Dalam sebuah akun facebook Senin (28/3) lalu aku menulis sebuah status wall dengan kalimat begini, "Menjadi pengusaha dalam pergaulan, menjadi politisi dalam perbincangan, dan menjadi akademisi dalam aksi dan gagasan. Good Luck...!!!.”
Kaya adalah sebuah pilihan. Sementara pintu terbaik dalam mencapai kekayaan, sebagaimana dilegitimasi Nabi adalah pernigaaan atau pintu wirausaha. Legalitas ini selain disabdakannya, pernah juga dipraktekkan langsung Nabi ketika ia menjadi saudagar bersama istrinya, Khadijah RA.
Legalitas Nabi ini bukan tanpa alasan. Nabi menganggapnya sebagai usaha menghasilkan rezeki paling baik di antara beberapa usaha yang lainnya, seperti sabdanya yang diriwayatkan Imam Baihaqi: “Sebaik-baik usaha adalah usaha orang-orang yang berniaga (pengusaha atau entrepreneur), yang jika berbicara tidak dusta, jika diberi amanah tidak khianat, jika berjanji tidak meleset, jika membeli tidak mencela (barang yang dibelinya), jika menjual tidak memuji-muji (barang yang akan dijualnya), jika berhutang tidak menunda-nunda pembayarannya, dan jika berpiutang tidak mempersulit (orang yang berhutang).” (baca Kamaluddin, 2007: 19).
Tentu saja, model bisnis dan wirausaha yang dimaksud nabi ini jauh dari praktik-praktik riba (hutang piutang yang mengambil keuntungan/ bunga) dan penipuan (baca mencuri timbangan, dsb).
Sebuah buku berjudul “Bagaimana Rasululah Saw Membangun Kerajaan Bisnis” (2007:14) menjelaskan bahwa Nabi sejak kecil telah ditempa dalam lingkungan yang memiliki semangat kewirausahaan, semangat kemandirian, kreatif, dan kemampuan mengambil resiko yang tumbuh baik dalam pribadinya. Lingkungan ini kemudian berpengaruh terhadap pembentukan jiwa nabi yang kelak menjadi saudagar, terutama setelah mempersunting Sang perempuan kaya, Khadijah al-Kubra.
Hadits dan landasan-landasan ini aku ingat manakala aku sedang berpikir, “Bagaimana aku bisa kaya?” Pikiran ini – jujur kerapkali mengunjungiku, bahkan semenjak aku baru hendak berkarir di Jakarta 2009 lalu. Saat itu, aku sempat berpikir untuk melakukan perniagaan sepeda motor, yang dibeli di jakarta, lalu dijual kembali di Pamekasan. Beberapa kali kalkulasi telah ku lakukan, bahkan hingga saat ini. Namun sayang, aku terkadang masih terbebani dengan persoalan modal.
Sebenarnya secara pribadi aku lebih sreg menjadi pengusaha (investor) media, semisal Aburizal Bakrie dengan TVOne-nya, Surya Paloh dengan Media Group-nya, Hary Tanoesoedibjo dengan Media Nusantara Citra (MNC)-nya, Dahlan Iskan dengan Jawa Pos-nya, Erick Thohir dengan Republika-nya, Jakob Oetama dengan Kompas-nya, dan beberapa nama lainnya. Terkadang, aku juga ingin menjadi politisi semisal Akbar Tandjung dan Anas Urbaningrum, atau gagasan-gagasan menjadi penulis dan pengamat politik semisal Eep Saefullah Fatah, Effendi Ghazali, Ikrar Nusa Bhakti, dan beberapa deretan analis politik lainnya, dan tentu yang pasti ingin menjadi tokoh-tokoh bangsa sekaliber alm. Cak Nur, Amien Rais, Syafi’i Maarif, dan tokoh-tokoh besar bangsa lainnya.
Kendati demikian, menjadi bisnisman (enterpreneur) cukup kuat dalam pikiranku. Aku berpikir, bila aku hanya sekadar menjadi karyawan – apapun – aku sulit untuk kaya luar biasa. Bila aku hanya menjadi PNS, barangkali aku bisa kaya jika meniru gaya Gayus Tambunan, apalagi hanya menjadi guru ataupun dosen, yang, menurutku, mesti dilandasi dengan jiwa pengabdian dan ketulusan yang tinggi. Dengan begitu, tentu pintu perniagaan sangat ingin ku jamah dan kulalui.
Lead tulisan ini yang menukil “Menjadi pengusaha dalam pergaulan,” dari akun jaring sosial facebookku, sebenarnya sebagai motivasi terhadap diriku sendiri. Aku ingin betul-betul “berenang” di kolam wirausaha. Aku belajar bergaul dengan pengusaha IT, berdiskusi dengan pengusaha Lele, kerap bercengkrama dengan kawan yang sangat antusias membuka usaha gula di Pamekasan, walaupun di balik semua itu aku tidak ingin melupakan semangat jurnalisme dan akademikku, yang insyaallah akan ku lanjutkan di Universitas Indonesia sebelum pertengahan tahun ini.
Tulisan ini pun, sengaja ku ciptakan karena sudah membeku dalam otakku, mungkin disebabkan terlalu seringnya aku berpikir tentang kekayaan. Bagaimana menjadi rich man di Indonesia, bagaimana menanggung beban keluarga dan kawan-kawanku yang membutuhkan uluran tangan finansial, dan bagaimana pula menjadikan tangan ini sebagai “al-yadu al-‘ulya”, termasuk terhadap kegiatan-kegiatan organisasi. Ya, jawabnya aku harus menjadi pengusaha dengan tidak meninggalkan hal-hal yang aku impikan sebagaimana ku sebutkan di atas.
Ps. Minggu, Jaksel, 30-31/3/2011
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!