Welcome to Ilyas' Site

Friday, December 24, 2010

Bola dan Nasionalisme

Oleh Moh Ilyas

Setelah tontonan spektakuler World Cup usai pertengahan Juli lalu, kini jutaan mata di Indonesia kembali tertuju ke benda bulat itu. Mereka bergegap gempita menuju Gelora Bung Karno (GBK) untuk menyaksikan olahraga kesebelasan Tim Nasional Indonesia. Bahkan mereka berani menghabiskan waktu berjam-jam dengan mengantre demi mendapatkan selembar tiket masuk.

Bedanya, jika Piala Dunia kemarin masyarakat Indonesia menjagokan pilihan masing-masing negara kelas kakap dalam percaturan sepakbola sejagat, kali ini tidak. Kali ini, dukungan masyarakat Indonesia "satu suara" dan tidak alasan untuk pecah. Sebab tim yang berlaga atraktif dan memesona adalah kesebalasan Timnas Indonesia sendiri.

Dalam perhelatan semifinal Indonesia-Filipina Babak kedua misalnya, ribuan manusia berani mengantre mulai sekitar pukul 11.00 siang hingga pukul 16.00 di tempat pembelian tiket GBK. Tak hanya itu, di Terminal Bus Akap Kampung Rambutan, salah seorang penumpang bus Jakarta-Bandung memaksa turun dan menggagalkan tumpangannya demi menyaksikan laga Timnas. Alasannya karena di bus yang dia tumpangi tak tersedia televisi.

Ahad (26/12) ini, penggila bola Tanah Air akan kembali memfokuskan perhatiannya pada final AFF antara Indonesia-Malaysia. Meski babak pertama tak digelar di kandang sendiri, namun tentu saja hati masyarakat Indonesia akan 'dag dig dug' menunggunya. Bahkan sejak beberapa hari sebelum pertandingan.

Kondisi semacam itu tak rumit dijumpai. Misalnya, banyaknya masyarakat yang menyaksikan langsung latihan Timnas menjelang laga final. "Saat ini, latihan saja menarik ditonton orang-orang," kata salah seorang pemerhati bola. Belum lagi Talk Show, Diskusi, hingga Humor yang menampilkan tayangan bola, baik melalui pengamat, pelatih, maupun pemainnya secara langsung.

Bahkan simbol Garuda Pancasila yang dikumandangkan melalui lagu 'Garuda di Dadaku' membahana di setiap sudut kota. Anak-anak usia Sekolah Dasar pun ceria sembari berlari menendangkan lagu ini. Maklum, masyarakat Indonesia di semua usia bisa dibilang mendadak demam bola sejak kemenangan berturut-turut sejak dalam babak penyisihan AFF. Berawal dari kemenangan besar 5-1 atas Malaysia, membantai Laos 6-0, menundukkan Thailand 2-1, dan mempermalukan Filipina 2-0 dalam dua babak semifinal.

Tidak Semata Gila Bola

Tentu saja sebagian penonton kesebelasan Timnas baik langsung di GBK maupun melalui stasiun televisi di rumah merupakan penggemar atau penggila bola. Namun, penonton tetaplah penonton. Tak perlu dibedakan antara mereka yang memang gila bola maupun yang tidak.

Lantas, adakah yang perlu dibedakan? Nasionalisme. Barangkali tidak sedikit orang yang - mungkin awalnya tidak begitu tertarik terhadap sepakbola, tapi ketika pemain lapangan hijau adalah kontingen Indonesia sendiri yang sedang melawan negara lain, maka saat itulah fanatisme dan kegemaran menyaksikan permainan lapangan hijau itu tumbuh.

Fenomena ini secara tidak langsung mencerminkan masih hidupnya rasa nasionalisme kita. Kita tidak akan pernah rela jika rasa kebangsaan kita diusik dan diganggu. Kita juga tidak ingin darah harga diri bangsa ini tercecer berjatuhan, apalagi 'direndahkan' bangsa lain.

Sepakbola memang bukanlah permainan yang diperuntukkan menjatuhkan negara tertentu. Tetapi tak bisa dipungkiri bahwa dari sepakbola pulalah, harga dan martabat bangsa akan semakin tinggi. Tak ayal, olah raga ini bisa dikategorikan salah satu piranti membangun masa depan bangsa.

Sekadar imsal, Brazil yang merupakan negara terbesar kelima terpadat pendduknya dan negara terbesar kelima setelah Rusia, Canada, Republik Rakyat Cina, dan Amerika Serikat, sebenarnya sangat istimewa. Tetapi, apakah lantas negara seluasa 8.511.965 kilometer persegi itu puas dengan itu? Tentu saja tidak.

Popularitas Brazil di pentas internasional tidak dibangun karena faktor luas wilayah, tetapi karena kualitas persepakbolaannya. Barangkali jika kita bertanya kepada orang-orang di belahan bumi ini dengan pertanyaan semisal, 'Apa yang anda ketahui tentang Brazil?' Jawabannya menurut hemat penulis tidak akan jauh dari, 'Brazil adalah negara hebat dalam sepakbola'.

Dengan jawaban ini, masyarakat dunia memahami bahwa Brazil sebenarnya bukanlah negara sempurna, sebagaimana kualitas sepakbola mereka. Tetapi, justru ketidaksempurnaan itu ditutupi dengan kualitas olahraga yang memiliki peminat terbesar itu.

Inilah fenomena sepakbola yang mampu menjadi jembatan nasionalisme. Walaupun jenis olah raga lainnya seperti tinju, bulu tangkis, dan seterusnya juga bisa menjadi alat mempertaruhkan jati diri bangsa, namun tak sehebat sepakbola.

Rasa nasionalisme masyarakat kita tidak perlu diragukan akan luntur, justru ia sepatutnya mendapatkan pujian dan apresiasi, terutama ketika mengambil variabel sepakbola sebagai instrumen penilaiannya. Tentu saja pikiran kita akan berdebar-debar dalam beberapa hari ke depan saat final AFF antara Indonesia dan Malaysia. Kita menunggu Timnas juara.

Inkonsistensi Nasionalisme

Lagu-lagu simbol nasionalisme, seperti 'Garuda di Dadaku' boleh jadi menggema di semua sudut negeri ini. Tetapi sekadar menyanyikan lagu pada prinsipnya tidak cukup menerjemahkan nasionalisme yang sebenarnya. Sebab nasionalisme sejatinya bukan hanya perkataan atau ungkapan melalui lisan, tetapi ia menyeruak masuk menjadi perasaan hati.

Dengan kata lain, perwujudan nasionalisme tentu harus menyentuh ke relung-relung hati kita, sehingga untuk menodai negeri ini dengan berbagai tindakan tidak mungkin terjadi.

Sementara, penulis menilai bahwa masih terjadi salah kaprah dan inkonsistensi rasa nasionalisme di negeri ini. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya masyarakat kita yang mengungkapkan kecintaan dan dukungan terhadap Timnas, namun di sisi lain ia menodai negeri ini, misalnya dengan tindak korupsi.

Wacana nasionalisme menjadi usang ketika kita memerhatikan masalah korupsi. Betapa tidak, korupsi sudah begitu terkoordinasi dan terstruktur. Bahkan tak tanggung-tanggung, The Straits Times, salah satu koran terkemuka di Singapura, pernah sekali memberitakan bahwa Indonesia sebagai The Envelope Country (negara amplop).

Belum lagi kasus skandal hukum, mafia pajak, dan isu suap yang lagi menggerogoti penegak hukum kita. Jika kita mengingat hal itu, wacana nasionalisme sepakbola menjadi tergadaikan. Namun, apa boleh dikata, nasi sepertinya telah menjadi bubur. Keinginan memberanguskan skandal korupsi tampaknya hanya menjadi sekadar keinginan semata, tak pernah ada realisasi. Sehingga kita seperti kehilangan harapan menegakkan nasionalisme secara universal. Kendati demikian, kita masih memiliki harapan bahwa tumbuhnya rasa nasionalisme secara universal nantinya bisa hadir dari tontonan sepakbola ini.

Terminal Leuwi Panjang,
IZI Learning Center Jln Ambon,
dan Taman Pramuka Bandung, 24/12/2010
Pukul 21.33 WIB

No comments:

Post a Comment

Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!