Oleh Moh. Ilyas
Maksud dari judul ini barangkali menggelitik sekaligus membuat pembaca bertanya-tanya. Tapi, jangan salah persepsi dan punya anggapan bahwa penulis sedang bermain-main dengan judul ini. Penulis sama sekali tidak sedang dalam posisi demikian. Penulis hanya ingin belajar membaca sesuatu yang tak terbaca.
Dalam beberapa literatur teologi (Kitab Tauhid) dijelaskan bahwa setiap benda (jirm) memiliki tempat. Ia bisa bergerak ke manapun ia suka, baik karena kekuatan dari dalam dirinya maupun dari luar. Ia juga bisa dibaca, dimengerti, bahkan dipahami. Dengan begitu, ia pasti memiliki nama, walaupun nama itu baru muncul setelah beberapa orang menciptakannya sendiri.
Untuk sekadar menyebut contoh adalah mobil. Di masa Nabi, barangkali kendaraan jenis ini belumlah ada, sehingga nama “Mobil” saat itu tidak dikonotasikan sebagai kendaraan yang kita pahami hari ini. Saat itu untuk merujuk kendaraan, digunakanlah sebutan keledai, unta, dan sebagainya.
Bagaimana dengan hal-hal ghaib? Masihkah ia bisa dibaca, sementara kita tidak pernah melihat apalagi memahaminya. Ia memang memiliki nama, tapi laksana tak bernama, sebab kita tak pernah tahu kebenarannya secara aqli dan rasionalitas empirik. Kita mungkin bisa membacanya secara naluri dan insting, tetapi ia pun takkan pernah terbaca. Wal-hasil, sesuatu yang kita anggap “aksi membaca”, sebenarnya hanyalah tindakan memrediksi.
Untuk sekadar menyebut contoh seperti Iblis, Hari Akhirat, Malaikat, mati, dan bahkan Tuhan. Semua ini memiliki nama, namun tak pernah terbaca. Jika kita membaca tentang kematian, dengan tetek bengek gambaran-gambarannya, bacaan itu hanya menjadi prediksi – kalau bukan imajinasi. Membaca sesuatu yang tak pernah kita jumpai mengantarkan pemahaman kita akan relativisme berpikir. Bisa saja, apa yang tergambar dalam benak kita benar, bisa pula tidak.
Begitu pun dengan Tuhan. Jika kita muslim, Tuhan kita disebut Allah, walaupun nama “Allah” sendiri masih kontroversial antara yang menyebutnya sebagai nama dan sebagai zat. Kalaupun ia nama, apakah kemudian kita bisa membacanya. Membaca Allah, seperti tidak membaca apa-apa. Sebab, Allah memang takkan pernah terbaca. Jika ia terbaca, sudah barang tentu ia bukanlah Allah. Jadi jika kita mengaku mengenalnya, maka sebenarnya kita sedang berbohong dengan pengakuan itu, sebab, yang mengenal Allah, hanyalah Allah sendiri. Prinsip ini juga pernah dikemukakan seorang sufi dan teolog Ibn al-Araby.
Namun yang pasti, setiap sesuatu selain Allah disebut makhluk. Setiap makhluk disebut alam. Setiap alam memiliki posisi dan tempat sendiri-sendiri. Meskipun begitu, tak semua makhluk itu terbaca.
Lantas bagaimana kita memahaminya? Bacalah sebagaimana Tuhan memerintahkanmu. Lalu bagaimana cara membacanya? Gunakanlah ilmu pengetahuan, sebab hanya itulah yang bisa memerdekakan manusia dan mengubah khayalan-khayalan akan sesuatu yang dipikirkan manusia. Kendatipun demikian, hasil akhir ilmu pengetahuan, belum tentu hasilnya kebenaran dari hasil bacaan, karena bacaan yang sebenarnya terjadi, jika kita segenap panca indra, hati, dan sanubari menyatu untuk mengenalnya. Wallahua’lam bisshawab.
Kantor Republika Biro Jabar,
Jln RE Martadinata 126, Bandung,
15 Dzulhijjah 1431 H/21 Nopember 2010 M
Pukul 22.29 WIB
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!