Oleh Moh Ilyas
“We are born to be our self, not other”
“Every thing I do is under my consideration”
Seperti biasa, malam pergantian tahun menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Indonesia untuk merayakannya. Berbagai aneka hiburan disajikan secara meriah hampir di sudut-sudut kota, tak terkecuali Bandung sebagai kota yang kerap disebut 'Paris van Java'.
Di Ibu Kota Provinsi Jawa Barat ini, malam tahun baru menjadi malam istimewa. Hampir semua remaja merayakannya dengan berbagai macam agenda, mulai dari hanya bersantai ria, bermain kembang api, dan meniup terompet, tak terkecuali pula anak-anak di usia dini yang masih tergolong bocah.
Tentu saja, kaum remaja - yang punya pasangan - memanfaatkannya dengan pasangan masing-masing. Mereka mencari titik-titik tertentu yang dianggap ideal sebagai tempat menghabiskan waktu menunggu malam pergantian tahun, misalnya seperti di Alun-Alun, Bandung Indah Plaza (BIP), Monumen Juang, Lembang, Tangkuban Perahu, dan tempat-tempat keramaian dan keindahan lainnya.
Ledakan kaum remaja, bahkan juga kaum tua yang ikut-ikutan, yang tumpah ruah, tak ayal membuat Bandung macet total. Misalnya di sepanjang Jalan Asia Afrika, Braga, Martadinata, Ahmad Yani, Sukajadi, Pasteur, Supratman, dan Setia Budi. "Hari-hari biasa saja sudah macet, apalagi sekarang," demikian ungkapan orang-orang Bandung kebanyakan.
Di Jakarta pun, pergantian tahun baru lebih tumpah lagi. Terlebih di titik-tempat wisata, seperti Ancol, Monas, Bundaran HI, dan Taman Mini. Bahkan, pengalaman saya malam akhir tahun 2009 lalu, untuk menempuh jarak sekitar dua kilometer di kawasan Kramat Jati menuju TMII, membutuhkan waktu sekitar dua jam.
Semua kendaraan macet total, termasuk kendaraan roda dua, yang biasanya tak separah roda empat. Tapi saat itu, tak ada pengecualian, semuanya macet total. Seingat saya mulai dari fly over di Kalibata, depan Giant hingga Pasar Kramat Jati. Ternyata seorang teman saat itu yang kebetulan ke Monas dan Bundaran HI juga sama, macet total.
Nah, inilah dinamika tahun baru. Sebuah pergantian tahun yang identik dengan pesta ria, foya-foya, riang gembira, santai ria, hingga bermacet ria.
Lantas apa orientasi semua itu? Saya pikir jawabannya satu kata, kepuasan. Mereka melakukan semua itu hanya demi mencapai kepuasaan. Meski ia sangatlah sesaat, namun ia mampu menghipnotis jutaan umat manusia melakukannya.
Apakah itu adalah fenomena memburu kepuasan yang salah kaprah? Barangkali ya. Sebab, mereka melakukannya cenderung tidak berdasarkan pada asumsi individu yang tulus, tetapi pada asumsi ikut-ikutan. Dengan kata lain, mereka berlomba-lomba menunggu pergantian tahun itu karena terlena terhadap apa yang dilakukan orang lain.
Andaikata banyak individu tidak melakukannya, barangkali yang lain juga tidak seperti itu. Dengan begitu, saya mencoba secara ekstrim menegaskan bahwa tumpah ruah perayaan malam tahun baru ini hanyalah sekadar ikut-ikutan belaka. Ini artinya, masih terlalu banyak orang yang tidak memiliki kemerdekaan individu. Mereka melakukan, karena orang lain juga melakukannya.
Walaupun saya pribadi ingin mengungkapkan bahwa ‘taklid’ semacam itu tidak selamanya buruk. Hanya saja, kemerdekaan individu yang selalu melandasi tindakannya dengan pertimbangan individu secara matang akan jauh lebih berharga daripada hanya terlena terhadap lingkungannya.
Maribaya, Lembang,
Bandung, 31/12/2010
Pukul 22.59 WIB
gmna mas kabarnya? sekarang kerja di bandung ya?
ReplyDelete