Welcome to Ilyas' Site

Thursday, December 9, 2010

Hijrah Sosial

Oleh Moh Ilyas

Kita kembali sampai pada tahun baru Islam atau yang dikenal dengan Tahun Baru Hijriyah. Nama ini, seperti sudah mafhum, berdasar pada peristiwa hijrahnya Rasulullah pertama kali ke Madinah. Sehingga, sejak pertama hijrah, hingga saat ini sudah terpaut angka 1432 tahun.

Perjalanan waktu ini tak meraibkan makna hijrah Rasulullah. Dalam artian, hijrah Rasul saat itu juga terelaborasi dalam sikap dan tindakannya saat di Madinah.

Bahkan, nama Kota Madinah pun diambil dari gambaran sebuah kota yang penuh peradaban (baca: tamaddun, beradab) yang dibinanya. Sebelumnya, kota tersebut bernama Yatsrib.

Hijrah Rasul juga menandai lahirnya Fathu Makkah (pembukaan Kota Makkah). Saat itu, di saat ia merasa belum memiliki kekuatan menahan dominasi kaum Quraisy di Makkah, ia berinisiatif untuk hijrah. Dalam proses hijrahnya, ia membangun strategi dan kekuatan untuk menguasai Makkah. Ia pun berhasil menguasai kota tersebut dengan penuh kedamaian.

Dalam koteks hari ini, praktek hijrah semacam ini juga masih ada. Misalnya, seseorang berpetualang dari kampung halamannya ke kota lain atau negara lain, juga dikatakan hijrah. Meski tidak sedang mengemban misi membangun etika dan agama, sebagaimana Rasulullah, mereka juga dikatakan hijrah. Sebab terminologi hijrah, hanyalah perpindahan dari satu daerah ke daerah lain.

Namun, pemaknaan ini sebenarnya jauh lebih luas. Hijrah tidak sekadar dimaknai dengan perpindahan fisik seseorang, tetapi ia juga diterjemahkan dengan perubahan dinamika sosial. Dengan kata lain, ketika seseorang berpikir merubah situasi sosial di lingkungannya, hemat penulis, ia sebenarnya telah berpikir untuk menghijrahkan lingkungannya. Sehingga hijrah tidak secara fisik, tetapi juga mental, bahkan kondisi.

Mengaca pada hijrah Nabi yang mengedepankan etika dan keadaban. Artinya, Nabi saat hijrah dan berada di Madinah tidak berpikir untuk melakukan penguasaan otoritatif atau diskriminatif, tetapi ia mengajarkan prinsip-prinsip di antaranya semacam musyawarah (demokrasi), ukhuwwah (persaudaraan), wahdah (persatuan), dan samaahah (toleransi). Prinsip-prinsip itu sebenarnya merupakan praktek hijrah sosial yang diajarkan Nabi.

Inilah hijrah sosial yang, manfaatnya, terus terasa hingga saat ini. Konon, munculnya gagasan Civil Society yang sangat menghargai kaum sipil (baca: masyarat akar rumput) juga buah elaborasi dari prinsip-prinsip ajaran hijrahnya Nabi saat di Madinah itu.

Ia juga harus menguatkan identitas hijrah itu sendiri agar tak sekadar dimaknai sebagai ritualitas perayaan tahunan semata. Jika umat Islam, khususnya, hanya memandang bahwa hijrah merupakan pergantian tahun hijriyah semata, maka mereka telah terjebak dalam artikulasi pemahaman yang sempit. Rasul mengajarkan hirah jauh lebih dari pemahaman itu.

Hijrahkan Penegak Hukum Kita

Momentum tahun baru Hijriyah ini sangat berarti bagi masyarakat di negeri ini, khususnya penegak hukum jika mereka mau belajar. Sekali lagi jika mereka mau belajar. Mengapa demikian, karena kondisi penegakan hukum kita saat ini sudah sangat layak dihijrahkan jika tidak ingin terus-terusan mencipta 'petaka' dengan logika-logika hukum yang selalu deviatif.

Sebagaimana telah mafhum, skandal-skandal yang terus memojokkan penegak hukum, mulai dari Kepolisian hingga Kejaksaan Agung terus terjadi sejak satu tahun terakhir. Pemojokan itu bukan karena ingin menjatuhkan mereka sebagai penegak hukum, tetapi karena memang tindakan penegak hukum itu sendiri yang justru menodai hukum. Terlepas apakah ada motif dan ada 'orang' di belakang mereka.

Jika kita buka lembaran lagi, bagaimana kriminalisasi terhadap dua Pimpinan KPK yang dilakukan dua lembaga penegakan hukum tersebut, keterlibatan jaksa dan polisi dalam aksi suap Gayus HP Tambunan, hingga keluar-masuknya Gayus dari Rutan Mako Brimob Depok, yang tertangkap kamera di Bali.

Kasus-kasus ini telah menodai penegakan hukum kita dan menjadikannya 'uncredible' di tengah maraknya masalah-masalah hukum. Sejak polisi disebut 'Buaya', tak banyak orang yang percaya polisi, malah justru menyesalkan sikap yang seharusnya mengajarkan contoh hukum yang benar kepada masyarakat.

Tentu saja ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Sebab, jika masyarakat tidak percaya pada kejaksaan dan kepolisian, itu akan menjadi awal sebagai preseden buruk dua lembaga itu. Apapun yang mereka kerjakan nantinya, tidak akan dipercaya masyarakat, bahkan akan diingkarinya.

Kepercayaan publik ini perlu dipulihkan. Cara yang paling efektif adalah menghijrahkan kondisi internal dua lembaga tersebut ke hal-hal yang lebih positif. Baik menghijrahkan paradigma berpikir maupun tindakan mereka dalam menyelesaikan masalah penegakan hukum di negeri ini yang masih cenderung dikalahkan oleh uang.

Hadirnya Timor Pradopo sebagai Kapolri baru tentu saja tidak hanya diinginkan sebagai simbol nomor wahid di lingkungan Polri. Ia diharapkan dapat menjadi pioner dalam menghijrahkan internalnya. Setidaknya ia harus menyadarkan bawahannya agar tidak terjebak pada 'perintah uang'. Sebab selama ini yang mendera dan merusak citra kepolisian adalah uang.

Jika hal demikian dilakukan, ia telah memegang kunci untuk menghijrahkan kepercayaan publik. Kepercayaan publik terhadap lembaga yang dipimpinnya sudah begitu runtuh dan mengalami luka parah. Sehingga ia mesti memikirkan bagaimana menyembuhkan 'luka' itu.

Hijrah Totalitas

Berbagai persoalan yang terus melanda negeri beberapa bulan terakhir menunjukkan bahwa masih banyak yang salah dengan perilaku kita. Mulai dari fenomena korupsi yang tak kunjung usai hingga skandal hukum yang tak terselesaikan. Kondisi ini menuntut semua elemen bangsa, khususnya para pengambil kebijakan untuk hijrah secara totalitas.

Pasca-perayaan hijrah (tahun baru hijriyah) ini, presiden tidak lagi hanya mengandalkan wacana atau politik pencitraan semata dalam mengurus bangsa ini. DPR tidak hanya ribut masalah kebutuhan mereka sendiri, seperti jalan-jalan (baca: pelesiran) ke luar negeri dan bagaimana mempermegah gedung senayan, tempat mereka bertugas, namun mereka harus menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat (back to society).

Di sisi lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai penegak hukum di bidang korupsi tidak perlu takut atau apalagi cuci tangan untuk mengurusi korupsi. Selama ini, lembaga tersebut masih cenderung dianggap tebang pilih. Sebab, pohon yang besar seperti kasus Century tak dapat mereka selesaikan, sementara pohon kecil (kasus-kasus kecil) dapat mereka tuntaskan dengan sigap. Kondisi tersebut melahirkan dugaan miring dari publik, bahwa KPK seperti berada di bawah intimidasi orang atau kelompok tertentu (baca: penguasa).

Di sinilah presiden (eksekutif), DPR (legislatif), dan KPK (bagian dari yudikatif) harus bersinergi dan bersama-sama menyelamatkan negeri ini. Mereka harus hijrah secara totalitas untuk membangun negeri ini dengan ikhlas, tanpa tendensi atau kepentingan apapun. Jika ini tidak terjadi, rakyat akan pesimis terhadap masa depan negeri ini, terutama masa depan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Wallahu a’lam Bis-Shawab

No comments:

Post a Comment

Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!