Oleh Moh Ilyas
Senin (29/11) lalu, aku hanya bisa pasrah beraktivitas di Bandung. Tak ada insiatif melangkah, tak ada sense to be creative, dan tak ada gagasan tentang hal-hal yang layak diekspose siang itu. Mencipta isu baru pun masih kewalahan, karena memang saat itu, Gedung Sate, yang menjadi pusat pemerintahan Jawa Barat, masih betul-betul baru dalam hidupku.
Maklum, saat itu baru pertama kalinya aku menginjakkan kaki di gedung yang di atasnya terdapat ujung seperti tusukan sate, setelah sekitar 1 bulan 20 hari sebelumnya aku menghabiskan waktu reporting di Kabupaten Bandung, Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat. Di gedung itu, melangkah dalam pergaulan pun masih kaku, karena semuanya serba baru. Walau aku bertegur sapa, namun belum cukup menjadi penawar kebingunganku.
Akhirnya, ku pasrahkan saja rencanaku pada aliran waktu saat itu. Hari pertama di Pemprov (begitu, ia sering disebut) aku mendapatkan beberapa pengalaman baru, mulai dari suasana, teman, dan pikiranku. Aku biasanya berpikir, mendapatkan sepotong berita begitu mudahnya, namun saat itu begitu sulit. Tapi setidaknya, aku mengusung informasi tentang langkah Jabar dalam merespon Huffadzul Qur'an di Jawa Barat.
Esoknya, pergaulan semakin hidup dan luas. Peristiwa longsor pun yang menewaskan tiga orang di Cimenyan, Dago Atas telah ku dengar. Ditambah lagi, Pameran Pendidikan Islam oleh Kementerian Agama di Hotel Jayakarta yang harus aku singgahi. Malamnya pun aku liputan Kongres BEM Nusantara di Universitas Islam Bandung, di Ciburial, Cimenyan. Hari kedua ini setidaknya mulai membuka cakrawala baru reporting di lingkungan orang nomor wahid di Jabar.
Hari ketiga, aku belajar memetakan arah dan perspektif liputanku. Meski masih cenderung terlibat di seremonial, seperti Pameran Pendidikan Islam di Jayakarta Hotel dan APPSI Expo di Gasibu, namun aku mulai mengenal ruang lingkup news di Jabar. Begitupun pada hari keempat yang masih mengantarkanku berkutat di dunia acara, seperti Pembukaan Rakernas APPSI dan Pengarahan Wakil Presiden RI terhadap Gubernur se-Indonesia di Grand Hotel Preanger, Bandung. Meski demikian, aku tak larut dalam seremonial. Hari itu, aku juga mulai 'berani' menggagas ide semisal, koperasi yang kolaps hingga pemberdayaan pesantren di Jabar.
Hari kelima pun masih sama. Aksi difable (orang cacat) di Gedung Sate dan '2010 Degradable Grade Seminar' di Hotel Hilton Bandung menjadi fokus liputanku hari itu. Meski hari itu, ada keinginan mengusung ide pembangunan gedung baru DPRD, namun terpaksa diurungkan, karena alasan tertentu.
Kendati demikian, kisah-kisah ini bukan tanpa identitas arti. Justru dari sinilah beberapa persahabatan di tengah lingkungan baru mulai terasa, interaksi yang lebih butuh kepekaan teruji, sebab aku berada di tengah kaum jurnalis yang lebih variatif dengan nuansa-nuansa orientasi yang tidak seirama.
Aku belajar memahami bahwa semua ini tidaklah sekadar kisah baru, tetapi ia merupakan arti baru yang tidak mudah diartikulasikan hanya dalam teks-teks tulisan. Teks-teks yang jauh dari jangkauan ketikan jemari adalah teks naluri, rasa, dan hati. Ia merupakan sesuatu yang suci, jujur, tulus, dan bahkan mutlak. Saat terelaborasi dalam dunia kata, dunia tulis, dan dunia cerita ke alam nyata, sangat mungkin adanya distorsi, penambahan, pengurangan, dan bahkan deviasi.
Tetapi apapun itu, aku ingin memahaminya dalam satu kata 'arti'. Ya, itulah perjalanan lima hari menjelang akhir pekan ini.
Bandung, 3/12/2010
Pukul 23.16 WIB
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!