Oleh Moh. Ilyas*
Setiap zaman memiliki dinamikanya tersendiri, dan setiap dinamika zaman melambangkan suatu perubahan di dalamnya. Ibaratnya, setiap hari dalam tubuh kita terdapat miliaran sel yang mati atau bunuh diri. Namun, sel-sel yang mati itu merupakan sel yang sudah tidak diperlukan lagi. Peristiwa bunuh diri sel itu dimaksudkan agar populasi sel pada tubuh tetap seimbang, sehingga kondisi tubuh dapat tetap sehat dan bugar.
Analogi ini kontekstual jika dikaitkan pada ranah birokrasi kita saat ini. Birokrasi Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berikut jajaran kabinetnya, belum memperlihatkan prestasi kerja yang patut diacungi jempol. SBY masih sering "tersandera" oleh fenomena politik dan hukum yang cenderung mengancam kekuasaannya. Dengan bahasa lebih ekstrem, hingga 1,5 tahun kepemimpinan SBY kedua ini belum sepenuhnya dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat.
Bahkan kerja yang ditampilkan SBY dan para pembantunya masih jauh panggang dari tujuan utamanya dalam menyejahterakan rakyat. Pemerintah masih berkutat pada dunia klaim melalui iklan dan pemberitaan media massa, namun kenyataannya rakyat tidak merasakan apa yang diklaim pemerintah. Inilah yang kemudian melahirkan tudingan bahwa Rezim SBY Periode ini merupakan Rezim Bohong, di mana semua pembangunan pemerintahannya dibangun berdasarkan kebohongan.
Fenomena "kesenjangan" antara harapan dan kenyataan di tingkat birokrasi tersebut kemudian juga melahirkan persepsi negatif, yaitu bahwa kepemimpinan SBY saat ini sudah lusuh. Oleh karenanya ia perlu disegarkan dengan reshuffle (perubahan susunan) menteri-menterinya yang dianggap menjadi penyebab lusuhnya birokrasi di bawah kendalinya.
Dengan demikian, pintu reshuffle merupakan sebuah keniscayaan dalam menciptakan suasana dan dunia baru serta menyegarkan pemerintahan saat ini. Ia juga merupakan langkah pembaruan yang memang seyogyanya dihadirkan guna mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat. Setidaknya, sesuatu yang belum tergarap dan belum terjawab oleh kepemimpinan status quo akan dijawab oleh pembaru pasca-reshuffle.
Tidak Semata Politis
Banyak analis menyatakan bahwa perombakan kabinet jilid 2 ini disebabkan sikap dua partai politik yang tergabung dalam koalisi yang kerap berbeda dengan Partai Demokrat sebagai partai penguasa dalam persoalan-persoalan strategis. Dua partai yang dimaksud adalah Partai Golkar dan PKS. Keduanya berbeda haluan dengan Demokrat dalam dua kasus besar, yakni keputusan bailout (penalangan) Bank Century dan rencana pembentukan panitia angket mafia perpajakan yang kandas dalam Sidang Paripurna beberapa waktu lalu.
Jika analisis yang sudah menjadi bola salju yang menggelinding dan mengarah ke wacana reshuffle akhir-akhir ini hanya didasarkan pada peta politik (politic maps) benar, maka sungguh amat disayangkan. Pasalnya, sebuah komitmen kerja untuk bangsa ini tak lebih dari sekadar sandiwara politik. Sehingga seolah-olah aksi politiklah yang menjadi penentu apakah kinerja mereka baik atau buruk.
Barangkali ini adalah resiko pemerintahan yang dibangun dalam sketsa politis. Ini pula mempertegas bahwa perjanjian dan kesepakatan awal yang politis akan cenderung menyebabkan kebijakan yang politis pula. Dengan demikian, jika benar ada pergantian menteri, maka pergantian tersebut semata-mata politis.
Tidak hanya itu, konsekuensi jabatan politis sebagai tindak lanjut dari transaksi politik juga akan melahirkan kebijakan transaksional. Dengan begitu, kebijakan yang diambil saat menjadi menteri kemungkinan besar nantinya juga akan transaksional. Hal tersebut bersesuaian jika dirunut dari pengertian politik sebagaimana dikemukakan Harold Laswell, “Who gets what, when, how.” Artinya, politisi yang memperoleh tujuan politiknya berpotensi mengabaikan hal-hal yang menjadi kewajibannya untuk bekerja terhadap kepentingan rakyatnya semata, back to society.
Inilah kemudian yang menjadi titik dasar pemikiran bahwa pejabat publik juga diperlukan dari kalangan profesional. Sebab, mereka tidak dikungkung oleh kepentingan partai atau kelompok tertentu dan juga tidak bertanggung jawab terhadap parpol. Kaum profesional bertanggung jawab terhadap profesionalismenya, sehingga dampak kerjanya terhadap kesejahteraan rakyat lebih bisa diharapkan.
Kendati demikian, juga sangat mungkin pejabat publik yang melewati jalan politik bisa bekerja secara profesional. Mereka juga dapat memegang amanah tidak hanya pada partai, tetapi juga pada rakyat yang membutuhkan prestasi kerja dari jabatannya. Politisi semacam ini oleh mantan Presiden Amerika Serikat,Harry S. Truman dianggap memegang hakikat "kontrak" antara parpol dengan rakyat. Truman mengatakan, “To Me, party platform are contracts with the people” (Bagi saya, platform partai adalah kontrak dengan rakyat).
Hanya saja, politik yang digambarkan Truman ini masih langka di Indonesia, baik kalangan politisi di legislatif maupun eksekutif. Kebanyakan politisi kita masih terkungkung oleh kekuatan parpol yang cenderung pragmatis. Mereka masih tersandera dengan kepentingan parpolnya atau simbol dan pejabat tertentu dari parpol tersebut.
Akhirnya menjadi jelas bahwa perubahan negeri ini dapat dimotori oleh reshuffle kabinet yang dilakukan secara profesional. Pertimbangan politik bagi SBY tentu saja sah. Hanya saja pertimbangan tersebut tidak mereduksi nilai-nilai profesional yang mesti dimiliki calon-calon pendampingnya pasca-reshuffle. Ini jika SBY ingin mengakhiri masa jabatannya dengan kerja-kerja positif untuk rakyatnya dan nama harum bagi masyarakatnya. Jika tidak, bukan tidak mungkin sebutan “Rezim Bohong” akan terus berlanjut hingga kepemimpinannya berakhir 2014 mendatang. Sekarang saatnya SBY memilih yang terbaik untuk negeri ini.
* Penulis adalah Sekjen Bakornas LAPMI PB HMI
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!