Sekitar pukul 03.30 pagi, si Mamat terbangun dari tidurnya. Namun, ia menyesali mengapa dirinya harus bangun. Maklum, ia baru saja bermimpi menjalani kehidupan yang berkualitas yang penuh kesenjangan antara cita dan realita, dan jauh dari tirani kekuasaan (baca Thaghut).
Dalam mimpinya, Mamat menemukan berbagai kisah keceriaan negerinya, di mana masyarakatnya hidup damai, tentram, dan sejahtera. Tak ada jeritan tangis karena kekurangan makan, tak ada anak telantar putus sekolah yang hari-harinya hanya dihibahkan di kolong jembatan, tak ada kisah keluarga yang berani bunuh diri lantaran kemiskinan yang mendera, tak ada pula pemulung yang modal hidupnya dari hasil mengais sampah. Di “negeri mimpi” itu tak ada penderitaan apapun dialami warga.
Tidak hanya itu, dalam mimpinya, Mamat melihat negeri hukum begitu agung di mata publik. Tak ada penodaan hukum, tak ada praktik jual beli dan rekayasa hukum. Di sana, hakim menjalankan hukum secara adil, tak ada tebang pilih, tak ada politisasi hukum, dan tak ada intervensi hukum, sehingga tak ada yang bersalah menjadi benar dan yang benar menjadi salah.
Sedangkan seorang pemimpin di negeri itu adalah mereka yang mengayomi, melayani, dan mendahului kepentingan rakyatnya, bukan justru para pemimpin itulah yang minta dilayani oleh rakyatnya. Mereka mencintai rakyatnya, menghindari rekayasa sosial untuk membohongi rakyatnya, dan amanah terhadap tugas dan tanggung jawabnya terhadap rakyat. Ia bukanlah pemimpin yang gila jabatan, yang mempertaruhkan harga diri demi mempertahankan jabatannya, dan mempolitisir kepentingannya.
Mimpi Mamat ini tepatnya bisa dikatakan antitesis dari berbagai realitas yang terjadi di Indonesia saat ini. Skandal hukum yang begitu terpuruk, diwarnai dengan berbagai rekayasa dan politisasi, keadilan yang hilang dan ketidakadilan yang membudaya telah menjadi garapan hukum kita. Bahkan, setelah ketajaman hukum di Kepolisian dan Kejaksaan Agung ditumpulkan, kini lembaga superbodi, Komisi Pemberantasan Korupsi juga "dikriminalisasi" dengan intervensi penguasa.
Indonesia selama ini hanya "diobok-obok" dan digerakkan dalam agenda kepentingan yang terselubung demi memuaskan hasrat oknum penguasa. Akibatnya, data-data kemajuan dipalsukan, semua kasus direkayasa, berbagai isu-isu besar dialihkan. Sementara mata hakim yang ada di bawah kendalinya dibutakan, sehingga tak bisa melihat mana yang benar dan salah, mana perlakuan adil dan tidak. Lebih dari itu, tugas polisi diintervensi sehingga tak bisa berbuat sesuai hukum, dan kerja-kerja pembantunya diarahkan sejalan dengan kemauannya.
Di sisi lain, partai politik menjadi kekuatan absolut yang dijadikan alat merengkuh kekuasaan tanpa peduli kebenaran. Pemimpin Parpol bisa dengan leluasa mengatur anggota partainya di legislatif untuk menyukseskan rencananya. Akibatnya, anggota DPR bukan tidak layak lagi disebut sebagai wakil rakyat melainkan hanya wakil partai.
Semua itu telah menghabiskan kepercayaan publik. Coba lihat, siapakah yang percaya Presiden, Gubernur, maupun Bupati saat ini? Siapakah yang percaya polisi, hakim, dan jaksa? Siapa pula yang percaya pemimpin partai? Kepercayaan itu terus digerus oleh tindakan mereka sendiri. Kini, mimpi Mamat itu pun hanya sekadar menjadi konsumsi cerita dunia khayal dan dunia mimpi, tidak di alam nyata seperti Indonesia ini.
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!