Oleh Moh. Ilyas*
Sebuah bom meledak di kompleks Utan Kayu, Jakarta Timur, sekitar pukul 16.30 WIB, Selasa (16/3). Bom tersebut terkesan diarahkan kepada Koordinator Jaringan Islam Liberal, Ulil Abshar Abdalla, karena diletakkan di dalam paket kiriman buku yang dialamatkan kepada Ulil. Namun, hingga kini belum diketahui secara pasti pelaku dan motif pengiriman bom tersebut.
Kendati demikian, publik tidak mau menunggu hasil kepolisian untuk mengetahui motif di balik pengeboman tersebut, sehingga mereka memunculkan spekulasi masing-masing. Misalnya ada yang mengatakan kebencian publik terhadap Partai Demokrat, mengingat Ulil salah satu pengurus partai penguasa tersebut. Sebagian lainnya berspekulasi bahwa bom tersebut sebagai upaya pengalihan isu, karena beberapa hari terakhir, Presiden SBY diobok-obok dengan isu "Penyalahgunaan kekuasaannya" yang terungkap dari situs Wikileaks.
Namun selain dari dua spekulasi itu ada juga yang berspekulasi bahwa kasus tersebut berkaitan erat dengan isu agama, yang kemungkinan besar dilakukan oleh kaum ekstremis maupun fundamentalis. Alasannya karena Ulil selama ini dikenal dengan pemikir Islam liberal, yang banyak pemikirannya berseberangan dengan kebanyakan pemahaman umat Islam, bahkan dianggap "melukai" perasaan mereka.
Kita tahu bahwa Kompleks Utan Kayu merupakan kawasan yang banyak dijadikan tempat berkumpulnya para aktivis, terutama kalangan JIL. Namun, kita juga tidak bisa berspekulasi dengan melontarkan motif-motif di balik aksi "anti kemanusiaan" itu, karena kita memang belum mengetahui bukti-buktinya secara akurat.
Membawa term agama dalam beberapa kasus kemanusiaan di negeri ini seperti sudah menjadi tradisi. Sebut saja kasus penusukan warga Ahmadiyah di Cikeusik maupun perusakan gereja di Temenggung beberapa bulan lalu. Padahal, banyak kalangan mensinyalir kasus tersebut merupakan pengalihan isu belaka, sebab para pelakunya justru bukan warga setempat, tetapi datang dari luar daerah tersebut. Alasan lainnya, karena aparat kepolisian dua hari sebelum kejadian sudah mengetahui informasi rencana penyerangan terhadap warga Ahmadiyah, namun aparat terkesan membiarkan.
Kendati demikian, media massa sudah "terlanjur" mengibarkan "bendera agama" dengan mengusung isu bahwa penusukan itu bermotif agama, yang mengakibatkan tokoh-tokoh agama terpojokkan, karena dianggap tak berdaya mengurus umatnya.
Perlu diingat, peristiwa Cikeusik dan Temenggung yang menyudutkan tokoh agama itu terjadi beberapa saat setelah tokoh lintas agama dengan suara nyaring menyatakan kebohongan pemerintah. Oleh karenanya, upaya menyudutkan keberadaan tokoh agama melalui peristiwa tersebut dianggap pengalihan isu dan "strategi" membasmi pengaruh mereka.
Apakah pengeboman di Utan Kayu tersebut juga pengalihan isu dan bukan karena klaim bahwa kaum fundamentalis kalah argumentasi terhadap kaum liberalis, seperti yang diduga sebagian orang? Kita tidak tahu secara pasti. Oleh karenanya, semua peristiwa yang terjadi tidak bisa langsung diterjemahkan secara kasat mata, melainkan harus dipahami dan digali secara mendalam.
Harga Kemanusiaan
Terlepas dari apapun motifnya, pengeboman tersebut tetaplah merupakan tindakan yang terkutuk, dan tak dapat dibiarkan. Ia telah menodai dan menginjak-injak nilai-nilai kemanusiaan.
Kesadaran akan harga kemanusiaan ini merupakan sebuah keniscayaan bagi siapapun, terutama umat beragama (jika dikaitkan dengan agama). Alasannya karena agama, meminjam pernyataan Cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid, tetap bersifat kemanusiaan, karena bertujuan menuntun manusia mencapai kebahagiaan. Selain itu, tegas Cak Nur (sapaan Nurcholish Madjid), nilai kemanusiaan tidak mungkin bertentangan dengan nilai keagamaan. Demikian pula nilai keagamaan mustahil bertentangan dengan nilai kemanusiaan. (Baca: Islam Doktrin dan Peradaban, 2000).
Dengan begitu, tindakan biadab, tindakan pembunuhan, termasuk pengeboman merupakan tindakan anti-kemanusiaan yang sangat jauh dari ajaran agama mana pun. Tidak ada legalitas agama yang bisa dijadikan dasar argumen pembenaran. Tidak ada pula dasar sosiologis yang membolehkan menghilangkan nyawa ataupun melukai orang lain.
Oleh karenanya, harga kemanusiaan pada prinsipnya sudah final dan tak bisa dipertentangkan lagi. Ia merupakan harga tertinggi dalam sebuah jalinan relasional, baik secara vertikal maupun horizontal.
Respon Ulil
Bagaimana tanggapan Ulil mengenai bom yang diduga kuat dialamatkan kepada dirinya? Ulil mengatakan, "Sangkaan saya, ada motif politik di baliknya. Bentuknya teror politik. Tetapi saya tidak mau berpanjang-panjang. Biarlah ini menjadi wilayah polisi saja." (Indopos, 16/3/2011).
Ulil tidak ingin berspekulasi bahwa kasus tersebut berkaitan dengan agama. Sebab selama ini, kalaupun ada ancaman sebagai dampak dari perbedaan pandangan dan pemikiran keagamaan tidak sampai berupa pengeboman. Ia justru curiga bahwa pengeboman tersebut bermotif politik karena beberapa hari terakhir, pengurus Partai Demokrat ini cukup aktif mengomentari persoalan politik, terutama yang berkaitan dengan penguasa maupun partainya.
Apakah pernyataan Ulil benar? Mungkin saja. Semua kita berhak menginterpretasikan sebuah peristiwa dengan berbagai dalih. Hanya saja, kita tentu juga harus rasional menggulingkan isu. Ketika agama selalu dibawa-bawa tanpa dasar argumentasi yang utuh dan proporsional, justru hanya akan menjadi bumerang bagi agama itu sendiri. Agama tak perlu terus-terusan dijadikan "kambing hitam" dalam kasus-kasus kekerasan.
Agama adalah "tempat berteduh" yang nyaman bagi pemeluknya. Namun, tempat itu terkadang dirusak sendiri oleh penghuninya manakala mereka memiliki kepentingan pribadi. Bukankah agama selama ini masih banyak dijadikan sekadar alat politik maupun kekuasaan demi memenuhi hasrat kepentingan saja?
* Penulis adalah Wakil Direktur Lingkar Meridian Jakarta
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!