Setiap menjelang malam, kumpulan kelelawar itu keluar dari pertapaannya. Mereka beterbangan kesana kemari demi sebuah cita-cita. Cita-cita “binatang malam” itu tak lain adalah kehidupan. Mereka melakukan pengembaraan malam karena hasrat agar bisa tetap bereksistensi.
Cerita kelelewar ini bukanlah “warisan” yang hanya ingin ditularkan pada komunitasnya saja. Tetapi semua komunitas makhluk hidup yang memiliki niat untuk bereksistensi, tak terkecuali manusia. Tentu dengan mekanisme maupun prosedur kerja yang berbeda-beda satu sama lain.
Saya menggunakan analogi binatang, karena manusia, sebagaimana banyak dijelaskan dalam beberapa referensi Kitab Mantiq (ilmu logika), merupakan binatang yang berbicara (baca hayawaanun naatiqu). Makna “berbicara” ini oleh Aristoteles disebut berpikir. Ini tidak lain karena manusia merupakan animal rationale artinya binatang yang mempunyai rasio, zoon politicon, dan makhluk hylemorfik, artinya makhluk yang terdiri dari materi dan bentuk-bentuk. Sehingga manusia, menurut Aristoteles tepat disebut homo est animal simbolicum dan homo est animal rationale.
I’tibar terhadap binatang ini terjadi karena dalam diri manusia terdapat sisi kebinatangan sebagaimana persepsi Charles Darwin atau teori Freud tentang “Id” yang dijadikan pusat dari naluri dan impuls yang bersifat primitif dan kebinatangan. Atau barangkali sebutan binatang bagi manusia itu didasarkan pada fakta bahwa bentuk manusia tidak terlalu berbeda dengan kera, sebagaimana diungkap dalam Teori Evolusi Darwin melalui bukunya, “The Origin of Species” dan Alfred Russel Wallec. Meskipun pada teori ini masih melahirkan perdebatan, terutama setelah muncul sanggahan dari Harun Yahya tentang asal usul manusia. Kendati asal-usul manusia itu masih diperdebatkan, namun kemampuan manusia yang bisa berpikir dan memiliki cita-cita merupakan sesuatu yang tak terbantahkan.
Judul “Demi sebuah cita-cita”, merupakan suatu penggalan kisah yang seolah “dilestarikan” dalam beberapa rentetan kisah hidupku. Ia menjadi semacam “air susu” yang, kedua kosa katanya tidak boleh dipisah agar tidak bermakna lain. Bermula dari “petualangan” dedikasi dan pengabdianku di Kompleks Keagamaan di bilangan Mlokorejo, Jember delapan tahun silam. Meski di sana merupakan pengabdian pertamaku dari salah satu lembaga pendidikan Islam di Pamekasan, namun ia mesti ku putuskan sebagai yang terakhir. Itu tak lain, karena kebutuhan akademik yang mesti harus ku tempa lebih jauh.
Tak cukup sampai di situ, lima tahun kemudian, yakni 2009 lalu, aku pun harus rela meninggalkan satu asa demi menuju asa yang lainnya, yaitu keputusanku singgah ke Jakarta dan menjadi bagian dari komunitas nasional lembaga pers sebuah organisasi. Saat itu, sebenarnya ada keinginan beberapa kawan maupun senior di Pamekasan agar aku “melenggang” menuju puncak tertinggi organisasi, namun tidak aku indahkan. Mengapa? Itu semua demi cita-cita “yang lain”.
Kini, tragedi itu pun terulang. Sedari awal karirku di Republika, salah satu media nasional, yang disebut-sebut koran Islam terbesar di Indonesia, godaan demi godaan kerap kali menghantui. Godaan itu adalah melanjutkan studi “masterku”. Namun, godaan itu kerap kuabaikan, hingga pada akhirnya, setelah satu tahun aku jalani dunia “merangkai kata melalui pena ini”, ku putuskan juga untuk melepasnya. Ya, godaan itu sepertinya telah betul-betul “melunturkan” jiwa jurnalisku, dan kembali masuk ke dunia akademik.
Kisah-kisah ini kututurkan agar aku mengerti bahwa sebuah keindahan tak selamanya indah manakala keindahan baru menghampiri. Hasrat selamanya akan tetap menjadi hasrat walaupun terkadang nilai dan kuantitasnya fluktuatif. Begitu pun cita-cita. Tak ada yang salah dengan cita-cita (apapun) setiap individu. Hanya saja, pada saatnya nanti, lepas dari emosionalitas kita, terkadang, ia mesti tergadaikan demi cita-cita baru yang “dipikirkan” lebih ideal berdasarkan realitas obyektif maupun realitas khayalnya secara pribadi.
Menurutku, cita-cita akan senantiasa mengalir dari satu sungai ke sungai lainnya, dari satu muara ke muara lainnya, hingga ia mencapai ujung muara dari seluruh muara. Ya, cita-cita manusia akan berakhir tatkala ia telah merengkuh ajal sakaratul maut dengan ultimate goal, jannaatun naim atau nirwana keabadian di alam yang sesungguhnya kelak. Selamat bercita-cita...!!!
Wisma Pasar Minggu, Jakarta Selatan, 30/03/2011
Pukul 02.51 WIB.
Mantap bang Ilyas, semoga mata pena akan selalu menjadi saksi perjalanan hidup manusia dan lingkungannya
ReplyDelete