Oleh Moh Ilyas
Sekitar jam 01.00 dini hari, salah satu rekan media pada bagian sirkulasi mengeluh. Suaranya melemah, rendah, tak seperti biasanya yang selalu tegar penuh semangat dan terkadang bernada gurau. Saat itu ia mengatakan, "Ah, kerjaannku sekarang makin berat karena harus menambah satu wilayah."
Mendengar perkataan itu, spontan aku menanggapinya, "Berarti oplah koran bertambah?", "Ya, tapi ya berat," jawabnya menimpali. Secara semi gurau disertai tawa, aku kembali menanggapi, "Ternyata berat dan kaya itu berdampingan ya?". "Berarti kalau aku ingin kaya, aku tidak boleh hanya jadi wartawan, sebab kerjanya santai. Aku harus jadi Pemred," aku melanjutkan gumamku.
Namun, jawabanku itu seolah tak mampu memancing semangatnya. Bahkan kali ini, ia semakin melemah. "Apa karena keluhannya tak aku tanggapi positif," muncul rasa was-was dalam pikiranku.
Selang beberapa menit, sembari kulangkahkan kaki ke kamar kecil, aku berpikir bahwa apa yang kukatakan dalam dialog tadi tidaklah salah. Mungkin hanya karena persepsi yang berbeda saja tentang teks diskusi itu.
Menurutku, hidup memang penuh keseimbangan. Semakin tinggi tingkat usaha kita, semakin besar pula hasil yang akan kita dapat. Ini bersesuaian dengan firman Tuhan dalam Kitab-Nya Surat Al-Qaariah, "Faman ya'mal mitsqaala dzarratin khairan yarahuu. Waman ya'mal mitsqaala dzarratin syarran yarahuu."
Ayat ini menjelaskan tentang keseimbangan perbuatan baik atau buruk yang dilakukan manusia dengan balasan yang akan diterimanya. Dengan kata lain, sekecil apapun usaha kita, akan ada artinya. Ini juga sepadan dengan salah satu maqaalah atau kaidah fiqhiyah, "Maa katsura fi'lan, katsura fadhlan (Sesuatu yang pekerjaannya banyak, maka keutamaannya juga banyak)".
Dua landasan ini menegaskan sebuah ajaran kepada kita bahwa kekayaan memang mesti ditempuh dengan usaha yang lebih berat. Walaupun makna berat di sini berbeda-beda pemahamannya. Bagi kalangan top position di perusahaan besar, mungkin pekerjaan beratnya hanya berpikir bagaimana menumbuh kembangkan perusahaannya. Bagi pemilik dan investor media, ia selalu berpikir bagaimana mengembangkan dan meningkatkan rating medianya.
Bahkan, cara instan pun untuk cepat kaya, seperti melakukan korupsi dan nepotisme sebenarnya juga pekerjaan berat. Mereka memang terlihat tidak bekerja berat dan melelahkan. Hanya mungkin dengan telepon sana-sini, lobi khusus, atau negosiasi, mereka sudah bisa mengantongi miliaran uang bahkan triliunan uang.
Namun, jangan katakan mereka sedang bekerja ringan. Mereka memang tak seperti petani, pengamen, dan kuli bangunan yang bekerja dengan otot. Tapi mereka sedang mempertaruhkan harga dirinya, bahkan keluarganya. Ini jauh lebih berat dibanding sekadar otot.
Oleh karenanya, untuk menjadi kaya tanpa melakukan sesuatu yang berat, terasa hampir mustahil. Tentu ini hanyalah tesis biasa yang bisa mentah dengan adanya miracle Tuhan.
Jln RE Martadinata 126, Bandung, 24 Nopember 2010
Pukul 01.41 WIB
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!