Oleh: Moh. Ilyas*
Abad 21, abad penentuan. Begitulah kiranya kita memaknai abad ini. Dikatakan penentuan, karena fenomena-fenomena hidup yang sebelumnya 'asing dan tabu', saat ini dua kata itu nyaris hilang total. Tak ada lagi bahasa tabu. Ya, inilah abad keterbukaan itu.
Selain itu disebut penentuan, karena individu-individu yang ada di jagad ini seolah sudah ditentukan sepenuhnya oleh kekuatan informasi. Semua masyarakat yang bercokol sudah melek informasi, sehingga mindset mereka pun menjadi information oriented.
Inilah era yang menandai lahirnya global village (desa global) yang kemudian mengantarkan istilah globalisasi. Era global ini adalah proses masuknya sebuah negara ke ruang lingkup dunia, sehingga sekat-sekat atau tapal batas antar negara akan semakin kabur. Di sinilah asal muassal era kemajuan informasi itu.
Kemajuan teknologi informasi ini ibarat ledakan bom yang siap meluluhlantakkan peradaban manusia dan mengarahkannya atau meminjam bahasa Collin Cherry, seorang ilmuwan kognitif Inggris (1914–1979) dengan istilah explosion (letusan). Istilah ini muncul karena kuatnya pengaruh informasi terhadap pembentukan dan perubahan karakter manusia.
Menurutnya, di antara dampaknya adalah semakin tingginya peradaban atau justru hancurnya peradaban. Ia juga menandai lahirnya masyarakat modern sebagai dampak industrialisasi dan teknologisasi yang merupakan masyarakat dengan struktur kehidupan yang dinamis-kreatif untuk melahirkan gagasan-gagasan demi kepentingan manusia dalam berbagai sektor kehidupan.
Tak ketinggalan juga HMI. Organisasi mahasiswa di usianya yang ke 63 tahun ini terbawa juga oleh derasnya informasi. Hal ini tidak lepas dari kian canggihnya komunikasi sebagai bagian dari dampak kuatnya informasi itu sendiri.
Dengan kata lain, HMI sebagai social sphere (ruang sosial) tidak mungkin memisahkan diri dari sosialnya. Bagi HMI, lepas dari nilai-nilai sosial adalah suatu kemuspraan yang justu menghancurkan dirinya sendiri. Barangkali di sinilah relevansi pandangan seorang pakar komunikasi, B. Aubrey Fisher yang mengatakan, "Tidak ada persoalan sosial yang tidak melibatkan komunikasi."
Dari sini pula kemudian terlukiskan bahwa komunikasi merupakan sesuatu yang ubiquitous atau serba hadir. Artinya, di wilayah sosial manapun komunikasi senantiasa diperlukan, termasuk juga di HMI.
Pertaruhan HMI
Tentu saja keterlibatan HMI melalui diskursus komunikasi dan informasi dalam konteks sosialnya ini bukan tanpa beban. Di pundaknya terdapat ribuan beban yang mesti dipikul. Itu semua, jika organisasi besutan Lafran Pane ini tidak ingin tenggelam dalam lautan ketidakpastian, bahkan kebinasaan.
Beban-beban itu merupakan konsekuensi logis dari kian melejitnya teknologi informasi. Untuk sekadar menyebut contoh dari beban itu ialah beban sejarah. HMI tak bisa lepas dari dinamika sejarah yang dilaluinya. Sejarah itu, tentu akan menjadi beban bagi HMI hari ini, jika tak dapat melampaui sejarahnya sendiri. Artinya, tempo dulu, saat HMI baru didirikan atau saat menginjak masa remaja pada tahun 60 sampai 80-an, ia mampu menemukan sekaligus menciptakan masa kejayaannya.
Saat itu, HMI lahir sebagai punggawa besar yang mengawal bangsa ini, mulai dari hantaman kolonial Belanda hingga turut berpartisipasi dalam pembangunan. Bahkan bisa dikatakan, jargon 'Islam Yes, Partai Islam No' yang dikemukakan Cak Nur (panggilan akrab Nurcholish Madjid sebagai tokoh HMI) juga mendesakralisasi agama yang sering dicampuradukkan dengan partai politik. Dalam konteks ini, ia sepertinya ingin menghilangkan politisasi agama.
Tak ayal, kala itu kejayaan HMI cenderung lahir dari pemikiran - yang jauh dari kemajuan teknologi. Belum ada yang namanya facebook, twitter, friendster, dan bahkan portal-portal berita online di negeri ini. Tetapi, mengapa justru kejayaan bisa digapai jauh lebih besar dibanding hari ini?
Padahal jika dibandingkan, kekayaan informasi yang begitu dahsyat, khazanah pengetahuan, dan hasil-hasil risat dunia saat ini terhampar luas di dunia maya. Tak perlu kita ke USA untuk menyaksikan aktivitas Presiden Obama pada saat berlangsung. Tak perlu juga kita ke Iran untuk mengetahui pidato-pidato perlawanan dan keberanian Ahmadinejad dalam mengemukakan perlawanan terhadap Barat pada saat yang bersamaan.
Kendati demikian, kita tidak bisa menyalahkan adanya teknologi informasi. Menolak ataupun menggugatnya juga sudah bukan pilihan yang tepat dan tak ada artinya dilakukan. Mungkin lebih tepat kita mengikuti pepatah Cina, "Lebih baik menyalakan satu lilin dari pada mengutuk kegelapan."
Alternatif yang bisa ditempuh HMI bukanlah melawan arus teknologi informasi. Tetapi, kita bisa memanfaatkannya sebagai new power (kekuatan baru) untuk me-redesign kejayaan HMI. Dan, sebenarnya untuk menciptakan power, teknologi informasi inilah tempatnya.
Tidak salah jika kemudian Ziauddin Sardar, menegaskan bahwa informasi merupakan kekuasaan. Tanpa informasi seseorang tidak memiliki kekuasaan. Menurutnya, jika informasi dibolehkan mengalir secara bebas dalam masyarakat, maka ia akan memberikan jalan ke arah kekuasaan kepada masyarakat yang terbelakang serta akan mencegah konsentrasi kekuasaan pada segelintir orang.
Jika pertanyaan yang kita ajukan, mengapa di era yang sudah serba canggih ini justru HMI seperti kalut dalam kejumudan? atau pertanyaan lainnya, mengapa HMI tak dapat melahirkan tokoh-tokoh sekaliber Cak Nur, Ahmad Wahib, Dawam Raharjo, Mukti Ali, Azzumardi Azyra, dan Amien Rais dalam bidang pemikiran Islam saat ini? Apakah saat ini wacana intelektualisme sudah tidak lagi menarik di kalangan kader? Apakah kecanggihan informasi saat ini justru menjungkir-balikkan kader HMI itu sendiri?
Inilah kondisi yang mestinya dikaji dan dijawab dalam rumpun komunitas Hijau-Hitam saat ini. Tampaknya ada yang salah dengan cara kader HMI menyambut dan bersosialisasi dengan kemajuan itu.
HMI bisa dikatakan terjebak pada romantisme dan budaya instan yang diusung kemajuan teknologi. Akibatnya, Intellectual Sphere (ruang intelektual), yang tempo dulu hidup di HMI, hari ini sudah sangat jarang didapat. Saat ini sulit ditemukan model-model forum diskusi seperti 'limited Groupnya' Ahmad Wahib, Johan Effendi, dan Dawam Raharjo, atau 'KKA'-nya Cak Nur di Paramadina.
Hari ini forum diskusi itu sudah beralih ke dunia maya, berganti dengan bahasa chatting. Keuletan membaca, mengkaji, dan meneliti telah tergantikan oleh fenomena chatting, browsing, dan downloading. Ghirah inteletual pun memudar dengan sendirinya.
Tempo dulu, untuk menghasilkan karya penelitian diperlukan kajian yang mendalam dari kompilasi khazanah-khazanah ilmu pengetahuan. Tapi saat ini, sangat instan. Hanya dengan mengklik search engine di internet, kita sudah tinggal memilih dan mendownload-nya. Kondisi inilah yang menjadi tantangan bagi HMI di abad melek informasi ini. Jika tidak, kejayaan HMI hanya akan menjadi sejarah yang layak dimuseumkan atau ia hanya akan menjadi menara gading yang takkan pernah tersentuh oleh kader-kader HMI itu sendiri.
* Penulis, Sekjen Bakornas LAPMI PB HMI
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!