Oleh Moh Ilyas
Pertemuan, diskusi, dan perdebatanku dengan Kang Jalal (sapaan akrab Jalaluddin Rahmat) kemarin malam membuatku berpikir lagi tentang sikap dan kemauanku. Aku makin ingin memelajari sikap inkonsisten yang kerap mengelabui hidupku. Bagaimana tidak, aku yang sudah sejak lama bermimpi berkelana secara intelektual berhadap-hadapan dengan seorang yang sudah jauh melangkah dalam perkelanaan pemikiran dan intelektual seperti Kang Jalal.
Sesampainya di rumahnya, Jln Kampus II, yang tak jauh dari Kiara Condong, Bandung, perasaanku dihantui rasa takut. Takut akan perbedaan pemikiran antara aku dan dia. Aku, kata orang-orang, dekat ke Muhammadiyah dan NU, sementara dia dekat dengan Syiah, sebuah aliran yang 'fanatik' dalam memuliakan Ahlul Bait (keluarga Rasulullah, seperti Ali RA dan Fatimah Az-Zahra).
Ku tatap setiap sudut rumahnya, ku tatap kalimat-kalimat al-Qur'an yang terpampang dalam bantuk lukisan di dinding. Di sampingnya, sebuah lukisan Asmaul Husna dengan warna keemas-emasan. Di sisi lainnya, tumpukan buku dan kitab teratur di sebuah rak buku. Sebuah pemandangan yang justru memancing ketertarikan hasrat intelektualku. "Dia betul-betul serius berkarir di dunia pemikiran," gumamku. "Untuk pintar, harus punya buku sebanyak ini," kembali hatiku ‘digugat’ dengan tanya-tanya seputar intelektualisme.
Namun, pikiranku kian berkecamuk dengan perihal pendirian. Aku seolah didakwa oleh hatiku sendiri. "Kenapa kau tak serius menekuni bidang ini", "Kenapa kau seringkali gonta-ganti arah hidupmu", "Bukankah kau pernah berpikir untuk menjadi salah satu pemikir muslim?" Berpuluh-puluh pertanyaan menggoda pikiranku, saat ku sedang asyik menunggu kehadiran Kang Jalal.
Aku bertanya-tanya, apakah kondisi ini disebabkan karena aku memang tak berpendirian atau karena hidupku terlanjur ku pasrahkan pada alam?
Aku tak tahu secara pasti bagaimana menjawabnya. Namun, menurutku, sikap inkonsistensi, terutama dalam menancapkan orientasi sangat perlu dihindari. Dengan kata lain, sudah saatnya aku menghibahkan segenap pikiranku secara fokus pada hal-hal terhormat untuk ku jalani. Apakah itu karir intelektual, karir politik, atau menjadi usahawan yang sukses? Semuanya sama-sama baik, jika dijalani secara lurus.
Setidaknya, aku harus pasti menemukan apa yang sungguh berarti dalam hidupku. Sok intelektual wae... Tak perlu aku ingat-ingat perkataan Kang Jalal, "Aku tidak berjalan di politik, sehingga jaringanku tak sekuat dia," ujarnya saat aku bercerita tentang KH Muchtar Adam, salah seorang sahabatnya, yang kini sedang menggerakkan perpaduan sains dan Al-Qur'an di PP Babussalam, Dago Atas, Cimenyan, Bandung.
Sepertinya aku masih sedang dikelabui sikap inkonsistensi. Aku harus merubah semua ini? Aku tidak boleh diam dan pasrah menerimanya sebagai sebuah 'kutukan' takdir yang mengaturku, "Akulah yang mesti mengatur takdir dan jalan hidupku. Tuhan, ku mohon, restu-Mu menyertaiku."
Martadinata, 126, Bandung, 25/11/2010
Pukul 21.26 WIB
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!