Welcome to Ilyas' Site

Sunday, February 14, 2010

Ketika Krisis Kebenaran Merasuki Penegakan Hukum...

Oleh Moh. Ilyas


Kamis (11/2) kemarin menjadi hari yang sangat dinanti-nantikan oleh publik, terutama pemerhati hukum di Indonesia. Pasalnya, hari itu merupakan sidang penentuan terhadap Mantan Ketua KPK, Antasari Azhar, apakah ia betul-betul penyebab di balik terbunuhnya direktur PT Rajawali Banjaran, Nasruddin Zulkarnaen atau tidak?

Wal hasil dalam sidang tersebut diputuskan bahwa Antasari dianggap terbukti berada di balik kematian Nasruddin. Akibatnya, dia pun divonis dengan hukuman penjara 18 tahun. Tapi apa kata publik menyikapi putusan tersebut? Tentu dalam hal ini suara publik pun terpecah. Di satu sisi ada yang kagum kepada Antasari dengan menganggapnya telah berjasa memberantas jemaah korupsi di Indonesia, ketika ia sedang berada di pucuk pimpinan KPK. Bagi mereka vonis itu terasa memberatkan. Apalagi di tengah hiruk pikuk politik yang disinyalir tudingan terhadapnya pun bermuatan politis, yakni upaya pelemahan eksistensi KPK, sebagaimana terbukti terhadap dua orang rekannya, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.

Namun di sisi lain, suara berlainan arah pun berdatangan. Mereka sepakat dengan hukuman itu. Bahkan mereka juga menganggap vonis 18 tahun itu terlalu rendah, mengingat kesalahannya adalah membunuh. Tidak sedikit dari mereka pun yang menuntunya dengan hukuman mati. Sebagian dari mereka adalah keluarga Nasruddin. Sebagian lainnya adalah orang-orang yang ”membenci” Antasari, lantaran mereka pernah terjerat hukum KPK. Sebagian dari mereka adalah politisi, pengusaha, birokrat hingga para mafioso hukum.

Sinyal Krisis Kebenaran

Metro TV, salah satu stasiun televisi swasta kita, pada Sabtu (13/2) malam menayangkan wawancara eksklusif dengan Antasari. Dalam wawancara itu, Antasari menjamin seribu persen, dirinya tidak bersalah. Bahkan ia sangat yakin, di balik tuduhan pembunuhan kepada dirinya ada skenario. Ia pun mengatakan, seandainya dirinya tidak menjadi ketua KPK, ia tak akan mengalami nasib seperti itu. Sebab, kata Antasari, sejak dia menjerat banyak koruptor, banyak pula orang yang mulai tidak suka terhadap dirinya. Benarkah pengakuan ini?

Terlepas dari benar tidaknya, namun beberapa kasus salah tangkap dan salah penanganan hukum telah berkali-kali mencoreng wajah penegakan hukum di negeri ini. Kick Andy, program spesial ala Metro TV pada Jumat (12/2) mencoba menguak krisis kebenaran dalam mengungkap fakta hukum. Dalam tayangan tersebut dihadirkan orang-orang yang pernah menjadi korban keganasan hukum yang dilanda krisis kebenaran. Beberapa dari mereka adalah Asun, Fuyangli dan Aliong. Ketiganya adalah warga Singkawang, Kalimantan yang divonis 10 tahun karena tuduhan pembunuhan. Namun, mereka pun akhirnya dinyatakan bebas setelah kuasa hukum mereka memperjuangkan keberadaan mereka sebagai orang yang tidak bersalah. Pada diri mereka tidak ditemukan bukti sedikit pun bahwa mereka telah melakukan pembunuhan. Mereka mendekam di penjara selama 17 bulan.

Begitu pun yang terjadi pada Imam Chambali dan Maman yang dituduh membunuh mayat yang diduga bernama Asrorul di Jombang, Jawa Timur. Mereka pun dibebaskan setelah naik banding dan diketahui secara mendalam bahwa nama mayat yang dianggap Asrorul itu bernama Fauzin Suyanto. Sedangkan nama pembunuhnya adalah Rudi Hartono.

Anehnya kasus ini terungkap bukan karena ikhtiar polisi atau pun jaksa yang meminjam bahasa Abdul Hakim Garuda Nusantara – para penegak hukum tidak mau menggali kebenaran, tapi hanya ingin mendapatkan kebenaran sesingkat mungkin dengan cara menyiksa orang yang dituduh dengan cara ditendang dan dipukul hanya agar mengakui. Walaupun mereka tidak melakukannya. Begitupun dengan kasus ”cicak versus buaya” yang menyedot perhatian publik begitu dahsyatnya. Dalam kasus tersebut, Bibit-Chandra, dua orang pimpinan KPK yang diobok-obok polisi dengan tuduhan yang gonta-ganti dan tidak jelas. Dampaknya, publik ”turun tangan” menghakimi polisi, baik melalui demonstrasi ataupun gebrakan "hakim online”. Sebuah fenomena krisis kebanaran yang merasuki penegakan hukum kita.

Krisis kebenaran dalam fakta-fakta tersebut merupakan sinyal tidak lagi ditemukannya sebuah terobosan secara serius mencari kebenaran. Dalam konteks itu status kebenaran bisa diganti-ganti. Dari putih menjadi kelabu, dari terang menjadi buram dan seterusnya. Kebenaran seperti bola di lapangan hijau yang bisa ditendang kesana-kemari sesuai dengan kehendak pemain-pemain di lapangan. Bukankah ini model mencari kebenaran di negeri ini? Barangkali kata bijak, ”Kebenaran bukan untuk semua orang, tapi hanya untuk mereka yang mencarinya," yang diucapkan Ayn Rand (1905-1982), penulis kelahiran Rusia telah menjadi kenyataan. Di mana orang yang tahu kebenaran ingin menutup rapat-rapat, sementara orang yang betul-betul ingin tahu kebenaran harus bersusah-susah dahulu. Jika begitu, apakah ini juga bisa diterjemahkan dalam mencari kebenaran fakta proses penegakan hukum kita?

Pihak Ketiga

Jika apa yang diprediksi Antasari Azhar, yakni ada pihak ketiga dalam kasus yang menimpa dirinya itu benar, semua orang tentu akan sama-sama bertanya, siapakah gerangan pihak ketiga itu? Pertanyaan-pertanyaan itu pun akan melahirkan spekulasi-spekulasi jawaban tentang siapa dan siapa pihak ketiga itu.

Namun, perlu kita akui, fenomena Antasari merupakan fenomena yang sangat dekat disambungkan dengan kekuasaan. Sebab, apa yang sempat ditorehkannya saat memimpin KPK dengan menjegal para koruptor, yang kebanyakan adalah penguasa, telah membuat para penguasa-penguasa itu sakit hati. Akibatnya, orang-orang yang sakit hati bergegap gempita mengatur strategi bagaimana mengakhiri aktifitas Antasari dan bagaimana melemahkan kerja-kerja profesional KPK sebagai lembaga yang mereka takuti.

Ini pun sebenarnya masih dalam wilayah ”penjajakan spekulatif” penulis. Meski demikian, bukan hal mustahil spekulasi itu akan menemukan kesepahaman dengan fakta nantinya. Sebab, penguasa-penguasa korup itu bisa menerapkan gaya politik Machiavelli yang menghalalkan segala cara demi mencapai kepentingannya. Selain itu, bukankah Lord Acton telah tegas mengatakan, power tends to corrupt. Absolute power corrupt absolutely?

* Penulis adalah Peneliti Bidang Hukum di Centre of Social and Humanism Studies (CSHS), Jakarta.

No comments:

Post a Comment

Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!