Welcome to Ilyas' Site

Thursday, March 31, 2011

Quo Vadis KPK?

Oleh Moh. Ilyas*

Sejumlah mata kini kembali menyoroti eksistensi dan gerak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasalnya, lembaga penegak hukum tersebut saat ini kembali membuat gebrakan yang menjadi magnet kuat bagi publik.

Namun sorotan publik kali ini berbeda dengan sebelumnya, yakni akhir 2009 hingga awal 2010 lalu, di mana KPK menuai simpati publik yang sangat signifikan (karena kuatnya upaya pelemahan terhadap lembaga tersebut). Kini sorotan tersebut terpecah. Sebagian tetap simpati, namun sebagian lainnya justru mulai mempertanyakan gerakan KPK, terutama kalangan politisi di senayan. Salah satunya misalnya dalam bentuk penolakan Komisi III DPR terhadap KPK, karena dua pimpinannya, yakni Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah dianggap masih memiliki kasus hukum baru-baru ini.

Apakah ini hanya akal-akalan DPR? Atau apakah politisi di DPR menyimpan “dendam” terhadap KPK? Mungkin saja. Sebab, lembaga tersebut baru mencebloskan 19 anggota DPR Periode 2004-2009 ke balik jeruji besi karena penyuapan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI)), Miranda Goeltom.

Namun, terlepas dari perdebatan itu, arah gerak KPK saat ini memang layak disoal. Performance dan kekuatan KPK yang pimpin Busyro Muqoddas ini bisa dikatakan berbeda 180 derajat dibanding KPK yang dulu, terutama saat di bawah kepemimpinan Antasari Azhar yang begitu “garang” terhadap koruptor. Saat ini, gerakan KPK untuk memberantas korupsi di Tanah Air terkesan masih setengah hati. Hal ini setelah kita menyaksikan beberapa kasus korupsi yang “tak disentuh” oleh KPK.

Alih-alih KPK beralasan belum mendapatkan barang bukti dan selalu dalam kata “penyelidikan”. Sebut saja misalnya, skandal Bailout Bank Century yang merugikan negara hingga Rp 6,7 triliun. Anehnya, meskipun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ditambah rekomendasi Pansus Century DPR RI menyatakan bahwa kasus tersebut banyak kejanggalan dan pelanggaran, KPK masih saja berdalih belum mendapatkan bukti pelanggarannya.

Kasus lainnya adalah kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang hingga saat ini masih mengambang dalam ketidakpastian. Selain itu, KPK juga terkesan mengabaikan pemeriksaan terhadap Miranda Goeltom sebagai penyuap dalam pemilihan DGS BI, padahal “para korban” Miranda sudah meringkuk dalam penjara. Akibatnya, muncul bahasa kekecewaan dari salah satu Anggota Dewan, “Masa ya, penyuapnya jin.”

Berbagai kecurigaan dan prasangka terus digulirkan kepada KPK, mulai dari tudingan KPK tebang pilih, hingga takut menyentuh penguasa, termasuk juga Partai Demokrat yang notabene sebagai partai penguasa.

Lihat saja kasus Johnny Allen dalam pembangunan sarana pelabuhan dan dermaga di kawasan Indonesia Timur yang memberikan suap senilai satu miliar terhadap Politisi PAN, Abdul Hadi Jamal. Sampai saat ini, Johnny masih menghirup udara di luar penjara, padahal Abdul Hadi Jamal sudah lebih dari setahun menghuni rumah tahanan.

Melihat fakta ini, KPK selalu “tidak berkutik”, maklum karena Johnny merupakan Wakil Ketua DPP Partai Demokrat. Tindakan KPK ini dikecam kalangan politisi di luar Demokrat, seperti Golkar, PDIP, dan PPP. Sekjen DPP PPP, Irgan Chairul Mahfiz, seperti diberitakan Indonesiamonitor.com (5/2/2011) mengatakan, “Ini kan aneh. KPK tampak tebang pilih dalam mengusut sebuah kasus. Jika ada politisi Partai Demokrat yang kena kasus, KPK diam saja. Sementara jika ada politisi dari partai lain yang kena kasus, KPK langsung kejar terus. Ini ada apa, kok KPK tidak berani sama politisi PD.”

Lantas, mengapa KPK begitu lemah dan tak berdaya? Inilah pertanyaan yang coba terus diungkap, mengingat dalam penegakan hukum di negeri ini, KPK masih lebih dipercaya publik dibanding penegak hukum lainnya, seperti Polri dan Kejaksaan Agung. Apakah saat ini pimpinan KPK, meminjam istilah Mantan Wapres Jusuf Kalla, sedang shock setelah mantan Ketua KPK, Antasari Azhar dibui dan dua pimpinan lainnya dikriminalisasi?

Terlepas dari pertanyaan itu, independensi dan komitmen KPK memang tengah diragukan banyak pihak. Rumus gerak lembaga superbodi itu dinilai telah “tercampur” oleh kekuatan politik, sehingga langkahnya pun cenderung menjadi politis. KPK dianggap hanya mampu membongkar kasus sekelas ikan teri. Sementara yang sekelas hiu KPK tak berdaya, apalagi yang berkaitan dengan pemerintah, seperti BLBI dan Century.

Arah Gerak KPK

Bila benar independensi KPK sedang dipertaruhkan, maka sebenarnya KPK sedang berperang melawan dirinya sendiri. Bahkan independensi yang mati dan komitmen yang raib dan kemudian menyebabkan adanya logika tebang pilih, justru akan membuat KPK menggali kuburnya sendiri yang berdampak pada hancurnya penegakan hukum di negeri ini.

Tentu saja penegakan hukum yang menggunakan logika tebang pilih itu akan merusak hukum itu sendiri. Setidaknya, hukum telah dijadikan alat dengan tujuan terbalik sebagai penegak ketidakadilan, bukan keadilan sebagaimana mestinya. Ketidakadilan yang menjadi leluasa hanya karena kekuatan tertentu, akan menjadikan KPK runtuh secara perlahan-lahan karena ketidakadilan yang dibuatnya sendiri. Sebab ketidakadilan itu pada prinsipnya, sebagaimana ditegaskan Martin Luther King, Jr (1929–1968), seorang pemimpin perjuangan hak sipil Amerika Serikat, akan menjadi ancaman bagi keadilan sampai kapanpun.

Oleh karenanya, arah dan sepak terjang KPK tidak boleh masuk angin, tidak boleh dirasuki kekuatan politik dan kekuasaan, dan tidak boleh “bergantung” pada penguasa. Ia mesti netral dan tetap berjalan secara independen. Dengan kata lain, jika seseorang misalnya memang melakuan tindak pidana, ia tidak boleh lepas dari mata hukum untuk diadili. Di sinilah prinsip dasar equality before the law (persamaan di hadapan hukum) yang menegaskan sikap tidak pandang bulu alias tebang pilih dalam penegakan hukum.

Mampukah KPK menjalankan proses hukum semacam itu, atau ia akan menjadi penegak hukum yang menjadi penakut dan “ikut” kemauan penguasa? Jika pilihan kedua yang dipilih, lantas mau dikemanakan KPK, quo vadis KPK?

No comments:

Post a Comment

Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!