Brazil di pentas internasional tidak dibangun karena faktor luas wilayah, tetapi karena kualitas persepakbolaannya. Barangkali jika kita bertanya kepada orang-orang di belahan bumi ini dengan pertanyaan semisal, 'Apa yang anda ketahui tentang Brazil?' Jawabannya menurut hemat penulis tidak akan jauh dari, 'Brazil adalah negara hebat dalam sepakbola'.
Dengan jawaban ini, masyarakat dunia memahami bahwa Brazil sebenarnya bukanlah negara sempurna, sebagaimana kualitas sepakbola mereka. Tetapi, justru ketidaksempurnaan itu ditutupi dengan kualitas olahraga yang memiliki peminat terbesar itu.
Inilah fenomena sepakbola yang mampu menjadi jembatan nasionalisme. Walaupun jenis olah raga lainnya seperti tinju, bulu tangkis, dan seterusnya juga bisa menjadi alat mempertaruhkan jati diri bangsa, namun tak sehebat sepakbola.
Rasa nasionalisme masyarakat kita tidak perlu diragukan akan luntur, justru ia sepatutnya mendapatkan pujian dan apresiasi, terutama ketika mengambil variabel sepakbola sebagai instrumen penilaiannya. Tentu saja pikiran kita akan berdebar-debar dalam beberapa hari ke depan saat final AFF antara Indonesia dan Malaysia. Kita menunggu Timnas juara.
Inkonsistensi Nasionalisme
Lagu-lagu simbol nasionalisme, seperti 'Garuda di Dadaku' boleh jadi menggema di semua sudut negeri ini. Tetapi sekadar menyanyikan lagu pada prinsipnya tidak cukup menerjemahkan nasionalisme yang sebenarnya. Sebab nasionalisme sejatinya bukan hanya perkataan atau ungkapan melalui lisan, tetapi ia menyeruak masuk menjadi perasaan hati.
Dengan kata lain, perwujudan nasionalisme tentu harus menyentuh ke relung-relung hati kita, sehingga untuk menodai negeri ini dengan berbagai tindakan tidak mungkin terjadi.
Sementara, penulis menilai bahwa masih terjadi salah kaprah dan inkonsistensi rasa nasionalisme di negeri ini. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya masyarakat kita yang mengungkapkan kecintaan dan dukungan terhadap Timnas, namun di sisi lain ia menodai negeri ini, misalnya dengan tindak korupsi.
Wacana nasionalisme menjadi usang ketika kita memerhatikan masalah korupsi. Betapa tidak, korupsi sudah begitu terkoordinasi dan terstruktur. Bahkan tak tanggung-tanggung, The Straits Times, salah satu koran terkemuka di Singapura, pernah sekali memberitakan bahwa Indonesia sebagai The Envelope Country (negara amplop).
Belum lagi kasus skandal hukum, mafia pajak, dan isu suap yang lagi menggerogoti penegak hukum kita. Jika kita mengingat hal itu, wacana nasionalisme sepakbola menjadi tergadaikan. Namun, apa boleh dikata, nasi sepertinya telah menjadi bubur. Keinginan memberanguskan skandal korupsi tampaknya hanya menjadi sekadar keinginan semata, tak pernah ada realisasi. Sehingga kita seperti kehilangan harapan menegakkan nasionalisme secara universal. Kendati demikian, kita masih memiliki harapan bahwa tumbuhnya rasa nasionalisme secara universal nantinya bisa hadir dari tontonan sepakbola ini.
Terminal Leuwi Panjang,
IZI Learning Center Jln Ambon,
dan Taman Pramuka Bandung, 24/12/2010
Pukul 21.33 WIB
Nonton Bareng
(Catatan Saat Piala Dunia)
Oleh Moh Ilyas
Hiruk pikuk Piala Dunia menggelegar dari sudut kota hingga pojok desa di alam jagat ini. Jutaan umat manusia di kolong langit ini berbondong-bondong datang ke tempat-tempat keramaian yang menggelar nonton bareng. Bahkan, di Indonesia meski dini hari, yakni pukul 01.30 WIB, para fans berani menghabiskan waktu untuk menyaksikan laga negara dukungannya hingga menjelang subuh sekalipun.
Aku pun tak ingin melewati ajang empat tahunan bergengsi tingkat dunia itu. Hampir setiap jam tayang, aku terus menonton, walaupun bukan negara yang aku dukung. Kebetulan aku sendiri mendukung Brazil dan Argentina. Pilihanku cukup beralasan, karena gaya goyangan Samba Brazil dan kelihaian Messi, sang striker asal negara 'Si Tangan Tuhan', Maradona itu.
Tapi malam ini, caraku menonton pertandingan lapangan hijau berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Malam ini, hanya untuk menonton pertandian final Spanyol versus Belanda, aku rela menempuh jarak puluhan kilometer ke Ciputat. Namun, langkahku itu bukan nekat atau tidak jelas, tetapi demi membangun kebersamaan komunitas, yakni sebagai alumnus Ponpes Darul Ulum Banyuanyar, Pamekasan, Madura.
Apalagi, nonton bareng tepatnya di Fifo Cafe Resto, Situ Gintung, Ciputat ini, juga dihadiri beberapa senior, yakni Anggota DPR RI, H Achmad Syafi'ie dan Ketua DPRD Pamekasan, Kholil Asy'ari. Kehadiran mereka telah menciptakan suasana kekeluargaan sesama pesantren semakin terasa.
Sebelumnya saat babak penyisihan grup, babak 16 besar hingga semifinal kemarin aku nonton di tempat-tempat berbeda, seperti di Warung Buncit 37, kantor tempatku bekerja sebagai Wartawan Republika, di camp Sekjen PB HMI Salemba, di Kafe Mocca, Jalan Jaksa, di kantor IJTI Bendungan Hilir, di Camp Steak Saharjo, di Season City Mall, di Cilandak Town Square (Citos), dan di Sekret Bakornas Lapmi, Saharjo Lontar, tempat aku tinggal.
Fifo Cafe Resto, Situ Gintung, Ciputat, 12/7/2010
Pukul 02.39 WIB
Oleh Moh Ilyas
Hiruk pikuk Piala Dunia menggelegar dari sudut kota hingga pojok desa di alam jagat ini. Jutaan umat manusia di kolong langit ini berbondong-bondong datang ke tempat-tempat keramaian yang menggelar nonton bareng. Bahkan, di Indonesia meski dini hari, yakni pukul 01.30 WIB, para fans berani menghabiskan waktu untuk menyaksikan laga negara dukungannya hingga menjelang subuh sekalipun.
Aku pun tak ingin melewati ajang empat tahunan bergengsi tingkat dunia itu. Hampir setiap jam tayang, aku terus menonton, walaupun bukan negara yang aku dukung. Kebetulan aku sendiri mendukung Brazil dan Argentina. Pilihanku cukup beralasan, karena gaya goyangan Samba Brazil dan kelihaian Messi, sang striker asal negara 'Si Tangan Tuhan', Maradona itu.
Tapi malam ini, caraku menonton pertandingan lapangan hijau berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Malam ini, hanya untuk menonton pertandian final Spanyol versus Belanda, aku rela menempuh jarak puluhan kilometer ke Ciputat. Namun, langkahku itu bukan nekat atau tidak jelas, tetapi demi membangun kebersamaan komunitas, yakni sebagai alumnus Ponpes Darul Ulum Banyuanyar, Pamekasan, Madura.
Apalagi, nonton bareng tepatnya di Fifo Cafe Resto, Situ Gintung, Ciputat ini, juga dihadiri beberapa senior, yakni Anggota DPR RI, H Achmad Syafi'ie dan Ketua DPRD Pamekasan, Kholil Asy'ari. Kehadiran mereka telah menciptakan suasana kekeluargaan sesama pesantren semakin terasa.
Sebelumnya saat babak penyisihan grup, babak 16 besar hingga semifinal kemarin aku nonton di tempat-tempat berbeda, seperti di Warung Buncit 37, kantor tempatku bekerja sebagai Wartawan Republika, di camp Sekjen PB HMI Salemba, di Kafe Mocca, Jalan Jaksa, di kantor IJTI Bendungan Hilir, di Camp Steak Saharjo, di Season City Mall, di Cilandak Town Square (Citos), dan di Sekret Bakornas Lapmi, Saharjo Lontar, tempat aku tinggal.
Fifo Cafe Resto, Situ Gintung, Ciputat, 12/7/2010
Pukul 02.39 WIB
Thursday, December 23, 2010
Open Minded; Berlibur dan Berhibur
Oleh Moh Ilyas
Kali ini memang bukan akhir pekan (week end). Namun, suasananya hampir tak ada bedanya dengan akhir pekan, hari di mana sering kali dijadikan ruang curhat dan ruang berlibur bagi mereka yang merasa jenuh tugas dan kerja sepekan.
Di sebuah warung lesehan berukuran sekitar 8x4 meter di pinggir kolam Hotel Citere, Pangalengan, Jawa Barat, rasa jenuh itu seperti ditanggalkan secara total. Hiburan dan liburan mereka nikmati dalam suasana kegembiraan, jauh dari beban dan beratnya pekerjaan. Apalagi mereka memang merupakan gabungan kaum jurnalis Jakarta-Bandung dan karyawan Indonesia Power (IP).
Puluhan lagu dangdut nan meriah telah mereka senandungkan secara bergantian. Puluhan variasi joget dan hiburan mereka tampilkan. Bahkan, rayuan, godaan, hingga humor pun menghipnotis dan membuat pendengar dan penontonnya terpingkal-pingkal. Tak lupa, potongan kue sebagai hadiah ulang tahun dan Peringatan Hari Ibu (PHI) pun menyertai mereka. Hal tersebut karena 22 Desember hari itu memang bertepatan dengan PHI.
Kemeriahan dan nikmatnya suasana semakin lengkap dengan puluhan snack yang disediakan cuma-cuma di sekeliling mereka. Bahkan, tak lebih dari 10 meter di samping mereka daging sembelihan seekor kambing juga menanti secara gratis. Maklum, IP tampaknya memang begitu siap dengan agenda yang diadakannya, sehingga hampir kebutuhan jurnalis terpenuhi.
Sekitar tiga jam waktu sudah berlalu. Saat waktu di handphone menunjukkan pukul 23.14 WIB, salam perpisahan menyelinap di telingaku dari kumpulan 'pelepas kepengapan hidup' itu. Lagu 'Kemesraan' pun menjadi lagu pamungkas malam penuh kehangatan dan hiburan.
Sebenarnya, sedari siang hiburan selalu dihibahkan kepada kami, terutama sejak di salah satu PLTA tertua di Indonesia dan di Situ Ciseunca, Pangalengan. Hiburan berupa outbond juga kami jalani secara bersahaja dan santai saat di Ciseunca.
Belum lagi agenda lanjutan Kamis besok yang masih tersisa hingga mid day. Berdasarkan informasi yang kami terima, beberapa kunjungan ke tempat-tempat wisata masih akan mewarnai perjalanan kami. Namun, tanpa itupun, sebenarnya sudah cukup lengkap kenikmatan kami rasakan.
Bagi saya pribadi, larut dalam liburan dan hiburan ini tidak begitu asing. Sejak berprofesi sebagai kuli tinta di Media Nasional di Jakarta 11 bulan lalu, suasana semacam ini relatif sering dijumpai. Bahkan, jika tak ada kendali diri, bukan sesuatu yang mustahil saya akan lebih dari sekadar bernostalgia di saat seperti ini saja. Bisa jadi, tempaan ruang-ruang semacam ini akan lebih banyak lagi.
Kendatipun begitu, saya memiliki persepsi positif tentang liburan dan hiburan. Dengan dua hal itu, sekurang-kurangnya pikiran seseorang akan lebih terbuka terhadap sebuah alam fenomena yang lebih dari sekadar alam noumena yang barangkali masih menggelinding dalam benak sebagian manusia.
Kata 'Open Minded' yang merupakan pembuka judul ini dimaksudkan bahwa sebenarnya setiap orang butuh penyegaran (refreshing). Mereka akan belajar mengerti tentang kehidupan mereka lebih jauh melalui suasana semacam ini. Namun, tentu saja jika mereka tak dikelabui dan tak masuk secara berlebihan ke dalam wilayah yang, menurut saya, juga dapat membuat seseorang alpa akan makna hidup secara hakiki, meski ini bukanlah sesuatu yang diinginkan.
Akhirnya, semoga kita mampu merajut benang hikmah di dalamnya. Wallahu a'lam bis-shawab
Hotel Citere, Pangalengan
22/12/2010
Pukul 23.49 WIB
Kali ini memang bukan akhir pekan (week end). Namun, suasananya hampir tak ada bedanya dengan akhir pekan, hari di mana sering kali dijadikan ruang curhat dan ruang berlibur bagi mereka yang merasa jenuh tugas dan kerja sepekan.
Di sebuah warung lesehan berukuran sekitar 8x4 meter di pinggir kolam Hotel Citere, Pangalengan, Jawa Barat, rasa jenuh itu seperti ditanggalkan secara total. Hiburan dan liburan mereka nikmati dalam suasana kegembiraan, jauh dari beban dan beratnya pekerjaan. Apalagi mereka memang merupakan gabungan kaum jurnalis Jakarta-Bandung dan karyawan Indonesia Power (IP).
Puluhan lagu dangdut nan meriah telah mereka senandungkan secara bergantian. Puluhan variasi joget dan hiburan mereka tampilkan. Bahkan, rayuan, godaan, hingga humor pun menghipnotis dan membuat pendengar dan penontonnya terpingkal-pingkal. Tak lupa, potongan kue sebagai hadiah ulang tahun dan Peringatan Hari Ibu (PHI) pun menyertai mereka. Hal tersebut karena 22 Desember hari itu memang bertepatan dengan PHI.
Kemeriahan dan nikmatnya suasana semakin lengkap dengan puluhan snack yang disediakan cuma-cuma di sekeliling mereka. Bahkan, tak lebih dari 10 meter di samping mereka daging sembelihan seekor kambing juga menanti secara gratis. Maklum, IP tampaknya memang begitu siap dengan agenda yang diadakannya, sehingga hampir kebutuhan jurnalis terpenuhi.
Sekitar tiga jam waktu sudah berlalu. Saat waktu di handphone menunjukkan pukul 23.14 WIB, salam perpisahan menyelinap di telingaku dari kumpulan 'pelepas kepengapan hidup' itu. Lagu 'Kemesraan' pun menjadi lagu pamungkas malam penuh kehangatan dan hiburan.
Sebenarnya, sedari siang hiburan selalu dihibahkan kepada kami, terutama sejak di salah satu PLTA tertua di Indonesia dan di Situ Ciseunca, Pangalengan. Hiburan berupa outbond juga kami jalani secara bersahaja dan santai saat di Ciseunca.
Belum lagi agenda lanjutan Kamis besok yang masih tersisa hingga mid day. Berdasarkan informasi yang kami terima, beberapa kunjungan ke tempat-tempat wisata masih akan mewarnai perjalanan kami. Namun, tanpa itupun, sebenarnya sudah cukup lengkap kenikmatan kami rasakan.
Bagi saya pribadi, larut dalam liburan dan hiburan ini tidak begitu asing. Sejak berprofesi sebagai kuli tinta di Media Nasional di Jakarta 11 bulan lalu, suasana semacam ini relatif sering dijumpai. Bahkan, jika tak ada kendali diri, bukan sesuatu yang mustahil saya akan lebih dari sekadar bernostalgia di saat seperti ini saja. Bisa jadi, tempaan ruang-ruang semacam ini akan lebih banyak lagi.
Kendatipun begitu, saya memiliki persepsi positif tentang liburan dan hiburan. Dengan dua hal itu, sekurang-kurangnya pikiran seseorang akan lebih terbuka terhadap sebuah alam fenomena yang lebih dari sekadar alam noumena yang barangkali masih menggelinding dalam benak sebagian manusia.
Kata 'Open Minded' yang merupakan pembuka judul ini dimaksudkan bahwa sebenarnya setiap orang butuh penyegaran (refreshing). Mereka akan belajar mengerti tentang kehidupan mereka lebih jauh melalui suasana semacam ini. Namun, tentu saja jika mereka tak dikelabui dan tak masuk secara berlebihan ke dalam wilayah yang, menurut saya, juga dapat membuat seseorang alpa akan makna hidup secara hakiki, meski ini bukanlah sesuatu yang diinginkan.
Akhirnya, semoga kita mampu merajut benang hikmah di dalamnya. Wallahu a'lam bis-shawab
Hotel Citere, Pangalengan
22/12/2010
Pukul 23.49 WIB
Thursday, December 9, 2010
Hijrah Sosial
Oleh Moh Ilyas
Kita kembali sampai pada tahun baru Islam atau yang dikenal dengan Tahun Baru Hijriyah. Nama ini, seperti sudah mafhum, berdasar pada peristiwa hijrahnya Rasulullah pertama kali ke Madinah. Sehingga, sejak pertama hijrah, hingga saat ini sudah terpaut angka 1432 tahun.
Perjalanan waktu ini tak meraibkan makna hijrah Rasulullah. Dalam artian, hijrah Rasul saat itu juga terelaborasi dalam sikap dan tindakannya saat di Madinah.
Bahkan, nama Kota Madinah pun diambil dari gambaran sebuah kota yang penuh peradaban (baca: tamaddun, beradab) yang dibinanya. Sebelumnya, kota tersebut bernama Yatsrib.
Hijrah Rasul juga menandai lahirnya Fathu Makkah (pembukaan Kota Makkah). Saat itu, di saat ia merasa belum memiliki kekuatan menahan dominasi kaum Quraisy di Makkah, ia berinisiatif untuk hijrah. Dalam proses hijrahnya, ia membangun strategi dan kekuatan untuk menguasai Makkah. Ia pun berhasil menguasai kota tersebut dengan penuh kedamaian.
Dalam koteks hari ini, praktek hijrah semacam ini juga masih ada. Misalnya, seseorang berpetualang dari kampung halamannya ke kota lain atau negara lain, juga dikatakan hijrah. Meski tidak sedang mengemban misi membangun etika dan agama, sebagaimana Rasulullah, mereka juga dikatakan hijrah. Sebab terminologi hijrah, hanyalah perpindahan dari satu daerah ke daerah lain.
Namun, pemaknaan ini sebenarnya jauh lebih luas. Hijrah tidak sekadar dimaknai dengan perpindahan fisik seseorang, tetapi ia juga diterjemahkan dengan perubahan dinamika sosial. Dengan kata lain, ketika seseorang berpikir merubah situasi sosial di lingkungannya, hemat penulis, ia sebenarnya telah berpikir untuk menghijrahkan lingkungannya. Sehingga hijrah tidak secara fisik, tetapi juga mental, bahkan kondisi.
Mengaca pada hijrah Nabi yang mengedepankan etika dan keadaban. Artinya, Nabi saat hijrah dan berada di Madinah tidak berpikir untuk melakukan penguasaan otoritatif atau diskriminatif, tetapi ia mengajarkan prinsip-prinsip di antaranya semacam musyawarah (demokrasi), ukhuwwah (persaudaraan), wahdah (persatuan), dan samaahah (toleransi). Prinsip-prinsip itu sebenarnya merupakan praktek hijrah sosial yang diajarkan Nabi.
Inilah hijrah sosial yang, manfaatnya, terus terasa hingga saat ini. Konon, munculnya gagasan Civil Society yang sangat menghargai kaum sipil (baca: masyarat akar rumput) juga buah elaborasi dari prinsip-prinsip ajaran hijrahnya Nabi saat di Madinah itu.
Ia juga harus menguatkan identitas hijrah itu sendiri agar tak sekadar dimaknai sebagai ritualitas perayaan tahunan semata. Jika umat Islam, khususnya, hanya memandang bahwa hijrah merupakan pergantian tahun hijriyah semata, maka mereka telah terjebak dalam artikulasi pemahaman yang sempit. Rasul mengajarkan hirah jauh lebih dari pemahaman itu.
Hijrahkan Penegak Hukum Kita
Momentum tahun baru Hijriyah ini sangat berarti bagi masyarakat di negeri ini, khususnya penegak hukum jika mereka mau belajar. Sekali lagi jika mereka mau belajar. Mengapa demikian, karena kondisi penegakan hukum kita saat ini sudah sangat layak dihijrahkan jika tidak ingin terus-terusan mencipta 'petaka' dengan logika-logika hukum yang selalu deviatif.
Sebagaimana telah mafhum, skandal-skandal yang terus memojokkan penegak hukum, mulai dari Kepolisian hingga Kejaksaan Agung terus terjadi sejak satu tahun terakhir. Pemojokan itu bukan karena ingin menjatuhkan mereka sebagai penegak hukum, tetapi karena memang tindakan penegak hukum itu sendiri yang justru menodai hukum. Terlepas apakah ada motif dan ada 'orang' di belakang mereka.
Jika kita buka lembaran lagi, bagaimana kriminalisasi terhadap dua Pimpinan KPK yang dilakukan dua lembaga penegakan hukum tersebut, keterlibatan jaksa dan polisi dalam aksi suap Gayus HP Tambunan, hingga keluar-masuknya Gayus dari Rutan Mako Brimob Depok, yang tertangkap kamera di Bali.
Kasus-kasus ini telah menodai penegakan hukum kita dan menjadikannya 'uncredible' di tengah maraknya masalah-masalah hukum. Sejak polisi disebut 'Buaya', tak banyak orang yang percaya polisi, malah justru menyesalkan sikap yang seharusnya mengajarkan contoh hukum yang benar kepada masyarakat.
Tentu saja ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Sebab, jika masyarakat tidak percaya pada kejaksaan dan kepolisian, itu akan menjadi awal sebagai preseden buruk dua lembaga itu. Apapun yang mereka kerjakan nantinya, tidak akan dipercaya masyarakat, bahkan akan diingkarinya.
Kepercayaan publik ini perlu dipulihkan. Cara yang paling efektif adalah menghijrahkan kondisi internal dua lembaga tersebut ke hal-hal yang lebih positif. Baik menghijrahkan paradigma berpikir maupun tindakan mereka dalam menyelesaikan masalah penegakan hukum di negeri ini yang masih cenderung dikalahkan oleh uang.
Hadirnya Timor Pradopo sebagai Kapolri baru tentu saja tidak hanya diinginkan sebagai simbol nomor wahid di lingkungan Polri. Ia diharapkan dapat menjadi pioner dalam menghijrahkan internalnya. Setidaknya ia harus menyadarkan bawahannya agar tidak terjebak pada 'perintah uang'. Sebab selama ini yang mendera dan merusak citra kepolisian adalah uang.
Jika hal demikian dilakukan, ia telah memegang kunci untuk menghijrahkan kepercayaan publik. Kepercayaan publik terhadap lembaga yang dipimpinnya sudah begitu runtuh dan mengalami luka parah. Sehingga ia mesti memikirkan bagaimana menyembuhkan 'luka' itu.
Hijrah Totalitas
Berbagai persoalan yang terus melanda negeri beberapa bulan terakhir menunjukkan bahwa masih banyak yang salah dengan perilaku kita. Mulai dari fenomena korupsi yang tak kunjung usai hingga skandal hukum yang tak terselesaikan. Kondisi ini menuntut semua elemen bangsa, khususnya para pengambil kebijakan untuk hijrah secara totalitas.
Pasca-perayaan hijrah (tahun baru hijriyah) ini, presiden tidak lagi hanya mengandalkan wacana atau politik pencitraan semata dalam mengurus bangsa ini. DPR tidak hanya ribut masalah kebutuhan mereka sendiri, seperti jalan-jalan (baca: pelesiran) ke luar negeri dan bagaimana mempermegah gedung senayan, tempat mereka bertugas, namun mereka harus menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat (back to society).
Di sisi lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai penegak hukum di bidang korupsi tidak perlu takut atau apalagi cuci tangan untuk mengurusi korupsi. Selama ini, lembaga tersebut masih cenderung dianggap tebang pilih. Sebab, pohon yang besar seperti kasus Century tak dapat mereka selesaikan, sementara pohon kecil (kasus-kasus kecil) dapat mereka tuntaskan dengan sigap. Kondisi tersebut melahirkan dugaan miring dari publik, bahwa KPK seperti berada di bawah intimidasi orang atau kelompok tertentu (baca: penguasa).
Di sinilah presiden (eksekutif), DPR (legislatif), dan KPK (bagian dari yudikatif) harus bersinergi dan bersama-sama menyelamatkan negeri ini. Mereka harus hijrah secara totalitas untuk membangun negeri ini dengan ikhlas, tanpa tendensi atau kepentingan apapun. Jika ini tidak terjadi, rakyat akan pesimis terhadap masa depan negeri ini, terutama masa depan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Wallahu a’lam Bis-Shawab
Kita kembali sampai pada tahun baru Islam atau yang dikenal dengan Tahun Baru Hijriyah. Nama ini, seperti sudah mafhum, berdasar pada peristiwa hijrahnya Rasulullah pertama kali ke Madinah. Sehingga, sejak pertama hijrah, hingga saat ini sudah terpaut angka 1432 tahun.
Perjalanan waktu ini tak meraibkan makna hijrah Rasulullah. Dalam artian, hijrah Rasul saat itu juga terelaborasi dalam sikap dan tindakannya saat di Madinah.
Bahkan, nama Kota Madinah pun diambil dari gambaran sebuah kota yang penuh peradaban (baca: tamaddun, beradab) yang dibinanya. Sebelumnya, kota tersebut bernama Yatsrib.
Hijrah Rasul juga menandai lahirnya Fathu Makkah (pembukaan Kota Makkah). Saat itu, di saat ia merasa belum memiliki kekuatan menahan dominasi kaum Quraisy di Makkah, ia berinisiatif untuk hijrah. Dalam proses hijrahnya, ia membangun strategi dan kekuatan untuk menguasai Makkah. Ia pun berhasil menguasai kota tersebut dengan penuh kedamaian.
Dalam koteks hari ini, praktek hijrah semacam ini juga masih ada. Misalnya, seseorang berpetualang dari kampung halamannya ke kota lain atau negara lain, juga dikatakan hijrah. Meski tidak sedang mengemban misi membangun etika dan agama, sebagaimana Rasulullah, mereka juga dikatakan hijrah. Sebab terminologi hijrah, hanyalah perpindahan dari satu daerah ke daerah lain.
Namun, pemaknaan ini sebenarnya jauh lebih luas. Hijrah tidak sekadar dimaknai dengan perpindahan fisik seseorang, tetapi ia juga diterjemahkan dengan perubahan dinamika sosial. Dengan kata lain, ketika seseorang berpikir merubah situasi sosial di lingkungannya, hemat penulis, ia sebenarnya telah berpikir untuk menghijrahkan lingkungannya. Sehingga hijrah tidak secara fisik, tetapi juga mental, bahkan kondisi.
Mengaca pada hijrah Nabi yang mengedepankan etika dan keadaban. Artinya, Nabi saat hijrah dan berada di Madinah tidak berpikir untuk melakukan penguasaan otoritatif atau diskriminatif, tetapi ia mengajarkan prinsip-prinsip di antaranya semacam musyawarah (demokrasi), ukhuwwah (persaudaraan), wahdah (persatuan), dan samaahah (toleransi). Prinsip-prinsip itu sebenarnya merupakan praktek hijrah sosial yang diajarkan Nabi.
Inilah hijrah sosial yang, manfaatnya, terus terasa hingga saat ini. Konon, munculnya gagasan Civil Society yang sangat menghargai kaum sipil (baca: masyarat akar rumput) juga buah elaborasi dari prinsip-prinsip ajaran hijrahnya Nabi saat di Madinah itu.
Ia juga harus menguatkan identitas hijrah itu sendiri agar tak sekadar dimaknai sebagai ritualitas perayaan tahunan semata. Jika umat Islam, khususnya, hanya memandang bahwa hijrah merupakan pergantian tahun hijriyah semata, maka mereka telah terjebak dalam artikulasi pemahaman yang sempit. Rasul mengajarkan hirah jauh lebih dari pemahaman itu.
Hijrahkan Penegak Hukum Kita
Momentum tahun baru Hijriyah ini sangat berarti bagi masyarakat di negeri ini, khususnya penegak hukum jika mereka mau belajar. Sekali lagi jika mereka mau belajar. Mengapa demikian, karena kondisi penegakan hukum kita saat ini sudah sangat layak dihijrahkan jika tidak ingin terus-terusan mencipta 'petaka' dengan logika-logika hukum yang selalu deviatif.
Sebagaimana telah mafhum, skandal-skandal yang terus memojokkan penegak hukum, mulai dari Kepolisian hingga Kejaksaan Agung terus terjadi sejak satu tahun terakhir. Pemojokan itu bukan karena ingin menjatuhkan mereka sebagai penegak hukum, tetapi karena memang tindakan penegak hukum itu sendiri yang justru menodai hukum. Terlepas apakah ada motif dan ada 'orang' di belakang mereka.
Jika kita buka lembaran lagi, bagaimana kriminalisasi terhadap dua Pimpinan KPK yang dilakukan dua lembaga penegakan hukum tersebut, keterlibatan jaksa dan polisi dalam aksi suap Gayus HP Tambunan, hingga keluar-masuknya Gayus dari Rutan Mako Brimob Depok, yang tertangkap kamera di Bali.
Kasus-kasus ini telah menodai penegakan hukum kita dan menjadikannya 'uncredible' di tengah maraknya masalah-masalah hukum. Sejak polisi disebut 'Buaya', tak banyak orang yang percaya polisi, malah justru menyesalkan sikap yang seharusnya mengajarkan contoh hukum yang benar kepada masyarakat.
Tentu saja ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Sebab, jika masyarakat tidak percaya pada kejaksaan dan kepolisian, itu akan menjadi awal sebagai preseden buruk dua lembaga itu. Apapun yang mereka kerjakan nantinya, tidak akan dipercaya masyarakat, bahkan akan diingkarinya.
Kepercayaan publik ini perlu dipulihkan. Cara yang paling efektif adalah menghijrahkan kondisi internal dua lembaga tersebut ke hal-hal yang lebih positif. Baik menghijrahkan paradigma berpikir maupun tindakan mereka dalam menyelesaikan masalah penegakan hukum di negeri ini yang masih cenderung dikalahkan oleh uang.
Hadirnya Timor Pradopo sebagai Kapolri baru tentu saja tidak hanya diinginkan sebagai simbol nomor wahid di lingkungan Polri. Ia diharapkan dapat menjadi pioner dalam menghijrahkan internalnya. Setidaknya ia harus menyadarkan bawahannya agar tidak terjebak pada 'perintah uang'. Sebab selama ini yang mendera dan merusak citra kepolisian adalah uang.
Jika hal demikian dilakukan, ia telah memegang kunci untuk menghijrahkan kepercayaan publik. Kepercayaan publik terhadap lembaga yang dipimpinnya sudah begitu runtuh dan mengalami luka parah. Sehingga ia mesti memikirkan bagaimana menyembuhkan 'luka' itu.
Hijrah Totalitas
Berbagai persoalan yang terus melanda negeri beberapa bulan terakhir menunjukkan bahwa masih banyak yang salah dengan perilaku kita. Mulai dari fenomena korupsi yang tak kunjung usai hingga skandal hukum yang tak terselesaikan. Kondisi ini menuntut semua elemen bangsa, khususnya para pengambil kebijakan untuk hijrah secara totalitas.
Pasca-perayaan hijrah (tahun baru hijriyah) ini, presiden tidak lagi hanya mengandalkan wacana atau politik pencitraan semata dalam mengurus bangsa ini. DPR tidak hanya ribut masalah kebutuhan mereka sendiri, seperti jalan-jalan (baca: pelesiran) ke luar negeri dan bagaimana mempermegah gedung senayan, tempat mereka bertugas, namun mereka harus menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat (back to society).
Di sisi lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai penegak hukum di bidang korupsi tidak perlu takut atau apalagi cuci tangan untuk mengurusi korupsi. Selama ini, lembaga tersebut masih cenderung dianggap tebang pilih. Sebab, pohon yang besar seperti kasus Century tak dapat mereka selesaikan, sementara pohon kecil (kasus-kasus kecil) dapat mereka tuntaskan dengan sigap. Kondisi tersebut melahirkan dugaan miring dari publik, bahwa KPK seperti berada di bawah intimidasi orang atau kelompok tertentu (baca: penguasa).
Di sinilah presiden (eksekutif), DPR (legislatif), dan KPK (bagian dari yudikatif) harus bersinergi dan bersama-sama menyelamatkan negeri ini. Mereka harus hijrah secara totalitas untuk membangun negeri ini dengan ikhlas, tanpa tendensi atau kepentingan apapun. Jika ini tidak terjadi, rakyat akan pesimis terhadap masa depan negeri ini, terutama masa depan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Wallahu a’lam Bis-Shawab
Friday, December 3, 2010
Dalam Sepekan: Kisah Baru, Arti Baru
Oleh Moh Ilyas
Senin (29/11) lalu, aku hanya bisa pasrah beraktivitas di Bandung. Tak ada insiatif melangkah, tak ada sense to be creative, dan tak ada gagasan tentang hal-hal yang layak diekspose siang itu. Mencipta isu baru pun masih kewalahan, karena memang saat itu, Gedung Sate, yang menjadi pusat pemerintahan Jawa Barat, masih betul-betul baru dalam hidupku.
Maklum, saat itu baru pertama kalinya aku menginjakkan kaki di gedung yang di atasnya terdapat ujung seperti tusukan sate, setelah sekitar 1 bulan 20 hari sebelumnya aku menghabiskan waktu reporting di Kabupaten Bandung, Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat. Di gedung itu, melangkah dalam pergaulan pun masih kaku, karena semuanya serba baru. Walau aku bertegur sapa, namun belum cukup menjadi penawar kebingunganku.
Akhirnya, ku pasrahkan saja rencanaku pada aliran waktu saat itu. Hari pertama di Pemprov (begitu, ia sering disebut) aku mendapatkan beberapa pengalaman baru, mulai dari suasana, teman, dan pikiranku. Aku biasanya berpikir, mendapatkan sepotong berita begitu mudahnya, namun saat itu begitu sulit. Tapi setidaknya, aku mengusung informasi tentang langkah Jabar dalam merespon Huffadzul Qur'an di Jawa Barat.
Esoknya, pergaulan semakin hidup dan luas. Peristiwa longsor pun yang menewaskan tiga orang di Cimenyan, Dago Atas telah ku dengar. Ditambah lagi, Pameran Pendidikan Islam oleh Kementerian Agama di Hotel Jayakarta yang harus aku singgahi. Malamnya pun aku liputan Kongres BEM Nusantara di Universitas Islam Bandung, di Ciburial, Cimenyan. Hari kedua ini setidaknya mulai membuka cakrawala baru reporting di lingkungan orang nomor wahid di Jabar.
Hari ketiga, aku belajar memetakan arah dan perspektif liputanku. Meski masih cenderung terlibat di seremonial, seperti Pameran Pendidikan Islam di Jayakarta Hotel dan APPSI Expo di Gasibu, namun aku mulai mengenal ruang lingkup news di Jabar. Begitupun pada hari keempat yang masih mengantarkanku berkutat di dunia acara, seperti Pembukaan Rakernas APPSI dan Pengarahan Wakil Presiden RI terhadap Gubernur se-Indonesia di Grand Hotel Preanger, Bandung. Meski demikian, aku tak larut dalam seremonial. Hari itu, aku juga mulai 'berani' menggagas ide semisal, koperasi yang kolaps hingga pemberdayaan pesantren di Jabar.
Hari kelima pun masih sama. Aksi difable (orang cacat) di Gedung Sate dan '2010 Degradable Grade Seminar' di Hotel Hilton Bandung menjadi fokus liputanku hari itu. Meski hari itu, ada keinginan mengusung ide pembangunan gedung baru DPRD, namun terpaksa diurungkan, karena alasan tertentu.
Kendati demikian, kisah-kisah ini bukan tanpa identitas arti. Justru dari sinilah beberapa persahabatan di tengah lingkungan baru mulai terasa, interaksi yang lebih butuh kepekaan teruji, sebab aku berada di tengah kaum jurnalis yang lebih variatif dengan nuansa-nuansa orientasi yang tidak seirama.
Aku belajar memahami bahwa semua ini tidaklah sekadar kisah baru, tetapi ia merupakan arti baru yang tidak mudah diartikulasikan hanya dalam teks-teks tulisan. Teks-teks yang jauh dari jangkauan ketikan jemari adalah teks naluri, rasa, dan hati. Ia merupakan sesuatu yang suci, jujur, tulus, dan bahkan mutlak. Saat terelaborasi dalam dunia kata, dunia tulis, dan dunia cerita ke alam nyata, sangat mungkin adanya distorsi, penambahan, pengurangan, dan bahkan deviasi.
Tetapi apapun itu, aku ingin memahaminya dalam satu kata 'arti'. Ya, itulah perjalanan lima hari menjelang akhir pekan ini.
Bandung, 3/12/2010
Pukul 23.16 WIB
Senin (29/11) lalu, aku hanya bisa pasrah beraktivitas di Bandung. Tak ada insiatif melangkah, tak ada sense to be creative, dan tak ada gagasan tentang hal-hal yang layak diekspose siang itu. Mencipta isu baru pun masih kewalahan, karena memang saat itu, Gedung Sate, yang menjadi pusat pemerintahan Jawa Barat, masih betul-betul baru dalam hidupku.
Maklum, saat itu baru pertama kalinya aku menginjakkan kaki di gedung yang di atasnya terdapat ujung seperti tusukan sate, setelah sekitar 1 bulan 20 hari sebelumnya aku menghabiskan waktu reporting di Kabupaten Bandung, Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat. Di gedung itu, melangkah dalam pergaulan pun masih kaku, karena semuanya serba baru. Walau aku bertegur sapa, namun belum cukup menjadi penawar kebingunganku.
Akhirnya, ku pasrahkan saja rencanaku pada aliran waktu saat itu. Hari pertama di Pemprov (begitu, ia sering disebut) aku mendapatkan beberapa pengalaman baru, mulai dari suasana, teman, dan pikiranku. Aku biasanya berpikir, mendapatkan sepotong berita begitu mudahnya, namun saat itu begitu sulit. Tapi setidaknya, aku mengusung informasi tentang langkah Jabar dalam merespon Huffadzul Qur'an di Jawa Barat.
Esoknya, pergaulan semakin hidup dan luas. Peristiwa longsor pun yang menewaskan tiga orang di Cimenyan, Dago Atas telah ku dengar. Ditambah lagi, Pameran Pendidikan Islam oleh Kementerian Agama di Hotel Jayakarta yang harus aku singgahi. Malamnya pun aku liputan Kongres BEM Nusantara di Universitas Islam Bandung, di Ciburial, Cimenyan. Hari kedua ini setidaknya mulai membuka cakrawala baru reporting di lingkungan orang nomor wahid di Jabar.
Hari ketiga, aku belajar memetakan arah dan perspektif liputanku. Meski masih cenderung terlibat di seremonial, seperti Pameran Pendidikan Islam di Jayakarta Hotel dan APPSI Expo di Gasibu, namun aku mulai mengenal ruang lingkup news di Jabar. Begitupun pada hari keempat yang masih mengantarkanku berkutat di dunia acara, seperti Pembukaan Rakernas APPSI dan Pengarahan Wakil Presiden RI terhadap Gubernur se-Indonesia di Grand Hotel Preanger, Bandung. Meski demikian, aku tak larut dalam seremonial. Hari itu, aku juga mulai 'berani' menggagas ide semisal, koperasi yang kolaps hingga pemberdayaan pesantren di Jabar.
Hari kelima pun masih sama. Aksi difable (orang cacat) di Gedung Sate dan '2010 Degradable Grade Seminar' di Hotel Hilton Bandung menjadi fokus liputanku hari itu. Meski hari itu, ada keinginan mengusung ide pembangunan gedung baru DPRD, namun terpaksa diurungkan, karena alasan tertentu.
Kendati demikian, kisah-kisah ini bukan tanpa identitas arti. Justru dari sinilah beberapa persahabatan di tengah lingkungan baru mulai terasa, interaksi yang lebih butuh kepekaan teruji, sebab aku berada di tengah kaum jurnalis yang lebih variatif dengan nuansa-nuansa orientasi yang tidak seirama.
Aku belajar memahami bahwa semua ini tidaklah sekadar kisah baru, tetapi ia merupakan arti baru yang tidak mudah diartikulasikan hanya dalam teks-teks tulisan. Teks-teks yang jauh dari jangkauan ketikan jemari adalah teks naluri, rasa, dan hati. Ia merupakan sesuatu yang suci, jujur, tulus, dan bahkan mutlak. Saat terelaborasi dalam dunia kata, dunia tulis, dan dunia cerita ke alam nyata, sangat mungkin adanya distorsi, penambahan, pengurangan, dan bahkan deviasi.
Tetapi apapun itu, aku ingin memahaminya dalam satu kata 'arti'. Ya, itulah perjalanan lima hari menjelang akhir pekan ini.
Bandung, 3/12/2010
Pukul 23.16 WIB
Tuesday, November 30, 2010
Pergaulan Bebas dan Hilangnya Generasi Qurani
Oleh Moh Ilyas
Judul ini memadukan dua tema antara pergaulan bebas hari ini dan hilangnya generasi Qurani. Sepintas, perpaduan dua tema ini agak terasa janggal, karena antara keduanya, pada saat tertentu memang tak semestinya dipadukan.
Namun, penulis memiliki alasan sederhana, kenapa dua tema ini dipadukan, karena keduanya sama-sama bermuara pada moral. Pergaulan bebas yang mulai merambah ke bumi Indonesia sejak sekitar satu dekade terakhir, tak dapat dinafikan karena runtuhnya nilai-nilai moral. Remaja, khususnya, yang terjerembab ke wilayah ini sudah tak peduli arti moralitas di balik tindakan mereka.
Begitupun hilangnya generasi Qurani (baca: generasi yang masih kukuh dengan teks-teks Alquran dan nilai-nilai di dalamnya). Generasi Qurani, saat ini sangatlah minim. Bahkan, di kalangan masyarakat yang mengaku 90 persen berpenduduk muslim pun, kaum tua dan kalangan remajanya blepotan untuk membaca Alquran. "Bagaimana mengerti, kalau tahu saja tidak bisa," begitu kata bijak yang sudah lazim diungkapkan.
Dalam hal pergaulan bebas, layak kiranya menyebutkan temuan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) beberapa hari kemarin. Lembaga tersebut setelah melakukan penelitian terhadap remaja di empat kota besar menemukan hasil yang betul-betul mengejutkan. Bagaimana tidak, hampir separuh dari seluruh remaja di kota tersebut pernah melakukan hubungan seks di luar nikah.
Di Jabodetabek misalnya, BKKBN menemukan 50 persen remaja melakukan hubungan seks pra-nikah. Di Surabaya sebanyak 54 persen, di Medan 52 persen, dan di Bandung sebanyak 47 persen. Badan tersebut menilai, faktor tindakan ini disebabkan karena dekadensi moral yang begitu memengaruhi.
Hal ini sejalan dengan hilangnya generasi Qurani. Meskipun secara nasional belum diketahui angka statistiknya, namun di Jawa Barat menunjukkan angka yang sangat menyedihkan.
Menurut Guru Besar UIN Gunung Jati Bandung, Prof Dr Asep Saiful Muhtadi, hasil statistik di Jawa Barat menunjukkan, anak di usia Sekolah Dasar (SD) saja hanya sekitar 10 persen yang belajar Alquran. Padahal, usia yang paling bisa diharapkan untuk menimba ilmu agama, adalah di usia SD. Sebab, saat anak masuk usia SMP, apalagi SMA, kesempatan belajar agama pun, termasuk belajar membaca Alquran semakin kecil.
Meskipun penelitian ini hasil di Jawa Barat, namun kemungkinan besar juga terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Demikian ketika mengingat jumlah umat Islam di Jawa Barat yang mencapai hingga 90 persen. Logikanya, ketika wilayah yang berpenduduk hingga sebanyak itu saja seperti itu, apalagi yang di bawahnya.
Dikatakannya, kondisi tersebut juga diketahui dari banyaknya Jamaah Haji asal Jawa Barat yang hanya bisa membaca doa kalau menggunakan huruf latin. Jika untuk belajar membaca saja di usia SD hanya sekitar 10 persen, apalagi yang mau menghafalkan.
Perpaduan
Judul ini disatukan karena ada keterkaitan antara pergaulan bebas dan hilangnya semangat Qurani. Remaja ataupun pemuda, sangat mungkin melupakan kitab sucinya jika ia masuk dalam gerombolan pergaulan bebas.
Bagi mereka, tahu membaca Alquran mungkin masih terjadi. Tetapi memetik nilai-nilai dan mutiara agung dari Alquran sangatlah sulit terjadi. Sebab pergaulan bebas sarat dengan meninggalkannya. Artinya, jika seseorang masih menerapkan nilai-nilai Qurani dalam hidupnya, mustahil ia akan terperangkap dalam pergaulan bebas.
Barangkali bisa ditengok lebih jauh bagaimana peran remaja yang masuk pergaulan bebas dalam meruntuhkan nilai-nilai kitab suci mereka. Mereka tak sekadar menanggalkan baju Qurani, tetapi juga 'menodai'-nya. Dengan begitu, meskipun masih ada yang membaca Alquran - apalagi tidak ada - jika mereka tak menyentuh nilai-nilainya dalam pengamalan, maka sejatinya mereka sudah terhapus sebagai generasi Qurani.
Unisba Ciburial, Cimenyan, Bandung, 30/11/2010
Pukul 21.12 WIB
Judul ini memadukan dua tema antara pergaulan bebas hari ini dan hilangnya generasi Qurani. Sepintas, perpaduan dua tema ini agak terasa janggal, karena antara keduanya, pada saat tertentu memang tak semestinya dipadukan.
Namun, penulis memiliki alasan sederhana, kenapa dua tema ini dipadukan, karena keduanya sama-sama bermuara pada moral. Pergaulan bebas yang mulai merambah ke bumi Indonesia sejak sekitar satu dekade terakhir, tak dapat dinafikan karena runtuhnya nilai-nilai moral. Remaja, khususnya, yang terjerembab ke wilayah ini sudah tak peduli arti moralitas di balik tindakan mereka.
Begitupun hilangnya generasi Qurani (baca: generasi yang masih kukuh dengan teks-teks Alquran dan nilai-nilai di dalamnya). Generasi Qurani, saat ini sangatlah minim. Bahkan, di kalangan masyarakat yang mengaku 90 persen berpenduduk muslim pun, kaum tua dan kalangan remajanya blepotan untuk membaca Alquran. "Bagaimana mengerti, kalau tahu saja tidak bisa," begitu kata bijak yang sudah lazim diungkapkan.
Dalam hal pergaulan bebas, layak kiranya menyebutkan temuan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) beberapa hari kemarin. Lembaga tersebut setelah melakukan penelitian terhadap remaja di empat kota besar menemukan hasil yang betul-betul mengejutkan. Bagaimana tidak, hampir separuh dari seluruh remaja di kota tersebut pernah melakukan hubungan seks di luar nikah.
Di Jabodetabek misalnya, BKKBN menemukan 50 persen remaja melakukan hubungan seks pra-nikah. Di Surabaya sebanyak 54 persen, di Medan 52 persen, dan di Bandung sebanyak 47 persen. Badan tersebut menilai, faktor tindakan ini disebabkan karena dekadensi moral yang begitu memengaruhi.
Hal ini sejalan dengan hilangnya generasi Qurani. Meskipun secara nasional belum diketahui angka statistiknya, namun di Jawa Barat menunjukkan angka yang sangat menyedihkan.
Menurut Guru Besar UIN Gunung Jati Bandung, Prof Dr Asep Saiful Muhtadi, hasil statistik di Jawa Barat menunjukkan, anak di usia Sekolah Dasar (SD) saja hanya sekitar 10 persen yang belajar Alquran. Padahal, usia yang paling bisa diharapkan untuk menimba ilmu agama, adalah di usia SD. Sebab, saat anak masuk usia SMP, apalagi SMA, kesempatan belajar agama pun, termasuk belajar membaca Alquran semakin kecil.
Meskipun penelitian ini hasil di Jawa Barat, namun kemungkinan besar juga terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Demikian ketika mengingat jumlah umat Islam di Jawa Barat yang mencapai hingga 90 persen. Logikanya, ketika wilayah yang berpenduduk hingga sebanyak itu saja seperti itu, apalagi yang di bawahnya.
Dikatakannya, kondisi tersebut juga diketahui dari banyaknya Jamaah Haji asal Jawa Barat yang hanya bisa membaca doa kalau menggunakan huruf latin. Jika untuk belajar membaca saja di usia SD hanya sekitar 10 persen, apalagi yang mau menghafalkan.
Perpaduan
Judul ini disatukan karena ada keterkaitan antara pergaulan bebas dan hilangnya semangat Qurani. Remaja ataupun pemuda, sangat mungkin melupakan kitab sucinya jika ia masuk dalam gerombolan pergaulan bebas.
Bagi mereka, tahu membaca Alquran mungkin masih terjadi. Tetapi memetik nilai-nilai dan mutiara agung dari Alquran sangatlah sulit terjadi. Sebab pergaulan bebas sarat dengan meninggalkannya. Artinya, jika seseorang masih menerapkan nilai-nilai Qurani dalam hidupnya, mustahil ia akan terperangkap dalam pergaulan bebas.
Barangkali bisa ditengok lebih jauh bagaimana peran remaja yang masuk pergaulan bebas dalam meruntuhkan nilai-nilai kitab suci mereka. Mereka tak sekadar menanggalkan baju Qurani, tetapi juga 'menodai'-nya. Dengan begitu, meskipun masih ada yang membaca Alquran - apalagi tidak ada - jika mereka tak menyentuh nilai-nilainya dalam pengamalan, maka sejatinya mereka sudah terhapus sebagai generasi Qurani.
Unisba Ciburial, Cimenyan, Bandung, 30/11/2010
Pukul 21.12 WIB
Monday, November 29, 2010
Jalan Tebing di Ujung Berita
Oleh Moh Ilyas
Awalnya, aku pikir lokasinya tak jauh sebelah Barat Daya Kota Cimahi. Karyawangai, Ciwaruga, itulah yang selalu kutanyakan kepada orang-orang sejak di sebuah masjid di Padalarang, Bandung Barat.
Ku ikuti semua saran orang-orang. Sejak di Padalarang, jarang sekali ada yang mengerti Desa Karyawangi. Tapi ketika aku bertanya Ciwaruga, banyak orang yang bisa menjawabnya. "Ooo masih jauh," kata salah seorang di pinggir jalan yang tak jauh dari Kantor Pemkot Cimahi.
Namun, rasa khawatir semakin menjadi-jadi dalam dadaku. Mengapa tidak, meski perjalanan sudah ke atas Kantor Pemkot Cimahi dan dekat Ciwaruga, nyaris tak ada satupun yang mengerti tentang nama Desa Karyawangi.
Sesampainya di dekat jalan menurun di Desa Sariwangi, Ciwaruga, dua orang pengatur jalan tiba-tiba memberitahuku. "O ya, The Peak itu ada, tapi jauh mas. Sekitar 5 kilometer lagi ke atas," jelasnya.
Spontan, hatiku berbunga-bunga mendengarnya. Meski jalan bertebing dan membahayakan (licin dan rusak parah), aku teruskan saja mengegas motorku. Sekitar dua kilometer dari dua orang tadi, aku kembali bertanya. "Ooo jauh mas, lima kilometer terus ke atas," terangnya. "Kok masih sama dengan petunjuk orang tadi," tanyaku dalam hati.
Aku terus saja meyakinkan diriku kalau aku bisa sampai ke tempat yang ku kejar itu. Jalan gelap, rusak, dan sepi, membuat hatiku senang campur takut dan harap-harap cemas. Aku seorang diri yang melangkah di gelap malam, tanpa mengerti arah haluanku. Maklum, aku pertama kali melintasi jalan berliku itu.
Sekitar 10 menit kemudian, aku kembali bertanya. "Paling, dua kilo lagi," kata orang yang kutanya. Sementara jalan makin tidak bersahabat. Genangan air dan jalan rusak serta berlubang menemaniku hampir di sepanjang jalan. Jalan itu pun di tempat yang gelap dan sepi. Sementara di pinggir jalan merupakan tebing-tebing tinggi yang mengerikan.
"Kapan sampainya ini. Apa benar The Peak itu ada," tanyaku kian ragu. Sebab, sudah sekitar lima kilometer, sejak orang di pinggir jalan tadi memberitahu jarak dua kilometer. Aku terus saja berjalan pasrah sembari berdoa, semoga tidak terjadi hal-hal negatif padaku.
Sementara sudah lebih dari 10 orang yang kutanya sejak di Padalarang. Namun, yang ku cari itu pun belum juga ku dapat. "Inilah susahnya mencari berita," emosiku mulai memanas. "Sungguh, jarak tempuh ini sudah begitu makan hati."
Beberapa menit kemudian, setelah tatapan mata secara tak sengaja melihat bacaan Strobery, hatiku pun mulai lega. Sebab sebelumnya salah seorang memberitahuku jika sudah ada strobery, pertigaan setelahnya belok kiri. Ternyata benar, di pertigaan sudah ada penunjuk arah bertuliskan The Peak.
Areal The Peak sangatlah luas. Bahkan, meskipun aku sudah melewati pintu gerbangnya, aku masih belum terlalu yakin benarnya tempat itu. Sebab di dalam areal masih terlihat seperti jalan umum, gelap, namun aspal jalannya jauh lebih baik. Keraguan ini pudar setelah seorang setengah baya memberitahuku tempat seremonial The Peak. Ku menanjaki sekitar 500 meter, baru terlihat bacaan www.thepeakresortdining.com. Di situlah The Peak itu berada dengan lelampuan yang agak buram serta suasana hawa begitu dingin hingga membuat tubuhku menggigil.
Sekitar dua jam, acara diskusi dengan pihak Jamsostek, selaku pengundang berlangsung. Setelah dinner, sembari menyantap soto dan beberapa potong snack, diskusi menghangat. Namun, beberapa saat kemudian, perdebatan dalam diskusi kembali mendingin, nyaris seperti dinginnya suasana malam itu.
The Peak Resort Dining, 26/11/2010
Pukul 22.30 WIB
Awalnya, aku pikir lokasinya tak jauh sebelah Barat Daya Kota Cimahi. Karyawangai, Ciwaruga, itulah yang selalu kutanyakan kepada orang-orang sejak di sebuah masjid di Padalarang, Bandung Barat.
Ku ikuti semua saran orang-orang. Sejak di Padalarang, jarang sekali ada yang mengerti Desa Karyawangi. Tapi ketika aku bertanya Ciwaruga, banyak orang yang bisa menjawabnya. "Ooo masih jauh," kata salah seorang di pinggir jalan yang tak jauh dari Kantor Pemkot Cimahi.
Namun, rasa khawatir semakin menjadi-jadi dalam dadaku. Mengapa tidak, meski perjalanan sudah ke atas Kantor Pemkot Cimahi dan dekat Ciwaruga, nyaris tak ada satupun yang mengerti tentang nama Desa Karyawangi.
Sesampainya di dekat jalan menurun di Desa Sariwangi, Ciwaruga, dua orang pengatur jalan tiba-tiba memberitahuku. "O ya, The Peak itu ada, tapi jauh mas. Sekitar 5 kilometer lagi ke atas," jelasnya.
Spontan, hatiku berbunga-bunga mendengarnya. Meski jalan bertebing dan membahayakan (licin dan rusak parah), aku teruskan saja mengegas motorku. Sekitar dua kilometer dari dua orang tadi, aku kembali bertanya. "Ooo jauh mas, lima kilometer terus ke atas," terangnya. "Kok masih sama dengan petunjuk orang tadi," tanyaku dalam hati.
Aku terus saja meyakinkan diriku kalau aku bisa sampai ke tempat yang ku kejar itu. Jalan gelap, rusak, dan sepi, membuat hatiku senang campur takut dan harap-harap cemas. Aku seorang diri yang melangkah di gelap malam, tanpa mengerti arah haluanku. Maklum, aku pertama kali melintasi jalan berliku itu.
Sekitar 10 menit kemudian, aku kembali bertanya. "Paling, dua kilo lagi," kata orang yang kutanya. Sementara jalan makin tidak bersahabat. Genangan air dan jalan rusak serta berlubang menemaniku hampir di sepanjang jalan. Jalan itu pun di tempat yang gelap dan sepi. Sementara di pinggir jalan merupakan tebing-tebing tinggi yang mengerikan.
"Kapan sampainya ini. Apa benar The Peak itu ada," tanyaku kian ragu. Sebab, sudah sekitar lima kilometer, sejak orang di pinggir jalan tadi memberitahu jarak dua kilometer. Aku terus saja berjalan pasrah sembari berdoa, semoga tidak terjadi hal-hal negatif padaku.
Sementara sudah lebih dari 10 orang yang kutanya sejak di Padalarang. Namun, yang ku cari itu pun belum juga ku dapat. "Inilah susahnya mencari berita," emosiku mulai memanas. "Sungguh, jarak tempuh ini sudah begitu makan hati."
Beberapa menit kemudian, setelah tatapan mata secara tak sengaja melihat bacaan Strobery, hatiku pun mulai lega. Sebab sebelumnya salah seorang memberitahuku jika sudah ada strobery, pertigaan setelahnya belok kiri. Ternyata benar, di pertigaan sudah ada penunjuk arah bertuliskan The Peak.
Areal The Peak sangatlah luas. Bahkan, meskipun aku sudah melewati pintu gerbangnya, aku masih belum terlalu yakin benarnya tempat itu. Sebab di dalam areal masih terlihat seperti jalan umum, gelap, namun aspal jalannya jauh lebih baik. Keraguan ini pudar setelah seorang setengah baya memberitahuku tempat seremonial The Peak. Ku menanjaki sekitar 500 meter, baru terlihat bacaan www.thepeakresortdining.com. Di situlah The Peak itu berada dengan lelampuan yang agak buram serta suasana hawa begitu dingin hingga membuat tubuhku menggigil.
Sekitar dua jam, acara diskusi dengan pihak Jamsostek, selaku pengundang berlangsung. Setelah dinner, sembari menyantap soto dan beberapa potong snack, diskusi menghangat. Namun, beberapa saat kemudian, perdebatan dalam diskusi kembali mendingin, nyaris seperti dinginnya suasana malam itu.
The Peak Resort Dining, 26/11/2010
Pukul 22.30 WIB
Kongres HMI dan Kemenangan Politik Uang
Oleh Moh Ilyas
Pagelaran akbar, yakni Kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ke 27 telah resmi ditutup pada Ahad (14/11) lalu. Namun, konstalasi politik HMI dua tahunan itu masih menyisakan duka mendalam dalam benak publik, terutama kader-kadernya. Mengapa demikian?
Duka tersebut, bukanlah duka HMI yang selama ini kerap dikenal dekat dengan kekuasaan, atau bukanlah duka HMI, yang dalam mengungkapkan aspirasinya masih cenderung menggunakan pendekatan otot. Duka organisasi mahasiswa kelahiran 5 Februari 1947 ini, karena aspek intelektual lambat laun telah dikelupas secara sengaja oleh kader-kader dan alumninya sendiri.
Pengelupasan aspek intelektual ini sangat kentara terlihat dalam arena Kongres di Graha Insan Cita Depok, tiga pekan lalu itu. Saat itu, sedari awal, nyaris tak ada satupun kandidat yang memproklamirkan gagasannya baik dalam kerangka keislaman, kebangsaan, maupun ke-HMI-an. Kalaupun ada, adalah wacana yang lebih dekat dikatakan sebagai ajang kampanye di beberapa media.
Bahkan dari 12 kandidat yang merebut kursi Ketua Umum PB HMI, penulis hanya menjumpai satu kandidat saja yang - serius - menawarkan ide-ide segar melalui karya, berupa buku. Walaupun, bukan satu-satunya tolak ukur, tapi dari karya dan gagasan itulah, tradisi intelektual di HMI masih bisa terlihat. Namun jika kenyataannya demikian, sungguh, HMI telah berada di ambang akhir intelektual.
Ini jauh berbeda dibandingkan kongres-kongres HMI sebelumnya yang selalu bertaburan gagasan dan karya. "Biasanya kalau kongres, kandidat beradu visi-misi dan gagasan di buku, sekarang kok cuma ada satu buku ya," tanya salah seorang pengembira kongres, sembari memegang buku 'Manifesto Politik HMI', karya Ahmad Nasir Siregar, salah seorang kandidat.
Pertanyaan kader yang masih level pengembira itu barangkali tidak berpengaruh pada suara kandidat. Sebab, ia memang tidak memiliki hak suara. Namun, pertanyaannya yang begitu tulus betul-betul menandakan menurunnya tradisi intelektual di tubuh organisasi ini.
Ruang intelektual dan khazanah pemikiran biasanya selalu mewarnai konstalasi Kongres HMI. Bahkan, jika diingat sejarah panjangnya, organisasi ini melahirkan “mini ideologinya” (NDP) saat Kongres di Malang 1966. Begitupun dalam konstalasi politiknya, aspek intelektual selalu dikedepankan.
Masih ingat mundurnya Ekky Syahruddin (alm) dari pencalonannya sebagai Ketua Umum PB HMI pada tahun 1969? Alasan yang dikemukakannya pada saat itu, karena dia menghormati intelektual Cak Nur. Saat itu, Cak Nur juga menjadi salah satu kandidat. Sehingga Guru Bangsa ini terpilih kembali memimpin HMI untuk yang kedua kalinya.
Sikap Ekky ini bila kita coba pahami lebih jauh muncul karena ia memiliki kesadaran individu, bahwa untuk memimpin HMI diperlukan sosok intelektual yang memiliki kapasitas kuat dan kepribadian yang unggul. Barangkali saat itu, Ekky berpikir bahwa Cak Nur secara kapasitas melebihi dirinya, sehingga ia dengan berani mengundurkan diri dari pencalonan. Padahal, jika ia terus maju, juga memiliki peluang untuk terpilih, tapi ia tak melakukannya.
Namun, apakah ada saat ini Ekky-Ekky yang lain? Kalau menilik pada penilaian beberapa kader HMI sendiri, mereka cenderung pesimis dengan mengatakan, banyak kandidat yang memaksakan maju merebut kursi Ketua Umum PB HMI, meskipun kapasitas mereka jauh di bawah standar. Di sini para kandidat ‘picisan’ itu menunjukkan bahwa ambiusitas jauh mengalahkan kesadaran akan kapasitas dirinya.
Politik Uang
Detik-detik menjelang pemilihan Ketua Umum, beredar short message service (SMS) ke beberapa pimpinan cabang bahwa jika memilih Si A akan mengantongi Rp 30 juta. Ada pula SMS yang menawarkan Rp 90 juta untuk satu cabang.
Pesan pendek yang beredar ke pimpinan cabang itu diyakini kebenarannya. Sebab tidak kurang dari empat jam, beberapa cabang yang awalnya mendukung kandidat lain tiba-tiba merangsek masuk ke Si A. Wal-hasil Si A betul-betul memperoleh suara yang mengagetkan. Sehingga puncaknya, ia pun dinobatkan sebagai pemenang.
Alih-alih, muncul beberapa kekecewaan di sebagian kader. "Berarti kongres ini kemenangan yang ber-uang", "Ini juga kemenangan elit dong", dan ada pula yang kecewa dengan mengatakan, "Kongres kali ini menjadi awal tragedi, bahwa untuk memimpin HMI bukanlah kapasitas yang diperlukan, tapi cukup uang dan dukungan elit".
Legitimasi Kongres ke 27 itupun menjadi legitimasi pengukuhan bahwa uang sebagai pemenangnya. Masalah intelektual yang bertebaran di media massa atau di beberapa buku tak menjadi prasyarat memimpin organisasi yang pernah melahirkan tokoh sekaliber Cak Nur ini. HMI telah menjadi semacam partai politik yang mengajarkan diaspora money politic dalam merengkuh kekuasaan di dalamnya. Ia pun kian jauh dari harapan sebagai Laboratorium Intelektual.
Jika proses demokratisasinya adalah uang, maka pemimpinnya pun juga uang. Hal ini seperti diungkapkan Ilmuwan Politik dan Teori Komunikasi Amerika, Harold D Laswell, "Aku memilih anda bukan karena anda hebat dan layak jadi pemimpin, tetapi karena anda membeli suaraku."
Laswell seperti hendak menegaskan bahwa kapasitas seorang pemimpin bisa hilang hanya gara-gara uang. Sebab, kontestan yang memilihnya tidak lagi memilih karena logika kepantasan, tetapi lebih pada logika uang. Dengan begitu, logika uang ini menerobos pintu-pintu idealisme dan karakter kepemimpinan.
Kalau semua yang berbicara berujung pada uang, maka ujung jawabannya pun, tak bisa dipungkiri, pastilah uang. Maka, jika ini benar, bagaimanakah nasib HMI di masa yang akan datang. Masihkah HMI menjadi tempat menempa dan berkader, sementara kapasitas intelektual sudah tak laku lagi di dalamnya? Atau, jangan-jangan HMI ada, namun seperti tiada (wujuuduhu ka adamihi)? Wallahu a'lam.
Taman Pramuka, Bandung, 29 Nopember 2010
Pukul 23.27 WIB
Pagelaran akbar, yakni Kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ke 27 telah resmi ditutup pada Ahad (14/11) lalu. Namun, konstalasi politik HMI dua tahunan itu masih menyisakan duka mendalam dalam benak publik, terutama kader-kadernya. Mengapa demikian?
Duka tersebut, bukanlah duka HMI yang selama ini kerap dikenal dekat dengan kekuasaan, atau bukanlah duka HMI, yang dalam mengungkapkan aspirasinya masih cenderung menggunakan pendekatan otot. Duka organisasi mahasiswa kelahiran 5 Februari 1947 ini, karena aspek intelektual lambat laun telah dikelupas secara sengaja oleh kader-kader dan alumninya sendiri.
Pengelupasan aspek intelektual ini sangat kentara terlihat dalam arena Kongres di Graha Insan Cita Depok, tiga pekan lalu itu. Saat itu, sedari awal, nyaris tak ada satupun kandidat yang memproklamirkan gagasannya baik dalam kerangka keislaman, kebangsaan, maupun ke-HMI-an. Kalaupun ada, adalah wacana yang lebih dekat dikatakan sebagai ajang kampanye di beberapa media.
Bahkan dari 12 kandidat yang merebut kursi Ketua Umum PB HMI, penulis hanya menjumpai satu kandidat saja yang - serius - menawarkan ide-ide segar melalui karya, berupa buku. Walaupun, bukan satu-satunya tolak ukur, tapi dari karya dan gagasan itulah, tradisi intelektual di HMI masih bisa terlihat. Namun jika kenyataannya demikian, sungguh, HMI telah berada di ambang akhir intelektual.
Ini jauh berbeda dibandingkan kongres-kongres HMI sebelumnya yang selalu bertaburan gagasan dan karya. "Biasanya kalau kongres, kandidat beradu visi-misi dan gagasan di buku, sekarang kok cuma ada satu buku ya," tanya salah seorang pengembira kongres, sembari memegang buku 'Manifesto Politik HMI', karya Ahmad Nasir Siregar, salah seorang kandidat.
Pertanyaan kader yang masih level pengembira itu barangkali tidak berpengaruh pada suara kandidat. Sebab, ia memang tidak memiliki hak suara. Namun, pertanyaannya yang begitu tulus betul-betul menandakan menurunnya tradisi intelektual di tubuh organisasi ini.
Ruang intelektual dan khazanah pemikiran biasanya selalu mewarnai konstalasi Kongres HMI. Bahkan, jika diingat sejarah panjangnya, organisasi ini melahirkan “mini ideologinya” (NDP) saat Kongres di Malang 1966. Begitupun dalam konstalasi politiknya, aspek intelektual selalu dikedepankan.
Masih ingat mundurnya Ekky Syahruddin (alm) dari pencalonannya sebagai Ketua Umum PB HMI pada tahun 1969? Alasan yang dikemukakannya pada saat itu, karena dia menghormati intelektual Cak Nur. Saat itu, Cak Nur juga menjadi salah satu kandidat. Sehingga Guru Bangsa ini terpilih kembali memimpin HMI untuk yang kedua kalinya.
Sikap Ekky ini bila kita coba pahami lebih jauh muncul karena ia memiliki kesadaran individu, bahwa untuk memimpin HMI diperlukan sosok intelektual yang memiliki kapasitas kuat dan kepribadian yang unggul. Barangkali saat itu, Ekky berpikir bahwa Cak Nur secara kapasitas melebihi dirinya, sehingga ia dengan berani mengundurkan diri dari pencalonan. Padahal, jika ia terus maju, juga memiliki peluang untuk terpilih, tapi ia tak melakukannya.
Namun, apakah ada saat ini Ekky-Ekky yang lain? Kalau menilik pada penilaian beberapa kader HMI sendiri, mereka cenderung pesimis dengan mengatakan, banyak kandidat yang memaksakan maju merebut kursi Ketua Umum PB HMI, meskipun kapasitas mereka jauh di bawah standar. Di sini para kandidat ‘picisan’ itu menunjukkan bahwa ambiusitas jauh mengalahkan kesadaran akan kapasitas dirinya.
Politik Uang
Detik-detik menjelang pemilihan Ketua Umum, beredar short message service (SMS) ke beberapa pimpinan cabang bahwa jika memilih Si A akan mengantongi Rp 30 juta. Ada pula SMS yang menawarkan Rp 90 juta untuk satu cabang.
Pesan pendek yang beredar ke pimpinan cabang itu diyakini kebenarannya. Sebab tidak kurang dari empat jam, beberapa cabang yang awalnya mendukung kandidat lain tiba-tiba merangsek masuk ke Si A. Wal-hasil Si A betul-betul memperoleh suara yang mengagetkan. Sehingga puncaknya, ia pun dinobatkan sebagai pemenang.
Alih-alih, muncul beberapa kekecewaan di sebagian kader. "Berarti kongres ini kemenangan yang ber-uang", "Ini juga kemenangan elit dong", dan ada pula yang kecewa dengan mengatakan, "Kongres kali ini menjadi awal tragedi, bahwa untuk memimpin HMI bukanlah kapasitas yang diperlukan, tapi cukup uang dan dukungan elit".
Legitimasi Kongres ke 27 itupun menjadi legitimasi pengukuhan bahwa uang sebagai pemenangnya. Masalah intelektual yang bertebaran di media massa atau di beberapa buku tak menjadi prasyarat memimpin organisasi yang pernah melahirkan tokoh sekaliber Cak Nur ini. HMI telah menjadi semacam partai politik yang mengajarkan diaspora money politic dalam merengkuh kekuasaan di dalamnya. Ia pun kian jauh dari harapan sebagai Laboratorium Intelektual.
Jika proses demokratisasinya adalah uang, maka pemimpinnya pun juga uang. Hal ini seperti diungkapkan Ilmuwan Politik dan Teori Komunikasi Amerika, Harold D Laswell, "Aku memilih anda bukan karena anda hebat dan layak jadi pemimpin, tetapi karena anda membeli suaraku."
Laswell seperti hendak menegaskan bahwa kapasitas seorang pemimpin bisa hilang hanya gara-gara uang. Sebab, kontestan yang memilihnya tidak lagi memilih karena logika kepantasan, tetapi lebih pada logika uang. Dengan begitu, logika uang ini menerobos pintu-pintu idealisme dan karakter kepemimpinan.
Kalau semua yang berbicara berujung pada uang, maka ujung jawabannya pun, tak bisa dipungkiri, pastilah uang. Maka, jika ini benar, bagaimanakah nasib HMI di masa yang akan datang. Masihkah HMI menjadi tempat menempa dan berkader, sementara kapasitas intelektual sudah tak laku lagi di dalamnya? Atau, jangan-jangan HMI ada, namun seperti tiada (wujuuduhu ka adamihi)? Wallahu a'lam.
Taman Pramuka, Bandung, 29 Nopember 2010
Pukul 23.27 WIB
Thursday, November 25, 2010
Inkonsistensi yang Mengelabui
Oleh Moh Ilyas
Pertemuan, diskusi, dan perdebatanku dengan Kang Jalal (sapaan akrab Jalaluddin Rahmat) kemarin malam membuatku berpikir lagi tentang sikap dan kemauanku. Aku makin ingin memelajari sikap inkonsisten yang kerap mengelabui hidupku. Bagaimana tidak, aku yang sudah sejak lama bermimpi berkelana secara intelektual berhadap-hadapan dengan seorang yang sudah jauh melangkah dalam perkelanaan pemikiran dan intelektual seperti Kang Jalal.
Sesampainya di rumahnya, Jln Kampus II, yang tak jauh dari Kiara Condong, Bandung, perasaanku dihantui rasa takut. Takut akan perbedaan pemikiran antara aku dan dia. Aku, kata orang-orang, dekat ke Muhammadiyah dan NU, sementara dia dekat dengan Syiah, sebuah aliran yang 'fanatik' dalam memuliakan Ahlul Bait (keluarga Rasulullah, seperti Ali RA dan Fatimah Az-Zahra).
Ku tatap setiap sudut rumahnya, ku tatap kalimat-kalimat al-Qur'an yang terpampang dalam bantuk lukisan di dinding. Di sampingnya, sebuah lukisan Asmaul Husna dengan warna keemas-emasan. Di sisi lainnya, tumpukan buku dan kitab teratur di sebuah rak buku. Sebuah pemandangan yang justru memancing ketertarikan hasrat intelektualku. "Dia betul-betul serius berkarir di dunia pemikiran," gumamku. "Untuk pintar, harus punya buku sebanyak ini," kembali hatiku ‘digugat’ dengan tanya-tanya seputar intelektualisme.
Namun, pikiranku kian berkecamuk dengan perihal pendirian. Aku seolah didakwa oleh hatiku sendiri. "Kenapa kau tak serius menekuni bidang ini", "Kenapa kau seringkali gonta-ganti arah hidupmu", "Bukankah kau pernah berpikir untuk menjadi salah satu pemikir muslim?" Berpuluh-puluh pertanyaan menggoda pikiranku, saat ku sedang asyik menunggu kehadiran Kang Jalal.
Aku bertanya-tanya, apakah kondisi ini disebabkan karena aku memang tak berpendirian atau karena hidupku terlanjur ku pasrahkan pada alam?
Aku tak tahu secara pasti bagaimana menjawabnya. Namun, menurutku, sikap inkonsistensi, terutama dalam menancapkan orientasi sangat perlu dihindari. Dengan kata lain, sudah saatnya aku menghibahkan segenap pikiranku secara fokus pada hal-hal terhormat untuk ku jalani. Apakah itu karir intelektual, karir politik, atau menjadi usahawan yang sukses? Semuanya sama-sama baik, jika dijalani secara lurus.
Setidaknya, aku harus pasti menemukan apa yang sungguh berarti dalam hidupku. Sok intelektual wae... Tak perlu aku ingat-ingat perkataan Kang Jalal, "Aku tidak berjalan di politik, sehingga jaringanku tak sekuat dia," ujarnya saat aku bercerita tentang KH Muchtar Adam, salah seorang sahabatnya, yang kini sedang menggerakkan perpaduan sains dan Al-Qur'an di PP Babussalam, Dago Atas, Cimenyan, Bandung.
Sepertinya aku masih sedang dikelabui sikap inkonsistensi. Aku harus merubah semua ini? Aku tidak boleh diam dan pasrah menerimanya sebagai sebuah 'kutukan' takdir yang mengaturku, "Akulah yang mesti mengatur takdir dan jalan hidupku. Tuhan, ku mohon, restu-Mu menyertaiku."
Martadinata, 126, Bandung, 25/11/2010
Pukul 21.26 WIB
Pertemuan, diskusi, dan perdebatanku dengan Kang Jalal (sapaan akrab Jalaluddin Rahmat) kemarin malam membuatku berpikir lagi tentang sikap dan kemauanku. Aku makin ingin memelajari sikap inkonsisten yang kerap mengelabui hidupku. Bagaimana tidak, aku yang sudah sejak lama bermimpi berkelana secara intelektual berhadap-hadapan dengan seorang yang sudah jauh melangkah dalam perkelanaan pemikiran dan intelektual seperti Kang Jalal.
Sesampainya di rumahnya, Jln Kampus II, yang tak jauh dari Kiara Condong, Bandung, perasaanku dihantui rasa takut. Takut akan perbedaan pemikiran antara aku dan dia. Aku, kata orang-orang, dekat ke Muhammadiyah dan NU, sementara dia dekat dengan Syiah, sebuah aliran yang 'fanatik' dalam memuliakan Ahlul Bait (keluarga Rasulullah, seperti Ali RA dan Fatimah Az-Zahra).
Ku tatap setiap sudut rumahnya, ku tatap kalimat-kalimat al-Qur'an yang terpampang dalam bantuk lukisan di dinding. Di sampingnya, sebuah lukisan Asmaul Husna dengan warna keemas-emasan. Di sisi lainnya, tumpukan buku dan kitab teratur di sebuah rak buku. Sebuah pemandangan yang justru memancing ketertarikan hasrat intelektualku. "Dia betul-betul serius berkarir di dunia pemikiran," gumamku. "Untuk pintar, harus punya buku sebanyak ini," kembali hatiku ‘digugat’ dengan tanya-tanya seputar intelektualisme.
Namun, pikiranku kian berkecamuk dengan perihal pendirian. Aku seolah didakwa oleh hatiku sendiri. "Kenapa kau tak serius menekuni bidang ini", "Kenapa kau seringkali gonta-ganti arah hidupmu", "Bukankah kau pernah berpikir untuk menjadi salah satu pemikir muslim?" Berpuluh-puluh pertanyaan menggoda pikiranku, saat ku sedang asyik menunggu kehadiran Kang Jalal.
Aku bertanya-tanya, apakah kondisi ini disebabkan karena aku memang tak berpendirian atau karena hidupku terlanjur ku pasrahkan pada alam?
Aku tak tahu secara pasti bagaimana menjawabnya. Namun, menurutku, sikap inkonsistensi, terutama dalam menancapkan orientasi sangat perlu dihindari. Dengan kata lain, sudah saatnya aku menghibahkan segenap pikiranku secara fokus pada hal-hal terhormat untuk ku jalani. Apakah itu karir intelektual, karir politik, atau menjadi usahawan yang sukses? Semuanya sama-sama baik, jika dijalani secara lurus.
Setidaknya, aku harus pasti menemukan apa yang sungguh berarti dalam hidupku. Sok intelektual wae... Tak perlu aku ingat-ingat perkataan Kang Jalal, "Aku tidak berjalan di politik, sehingga jaringanku tak sekuat dia," ujarnya saat aku bercerita tentang KH Muchtar Adam, salah seorang sahabatnya, yang kini sedang menggerakkan perpaduan sains dan Al-Qur'an di PP Babussalam, Dago Atas, Cimenyan, Bandung.
Sepertinya aku masih sedang dikelabui sikap inkonsistensi. Aku harus merubah semua ini? Aku tidak boleh diam dan pasrah menerimanya sebagai sebuah 'kutukan' takdir yang mengaturku, "Akulah yang mesti mengatur takdir dan jalan hidupku. Tuhan, ku mohon, restu-Mu menyertaiku."
Martadinata, 126, Bandung, 25/11/2010
Pukul 21.26 WIB
Tuesday, November 23, 2010
Berat Versus Kaya
Oleh Moh Ilyas
Sekitar jam 01.00 dini hari, salah satu rekan media pada bagian sirkulasi mengeluh. Suaranya melemah, rendah, tak seperti biasanya yang selalu tegar penuh semangat dan terkadang bernada gurau. Saat itu ia mengatakan, "Ah, kerjaannku sekarang makin berat karena harus menambah satu wilayah."
Mendengar perkataan itu, spontan aku menanggapinya, "Berarti oplah koran bertambah?", "Ya, tapi ya berat," jawabnya menimpali. Secara semi gurau disertai tawa, aku kembali menanggapi, "Ternyata berat dan kaya itu berdampingan ya?". "Berarti kalau aku ingin kaya, aku tidak boleh hanya jadi wartawan, sebab kerjanya santai. Aku harus jadi Pemred," aku melanjutkan gumamku.
Namun, jawabanku itu seolah tak mampu memancing semangatnya. Bahkan kali ini, ia semakin melemah. "Apa karena keluhannya tak aku tanggapi positif," muncul rasa was-was dalam pikiranku.
Selang beberapa menit, sembari kulangkahkan kaki ke kamar kecil, aku berpikir bahwa apa yang kukatakan dalam dialog tadi tidaklah salah. Mungkin hanya karena persepsi yang berbeda saja tentang teks diskusi itu.
Menurutku, hidup memang penuh keseimbangan. Semakin tinggi tingkat usaha kita, semakin besar pula hasil yang akan kita dapat. Ini bersesuaian dengan firman Tuhan dalam Kitab-Nya Surat Al-Qaariah, "Faman ya'mal mitsqaala dzarratin khairan yarahuu. Waman ya'mal mitsqaala dzarratin syarran yarahuu."
Ayat ini menjelaskan tentang keseimbangan perbuatan baik atau buruk yang dilakukan manusia dengan balasan yang akan diterimanya. Dengan kata lain, sekecil apapun usaha kita, akan ada artinya. Ini juga sepadan dengan salah satu maqaalah atau kaidah fiqhiyah, "Maa katsura fi'lan, katsura fadhlan (Sesuatu yang pekerjaannya banyak, maka keutamaannya juga banyak)".
Dua landasan ini menegaskan sebuah ajaran kepada kita bahwa kekayaan memang mesti ditempuh dengan usaha yang lebih berat. Walaupun makna berat di sini berbeda-beda pemahamannya. Bagi kalangan top position di perusahaan besar, mungkin pekerjaan beratnya hanya berpikir bagaimana menumbuh kembangkan perusahaannya. Bagi pemilik dan investor media, ia selalu berpikir bagaimana mengembangkan dan meningkatkan rating medianya.
Bahkan, cara instan pun untuk cepat kaya, seperti melakukan korupsi dan nepotisme sebenarnya juga pekerjaan berat. Mereka memang terlihat tidak bekerja berat dan melelahkan. Hanya mungkin dengan telepon sana-sini, lobi khusus, atau negosiasi, mereka sudah bisa mengantongi miliaran uang bahkan triliunan uang.
Namun, jangan katakan mereka sedang bekerja ringan. Mereka memang tak seperti petani, pengamen, dan kuli bangunan yang bekerja dengan otot. Tapi mereka sedang mempertaruhkan harga dirinya, bahkan keluarganya. Ini jauh lebih berat dibanding sekadar otot.
Oleh karenanya, untuk menjadi kaya tanpa melakukan sesuatu yang berat, terasa hampir mustahil. Tentu ini hanyalah tesis biasa yang bisa mentah dengan adanya miracle Tuhan.
Jln RE Martadinata 126, Bandung, 24 Nopember 2010
Pukul 01.41 WIB
Sekitar jam 01.00 dini hari, salah satu rekan media pada bagian sirkulasi mengeluh. Suaranya melemah, rendah, tak seperti biasanya yang selalu tegar penuh semangat dan terkadang bernada gurau. Saat itu ia mengatakan, "Ah, kerjaannku sekarang makin berat karena harus menambah satu wilayah."
Mendengar perkataan itu, spontan aku menanggapinya, "Berarti oplah koran bertambah?", "Ya, tapi ya berat," jawabnya menimpali. Secara semi gurau disertai tawa, aku kembali menanggapi, "Ternyata berat dan kaya itu berdampingan ya?". "Berarti kalau aku ingin kaya, aku tidak boleh hanya jadi wartawan, sebab kerjanya santai. Aku harus jadi Pemred," aku melanjutkan gumamku.
Namun, jawabanku itu seolah tak mampu memancing semangatnya. Bahkan kali ini, ia semakin melemah. "Apa karena keluhannya tak aku tanggapi positif," muncul rasa was-was dalam pikiranku.
Selang beberapa menit, sembari kulangkahkan kaki ke kamar kecil, aku berpikir bahwa apa yang kukatakan dalam dialog tadi tidaklah salah. Mungkin hanya karena persepsi yang berbeda saja tentang teks diskusi itu.
Menurutku, hidup memang penuh keseimbangan. Semakin tinggi tingkat usaha kita, semakin besar pula hasil yang akan kita dapat. Ini bersesuaian dengan firman Tuhan dalam Kitab-Nya Surat Al-Qaariah, "Faman ya'mal mitsqaala dzarratin khairan yarahuu. Waman ya'mal mitsqaala dzarratin syarran yarahuu."
Ayat ini menjelaskan tentang keseimbangan perbuatan baik atau buruk yang dilakukan manusia dengan balasan yang akan diterimanya. Dengan kata lain, sekecil apapun usaha kita, akan ada artinya. Ini juga sepadan dengan salah satu maqaalah atau kaidah fiqhiyah, "Maa katsura fi'lan, katsura fadhlan (Sesuatu yang pekerjaannya banyak, maka keutamaannya juga banyak)".
Dua landasan ini menegaskan sebuah ajaran kepada kita bahwa kekayaan memang mesti ditempuh dengan usaha yang lebih berat. Walaupun makna berat di sini berbeda-beda pemahamannya. Bagi kalangan top position di perusahaan besar, mungkin pekerjaan beratnya hanya berpikir bagaimana menumbuh kembangkan perusahaannya. Bagi pemilik dan investor media, ia selalu berpikir bagaimana mengembangkan dan meningkatkan rating medianya.
Bahkan, cara instan pun untuk cepat kaya, seperti melakukan korupsi dan nepotisme sebenarnya juga pekerjaan berat. Mereka memang terlihat tidak bekerja berat dan melelahkan. Hanya mungkin dengan telepon sana-sini, lobi khusus, atau negosiasi, mereka sudah bisa mengantongi miliaran uang bahkan triliunan uang.
Namun, jangan katakan mereka sedang bekerja ringan. Mereka memang tak seperti petani, pengamen, dan kuli bangunan yang bekerja dengan otot. Tapi mereka sedang mempertaruhkan harga dirinya, bahkan keluarganya. Ini jauh lebih berat dibanding sekadar otot.
Oleh karenanya, untuk menjadi kaya tanpa melakukan sesuatu yang berat, terasa hampir mustahil. Tentu ini hanyalah tesis biasa yang bisa mentah dengan adanya miracle Tuhan.
Jln RE Martadinata 126, Bandung, 24 Nopember 2010
Pukul 01.41 WIB
Sunday, November 21, 2010
Membaca yang tak Terbaca
Oleh Moh. Ilyas
Maksud dari judul ini barangkali menggelitik sekaligus membuat pembaca bertanya-tanya. Tapi, jangan salah persepsi dan punya anggapan bahwa penulis sedang bermain-main dengan judul ini. Penulis sama sekali tidak sedang dalam posisi demikian. Penulis hanya ingin belajar membaca sesuatu yang tak terbaca.
Dalam beberapa literatur teologi (Kitab Tauhid) dijelaskan bahwa setiap benda (jirm) memiliki tempat. Ia bisa bergerak ke manapun ia suka, baik karena kekuatan dari dalam dirinya maupun dari luar. Ia juga bisa dibaca, dimengerti, bahkan dipahami. Dengan begitu, ia pasti memiliki nama, walaupun nama itu baru muncul setelah beberapa orang menciptakannya sendiri.
Untuk sekadar menyebut contoh adalah mobil. Di masa Nabi, barangkali kendaraan jenis ini belumlah ada, sehingga nama “Mobil” saat itu tidak dikonotasikan sebagai kendaraan yang kita pahami hari ini. Saat itu untuk merujuk kendaraan, digunakanlah sebutan keledai, unta, dan sebagainya.
Bagaimana dengan hal-hal ghaib? Masihkah ia bisa dibaca, sementara kita tidak pernah melihat apalagi memahaminya. Ia memang memiliki nama, tapi laksana tak bernama, sebab kita tak pernah tahu kebenarannya secara aqli dan rasionalitas empirik. Kita mungkin bisa membacanya secara naluri dan insting, tetapi ia pun takkan pernah terbaca. Wal-hasil, sesuatu yang kita anggap “aksi membaca”, sebenarnya hanyalah tindakan memrediksi.
Untuk sekadar menyebut contoh seperti Iblis, Hari Akhirat, Malaikat, mati, dan bahkan Tuhan. Semua ini memiliki nama, namun tak pernah terbaca. Jika kita membaca tentang kematian, dengan tetek bengek gambaran-gambarannya, bacaan itu hanya menjadi prediksi – kalau bukan imajinasi. Membaca sesuatu yang tak pernah kita jumpai mengantarkan pemahaman kita akan relativisme berpikir. Bisa saja, apa yang tergambar dalam benak kita benar, bisa pula tidak.
Begitu pun dengan Tuhan. Jika kita muslim, Tuhan kita disebut Allah, walaupun nama “Allah” sendiri masih kontroversial antara yang menyebutnya sebagai nama dan sebagai zat. Kalaupun ia nama, apakah kemudian kita bisa membacanya. Membaca Allah, seperti tidak membaca apa-apa. Sebab, Allah memang takkan pernah terbaca. Jika ia terbaca, sudah barang tentu ia bukanlah Allah. Jadi jika kita mengaku mengenalnya, maka sebenarnya kita sedang berbohong dengan pengakuan itu, sebab, yang mengenal Allah, hanyalah Allah sendiri. Prinsip ini juga pernah dikemukakan seorang sufi dan teolog Ibn al-Araby.
Namun yang pasti, setiap sesuatu selain Allah disebut makhluk. Setiap makhluk disebut alam. Setiap alam memiliki posisi dan tempat sendiri-sendiri. Meskipun begitu, tak semua makhluk itu terbaca.
Lantas bagaimana kita memahaminya? Bacalah sebagaimana Tuhan memerintahkanmu. Lalu bagaimana cara membacanya? Gunakanlah ilmu pengetahuan, sebab hanya itulah yang bisa memerdekakan manusia dan mengubah khayalan-khayalan akan sesuatu yang dipikirkan manusia. Kendatipun demikian, hasil akhir ilmu pengetahuan, belum tentu hasilnya kebenaran dari hasil bacaan, karena bacaan yang sebenarnya terjadi, jika kita segenap panca indra, hati, dan sanubari menyatu untuk mengenalnya. Wallahua’lam bisshawab.
Kantor Republika Biro Jabar,
Jln RE Martadinata 126, Bandung,
15 Dzulhijjah 1431 H/21 Nopember 2010 M
Pukul 22.29 WIB
Maksud dari judul ini barangkali menggelitik sekaligus membuat pembaca bertanya-tanya. Tapi, jangan salah persepsi dan punya anggapan bahwa penulis sedang bermain-main dengan judul ini. Penulis sama sekali tidak sedang dalam posisi demikian. Penulis hanya ingin belajar membaca sesuatu yang tak terbaca.
Dalam beberapa literatur teologi (Kitab Tauhid) dijelaskan bahwa setiap benda (jirm) memiliki tempat. Ia bisa bergerak ke manapun ia suka, baik karena kekuatan dari dalam dirinya maupun dari luar. Ia juga bisa dibaca, dimengerti, bahkan dipahami. Dengan begitu, ia pasti memiliki nama, walaupun nama itu baru muncul setelah beberapa orang menciptakannya sendiri.
Untuk sekadar menyebut contoh adalah mobil. Di masa Nabi, barangkali kendaraan jenis ini belumlah ada, sehingga nama “Mobil” saat itu tidak dikonotasikan sebagai kendaraan yang kita pahami hari ini. Saat itu untuk merujuk kendaraan, digunakanlah sebutan keledai, unta, dan sebagainya.
Bagaimana dengan hal-hal ghaib? Masihkah ia bisa dibaca, sementara kita tidak pernah melihat apalagi memahaminya. Ia memang memiliki nama, tapi laksana tak bernama, sebab kita tak pernah tahu kebenarannya secara aqli dan rasionalitas empirik. Kita mungkin bisa membacanya secara naluri dan insting, tetapi ia pun takkan pernah terbaca. Wal-hasil, sesuatu yang kita anggap “aksi membaca”, sebenarnya hanyalah tindakan memrediksi.
Untuk sekadar menyebut contoh seperti Iblis, Hari Akhirat, Malaikat, mati, dan bahkan Tuhan. Semua ini memiliki nama, namun tak pernah terbaca. Jika kita membaca tentang kematian, dengan tetek bengek gambaran-gambarannya, bacaan itu hanya menjadi prediksi – kalau bukan imajinasi. Membaca sesuatu yang tak pernah kita jumpai mengantarkan pemahaman kita akan relativisme berpikir. Bisa saja, apa yang tergambar dalam benak kita benar, bisa pula tidak.
Begitu pun dengan Tuhan. Jika kita muslim, Tuhan kita disebut Allah, walaupun nama “Allah” sendiri masih kontroversial antara yang menyebutnya sebagai nama dan sebagai zat. Kalaupun ia nama, apakah kemudian kita bisa membacanya. Membaca Allah, seperti tidak membaca apa-apa. Sebab, Allah memang takkan pernah terbaca. Jika ia terbaca, sudah barang tentu ia bukanlah Allah. Jadi jika kita mengaku mengenalnya, maka sebenarnya kita sedang berbohong dengan pengakuan itu, sebab, yang mengenal Allah, hanyalah Allah sendiri. Prinsip ini juga pernah dikemukakan seorang sufi dan teolog Ibn al-Araby.
Namun yang pasti, setiap sesuatu selain Allah disebut makhluk. Setiap makhluk disebut alam. Setiap alam memiliki posisi dan tempat sendiri-sendiri. Meskipun begitu, tak semua makhluk itu terbaca.
Lantas bagaimana kita memahaminya? Bacalah sebagaimana Tuhan memerintahkanmu. Lalu bagaimana cara membacanya? Gunakanlah ilmu pengetahuan, sebab hanya itulah yang bisa memerdekakan manusia dan mengubah khayalan-khayalan akan sesuatu yang dipikirkan manusia. Kendatipun demikian, hasil akhir ilmu pengetahuan, belum tentu hasilnya kebenaran dari hasil bacaan, karena bacaan yang sebenarnya terjadi, jika kita segenap panca indra, hati, dan sanubari menyatu untuk mengenalnya. Wallahua’lam bisshawab.
Kantor Republika Biro Jabar,
Jln RE Martadinata 126, Bandung,
15 Dzulhijjah 1431 H/21 Nopember 2010 M
Pukul 22.29 WIB
Pertaruhan HMI di Abad Informasi
Oleh: Moh. Ilyas*
Abad 21, abad penentuan. Begitulah kiranya kita memaknai abad ini. Dikatakan penentuan, karena fenomena-fenomena hidup yang sebelumnya 'asing dan tabu', saat ini dua kata itu nyaris hilang total. Tak ada lagi bahasa tabu. Ya, inilah abad keterbukaan itu.
Selain itu disebut penentuan, karena individu-individu yang ada di jagad ini seolah sudah ditentukan sepenuhnya oleh kekuatan informasi. Semua masyarakat yang bercokol sudah melek informasi, sehingga mindset mereka pun menjadi information oriented.
Inilah era yang menandai lahirnya global village (desa global) yang kemudian mengantarkan istilah globalisasi. Era global ini adalah proses masuknya sebuah negara ke ruang lingkup dunia, sehingga sekat-sekat atau tapal batas antar negara akan semakin kabur. Di sinilah asal muassal era kemajuan informasi itu.
Kemajuan teknologi informasi ini ibarat ledakan bom yang siap meluluhlantakkan peradaban manusia dan mengarahkannya atau meminjam bahasa Collin Cherry, seorang ilmuwan kognitif Inggris (1914–1979) dengan istilah explosion (letusan). Istilah ini muncul karena kuatnya pengaruh informasi terhadap pembentukan dan perubahan karakter manusia.
Menurutnya, di antara dampaknya adalah semakin tingginya peradaban atau justru hancurnya peradaban. Ia juga menandai lahirnya masyarakat modern sebagai dampak industrialisasi dan teknologisasi yang merupakan masyarakat dengan struktur kehidupan yang dinamis-kreatif untuk melahirkan gagasan-gagasan demi kepentingan manusia dalam berbagai sektor kehidupan.
Tak ketinggalan juga HMI. Organisasi mahasiswa di usianya yang ke 63 tahun ini terbawa juga oleh derasnya informasi. Hal ini tidak lepas dari kian canggihnya komunikasi sebagai bagian dari dampak kuatnya informasi itu sendiri.
Dengan kata lain, HMI sebagai social sphere (ruang sosial) tidak mungkin memisahkan diri dari sosialnya. Bagi HMI, lepas dari nilai-nilai sosial adalah suatu kemuspraan yang justu menghancurkan dirinya sendiri. Barangkali di sinilah relevansi pandangan seorang pakar komunikasi, B. Aubrey Fisher yang mengatakan, "Tidak ada persoalan sosial yang tidak melibatkan komunikasi."
Dari sini pula kemudian terlukiskan bahwa komunikasi merupakan sesuatu yang ubiquitous atau serba hadir. Artinya, di wilayah sosial manapun komunikasi senantiasa diperlukan, termasuk juga di HMI.
Pertaruhan HMI
Tentu saja keterlibatan HMI melalui diskursus komunikasi dan informasi dalam konteks sosialnya ini bukan tanpa beban. Di pundaknya terdapat ribuan beban yang mesti dipikul. Itu semua, jika organisasi besutan Lafran Pane ini tidak ingin tenggelam dalam lautan ketidakpastian, bahkan kebinasaan.
Beban-beban itu merupakan konsekuensi logis dari kian melejitnya teknologi informasi. Untuk sekadar menyebut contoh dari beban itu ialah beban sejarah. HMI tak bisa lepas dari dinamika sejarah yang dilaluinya. Sejarah itu, tentu akan menjadi beban bagi HMI hari ini, jika tak dapat melampaui sejarahnya sendiri. Artinya, tempo dulu, saat HMI baru didirikan atau saat menginjak masa remaja pada tahun 60 sampai 80-an, ia mampu menemukan sekaligus menciptakan masa kejayaannya.
Saat itu, HMI lahir sebagai punggawa besar yang mengawal bangsa ini, mulai dari hantaman kolonial Belanda hingga turut berpartisipasi dalam pembangunan. Bahkan bisa dikatakan, jargon 'Islam Yes, Partai Islam No' yang dikemukakan Cak Nur (panggilan akrab Nurcholish Madjid sebagai tokoh HMI) juga mendesakralisasi agama yang sering dicampuradukkan dengan partai politik. Dalam konteks ini, ia sepertinya ingin menghilangkan politisasi agama.
Tak ayal, kala itu kejayaan HMI cenderung lahir dari pemikiran - yang jauh dari kemajuan teknologi. Belum ada yang namanya facebook, twitter, friendster, dan bahkan portal-portal berita online di negeri ini. Tetapi, mengapa justru kejayaan bisa digapai jauh lebih besar dibanding hari ini?
Padahal jika dibandingkan, kekayaan informasi yang begitu dahsyat, khazanah pengetahuan, dan hasil-hasil risat dunia saat ini terhampar luas di dunia maya. Tak perlu kita ke USA untuk menyaksikan aktivitas Presiden Obama pada saat berlangsung. Tak perlu juga kita ke Iran untuk mengetahui pidato-pidato perlawanan dan keberanian Ahmadinejad dalam mengemukakan perlawanan terhadap Barat pada saat yang bersamaan.
Kendati demikian, kita tidak bisa menyalahkan adanya teknologi informasi. Menolak ataupun menggugatnya juga sudah bukan pilihan yang tepat dan tak ada artinya dilakukan. Mungkin lebih tepat kita mengikuti pepatah Cina, "Lebih baik menyalakan satu lilin dari pada mengutuk kegelapan."
Alternatif yang bisa ditempuh HMI bukanlah melawan arus teknologi informasi. Tetapi, kita bisa memanfaatkannya sebagai new power (kekuatan baru) untuk me-redesign kejayaan HMI. Dan, sebenarnya untuk menciptakan power, teknologi informasi inilah tempatnya.
Tidak salah jika kemudian Ziauddin Sardar, menegaskan bahwa informasi merupakan kekuasaan. Tanpa informasi seseorang tidak memiliki kekuasaan. Menurutnya, jika informasi dibolehkan mengalir secara bebas dalam masyarakat, maka ia akan memberikan jalan ke arah kekuasaan kepada masyarakat yang terbelakang serta akan mencegah konsentrasi kekuasaan pada segelintir orang.
Jika pertanyaan yang kita ajukan, mengapa di era yang sudah serba canggih ini justru HMI seperti kalut dalam kejumudan? atau pertanyaan lainnya, mengapa HMI tak dapat melahirkan tokoh-tokoh sekaliber Cak Nur, Ahmad Wahib, Dawam Raharjo, Mukti Ali, Azzumardi Azyra, dan Amien Rais dalam bidang pemikiran Islam saat ini? Apakah saat ini wacana intelektualisme sudah tidak lagi menarik di kalangan kader? Apakah kecanggihan informasi saat ini justru menjungkir-balikkan kader HMI itu sendiri?
Inilah kondisi yang mestinya dikaji dan dijawab dalam rumpun komunitas Hijau-Hitam saat ini. Tampaknya ada yang salah dengan cara kader HMI menyambut dan bersosialisasi dengan kemajuan itu.
HMI bisa dikatakan terjebak pada romantisme dan budaya instan yang diusung kemajuan teknologi. Akibatnya, Intellectual Sphere (ruang intelektual), yang tempo dulu hidup di HMI, hari ini sudah sangat jarang didapat. Saat ini sulit ditemukan model-model forum diskusi seperti 'limited Groupnya' Ahmad Wahib, Johan Effendi, dan Dawam Raharjo, atau 'KKA'-nya Cak Nur di Paramadina.
Hari ini forum diskusi itu sudah beralih ke dunia maya, berganti dengan bahasa chatting. Keuletan membaca, mengkaji, dan meneliti telah tergantikan oleh fenomena chatting, browsing, dan downloading. Ghirah inteletual pun memudar dengan sendirinya.
Tempo dulu, untuk menghasilkan karya penelitian diperlukan kajian yang mendalam dari kompilasi khazanah-khazanah ilmu pengetahuan. Tapi saat ini, sangat instan. Hanya dengan mengklik search engine di internet, kita sudah tinggal memilih dan mendownload-nya. Kondisi inilah yang menjadi tantangan bagi HMI di abad melek informasi ini. Jika tidak, kejayaan HMI hanya akan menjadi sejarah yang layak dimuseumkan atau ia hanya akan menjadi menara gading yang takkan pernah tersentuh oleh kader-kader HMI itu sendiri.
* Penulis, Sekjen Bakornas LAPMI PB HMI
Abad 21, abad penentuan. Begitulah kiranya kita memaknai abad ini. Dikatakan penentuan, karena fenomena-fenomena hidup yang sebelumnya 'asing dan tabu', saat ini dua kata itu nyaris hilang total. Tak ada lagi bahasa tabu. Ya, inilah abad keterbukaan itu.
Selain itu disebut penentuan, karena individu-individu yang ada di jagad ini seolah sudah ditentukan sepenuhnya oleh kekuatan informasi. Semua masyarakat yang bercokol sudah melek informasi, sehingga mindset mereka pun menjadi information oriented.
Inilah era yang menandai lahirnya global village (desa global) yang kemudian mengantarkan istilah globalisasi. Era global ini adalah proses masuknya sebuah negara ke ruang lingkup dunia, sehingga sekat-sekat atau tapal batas antar negara akan semakin kabur. Di sinilah asal muassal era kemajuan informasi itu.
Kemajuan teknologi informasi ini ibarat ledakan bom yang siap meluluhlantakkan peradaban manusia dan mengarahkannya atau meminjam bahasa Collin Cherry, seorang ilmuwan kognitif Inggris (1914–1979) dengan istilah explosion (letusan). Istilah ini muncul karena kuatnya pengaruh informasi terhadap pembentukan dan perubahan karakter manusia.
Menurutnya, di antara dampaknya adalah semakin tingginya peradaban atau justru hancurnya peradaban. Ia juga menandai lahirnya masyarakat modern sebagai dampak industrialisasi dan teknologisasi yang merupakan masyarakat dengan struktur kehidupan yang dinamis-kreatif untuk melahirkan gagasan-gagasan demi kepentingan manusia dalam berbagai sektor kehidupan.
Tak ketinggalan juga HMI. Organisasi mahasiswa di usianya yang ke 63 tahun ini terbawa juga oleh derasnya informasi. Hal ini tidak lepas dari kian canggihnya komunikasi sebagai bagian dari dampak kuatnya informasi itu sendiri.
Dengan kata lain, HMI sebagai social sphere (ruang sosial) tidak mungkin memisahkan diri dari sosialnya. Bagi HMI, lepas dari nilai-nilai sosial adalah suatu kemuspraan yang justu menghancurkan dirinya sendiri. Barangkali di sinilah relevansi pandangan seorang pakar komunikasi, B. Aubrey Fisher yang mengatakan, "Tidak ada persoalan sosial yang tidak melibatkan komunikasi."
Dari sini pula kemudian terlukiskan bahwa komunikasi merupakan sesuatu yang ubiquitous atau serba hadir. Artinya, di wilayah sosial manapun komunikasi senantiasa diperlukan, termasuk juga di HMI.
Pertaruhan HMI
Tentu saja keterlibatan HMI melalui diskursus komunikasi dan informasi dalam konteks sosialnya ini bukan tanpa beban. Di pundaknya terdapat ribuan beban yang mesti dipikul. Itu semua, jika organisasi besutan Lafran Pane ini tidak ingin tenggelam dalam lautan ketidakpastian, bahkan kebinasaan.
Beban-beban itu merupakan konsekuensi logis dari kian melejitnya teknologi informasi. Untuk sekadar menyebut contoh dari beban itu ialah beban sejarah. HMI tak bisa lepas dari dinamika sejarah yang dilaluinya. Sejarah itu, tentu akan menjadi beban bagi HMI hari ini, jika tak dapat melampaui sejarahnya sendiri. Artinya, tempo dulu, saat HMI baru didirikan atau saat menginjak masa remaja pada tahun 60 sampai 80-an, ia mampu menemukan sekaligus menciptakan masa kejayaannya.
Saat itu, HMI lahir sebagai punggawa besar yang mengawal bangsa ini, mulai dari hantaman kolonial Belanda hingga turut berpartisipasi dalam pembangunan. Bahkan bisa dikatakan, jargon 'Islam Yes, Partai Islam No' yang dikemukakan Cak Nur (panggilan akrab Nurcholish Madjid sebagai tokoh HMI) juga mendesakralisasi agama yang sering dicampuradukkan dengan partai politik. Dalam konteks ini, ia sepertinya ingin menghilangkan politisasi agama.
Tak ayal, kala itu kejayaan HMI cenderung lahir dari pemikiran - yang jauh dari kemajuan teknologi. Belum ada yang namanya facebook, twitter, friendster, dan bahkan portal-portal berita online di negeri ini. Tetapi, mengapa justru kejayaan bisa digapai jauh lebih besar dibanding hari ini?
Padahal jika dibandingkan, kekayaan informasi yang begitu dahsyat, khazanah pengetahuan, dan hasil-hasil risat dunia saat ini terhampar luas di dunia maya. Tak perlu kita ke USA untuk menyaksikan aktivitas Presiden Obama pada saat berlangsung. Tak perlu juga kita ke Iran untuk mengetahui pidato-pidato perlawanan dan keberanian Ahmadinejad dalam mengemukakan perlawanan terhadap Barat pada saat yang bersamaan.
Kendati demikian, kita tidak bisa menyalahkan adanya teknologi informasi. Menolak ataupun menggugatnya juga sudah bukan pilihan yang tepat dan tak ada artinya dilakukan. Mungkin lebih tepat kita mengikuti pepatah Cina, "Lebih baik menyalakan satu lilin dari pada mengutuk kegelapan."
Alternatif yang bisa ditempuh HMI bukanlah melawan arus teknologi informasi. Tetapi, kita bisa memanfaatkannya sebagai new power (kekuatan baru) untuk me-redesign kejayaan HMI. Dan, sebenarnya untuk menciptakan power, teknologi informasi inilah tempatnya.
Tidak salah jika kemudian Ziauddin Sardar, menegaskan bahwa informasi merupakan kekuasaan. Tanpa informasi seseorang tidak memiliki kekuasaan. Menurutnya, jika informasi dibolehkan mengalir secara bebas dalam masyarakat, maka ia akan memberikan jalan ke arah kekuasaan kepada masyarakat yang terbelakang serta akan mencegah konsentrasi kekuasaan pada segelintir orang.
Jika pertanyaan yang kita ajukan, mengapa di era yang sudah serba canggih ini justru HMI seperti kalut dalam kejumudan? atau pertanyaan lainnya, mengapa HMI tak dapat melahirkan tokoh-tokoh sekaliber Cak Nur, Ahmad Wahib, Dawam Raharjo, Mukti Ali, Azzumardi Azyra, dan Amien Rais dalam bidang pemikiran Islam saat ini? Apakah saat ini wacana intelektualisme sudah tidak lagi menarik di kalangan kader? Apakah kecanggihan informasi saat ini justru menjungkir-balikkan kader HMI itu sendiri?
Inilah kondisi yang mestinya dikaji dan dijawab dalam rumpun komunitas Hijau-Hitam saat ini. Tampaknya ada yang salah dengan cara kader HMI menyambut dan bersosialisasi dengan kemajuan itu.
HMI bisa dikatakan terjebak pada romantisme dan budaya instan yang diusung kemajuan teknologi. Akibatnya, Intellectual Sphere (ruang intelektual), yang tempo dulu hidup di HMI, hari ini sudah sangat jarang didapat. Saat ini sulit ditemukan model-model forum diskusi seperti 'limited Groupnya' Ahmad Wahib, Johan Effendi, dan Dawam Raharjo, atau 'KKA'-nya Cak Nur di Paramadina.
Hari ini forum diskusi itu sudah beralih ke dunia maya, berganti dengan bahasa chatting. Keuletan membaca, mengkaji, dan meneliti telah tergantikan oleh fenomena chatting, browsing, dan downloading. Ghirah inteletual pun memudar dengan sendirinya.
Tempo dulu, untuk menghasilkan karya penelitian diperlukan kajian yang mendalam dari kompilasi khazanah-khazanah ilmu pengetahuan. Tapi saat ini, sangat instan. Hanya dengan mengklik search engine di internet, kita sudah tinggal memilih dan mendownload-nya. Kondisi inilah yang menjadi tantangan bagi HMI di abad melek informasi ini. Jika tidak, kejayaan HMI hanya akan menjadi sejarah yang layak dimuseumkan atau ia hanya akan menjadi menara gading yang takkan pernah tersentuh oleh kader-kader HMI itu sendiri.
* Penulis, Sekjen Bakornas LAPMI PB HMI
Saturday, September 18, 2010
Kembali Pada (Ingatan) Masa Lalu
"Hendaklah seseorang melihat masa lalu untuk hari esok" (al-ayat)
Masa lalu, masa yang memiliki makna tersendiri dalam sejarah perjalanan panjang manusia. Ada yang merindukan, mengenang, atau yang sekadar berangan-angan. Ada pula yang segenap kehidupannya diikhtiarkan untuk 'tidak berbeda' dengan masa tempo dulu. Di sisi lain, ada pula yang tidak peduli dengan masa lalu dengan segala tetek bengek argumentasinya.
Tapi, sebenarnya tak ada masalah dengan semua itu. Sebab masing-masing individu memiliki 'ways' untuk merengkuh jalannya sendiri-sendiri.
Begitupun dengan petualangan hidupku. Hari ini, aku mengekspose sebuah tabligh akbar di Islamic Center Jakarta, di Koja. Berbagai tradisi keislaman ditampilkan, seperti pembacaan al-Qur'an secara Qiroah, pembacaan tahlil, hingga pembacaan sholawatun nabawiyah ataupun nasyidah islamiyah.
Dua shalawat atau nasyid Islami yang sempat aku dengar adalah dua sholawat yang tidak asing sama sekali di telingaku. Bahkan, aku masih menghafalnya, keduanya termaktub dalam dua bait berikut:
"Sholatun Minallah wa Alfa Salam
Ala al-Musthofa Ahmad Syarifil Maqom"
"Annabi Shollu Alaih, Sholawatullahi Alaihi
Wa Yanalu al-Barakah Kullu Man Sholla Alaihi"
Tentu saja karena hafalanku masih tak lekang dengan bait-bait itu, mampu merajut ingatanku kembali ke masa lalu, masa di mana aku ditempa dan digembleng dengan tradisi-tradisi agama yang kuat hingga kalimat-kalimat yang diidentikkan dengan Islam.
Aku kembali ingat sejarah hidupku di PP Miftahul Ulum Sumber Jati, tempat aku belajar agama di desaku, di PP Darul Ulum Banyuanyar, tempat aku nyantri selama tiga tahun, dan di PP Bustanul Ulum Mlokorejo, Jember, tempat aku mengabdi sebagai 'guru tugas' dari PP Darul Ulum itu.
Bagiku, mengingat itu semua menghadirkan arti tersendiri, baik sebagai kenangan sejarah hingga sebagai refleksi agar hari ini dan esok bisa lebih baik dari hari kemarin. Ini berangkat dari sebuah dawuh nabi, "Barang siapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, maka dia termasuk orang-orang yang beruntung, dan barang siapa yang hari ini lebih buruk dari kemarin, maka dia telah merugi".
Islamic Center Jakarta, 8/8/'10
Pukul 11.33 WIB
Masa lalu, masa yang memiliki makna tersendiri dalam sejarah perjalanan panjang manusia. Ada yang merindukan, mengenang, atau yang sekadar berangan-angan. Ada pula yang segenap kehidupannya diikhtiarkan untuk 'tidak berbeda' dengan masa tempo dulu. Di sisi lain, ada pula yang tidak peduli dengan masa lalu dengan segala tetek bengek argumentasinya.
Tapi, sebenarnya tak ada masalah dengan semua itu. Sebab masing-masing individu memiliki 'ways' untuk merengkuh jalannya sendiri-sendiri.
Begitupun dengan petualangan hidupku. Hari ini, aku mengekspose sebuah tabligh akbar di Islamic Center Jakarta, di Koja. Berbagai tradisi keislaman ditampilkan, seperti pembacaan al-Qur'an secara Qiroah, pembacaan tahlil, hingga pembacaan sholawatun nabawiyah ataupun nasyidah islamiyah.
Dua shalawat atau nasyid Islami yang sempat aku dengar adalah dua sholawat yang tidak asing sama sekali di telingaku. Bahkan, aku masih menghafalnya, keduanya termaktub dalam dua bait berikut:
"Sholatun Minallah wa Alfa Salam
Ala al-Musthofa Ahmad Syarifil Maqom"
"Annabi Shollu Alaih, Sholawatullahi Alaihi
Wa Yanalu al-Barakah Kullu Man Sholla Alaihi"
Tentu saja karena hafalanku masih tak lekang dengan bait-bait itu, mampu merajut ingatanku kembali ke masa lalu, masa di mana aku ditempa dan digembleng dengan tradisi-tradisi agama yang kuat hingga kalimat-kalimat yang diidentikkan dengan Islam.
Aku kembali ingat sejarah hidupku di PP Miftahul Ulum Sumber Jati, tempat aku belajar agama di desaku, di PP Darul Ulum Banyuanyar, tempat aku nyantri selama tiga tahun, dan di PP Bustanul Ulum Mlokorejo, Jember, tempat aku mengabdi sebagai 'guru tugas' dari PP Darul Ulum itu.
Bagiku, mengingat itu semua menghadirkan arti tersendiri, baik sebagai kenangan sejarah hingga sebagai refleksi agar hari ini dan esok bisa lebih baik dari hari kemarin. Ini berangkat dari sebuah dawuh nabi, "Barang siapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, maka dia termasuk orang-orang yang beruntung, dan barang siapa yang hari ini lebih buruk dari kemarin, maka dia telah merugi".
Islamic Center Jakarta, 8/8/'10
Pukul 11.33 WIB
Gemerlap Bundaran HI
Tak ada yang menyangkal jika dikatakan bahwa Bundaran Hotel Indonesia merupakan tempat berbagai aktifitas anak-anak negeri, mulai dari tempat syuting, demonstrasi, berjualan, hingga sekadar santai dan berfoto-foto.
Hampir 24 jam penuh bundaran yang di tengahnya berdiri patung pasangan lelaki-perempuan itu dipadati para pengunjung. Di siang hari, ia menjadi tempat strategis, terutama untuk melampiaskan aspirasi, kejengkelan anak-anak bangsa terhadap penguasa negeri ini melalui semisal bentuk aksi. Sedangkan di malam hari, ia menjadi "taman" penumpahan kepengapan Jakarta di siang hari. Tempat itu menjadi tempat tumpuan strategis karena memang lokasinya di pusat kota.
Namun, suasana di malam hari, tempat yang berlokasi di Jalan MH Thamrin itu berbeda dengan siang hari. Suasana malam hari, terutama lepas dari pukul 23.00, kesejukan dan keindahan tampak lebih mudah untuk dinikmati di kawasan tersebut. Di samping bebas dari polusi kendaraan, juga sinar-sinar gemerlap ibu kota terlihat indah.
Pancaran keindahan juga semakin dikukuhkan dengan lampu-lampu gedung-gedung pencakar langit yang memukau. Dari kejauhan terlihat nama Hotel Indonesia Kempinski, Mandarin Oriental Jakarta, Deutsche Bank, ANZ, bii, Hyatt, dan Grand Indonesia Shopping Town. Semuanya dengan indah terlihat dari pancaran khas lampu gedung-gedung itu.
Pagi ini, tepat pukul 01.00, kami sudah di Bundaran Hotel Indonesia. Dari - rencana - ke Taman Menteng Jakarta, kami beralih ke Bundaran HI dengan bertujuh, yakni Dadang Nurjaman, Rizky Wahyuni, Jaya, Hurri Rauf, Achmad Syarifudin, dan saya sendiri. Kesemuanya berangkat dari Bakornas LAPMI PB HMI.
Sesampainya di HI, kami langsung melampiaskan berbagai aktifitas santai dan refreshing, seperti berfoto-foto, berncanda ria, hingga pada akhirnya, sebagian dari kami 'iseng' dengan cara mengamen sembari menyanyikan lagu-lagu seputar kemerdekaan. Maklum, karena kami baru datang dari pembacaan puisi, cerpen, dan musikalisasi puisi Malam Merah Putih di Taman Ismail Marzuki.
Di beberapa sudut bundaran tersebut, terlihat aktivitas-aktivitas yang tidak ingin melewati suasana malam hari. Sebagian mereka memotret dua patung di ujung tiang, yang dikelilingi kolam air tepat di tengah-tengah bundaran. Sebagian lagi memilih 'beristirahat' sambil tiduran di pinggir kolam itu. Aneka aktifitas itu semakin menambah gemerlapnya tempat yang, dirindukan banyak orang itu.
Bundaran HI, Ahad, 8/8/'10
Pukul 01.31 WIB
Hampir 24 jam penuh bundaran yang di tengahnya berdiri patung pasangan lelaki-perempuan itu dipadati para pengunjung. Di siang hari, ia menjadi tempat strategis, terutama untuk melampiaskan aspirasi, kejengkelan anak-anak bangsa terhadap penguasa negeri ini melalui semisal bentuk aksi. Sedangkan di malam hari, ia menjadi "taman" penumpahan kepengapan Jakarta di siang hari. Tempat itu menjadi tempat tumpuan strategis karena memang lokasinya di pusat kota.
Namun, suasana di malam hari, tempat yang berlokasi di Jalan MH Thamrin itu berbeda dengan siang hari. Suasana malam hari, terutama lepas dari pukul 23.00, kesejukan dan keindahan tampak lebih mudah untuk dinikmati di kawasan tersebut. Di samping bebas dari polusi kendaraan, juga sinar-sinar gemerlap ibu kota terlihat indah.
Pancaran keindahan juga semakin dikukuhkan dengan lampu-lampu gedung-gedung pencakar langit yang memukau. Dari kejauhan terlihat nama Hotel Indonesia Kempinski, Mandarin Oriental Jakarta, Deutsche Bank, ANZ, bii, Hyatt, dan Grand Indonesia Shopping Town. Semuanya dengan indah terlihat dari pancaran khas lampu gedung-gedung itu.
Pagi ini, tepat pukul 01.00, kami sudah di Bundaran Hotel Indonesia. Dari - rencana - ke Taman Menteng Jakarta, kami beralih ke Bundaran HI dengan bertujuh, yakni Dadang Nurjaman, Rizky Wahyuni, Jaya, Hurri Rauf, Achmad Syarifudin, dan saya sendiri. Kesemuanya berangkat dari Bakornas LAPMI PB HMI.
Sesampainya di HI, kami langsung melampiaskan berbagai aktifitas santai dan refreshing, seperti berfoto-foto, berncanda ria, hingga pada akhirnya, sebagian dari kami 'iseng' dengan cara mengamen sembari menyanyikan lagu-lagu seputar kemerdekaan. Maklum, karena kami baru datang dari pembacaan puisi, cerpen, dan musikalisasi puisi Malam Merah Putih di Taman Ismail Marzuki.
Di beberapa sudut bundaran tersebut, terlihat aktivitas-aktivitas yang tidak ingin melewati suasana malam hari. Sebagian mereka memotret dua patung di ujung tiang, yang dikelilingi kolam air tepat di tengah-tengah bundaran. Sebagian lagi memilih 'beristirahat' sambil tiduran di pinggir kolam itu. Aneka aktifitas itu semakin menambah gemerlapnya tempat yang, dirindukan banyak orang itu.
Bundaran HI, Ahad, 8/8/'10
Pukul 01.31 WIB
Friday, September 10, 2010
Kemerdekaan Verbal?
Sejak 17 Agustus kemarin, negeri ini genap berusia 65 tahun, sebuah usia yang sudah begitu tua. Bahkan, lebih tua dari rata-rata umat pasca-Muhammad yang rata-rata berada dalam kisaran 63 tahun.
Tentu usia yang sudah tak muda lagi itu begitu membanggakan bagi kita, karena kita masih mampu mempertahankan kemerdekaan hingga hari ini. Namun, di sisi lain, kita perlu bersedih hati, sebab dari usia yang begitu panjang itu masih begitu banyak masalah-masalah negeri ini yang tak terselesaikan. Bahkan, bisa dikatakan, kian hari kian bertambah.
Lantas, apakah kemerdekaan yang ada selama ini hanyalah kemerdekaan verbal yang tak menyentuh ke relung-relung substansi persoalan negeri ini? Menjawab pertanyaan itu, tentu banyak indikator yang mesti dijadikan tolak ukur. Jika indikatornya adalah tegaknya keadilan, kebenaran, dan kejujuran, mungkin lebih tepat jika kita menyebut bahwa kemerdekaan masih terlalu jauh dari jiwa negeri ini.
Pembangunan gedung-gedung pencakar langit yang terus digalakkan hingga merubah pemandangan Indonesia menjadi lebih molek, memang memiliki nilai estetik tersendiri. Tetapi keindahan itu tidak mampu menutup kebohongan dan ketidak-adilan yang terus mendera negeri ini. Betapa banyak, orang-orang yang sering menjadi korban ketidak-adilan? Betapa banyak pula kebohongan-kebohongan yang telah mencoreng wajah hukum di negeri ini?
Saat skandal korupsi menjadi sesuatu yang tidak lagi asing bin ajaib di semua segmen kehidupan, saat masyarakat dianggap menjadi korban kebijakan yang tidak sosialis dalam konteks ledakan tabung gas, dan di saat penguasa dan politisi hanya mementingkan 'perut'-nya dan kelompoknya saja. Sementara jauh dari pikiran dan pandangan mereka rakyat miskin sedang menjerit, menangisi naiknya harga bahan pokok yang kian mencekik leher mereka. Inikah kemerdekaan?
Dulu para founding father kita merebut kemerdekaan dengan melawan penjajahan kaum imperialis dan kolonialis. Mereka begitu tulus memperjuangkan hak-hak rakyat Indonesia, hingga pada 17 Agustus 1945, mereka betul-betul mendapatkan kemerdekaan. Namun setelah itu, hingga hari ini, tak ada lagi bentrokan fisik dengan penjajah untuk merebutnya. Hari ini, kita hanya bisa mengisi, mengemas, dan merasakan apakah kemerdekaan negeri ini betul-betul terwujud dalam makna yang sesungguhnya?
Kemerdekaan yang sebenarnya itu ada bukan dari seberapa banyak bendera-bendera merah putih dipasang di pinggir jalan, atau bukan dari seberapa teratur barisan dan pasukan pengibar bendera merah putih saat upacara memperingati Hari Ulang Tahun negeri ini. Jika masyarakatnya telah sejahtera, hukum telah ditegakkan secara benar dan adil, rakyat menjadi target utama pembangunan, dan ekonomi pasar sudah betul-betul memudahkan kehidupan masyarakatnya, maka itulah kemerdekaan yang sebenarnya.
Masyarakat, terutama orang miskin, tak perlu obralan janji pemimpin-pemimpinnya. Mereka juga tak butuh pidato-pidato presiden yang piawai dengan sistematika kebahasaannya, namun kosong realisasinya. Mereka juga tak berminat dengan gaya-gaya polisi, hakim, dan jaksa yang selalu memelintir hukum yang benar dengan nominal angka (Rp) yang mereka terima. Inilah wajah bopeng kemerdekaan kita, wajah kemerdekaan yang masih sangat verbal.
Dalam hal ini, kemerdekaan hanya menjadi retorika sejarah yang terus digulirkan, tapi tak memiliki identitas. Perayaannya pun yang setiap tahun digelar juga hanya menjadi ritualitas kosong yang tak punya substansi dalam mewujudkan negeri ini.
Gemar Seremonial
Jika kita perhatikan secara seksama, ada tradisi di negeri ini yang sudah mengkarakter dalam otak dan jiwa masyarakatnya. Ia menyebar ke seluruh lapisan masyarakat, mulai dari kalangan borjuis (rakyat), hingga kaum proletar, bahkan sekelas presiden pun juga hanyut dalam tradisi ini. Inilah tradisi kegemaran terhadap seremonial.
Sepintas tradisi ini terlihat tidak jelek, bahkan, terkadang, menimbulkan semangat baru, tetapi kenyataan yang cenderung terjadi adalah meaningless. Begitu banyak seremonial digelar besar-besaran, bahkan hingga menghabiskan miliaran rupiah, tetapi nyaris tak ada makna di balik seremonial itu. Dengan kata lain, selesai sebuah seremonial diadakan, selesai pula makna di baliknya dan hilanglah essensinya.
Untuk sekadar mengingat, betapa banyak kegiatan kepresidenan digelar, tapi nyaris tak ada perubahan berarti terhadap negeri ini. Betapa sering konferensi pers dan pidato kepresidenan dilakoni, tapi hasilnya nihil. Begitupun di tingkatan wilayah dan daerah dengan intensitas kegiatan gubernur dan bupati/wali kota yang hanya mengandalkan seremonial semata.
Tradisi ini, menurut penulis, perlu dirubah dan diganti dengan yang lebih bermakna. Untuk apa menggagas ataupun mengadakan sesuatu yang melangit jika orang-orang dibumi tak dapat menggapainya. Dengan kata lain, seremonial dan pidato-pidato yang hanya ditangkap dengan telinga tapi setelah itu hilang akan lebih baik jika langsung bisa menembus rasa orang-orang tidak mampu, dengan kegiatan yang dampaknya langsung berpengaruh terhadap kesejahteraan rakyat. Wallahu a'lamu bi as-shawab
Tentu usia yang sudah tak muda lagi itu begitu membanggakan bagi kita, karena kita masih mampu mempertahankan kemerdekaan hingga hari ini. Namun, di sisi lain, kita perlu bersedih hati, sebab dari usia yang begitu panjang itu masih begitu banyak masalah-masalah negeri ini yang tak terselesaikan. Bahkan, bisa dikatakan, kian hari kian bertambah.
Lantas, apakah kemerdekaan yang ada selama ini hanyalah kemerdekaan verbal yang tak menyentuh ke relung-relung substansi persoalan negeri ini? Menjawab pertanyaan itu, tentu banyak indikator yang mesti dijadikan tolak ukur. Jika indikatornya adalah tegaknya keadilan, kebenaran, dan kejujuran, mungkin lebih tepat jika kita menyebut bahwa kemerdekaan masih terlalu jauh dari jiwa negeri ini.
Pembangunan gedung-gedung pencakar langit yang terus digalakkan hingga merubah pemandangan Indonesia menjadi lebih molek, memang memiliki nilai estetik tersendiri. Tetapi keindahan itu tidak mampu menutup kebohongan dan ketidak-adilan yang terus mendera negeri ini. Betapa banyak, orang-orang yang sering menjadi korban ketidak-adilan? Betapa banyak pula kebohongan-kebohongan yang telah mencoreng wajah hukum di negeri ini?
Saat skandal korupsi menjadi sesuatu yang tidak lagi asing bin ajaib di semua segmen kehidupan, saat masyarakat dianggap menjadi korban kebijakan yang tidak sosialis dalam konteks ledakan tabung gas, dan di saat penguasa dan politisi hanya mementingkan 'perut'-nya dan kelompoknya saja. Sementara jauh dari pikiran dan pandangan mereka rakyat miskin sedang menjerit, menangisi naiknya harga bahan pokok yang kian mencekik leher mereka. Inikah kemerdekaan?
Dulu para founding father kita merebut kemerdekaan dengan melawan penjajahan kaum imperialis dan kolonialis. Mereka begitu tulus memperjuangkan hak-hak rakyat Indonesia, hingga pada 17 Agustus 1945, mereka betul-betul mendapatkan kemerdekaan. Namun setelah itu, hingga hari ini, tak ada lagi bentrokan fisik dengan penjajah untuk merebutnya. Hari ini, kita hanya bisa mengisi, mengemas, dan merasakan apakah kemerdekaan negeri ini betul-betul terwujud dalam makna yang sesungguhnya?
Kemerdekaan yang sebenarnya itu ada bukan dari seberapa banyak bendera-bendera merah putih dipasang di pinggir jalan, atau bukan dari seberapa teratur barisan dan pasukan pengibar bendera merah putih saat upacara memperingati Hari Ulang Tahun negeri ini. Jika masyarakatnya telah sejahtera, hukum telah ditegakkan secara benar dan adil, rakyat menjadi target utama pembangunan, dan ekonomi pasar sudah betul-betul memudahkan kehidupan masyarakatnya, maka itulah kemerdekaan yang sebenarnya.
Masyarakat, terutama orang miskin, tak perlu obralan janji pemimpin-pemimpinnya. Mereka juga tak butuh pidato-pidato presiden yang piawai dengan sistematika kebahasaannya, namun kosong realisasinya. Mereka juga tak berminat dengan gaya-gaya polisi, hakim, dan jaksa yang selalu memelintir hukum yang benar dengan nominal angka (Rp) yang mereka terima. Inilah wajah bopeng kemerdekaan kita, wajah kemerdekaan yang masih sangat verbal.
Dalam hal ini, kemerdekaan hanya menjadi retorika sejarah yang terus digulirkan, tapi tak memiliki identitas. Perayaannya pun yang setiap tahun digelar juga hanya menjadi ritualitas kosong yang tak punya substansi dalam mewujudkan negeri ini.
Gemar Seremonial
Jika kita perhatikan secara seksama, ada tradisi di negeri ini yang sudah mengkarakter dalam otak dan jiwa masyarakatnya. Ia menyebar ke seluruh lapisan masyarakat, mulai dari kalangan borjuis (rakyat), hingga kaum proletar, bahkan sekelas presiden pun juga hanyut dalam tradisi ini. Inilah tradisi kegemaran terhadap seremonial.
Sepintas tradisi ini terlihat tidak jelek, bahkan, terkadang, menimbulkan semangat baru, tetapi kenyataan yang cenderung terjadi adalah meaningless. Begitu banyak seremonial digelar besar-besaran, bahkan hingga menghabiskan miliaran rupiah, tetapi nyaris tak ada makna di balik seremonial itu. Dengan kata lain, selesai sebuah seremonial diadakan, selesai pula makna di baliknya dan hilanglah essensinya.
Untuk sekadar mengingat, betapa banyak kegiatan kepresidenan digelar, tapi nyaris tak ada perubahan berarti terhadap negeri ini. Betapa sering konferensi pers dan pidato kepresidenan dilakoni, tapi hasilnya nihil. Begitupun di tingkatan wilayah dan daerah dengan intensitas kegiatan gubernur dan bupati/wali kota yang hanya mengandalkan seremonial semata.
Tradisi ini, menurut penulis, perlu dirubah dan diganti dengan yang lebih bermakna. Untuk apa menggagas ataupun mengadakan sesuatu yang melangit jika orang-orang dibumi tak dapat menggapainya. Dengan kata lain, seremonial dan pidato-pidato yang hanya ditangkap dengan telinga tapi setelah itu hilang akan lebih baik jika langsung bisa menembus rasa orang-orang tidak mampu, dengan kegiatan yang dampaknya langsung berpengaruh terhadap kesejahteraan rakyat. Wallahu a'lamu bi as-shawab
Sunday, August 1, 2010
Rotasi Waktu
Bila waktunya tiba…
Kan datang jawaban-jawaban dari segenap tanya,
Kan tampak pelita-pelita nan mengungkap misteri kegelapan.
Tapi, itu bukanlah akhir,
Sekali lagi, bukanlah akhir…
Waktu baru telah menunggu
Beriring kisah dengan seberkas tanya baru
Tidak usah kalut,
Jawaban baru pun berdiri tegap di balik tanya itu,
Tinggal tafsir-tafsirmu yang jadi penentu,
Tetapi, itu pun bukanlah akhir…
Lembaran-lembaran baru kan senantiasa berkelindan
Mengiringi rotasi gerak sang waktu
Demi kehidupan yang kaya arti…
Begitulah, kisah waktu mengalir
Hingga pada saatnya nanti,
tak ada lagi yang namanya ‘waktu’.
Saharjo Lontar, South Jakarta, 23/11 ‘09
Pukul 03.51 WIB
Kan datang jawaban-jawaban dari segenap tanya,
Kan tampak pelita-pelita nan mengungkap misteri kegelapan.
Tapi, itu bukanlah akhir,
Sekali lagi, bukanlah akhir…
Waktu baru telah menunggu
Beriring kisah dengan seberkas tanya baru
Tidak usah kalut,
Jawaban baru pun berdiri tegap di balik tanya itu,
Tinggal tafsir-tafsirmu yang jadi penentu,
Tetapi, itu pun bukanlah akhir…
Lembaran-lembaran baru kan senantiasa berkelindan
Mengiringi rotasi gerak sang waktu
Demi kehidupan yang kaya arti…
Begitulah, kisah waktu mengalir
Hingga pada saatnya nanti,
tak ada lagi yang namanya ‘waktu’.
Saharjo Lontar, South Jakarta, 23/11 ‘09
Pukul 03.51 WIB
Thursday, July 22, 2010
Hari Terakhir di Bulan Pertama
Oleh Moh Ilyas
Barangkali jika sekedar membaca judul tulisan ini, tak akan terbesit arah pikiran yang menggambarkan perjalanan sebuah hari yang tak terhenti oleh kerumunan waktu dalam proses awal liputanku. Judul ini sengaja aku buat dengan sebuah alasan, hari ini adalah hari terakhir di bulan pertama pergumulan diriku dalam dunia pers di kota Depok.
Masih cukup lekat tanggal dan pengalaman meliput pada bulan ini. Senin (11/1) aku menginjakkan kaki perdana dalam liputan di Kota Depok, tapi saat itu belum untuk dimuat. Meski begitu, aku belajar mengenali diri dan lingkungan di sana. Aku mengikuti kawan-kawan jurnalis di sana, seperti Jurnal Nasional, Seputar Indonesia, okezone.com, Duta Masyarakat, Indo Pos dan Pelita. Mereka cukup ramah bertegur sapa denganku, yang notabene sebagai orang baru bagi mereka.
Seminggu ku jalani dengan gumpalan asa di benakku. Namun, ketika ku intip tulisanku tak pernah ada di Harian Republika ataupun di Republika Online (rol) membuat ghirahku “sedikit turun tangga”. Memang, waktu itu sebenarnya bukan untuk diterbitkan, tapi hanya untuk belajar menyesuaikan diri dan membaca “dunia Depok”.
Baru pada Senin (18/1), dua tulisanku resmi dimuat di Harian Republika, halaman 16. Itu pun, salah satunya langsung jadi headline dengan judul ”Samling Lebih Hemat Waktu.” Sungguh suatu kebahagiaan yang tak bisa ku tahan.
***
Udah dulu, ne ada anak Pamekasan mau ke tempatku, dah ada di depan RS. Budhi Jaya, Saharjo. Ne sakedar cerita ya, tapi riil-loh...
Saharjo Lontar, 31/1/2010
Pukul, 20.39 WIB
Barangkali jika sekedar membaca judul tulisan ini, tak akan terbesit arah pikiran yang menggambarkan perjalanan sebuah hari yang tak terhenti oleh kerumunan waktu dalam proses awal liputanku. Judul ini sengaja aku buat dengan sebuah alasan, hari ini adalah hari terakhir di bulan pertama pergumulan diriku dalam dunia pers di kota Depok.
Masih cukup lekat tanggal dan pengalaman meliput pada bulan ini. Senin (11/1) aku menginjakkan kaki perdana dalam liputan di Kota Depok, tapi saat itu belum untuk dimuat. Meski begitu, aku belajar mengenali diri dan lingkungan di sana. Aku mengikuti kawan-kawan jurnalis di sana, seperti Jurnal Nasional, Seputar Indonesia, okezone.com, Duta Masyarakat, Indo Pos dan Pelita. Mereka cukup ramah bertegur sapa denganku, yang notabene sebagai orang baru bagi mereka.
Seminggu ku jalani dengan gumpalan asa di benakku. Namun, ketika ku intip tulisanku tak pernah ada di Harian Republika ataupun di Republika Online (rol) membuat ghirahku “sedikit turun tangga”. Memang, waktu itu sebenarnya bukan untuk diterbitkan, tapi hanya untuk belajar menyesuaikan diri dan membaca “dunia Depok”.
Baru pada Senin (18/1), dua tulisanku resmi dimuat di Harian Republika, halaman 16. Itu pun, salah satunya langsung jadi headline dengan judul ”Samling Lebih Hemat Waktu.” Sungguh suatu kebahagiaan yang tak bisa ku tahan.
***
Udah dulu, ne ada anak Pamekasan mau ke tempatku, dah ada di depan RS. Budhi Jaya, Saharjo. Ne sakedar cerita ya, tapi riil-loh...
Saharjo Lontar, 31/1/2010
Pukul, 20.39 WIB
Sejenak Share dengan Wartawan Baru
Senin (4/1/2010) adalah awal petualangku di dunia pers. Dunia, yang sebenarnya tidak begitu asing sewaktu aku masih melenggang di daerah asalku. tapi, tidak demikian halnya dengan ngeliput di Jakarta.
Sengatan panasnya mentari, tingginya tingkat polusi, dan macetnya jalan-jalan utama perkotaan menutup ’aura’ keindahan yang menyelimuti kota Jakarta. “Tak tampak keindahan itu,” pikirku seolah menafikan keindahan yang menghiasi gedung-gedung di sepanjang Jalan Thamrin dan Sudirman, dalam perjalanan pulang menuju Bendungan Hilir melewati Pasar Tanah Abang.
Tapi, apa boleh buat, dunia pers telah sengaja ku genggam. Napak tilaspun tak mungkin lagi kuhindari. Bagaimanapun, pengalaman ini kurasakan beriringan dengan dentingan suara pekat nurani untuk terus menggayuh cita, mendapatkan informasi fakta yang mendalam, dan mengungkap keresahan-keresahan sosial melalui pintu ’tulisan’ seorang wartawan.
Sekali aku berlayar dalam perahu cita-cita, sejuta kenangan indah dengan mutiara-mutiara yang tersurat di kedalaman lautan asa dapat ku raih. Sekali aku bertamasya ke arah terbenamnya mentari, tidak hanya seberkas cahaya yang ku dapat, tapi jutaan sinar bersama kemilaunya cahaya kesuksesan yang akan mengisi sisa-sisa hidupku.
Aku sadar, jembatan itu cukup panjang. Tetapi, aku juga memahami bahwa titian kaki kesungguhan serta ghirah akan mempercepat karir perjalanan hidup ini.
Pengalaman pertama sebagai wartawan Harian Umum Republika ini mulanya memang membuatku kaget, sebab aku langsung ditugaskan di kamar mayat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Bertugas di tempat itu, tak ada lagi yang kupikirkan, selain perasaan takut dan ngeri dengan bulu roma yang merinding. ”Ya, bagaimana tidak? Jika aku diperlihatkan dengan mayat-mayat yang sudah ditutupi kain di kamar pendingin.”
Tapi, beruntunglah... Hari pertama ini tak sampai menjeratku dalam ketakutan itu, sebab, tidak ada jenazah baru pada hari itu. Meski akhirnya aku memberitakan Gus Dur sebagai jenazah terakhir di RSCM hingga saat itu, aku sempatkan juga meliput aksi anak-anak Sulawesi Selatan di bundaran Hotel Indonesia (HI) tentang kemelut Century yang tak kunjung usai.
Ini saja, catatan share awal napak tilas perjalananku dalam dunia pers di ibu kota. Sekuntum hikmah dan kesuksesan semoga selalu menjadi partner lembaran hidupku.
Semoga...!
Bakornas Lapmi, Saharjo, 10/1/’10
Pukul, 01.41 WIB
Sengatan panasnya mentari, tingginya tingkat polusi, dan macetnya jalan-jalan utama perkotaan menutup ’aura’ keindahan yang menyelimuti kota Jakarta. “Tak tampak keindahan itu,” pikirku seolah menafikan keindahan yang menghiasi gedung-gedung di sepanjang Jalan Thamrin dan Sudirman, dalam perjalanan pulang menuju Bendungan Hilir melewati Pasar Tanah Abang.
Tapi, apa boleh buat, dunia pers telah sengaja ku genggam. Napak tilaspun tak mungkin lagi kuhindari. Bagaimanapun, pengalaman ini kurasakan beriringan dengan dentingan suara pekat nurani untuk terus menggayuh cita, mendapatkan informasi fakta yang mendalam, dan mengungkap keresahan-keresahan sosial melalui pintu ’tulisan’ seorang wartawan.
Sekali aku berlayar dalam perahu cita-cita, sejuta kenangan indah dengan mutiara-mutiara yang tersurat di kedalaman lautan asa dapat ku raih. Sekali aku bertamasya ke arah terbenamnya mentari, tidak hanya seberkas cahaya yang ku dapat, tapi jutaan sinar bersama kemilaunya cahaya kesuksesan yang akan mengisi sisa-sisa hidupku.
Aku sadar, jembatan itu cukup panjang. Tetapi, aku juga memahami bahwa titian kaki kesungguhan serta ghirah akan mempercepat karir perjalanan hidup ini.
Pengalaman pertama sebagai wartawan Harian Umum Republika ini mulanya memang membuatku kaget, sebab aku langsung ditugaskan di kamar mayat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Bertugas di tempat itu, tak ada lagi yang kupikirkan, selain perasaan takut dan ngeri dengan bulu roma yang merinding. ”Ya, bagaimana tidak? Jika aku diperlihatkan dengan mayat-mayat yang sudah ditutupi kain di kamar pendingin.”
Tapi, beruntunglah... Hari pertama ini tak sampai menjeratku dalam ketakutan itu, sebab, tidak ada jenazah baru pada hari itu. Meski akhirnya aku memberitakan Gus Dur sebagai jenazah terakhir di RSCM hingga saat itu, aku sempatkan juga meliput aksi anak-anak Sulawesi Selatan di bundaran Hotel Indonesia (HI) tentang kemelut Century yang tak kunjung usai.
Ini saja, catatan share awal napak tilas perjalananku dalam dunia pers di ibu kota. Sekuntum hikmah dan kesuksesan semoga selalu menjadi partner lembaran hidupku.
Semoga...!
Bakornas Lapmi, Saharjo, 10/1/’10
Pukul, 01.41 WIB
Semu
Dunia bukan apa-apa,
Tatkala kearifan alam telah menjauh pergi,
atau kehidupan telah tercemari dengan kekosongan,
tak ada lagi arti-arti yang masih dimengerti,
semuanya semu.
Dia benar.
Bila hidup hanyalah ilusi dan permainan,
tak lebih...
Saharjo, 10/1/’10
Pukul, 00.50 WIB
Tatkala kearifan alam telah menjauh pergi,
atau kehidupan telah tercemari dengan kekosongan,
tak ada lagi arti-arti yang masih dimengerti,
semuanya semu.
Dia benar.
Bila hidup hanyalah ilusi dan permainan,
tak lebih...
Saharjo, 10/1/’10
Pukul, 00.50 WIB
Mengenang Cak Nur
Ku kenal namamu lewat pintu-pintumu,
yang takkan pernah usang di tangan generasimu,
pintu dialektikmu tentang hidup dan kehidupan,
tentang islam yang indonesiawi,
ataupun tentang islam yang modern.
Engkau telah lama berjalan
mengitari altar-altar peradaban,
kota maupun desa,
dan kau telah menanam benih kehidupan,
benih kejernihan dalam berakidah,
untuk kau wariskan pada anak-anak bangsa ini,
biarkan mereka membaca tentangmu...
tentang jerih keringat pemikiranmu,
ataupun tentang mutiara-mutiara yang tertanam
dalam lautan keikhlasanmu,
nan terpaut di sudut-sudut halaman lembar pikiranmu.
di luar,
ribuan orang menengadahkan wajah-wajah mereka,
mengharap turunnya kearifan,
pun dahaga akan air pikiranmu yang menyejukkan...
tak ada hati yang tersakiti,
tak ada jiwa yang ternodai,
dan,
tak ada akidah tercemari,
melainkan hanya bagi mereka yang tiada mengerti,
tentangmu...
bakornas lapmi, 01-01-2010
pukul, 20.18 wib.
yang takkan pernah usang di tangan generasimu,
pintu dialektikmu tentang hidup dan kehidupan,
tentang islam yang indonesiawi,
ataupun tentang islam yang modern.
Engkau telah lama berjalan
mengitari altar-altar peradaban,
kota maupun desa,
dan kau telah menanam benih kehidupan,
benih kejernihan dalam berakidah,
untuk kau wariskan pada anak-anak bangsa ini,
biarkan mereka membaca tentangmu...
tentang jerih keringat pemikiranmu,
ataupun tentang mutiara-mutiara yang tertanam
dalam lautan keikhlasanmu,
nan terpaut di sudut-sudut halaman lembar pikiranmu.
di luar,
ribuan orang menengadahkan wajah-wajah mereka,
mengharap turunnya kearifan,
pun dahaga akan air pikiranmu yang menyejukkan...
tak ada hati yang tersakiti,
tak ada jiwa yang ternodai,
dan,
tak ada akidah tercemari,
melainkan hanya bagi mereka yang tiada mengerti,
tentangmu...
bakornas lapmi, 01-01-2010
pukul, 20.18 wib.
Dari Keseriusan, Muncul Keseriusan
Sebuah Catatan Santai
Meski Banyak Anggota Yang Absen, Rapat Konsolidasi Pengurus Bakornas Lapmi Masih Serius, Bahkan Hingga Terkesan Ada Suasana Diplomatis. Terlepas Dari Benar Atau Salah, Namun Keseriusan Itu Tampaknya Akan Menghasilkan Sesuatu Yang Serius Pula.
Malam itu, Jum’at (17/12) Saharjo Lontar yang menjadi pusat peradaban Bakornas LAPMI memang terkesan berbeda dari malam biasanya. Walaupun tetap ramai seperti sebelum-sebelumnya, namun malam itu ramainya sekretariat yang sudah agak perlu direnovasi itu bukan dengan huru-hara, canda-tawa, atau diskusi ngalor-ngidul. Bersamaan dengan derasnya hujan, sebuah ”pesta” kecil-kecilan turut mewarnai ruang-ruang Lapmi pada saat itu. Tak ketinggalan, rapat konsolidasi internal Lapmi yang mengusung beberapa agenda, termasuk di antaranya pelatihan jurnalistik portal berita online turut membisingi daun-daun telinga person-person Lapmi yang masih setia.
Meski suasana kurang mendukung, karena tidak ada minuman khas ala Camp Steak, sebagaimana biasanya, pola berfikir substantif muncul saat itu, yaitu raibnya sifat ketergantungan pada suasana-suasana tertentu yang menyebabkan pecahnya konsentrasi dan kefokusan. ”di manapun tempatnya, yang penting serius, juga akan menghasilkan yang serius, sebaliknya, meski tempat wah, kalau nggak serius, pasti hasilnya nggak serius pula” pikirku sewaktu melihat keseriusan.
Pikiran ”nakal” ini bukanlah sesuatu yang menggambarkan tentang aktifitas rapat Lapmi sebelumnya, tetapi ia ingin dihadirkan dalam semua segmen, momentum, ruang dan waktu tanpa adanya batas-batas organisasi, ataupun lainnya.
Bakornas Lapmi, 22/12/’09
Pukul 23.27 WIB
Meski Banyak Anggota Yang Absen, Rapat Konsolidasi Pengurus Bakornas Lapmi Masih Serius, Bahkan Hingga Terkesan Ada Suasana Diplomatis. Terlepas Dari Benar Atau Salah, Namun Keseriusan Itu Tampaknya Akan Menghasilkan Sesuatu Yang Serius Pula.
Malam itu, Jum’at (17/12) Saharjo Lontar yang menjadi pusat peradaban Bakornas LAPMI memang terkesan berbeda dari malam biasanya. Walaupun tetap ramai seperti sebelum-sebelumnya, namun malam itu ramainya sekretariat yang sudah agak perlu direnovasi itu bukan dengan huru-hara, canda-tawa, atau diskusi ngalor-ngidul. Bersamaan dengan derasnya hujan, sebuah ”pesta” kecil-kecilan turut mewarnai ruang-ruang Lapmi pada saat itu. Tak ketinggalan, rapat konsolidasi internal Lapmi yang mengusung beberapa agenda, termasuk di antaranya pelatihan jurnalistik portal berita online turut membisingi daun-daun telinga person-person Lapmi yang masih setia.
Meski suasana kurang mendukung, karena tidak ada minuman khas ala Camp Steak, sebagaimana biasanya, pola berfikir substantif muncul saat itu, yaitu raibnya sifat ketergantungan pada suasana-suasana tertentu yang menyebabkan pecahnya konsentrasi dan kefokusan. ”di manapun tempatnya, yang penting serius, juga akan menghasilkan yang serius, sebaliknya, meski tempat wah, kalau nggak serius, pasti hasilnya nggak serius pula” pikirku sewaktu melihat keseriusan.
Pikiran ”nakal” ini bukanlah sesuatu yang menggambarkan tentang aktifitas rapat Lapmi sebelumnya, tetapi ia ingin dihadirkan dalam semua segmen, momentum, ruang dan waktu tanpa adanya batas-batas organisasi, ataupun lainnya.
Bakornas Lapmi, 22/12/’09
Pukul 23.27 WIB
Jum’at
Jum’at...
Engkau memang hanya nama sebuah hari,
nan diagungkan sebagian umat,
malammu perayaan-perayaan mengitarimu,
siangmu ibadah-ibadah bertaburan secara massif,
sebagian mereka berkata,
”inilah hari paling utama...”
Jum’at...
Itu hanyalah cerita kecil dari umat di alam ini...
Yang tak lebih dari sekedar huru-hara
Engkau memang tak seindah hari minggu,
yang mampu membatasi ruang aktifitas sebagian umat,
demi mengangunginya,
malamnyapun menjadi ikon malam keindahan,
atau hari Sabtu, yang menjadi ikon umat yahudi,
tapi, adakah karena itu semuanya perlu berubah?
Tidak...
Tidak ada yang perlu berubah,
Itu hanyalah jenaka dari retorika
Tentang paradigma yang tak substantif,
Tentang perbedaan yang tak perlu dibesar-besarkan…
Dan tentang kisah-kisah sosial yang tak penting disebar...
Jum’at...
Bagimu harimu,
Yang tak hanya sebagai ikon perkumpulan...
Atau ritual mingguan,
Nan sepi dari nilai dan pelita umat,
tapi,
engkau yang sebenarnya...
adalah piranti penyatuan,
pergumulan perasaan diri,
atau perwujudan sikap egaliter dan persamaan,
yang tak ternodai dengan dosa-dosa sosial,
setelah berhiruk-pikuk hanya karena namamu...
engkau yang sebenarnya...
adalah tahta, tempat semua umat memenjarakan individualismenya,
demi sosialnya...
Friday, 18 Des’09
Pukul, 12.09 WIB
Engkau memang hanya nama sebuah hari,
nan diagungkan sebagian umat,
malammu perayaan-perayaan mengitarimu,
siangmu ibadah-ibadah bertaburan secara massif,
sebagian mereka berkata,
”inilah hari paling utama...”
Jum’at...
Itu hanyalah cerita kecil dari umat di alam ini...
Yang tak lebih dari sekedar huru-hara
Engkau memang tak seindah hari minggu,
yang mampu membatasi ruang aktifitas sebagian umat,
demi mengangunginya,
malamnyapun menjadi ikon malam keindahan,
atau hari Sabtu, yang menjadi ikon umat yahudi,
tapi, adakah karena itu semuanya perlu berubah?
Tidak...
Tidak ada yang perlu berubah,
Itu hanyalah jenaka dari retorika
Tentang paradigma yang tak substantif,
Tentang perbedaan yang tak perlu dibesar-besarkan…
Dan tentang kisah-kisah sosial yang tak penting disebar...
Jum’at...
Bagimu harimu,
Yang tak hanya sebagai ikon perkumpulan...
Atau ritual mingguan,
Nan sepi dari nilai dan pelita umat,
tapi,
engkau yang sebenarnya...
adalah piranti penyatuan,
pergumulan perasaan diri,
atau perwujudan sikap egaliter dan persamaan,
yang tak ternodai dengan dosa-dosa sosial,
setelah berhiruk-pikuk hanya karena namamu...
engkau yang sebenarnya...
adalah tahta, tempat semua umat memenjarakan individualismenya,
demi sosialnya...
Friday, 18 Des’09
Pukul, 12.09 WIB
Semoga Dia Baik-Baik Saja…
Tak ku sangka…
Pagi itu menjadi pagi yang kelam dalam separuh hidupku...
Aroma cerita dengan bumbu-bumbu tawa,
ataupun canda yang bertalun dalam syair-syair diskusi ria,
yang hampir tiap pagi berderai di antara kita...
berakhir sudah...
Rasanya...
Tiada berarti lagi semua kisah tentang keceriaan kita,
Salam dan sapamu yang khas,
Atau maafmu yang terlalu sering kau tumpahkan
Memang masih lekat, membisiki aliran darah jiwaku,
Semuanya mendekap terlanjur erat dalam batinku...
Hingga rasanya, takkan ada batas apapun yang sanggup menghalangi
Tapi, bagaimana lagi...
Kepercayaan itu telah terlanjur menjauh
angin kebahagiaanpun telah lekang,
dan hatipun sudah sungkan bersatu kembali...
biarlah...
pupus sudah asa yang sempat ku asah,
namun, walau tak ada takdir lain selain menerima kenyataan pahit ini...
aku masih ingin mendo’akannya,
semoga dia baik-baik saja
Bakornas Lapmi, 17 Des ’09
Pukul, 01.35 WIB.
Pagi itu menjadi pagi yang kelam dalam separuh hidupku...
Aroma cerita dengan bumbu-bumbu tawa,
ataupun canda yang bertalun dalam syair-syair diskusi ria,
yang hampir tiap pagi berderai di antara kita...
berakhir sudah...
Rasanya...
Tiada berarti lagi semua kisah tentang keceriaan kita,
Salam dan sapamu yang khas,
Atau maafmu yang terlalu sering kau tumpahkan
Memang masih lekat, membisiki aliran darah jiwaku,
Semuanya mendekap terlanjur erat dalam batinku...
Hingga rasanya, takkan ada batas apapun yang sanggup menghalangi
Tapi, bagaimana lagi...
Kepercayaan itu telah terlanjur menjauh
angin kebahagiaanpun telah lekang,
dan hatipun sudah sungkan bersatu kembali...
biarlah...
pupus sudah asa yang sempat ku asah,
namun, walau tak ada takdir lain selain menerima kenyataan pahit ini...
aku masih ingin mendo’akannya,
semoga dia baik-baik saja
Bakornas Lapmi, 17 Des ’09
Pukul, 01.35 WIB.
SAMPAH MUTIARA HIDUP
“Hal yang paling menjenuhkan adalah menunggu dalam ketidakpastian”
Kemampuan yang dimiliki manusia hanyalah ikhtiar, bukan menentukan hasil ikhtiar itu sendiri
Kesempurnaan manusia salah satunya ditandai dengan keberanian melawan ketidakmungkinan dan merubahnya menjadi kemungkinan-kemungkinan.
Belajarlah pada gerakan angin. Ia mampu menembus setiap ruang, walaupun terhalang dinding besi sekalipun
Ketahuilah, saat otak manusia betul-betul diperas, saat itu pulalah sebenarnya sumber-sumber solusi mulai mendekap
Kumpulan kaidah-kaidah kehidupan
untuk mengelupas kulit sang makna
17 Desember 2009
01.02 WIB
Kemampuan yang dimiliki manusia hanyalah ikhtiar, bukan menentukan hasil ikhtiar itu sendiri
Kesempurnaan manusia salah satunya ditandai dengan keberanian melawan ketidakmungkinan dan merubahnya menjadi kemungkinan-kemungkinan.
Belajarlah pada gerakan angin. Ia mampu menembus setiap ruang, walaupun terhalang dinding besi sekalipun
Ketahuilah, saat otak manusia betul-betul diperas, saat itu pulalah sebenarnya sumber-sumber solusi mulai mendekap
Kumpulan kaidah-kaidah kehidupan
untuk mengelupas kulit sang makna
17 Desember 2009
01.02 WIB
Wednesday, July 21, 2010
Tindakan Asusila tak Bisa Dibalas Dengan Maaf?
Oleh:Moh. Ilyas
Baru-baru ini permintaan maaf cukup ramai mewarnai pemberitaan media massa, baik media cetak maupun elektronik. Ungkapan maaf paling populer adalah saat Luna Maya dan Cut Tari minta maaf. Popularitas maaf mereka tak lepas dari semakin populernya mereka pasca-beredarnya video panas mereka dengan artis tampan, Nazriel Ilham alias Ariel.
Namun permintaan maaf mereka masih sangat debatable. Sebab, mengubah paradigma dan dampak negatif video mereka bagi masyarakat Indonesia tak semudah membalikkan telapak tangan. Masyarakat, terutama kaum muda dan remaja sudah terlalu jauh melampaui apa yang dibayangkan pascaberedarnya video mesum mereka. Saat ini, mereka tidak hanya menonton, tetapi sudah jauh melangkah dan bahkan mencoba meniru adegan yang mereka praktekkan
Dari sinilah persoalan maaf artis papan atas menjadi seperti kurang berarti karena dampak yang diciptakan telah begitu mencederai adat ketimuran (east culture). Kaum remaja tampak tak terlalu hirau dengan maaf itu, pikiran mereka seperti sudah terkungkung dengan praktek-praktek layaknya suami-istri di saat mereka di usia dini.
Filosofi Maaf
Minta maaf tidak dapat dipahami hanya dengan rangkaian kata secara lisan ataupun secara tulisan. Ia juga tak cukup diterjemahkan dengan wujud linangan air mata. Sebab, sesuatu yang jasadiyah dapat saja dipermainkan dan masih membuka ruang kemungkinan adanya rekayasa dan ketidakjujuran diri.
Sebagai sebuah terma tunggal, kata maaf tetap mengandung makna yang utuh. Ia tidak dapat berdiri sendiri karena secara essensial ia melingkupi segenap kepribadian manusia, baik secara fisik maupun secara mental. Artinya, maaf seseorang akan menjadi bermakna, jika disertai dengan ketulusan hati dan keinginan besar untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Pemahaman tersebut sengaja penulis analogkan dengan makna taubat dalam Islam. Alasannya, keduanya sama-sama diungkapkan dengan wujud rasa sesal atas sebuah perbuatan. Sehingga apabila ungkapan seseorang hanya dalam lisan saja atau tidak tulus untuk betul-betul berhenti dari kesalahan, maka dengan sendirinya maaf mereka menjadi gugur. Inilah kontekstualisasi makna taubat dalam firman Tuhan, 'Bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang baik'.
Maaf Sosial
Seperti diberitakan berbagai media, tiga artis yang lagi ‘ngetren’ mengguncang Indonesia lewat adegan video porno. Kedua dari mereka, yakni Cut Tari dan Luna Maya telah mengucapkan kalimat maaf kepada masyarakat Indonesia melalui konferensi pers. Pertanyaannya sekarang, cukupkah maaf itu menutup imbas video mereka terhadap masyarakat?
Dalam kajian sosiologis, maaf mereka menjadi perlu diperbincangkan karena menyangkut pribadi mereka dengan sosialnya. Barangkali – pengandaian penulis – masyarakat kita tidak sulit memberikan maaf. Hanya saja, mereka akan berpikir, 'maaf sah-sah saja, tapi apakah dampak yang sudah terlalu menyebar bisa ditarik kembali?'
Dengan kata lain, maaf sosial memerlukan kesamaan dan persamaan dengan realitas yang ada. Ketika realitas sosial yang ada itu masih menandai adanya beban-beban sosial sebagai dampak dari tindakan seseorang, maka orang tersebut tidak mudah mendapatkan maaf sosial. Demikian itu menjadi semacam pameo lazim dalam alam kosmos ini.
Hal tersebut jauh berbeda dengan maaf vertikal, yakni permintaan maaf seorang manusia terhadap Tuhannya. Dalam konteks vertikal, permintaan maaf lebih mudah. Sebab, Tuhan, dengan segenap kemurahan hati-Nya akan mengampuni kesalahan-kesalahan hamba-Nya. Bagi Dia, kesalahan yang tidak akan diampuni hanya jika seorang hamba menyekutukan eksistensi-Nya Yang Maha Tunggal (syirik).
Meski demikian, minta maaf tetap jauh lebih baik daripada tidak minta maaf. Ia mewujud sebagai refleksi kerendahan hati seseorang. Karenanya, ia menuntun seseorang pada kekuatan, bukan kelemahan.John McCloy, seorang anggota Angkatan Laut Amerika yang telah dua kali menerima medali kehormatan, mengatakan, "Mengakui kesalahan dan melakukan perubahan atas kesalahan adalah bentuk tertinggi dari penghormatan pada diri sendiri".
Kendati demikian, McCloy tampak tetap ingin menekankan pada aspek substansi. Artinya, maaf yang ia maksud adalah maaf yang mengedepankan inti terdalam serta nilai-nilai, bukan hanya sekedar lontaran kata yang mudah dilupakan dan orang tersebut segera kembali melakukan apa yang dimintakan maaf pada orang lain. Jika begitu, maka maafnya akan segera hilang tanpa arti.
Tentu saja masyarakat Indonesia tidak menginginkan kata maaf yang dilontarkan Cut Tari dan Luna Maya ke dalam jenis maaf yang tidak berarti itu. Masyarakat kita bisa dikatakan sangat elegan terhadap sebuah fenomena-fenomena fatal sekalipun. Meskipun awalnya melontarkan hujatan-hujatan, tapi lambat laun hujatan tersebut akan mengendor, hingga pada akhirnya akan menghilang. Inilah seberkas tradisi positif masyarakat kita yang masih tersisa.
Baru-baru ini permintaan maaf cukup ramai mewarnai pemberitaan media massa, baik media cetak maupun elektronik. Ungkapan maaf paling populer adalah saat Luna Maya dan Cut Tari minta maaf. Popularitas maaf mereka tak lepas dari semakin populernya mereka pasca-beredarnya video panas mereka dengan artis tampan, Nazriel Ilham alias Ariel.
Namun permintaan maaf mereka masih sangat debatable. Sebab, mengubah paradigma dan dampak negatif video mereka bagi masyarakat Indonesia tak semudah membalikkan telapak tangan. Masyarakat, terutama kaum muda dan remaja sudah terlalu jauh melampaui apa yang dibayangkan pascaberedarnya video mesum mereka. Saat ini, mereka tidak hanya menonton, tetapi sudah jauh melangkah dan bahkan mencoba meniru adegan yang mereka praktekkan
Dari sinilah persoalan maaf artis papan atas menjadi seperti kurang berarti karena dampak yang diciptakan telah begitu mencederai adat ketimuran (east culture). Kaum remaja tampak tak terlalu hirau dengan maaf itu, pikiran mereka seperti sudah terkungkung dengan praktek-praktek layaknya suami-istri di saat mereka di usia dini.
Filosofi Maaf
Minta maaf tidak dapat dipahami hanya dengan rangkaian kata secara lisan ataupun secara tulisan. Ia juga tak cukup diterjemahkan dengan wujud linangan air mata. Sebab, sesuatu yang jasadiyah dapat saja dipermainkan dan masih membuka ruang kemungkinan adanya rekayasa dan ketidakjujuran diri.
Sebagai sebuah terma tunggal, kata maaf tetap mengandung makna yang utuh. Ia tidak dapat berdiri sendiri karena secara essensial ia melingkupi segenap kepribadian manusia, baik secara fisik maupun secara mental. Artinya, maaf seseorang akan menjadi bermakna, jika disertai dengan ketulusan hati dan keinginan besar untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Pemahaman tersebut sengaja penulis analogkan dengan makna taubat dalam Islam. Alasannya, keduanya sama-sama diungkapkan dengan wujud rasa sesal atas sebuah perbuatan. Sehingga apabila ungkapan seseorang hanya dalam lisan saja atau tidak tulus untuk betul-betul berhenti dari kesalahan, maka dengan sendirinya maaf mereka menjadi gugur. Inilah kontekstualisasi makna taubat dalam firman Tuhan, 'Bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang baik'.
Maaf Sosial
Seperti diberitakan berbagai media, tiga artis yang lagi ‘ngetren’ mengguncang Indonesia lewat adegan video porno. Kedua dari mereka, yakni Cut Tari dan Luna Maya telah mengucapkan kalimat maaf kepada masyarakat Indonesia melalui konferensi pers. Pertanyaannya sekarang, cukupkah maaf itu menutup imbas video mereka terhadap masyarakat?
Dalam kajian sosiologis, maaf mereka menjadi perlu diperbincangkan karena menyangkut pribadi mereka dengan sosialnya. Barangkali – pengandaian penulis – masyarakat kita tidak sulit memberikan maaf. Hanya saja, mereka akan berpikir, 'maaf sah-sah saja, tapi apakah dampak yang sudah terlalu menyebar bisa ditarik kembali?'
Dengan kata lain, maaf sosial memerlukan kesamaan dan persamaan dengan realitas yang ada. Ketika realitas sosial yang ada itu masih menandai adanya beban-beban sosial sebagai dampak dari tindakan seseorang, maka orang tersebut tidak mudah mendapatkan maaf sosial. Demikian itu menjadi semacam pameo lazim dalam alam kosmos ini.
Hal tersebut jauh berbeda dengan maaf vertikal, yakni permintaan maaf seorang manusia terhadap Tuhannya. Dalam konteks vertikal, permintaan maaf lebih mudah. Sebab, Tuhan, dengan segenap kemurahan hati-Nya akan mengampuni kesalahan-kesalahan hamba-Nya. Bagi Dia, kesalahan yang tidak akan diampuni hanya jika seorang hamba menyekutukan eksistensi-Nya Yang Maha Tunggal (syirik).
Meski demikian, minta maaf tetap jauh lebih baik daripada tidak minta maaf. Ia mewujud sebagai refleksi kerendahan hati seseorang. Karenanya, ia menuntun seseorang pada kekuatan, bukan kelemahan.John McCloy, seorang anggota Angkatan Laut Amerika yang telah dua kali menerima medali kehormatan, mengatakan, "Mengakui kesalahan dan melakukan perubahan atas kesalahan adalah bentuk tertinggi dari penghormatan pada diri sendiri".
Kendati demikian, McCloy tampak tetap ingin menekankan pada aspek substansi. Artinya, maaf yang ia maksud adalah maaf yang mengedepankan inti terdalam serta nilai-nilai, bukan hanya sekedar lontaran kata yang mudah dilupakan dan orang tersebut segera kembali melakukan apa yang dimintakan maaf pada orang lain. Jika begitu, maka maafnya akan segera hilang tanpa arti.
Tentu saja masyarakat Indonesia tidak menginginkan kata maaf yang dilontarkan Cut Tari dan Luna Maya ke dalam jenis maaf yang tidak berarti itu. Masyarakat kita bisa dikatakan sangat elegan terhadap sebuah fenomena-fenomena fatal sekalipun. Meskipun awalnya melontarkan hujatan-hujatan, tapi lambat laun hujatan tersebut akan mengendor, hingga pada akhirnya akan menghilang. Inilah seberkas tradisi positif masyarakat kita yang masih tersisa.
Sunday, February 14, 2010
Ketika Krisis Kebenaran Merasuki Penegakan Hukum...
Oleh Moh. Ilyas
Kamis (11/2) kemarin menjadi hari yang sangat dinanti-nantikan oleh publik, terutama pemerhati hukum di Indonesia. Pasalnya, hari itu merupakan sidang penentuan terhadap Mantan Ketua KPK, Antasari Azhar, apakah ia betul-betul penyebab di balik terbunuhnya direktur PT Rajawali Banjaran, Nasruddin Zulkarnaen atau tidak?
Wal hasil dalam sidang tersebut diputuskan bahwa Antasari dianggap terbukti berada di balik kematian Nasruddin. Akibatnya, dia pun divonis dengan hukuman penjara 18 tahun. Tapi apa kata publik menyikapi putusan tersebut? Tentu dalam hal ini suara publik pun terpecah. Di satu sisi ada yang kagum kepada Antasari dengan menganggapnya telah berjasa memberantas jemaah korupsi di Indonesia, ketika ia sedang berada di pucuk pimpinan KPK. Bagi mereka vonis itu terasa memberatkan. Apalagi di tengah hiruk pikuk politik yang disinyalir tudingan terhadapnya pun bermuatan politis, yakni upaya pelemahan eksistensi KPK, sebagaimana terbukti terhadap dua orang rekannya, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.
Namun di sisi lain, suara berlainan arah pun berdatangan. Mereka sepakat dengan hukuman itu. Bahkan mereka juga menganggap vonis 18 tahun itu terlalu rendah, mengingat kesalahannya adalah membunuh. Tidak sedikit dari mereka pun yang menuntunya dengan hukuman mati. Sebagian dari mereka adalah keluarga Nasruddin. Sebagian lainnya adalah orang-orang yang ”membenci” Antasari, lantaran mereka pernah terjerat hukum KPK. Sebagian dari mereka adalah politisi, pengusaha, birokrat hingga para mafioso hukum.
Sinyal Krisis Kebenaran
Metro TV, salah satu stasiun televisi swasta kita, pada Sabtu (13/2) malam menayangkan wawancara eksklusif dengan Antasari. Dalam wawancara itu, Antasari menjamin seribu persen, dirinya tidak bersalah. Bahkan ia sangat yakin, di balik tuduhan pembunuhan kepada dirinya ada skenario. Ia pun mengatakan, seandainya dirinya tidak menjadi ketua KPK, ia tak akan mengalami nasib seperti itu. Sebab, kata Antasari, sejak dia menjerat banyak koruptor, banyak pula orang yang mulai tidak suka terhadap dirinya. Benarkah pengakuan ini?
Terlepas dari benar tidaknya, namun beberapa kasus salah tangkap dan salah penanganan hukum telah berkali-kali mencoreng wajah penegakan hukum di negeri ini. Kick Andy, program spesial ala Metro TV pada Jumat (12/2) mencoba menguak krisis kebenaran dalam mengungkap fakta hukum. Dalam tayangan tersebut dihadirkan orang-orang yang pernah menjadi korban keganasan hukum yang dilanda krisis kebenaran. Beberapa dari mereka adalah Asun, Fuyangli dan Aliong. Ketiganya adalah warga Singkawang, Kalimantan yang divonis 10 tahun karena tuduhan pembunuhan. Namun, mereka pun akhirnya dinyatakan bebas setelah kuasa hukum mereka memperjuangkan keberadaan mereka sebagai orang yang tidak bersalah. Pada diri mereka tidak ditemukan bukti sedikit pun bahwa mereka telah melakukan pembunuhan. Mereka mendekam di penjara selama 17 bulan.
Begitu pun yang terjadi pada Imam Chambali dan Maman yang dituduh membunuh mayat yang diduga bernama Asrorul di Jombang, Jawa Timur. Mereka pun dibebaskan setelah naik banding dan diketahui secara mendalam bahwa nama mayat yang dianggap Asrorul itu bernama Fauzin Suyanto. Sedangkan nama pembunuhnya adalah Rudi Hartono.
Anehnya kasus ini terungkap bukan karena ikhtiar polisi atau pun jaksa yang meminjam bahasa Abdul Hakim Garuda Nusantara – para penegak hukum tidak mau menggali kebenaran, tapi hanya ingin mendapatkan kebenaran sesingkat mungkin dengan cara menyiksa orang yang dituduh dengan cara ditendang dan dipukul hanya agar mengakui. Walaupun mereka tidak melakukannya. Begitupun dengan kasus ”cicak versus buaya” yang menyedot perhatian publik begitu dahsyatnya. Dalam kasus tersebut, Bibit-Chandra, dua orang pimpinan KPK yang diobok-obok polisi dengan tuduhan yang gonta-ganti dan tidak jelas. Dampaknya, publik ”turun tangan” menghakimi polisi, baik melalui demonstrasi ataupun gebrakan "hakim online”. Sebuah fenomena krisis kebanaran yang merasuki penegakan hukum kita.
Krisis kebenaran dalam fakta-fakta tersebut merupakan sinyal tidak lagi ditemukannya sebuah terobosan secara serius mencari kebenaran. Dalam konteks itu status kebenaran bisa diganti-ganti. Dari putih menjadi kelabu, dari terang menjadi buram dan seterusnya. Kebenaran seperti bola di lapangan hijau yang bisa ditendang kesana-kemari sesuai dengan kehendak pemain-pemain di lapangan. Bukankah ini model mencari kebenaran di negeri ini? Barangkali kata bijak, ”Kebenaran bukan untuk semua orang, tapi hanya untuk mereka yang mencarinya," yang diucapkan Ayn Rand (1905-1982), penulis kelahiran Rusia telah menjadi kenyataan. Di mana orang yang tahu kebenaran ingin menutup rapat-rapat, sementara orang yang betul-betul ingin tahu kebenaran harus bersusah-susah dahulu. Jika begitu, apakah ini juga bisa diterjemahkan dalam mencari kebenaran fakta proses penegakan hukum kita?
Pihak Ketiga
Jika apa yang diprediksi Antasari Azhar, yakni ada pihak ketiga dalam kasus yang menimpa dirinya itu benar, semua orang tentu akan sama-sama bertanya, siapakah gerangan pihak ketiga itu? Pertanyaan-pertanyaan itu pun akan melahirkan spekulasi-spekulasi jawaban tentang siapa dan siapa pihak ketiga itu.
Namun, perlu kita akui, fenomena Antasari merupakan fenomena yang sangat dekat disambungkan dengan kekuasaan. Sebab, apa yang sempat ditorehkannya saat memimpin KPK dengan menjegal para koruptor, yang kebanyakan adalah penguasa, telah membuat para penguasa-penguasa itu sakit hati. Akibatnya, orang-orang yang sakit hati bergegap gempita mengatur strategi bagaimana mengakhiri aktifitas Antasari dan bagaimana melemahkan kerja-kerja profesional KPK sebagai lembaga yang mereka takuti.
Ini pun sebenarnya masih dalam wilayah ”penjajakan spekulatif” penulis. Meski demikian, bukan hal mustahil spekulasi itu akan menemukan kesepahaman dengan fakta nantinya. Sebab, penguasa-penguasa korup itu bisa menerapkan gaya politik Machiavelli yang menghalalkan segala cara demi mencapai kepentingannya. Selain itu, bukankah Lord Acton telah tegas mengatakan, power tends to corrupt. Absolute power corrupt absolutely?
* Penulis adalah Peneliti Bidang Hukum di Centre of Social and Humanism Studies (CSHS), Jakarta.
Kamis (11/2) kemarin menjadi hari yang sangat dinanti-nantikan oleh publik, terutama pemerhati hukum di Indonesia. Pasalnya, hari itu merupakan sidang penentuan terhadap Mantan Ketua KPK, Antasari Azhar, apakah ia betul-betul penyebab di balik terbunuhnya direktur PT Rajawali Banjaran, Nasruddin Zulkarnaen atau tidak?
Wal hasil dalam sidang tersebut diputuskan bahwa Antasari dianggap terbukti berada di balik kematian Nasruddin. Akibatnya, dia pun divonis dengan hukuman penjara 18 tahun. Tapi apa kata publik menyikapi putusan tersebut? Tentu dalam hal ini suara publik pun terpecah. Di satu sisi ada yang kagum kepada Antasari dengan menganggapnya telah berjasa memberantas jemaah korupsi di Indonesia, ketika ia sedang berada di pucuk pimpinan KPK. Bagi mereka vonis itu terasa memberatkan. Apalagi di tengah hiruk pikuk politik yang disinyalir tudingan terhadapnya pun bermuatan politis, yakni upaya pelemahan eksistensi KPK, sebagaimana terbukti terhadap dua orang rekannya, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.
Namun di sisi lain, suara berlainan arah pun berdatangan. Mereka sepakat dengan hukuman itu. Bahkan mereka juga menganggap vonis 18 tahun itu terlalu rendah, mengingat kesalahannya adalah membunuh. Tidak sedikit dari mereka pun yang menuntunya dengan hukuman mati. Sebagian dari mereka adalah keluarga Nasruddin. Sebagian lainnya adalah orang-orang yang ”membenci” Antasari, lantaran mereka pernah terjerat hukum KPK. Sebagian dari mereka adalah politisi, pengusaha, birokrat hingga para mafioso hukum.
Sinyal Krisis Kebenaran
Metro TV, salah satu stasiun televisi swasta kita, pada Sabtu (13/2) malam menayangkan wawancara eksklusif dengan Antasari. Dalam wawancara itu, Antasari menjamin seribu persen, dirinya tidak bersalah. Bahkan ia sangat yakin, di balik tuduhan pembunuhan kepada dirinya ada skenario. Ia pun mengatakan, seandainya dirinya tidak menjadi ketua KPK, ia tak akan mengalami nasib seperti itu. Sebab, kata Antasari, sejak dia menjerat banyak koruptor, banyak pula orang yang mulai tidak suka terhadap dirinya. Benarkah pengakuan ini?
Terlepas dari benar tidaknya, namun beberapa kasus salah tangkap dan salah penanganan hukum telah berkali-kali mencoreng wajah penegakan hukum di negeri ini. Kick Andy, program spesial ala Metro TV pada Jumat (12/2) mencoba menguak krisis kebenaran dalam mengungkap fakta hukum. Dalam tayangan tersebut dihadirkan orang-orang yang pernah menjadi korban keganasan hukum yang dilanda krisis kebenaran. Beberapa dari mereka adalah Asun, Fuyangli dan Aliong. Ketiganya adalah warga Singkawang, Kalimantan yang divonis 10 tahun karena tuduhan pembunuhan. Namun, mereka pun akhirnya dinyatakan bebas setelah kuasa hukum mereka memperjuangkan keberadaan mereka sebagai orang yang tidak bersalah. Pada diri mereka tidak ditemukan bukti sedikit pun bahwa mereka telah melakukan pembunuhan. Mereka mendekam di penjara selama 17 bulan.
Begitu pun yang terjadi pada Imam Chambali dan Maman yang dituduh membunuh mayat yang diduga bernama Asrorul di Jombang, Jawa Timur. Mereka pun dibebaskan setelah naik banding dan diketahui secara mendalam bahwa nama mayat yang dianggap Asrorul itu bernama Fauzin Suyanto. Sedangkan nama pembunuhnya adalah Rudi Hartono.
Anehnya kasus ini terungkap bukan karena ikhtiar polisi atau pun jaksa yang meminjam bahasa Abdul Hakim Garuda Nusantara – para penegak hukum tidak mau menggali kebenaran, tapi hanya ingin mendapatkan kebenaran sesingkat mungkin dengan cara menyiksa orang yang dituduh dengan cara ditendang dan dipukul hanya agar mengakui. Walaupun mereka tidak melakukannya. Begitupun dengan kasus ”cicak versus buaya” yang menyedot perhatian publik begitu dahsyatnya. Dalam kasus tersebut, Bibit-Chandra, dua orang pimpinan KPK yang diobok-obok polisi dengan tuduhan yang gonta-ganti dan tidak jelas. Dampaknya, publik ”turun tangan” menghakimi polisi, baik melalui demonstrasi ataupun gebrakan "hakim online”. Sebuah fenomena krisis kebanaran yang merasuki penegakan hukum kita.
Krisis kebenaran dalam fakta-fakta tersebut merupakan sinyal tidak lagi ditemukannya sebuah terobosan secara serius mencari kebenaran. Dalam konteks itu status kebenaran bisa diganti-ganti. Dari putih menjadi kelabu, dari terang menjadi buram dan seterusnya. Kebenaran seperti bola di lapangan hijau yang bisa ditendang kesana-kemari sesuai dengan kehendak pemain-pemain di lapangan. Bukankah ini model mencari kebenaran di negeri ini? Barangkali kata bijak, ”Kebenaran bukan untuk semua orang, tapi hanya untuk mereka yang mencarinya," yang diucapkan Ayn Rand (1905-1982), penulis kelahiran Rusia telah menjadi kenyataan. Di mana orang yang tahu kebenaran ingin menutup rapat-rapat, sementara orang yang betul-betul ingin tahu kebenaran harus bersusah-susah dahulu. Jika begitu, apakah ini juga bisa diterjemahkan dalam mencari kebenaran fakta proses penegakan hukum kita?
Pihak Ketiga
Jika apa yang diprediksi Antasari Azhar, yakni ada pihak ketiga dalam kasus yang menimpa dirinya itu benar, semua orang tentu akan sama-sama bertanya, siapakah gerangan pihak ketiga itu? Pertanyaan-pertanyaan itu pun akan melahirkan spekulasi-spekulasi jawaban tentang siapa dan siapa pihak ketiga itu.
Namun, perlu kita akui, fenomena Antasari merupakan fenomena yang sangat dekat disambungkan dengan kekuasaan. Sebab, apa yang sempat ditorehkannya saat memimpin KPK dengan menjegal para koruptor, yang kebanyakan adalah penguasa, telah membuat para penguasa-penguasa itu sakit hati. Akibatnya, orang-orang yang sakit hati bergegap gempita mengatur strategi bagaimana mengakhiri aktifitas Antasari dan bagaimana melemahkan kerja-kerja profesional KPK sebagai lembaga yang mereka takuti.
Ini pun sebenarnya masih dalam wilayah ”penjajakan spekulatif” penulis. Meski demikian, bukan hal mustahil spekulasi itu akan menemukan kesepahaman dengan fakta nantinya. Sebab, penguasa-penguasa korup itu bisa menerapkan gaya politik Machiavelli yang menghalalkan segala cara demi mencapai kepentingannya. Selain itu, bukankah Lord Acton telah tegas mengatakan, power tends to corrupt. Absolute power corrupt absolutely?
* Penulis adalah Peneliti Bidang Hukum di Centre of Social and Humanism Studies (CSHS), Jakarta.
Subscribe to:
Posts (Atom)