Oleh Moh Ilyas
Pagelaran akbar, yakni Kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ke 27 telah resmi ditutup pada Ahad (14/11) lalu. Namun, konstalasi politik HMI dua tahunan itu masih menyisakan duka mendalam dalam benak publik, terutama kader-kadernya. Mengapa demikian?
Duka tersebut, bukanlah duka HMI yang selama ini kerap dikenal dekat dengan kekuasaan, atau bukanlah duka HMI, yang dalam mengungkapkan aspirasinya masih cenderung menggunakan pendekatan otot. Duka organisasi mahasiswa kelahiran 5 Februari 1947 ini, karena aspek intelektual lambat laun telah dikelupas secara sengaja oleh kader-kader dan alumninya sendiri.
Pengelupasan aspek intelektual ini sangat kentara terlihat dalam arena Kongres di Graha Insan Cita Depok, tiga pekan lalu itu. Saat itu, sedari awal, nyaris tak ada satupun kandidat yang memproklamirkan gagasannya baik dalam kerangka keislaman, kebangsaan, maupun ke-HMI-an. Kalaupun ada, adalah wacana yang lebih dekat dikatakan sebagai ajang kampanye di beberapa media.
Bahkan dari 12 kandidat yang merebut kursi Ketua Umum PB HMI, penulis hanya menjumpai satu kandidat saja yang - serius - menawarkan ide-ide segar melalui karya, berupa buku. Walaupun, bukan satu-satunya tolak ukur, tapi dari karya dan gagasan itulah, tradisi intelektual di HMI masih bisa terlihat. Namun jika kenyataannya demikian, sungguh, HMI telah berada di ambang akhir intelektual.
Ini jauh berbeda dibandingkan kongres-kongres HMI sebelumnya yang selalu bertaburan gagasan dan karya. "Biasanya kalau kongres, kandidat beradu visi-misi dan gagasan di buku, sekarang kok cuma ada satu buku ya," tanya salah seorang pengembira kongres, sembari memegang buku 'Manifesto Politik HMI', karya Ahmad Nasir Siregar, salah seorang kandidat.
Pertanyaan kader yang masih level pengembira itu barangkali tidak berpengaruh pada suara kandidat. Sebab, ia memang tidak memiliki hak suara. Namun, pertanyaannya yang begitu tulus betul-betul menandakan menurunnya tradisi intelektual di tubuh organisasi ini.
Ruang intelektual dan khazanah pemikiran biasanya selalu mewarnai konstalasi Kongres HMI. Bahkan, jika diingat sejarah panjangnya, organisasi ini melahirkan “mini ideologinya” (NDP) saat Kongres di Malang 1966. Begitupun dalam konstalasi politiknya, aspek intelektual selalu dikedepankan.
Masih ingat mundurnya Ekky Syahruddin (alm) dari pencalonannya sebagai Ketua Umum PB HMI pada tahun 1969? Alasan yang dikemukakannya pada saat itu, karena dia menghormati intelektual Cak Nur. Saat itu, Cak Nur juga menjadi salah satu kandidat. Sehingga Guru Bangsa ini terpilih kembali memimpin HMI untuk yang kedua kalinya.
Sikap Ekky ini bila kita coba pahami lebih jauh muncul karena ia memiliki kesadaran individu, bahwa untuk memimpin HMI diperlukan sosok intelektual yang memiliki kapasitas kuat dan kepribadian yang unggul. Barangkali saat itu, Ekky berpikir bahwa Cak Nur secara kapasitas melebihi dirinya, sehingga ia dengan berani mengundurkan diri dari pencalonan. Padahal, jika ia terus maju, juga memiliki peluang untuk terpilih, tapi ia tak melakukannya.
Namun, apakah ada saat ini Ekky-Ekky yang lain? Kalau menilik pada penilaian beberapa kader HMI sendiri, mereka cenderung pesimis dengan mengatakan, banyak kandidat yang memaksakan maju merebut kursi Ketua Umum PB HMI, meskipun kapasitas mereka jauh di bawah standar. Di sini para kandidat ‘picisan’ itu menunjukkan bahwa ambiusitas jauh mengalahkan kesadaran akan kapasitas dirinya.
Politik Uang
Detik-detik menjelang pemilihan Ketua Umum, beredar short message service (SMS) ke beberapa pimpinan cabang bahwa jika memilih Si A akan mengantongi Rp 30 juta. Ada pula SMS yang menawarkan Rp 90 juta untuk satu cabang.
Pesan pendek yang beredar ke pimpinan cabang itu diyakini kebenarannya. Sebab tidak kurang dari empat jam, beberapa cabang yang awalnya mendukung kandidat lain tiba-tiba merangsek masuk ke Si A. Wal-hasil Si A betul-betul memperoleh suara yang mengagetkan. Sehingga puncaknya, ia pun dinobatkan sebagai pemenang.
Alih-alih, muncul beberapa kekecewaan di sebagian kader. "Berarti kongres ini kemenangan yang ber-uang", "Ini juga kemenangan elit dong", dan ada pula yang kecewa dengan mengatakan, "Kongres kali ini menjadi awal tragedi, bahwa untuk memimpin HMI bukanlah kapasitas yang diperlukan, tapi cukup uang dan dukungan elit".
Legitimasi Kongres ke 27 itupun menjadi legitimasi pengukuhan bahwa uang sebagai pemenangnya. Masalah intelektual yang bertebaran di media massa atau di beberapa buku tak menjadi prasyarat memimpin organisasi yang pernah melahirkan tokoh sekaliber Cak Nur ini. HMI telah menjadi semacam partai politik yang mengajarkan diaspora money politic dalam merengkuh kekuasaan di dalamnya. Ia pun kian jauh dari harapan sebagai Laboratorium Intelektual.
Jika proses demokratisasinya adalah uang, maka pemimpinnya pun juga uang. Hal ini seperti diungkapkan Ilmuwan Politik dan Teori Komunikasi Amerika, Harold D Laswell, "Aku memilih anda bukan karena anda hebat dan layak jadi pemimpin, tetapi karena anda membeli suaraku."
Laswell seperti hendak menegaskan bahwa kapasitas seorang pemimpin bisa hilang hanya gara-gara uang. Sebab, kontestan yang memilihnya tidak lagi memilih karena logika kepantasan, tetapi lebih pada logika uang. Dengan begitu, logika uang ini menerobos pintu-pintu idealisme dan karakter kepemimpinan.
Kalau semua yang berbicara berujung pada uang, maka ujung jawabannya pun, tak bisa dipungkiri, pastilah uang. Maka, jika ini benar, bagaimanakah nasib HMI di masa yang akan datang. Masihkah HMI menjadi tempat menempa dan berkader, sementara kapasitas intelektual sudah tak laku lagi di dalamnya? Atau, jangan-jangan HMI ada, namun seperti tiada (wujuuduhu ka adamihi)? Wallahu a'lam.
Taman Pramuka, Bandung, 29 Nopember 2010
Pukul 23.27 WIB
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!