Senin (4/1/2010) adalah awal petualangku di dunia pers. Dunia, yang sebenarnya tidak begitu asing sewaktu aku masih melenggang di daerah asalku. tapi, tidak demikian halnya dengan ngeliput di Jakarta.
Sengatan panasnya mentari, tingginya tingkat polusi, dan macetnya jalan-jalan utama perkotaan menutup ’aura’ keindahan yang menyelimuti kota Jakarta. “Tak tampak keindahan itu,” pikirku seolah menafikan keindahan yang menghiasi gedung-gedung di sepanjang Jalan Thamrin dan Sudirman, dalam perjalanan pulang menuju Bendungan Hilir melewati Pasar Tanah Abang.
Tapi, apa boleh buat, dunia pers telah sengaja ku genggam. Napak tilaspun tak mungkin lagi kuhindari. Bagaimanapun, pengalaman ini kurasakan beriringan dengan dentingan suara pekat nurani untuk terus menggayuh cita, mendapatkan informasi fakta yang mendalam, dan mengungkap keresahan-keresahan sosial melalui pintu ’tulisan’ seorang wartawan.
Sekali aku berlayar dalam perahu cita-cita, sejuta kenangan indah dengan mutiara-mutiara yang tersurat di kedalaman lautan asa dapat ku raih. Sekali aku bertamasya ke arah terbenamnya mentari, tidak hanya seberkas cahaya yang ku dapat, tapi jutaan sinar bersama kemilaunya cahaya kesuksesan yang akan mengisi sisa-sisa hidupku.
Aku sadar, jembatan itu cukup panjang. Tetapi, aku juga memahami bahwa titian kaki kesungguhan serta ghirah akan mempercepat karir perjalanan hidup ini.
Pengalaman pertama sebagai wartawan Harian Umum Republika ini mulanya memang membuatku kaget, sebab aku langsung ditugaskan di kamar mayat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Bertugas di tempat itu, tak ada lagi yang kupikirkan, selain perasaan takut dan ngeri dengan bulu roma yang merinding. ”Ya, bagaimana tidak? Jika aku diperlihatkan dengan mayat-mayat yang sudah ditutupi kain di kamar pendingin.”
Tapi, beruntunglah... Hari pertama ini tak sampai menjeratku dalam ketakutan itu, sebab, tidak ada jenazah baru pada hari itu. Meski akhirnya aku memberitakan Gus Dur sebagai jenazah terakhir di RSCM hingga saat itu, aku sempatkan juga meliput aksi anak-anak Sulawesi Selatan di bundaran Hotel Indonesia (HI) tentang kemelut Century yang tak kunjung usai.
Ini saja, catatan share awal napak tilas perjalananku dalam dunia pers di ibu kota. Sekuntum hikmah dan kesuksesan semoga selalu menjadi partner lembaran hidupku.
Semoga...!
Bakornas Lapmi, Saharjo, 10/1/’10
Pukul, 01.41 WIB
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!