Welcome to Ilyas' Site

Wednesday, March 30, 2011

The Age dan Pertaruhan Kepemimpinan SBY

Oleh Moh. Ilyas*

Pemberitaan yang dimuat dua media Australia, yaitu The Age dan The Sydney Morning Herald pekan lalu menjadi pertaruhan bagi kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pasalnya, isi pemberitaan tersebut betul-betul “membuka aib” presiden yang telah memimpin negeri ini selama tujuh tahun itu.

Dengan judul “Yudhoyono Abused Power”, The Age yang menukil dari kawat-kawat diplomatik rahasia Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta yang bocor ke situs WikiLeaks mengungkap beberapa temuan tentang kepemimpinan SBY yang menyalahgunakan kekuasaannya. SBY secara pribadi telah melindungi pelaku-pelaku korupsi di negeri ini dengan intervensi terhadap jaksa dan hakim. Presiden Keenam RI itu juga diberitakan telah menggunakan badan intelijen negara demi memata-matai saingan politik dan, setidaknya, seorang menteri senior dalam pemerintahannya sendiri.

Tentu saja berita yang dilansir dua media Australia tersebut belum pasti kebenarannya, karena belum didalami dan digali secara hukum. Hanya saja, reaksi orang-orang istana, termasuk petinggi sebagian partai pendukung pemerintah yang reaktif semakin memperjelas kecurigaan publik terhadap kebenaran isi berita tersebut. Logikanya, “Jika memang tidak salah, mengapa mesti repot-repot mengaku tidak bersalah?” Bukankah diam bisa menjadi jawaban?

Bahkan tidak tanggung-tanggung, pihak istana berkilah dengan menyebut berita yang mengguncang Indonesia dan Australia tersebut hanyalah berita sampah. Tanggapan yang bertubi-tubi dengan nada “sinis” penolakan terhadap dua berita itu menunjukkan bahwa lingkaran istana seperti kebakaran jenggot. Jika demikian, publik kemungkinan besar dapat mencurigai bahwa isi berita tersebut memang benar?

Logika Data

“Bermaksud memukul orang lain, ya, malah kena sendiri”. Inilah barangkali ungkapan yang mungkin tepat menggambarkan fenomena munculnya hasil bongkaran Wikileaks yang berpotensi meruntuhkan dinding-dinding kepercayaan rakyat Indonesia terhadap pemimpinnya itu. Pihak istana dengan tergopoh-gopoh mengeluarkan bantahan itu malah seperti melakukan bunuh diri. Mengapa? Alasannya karena mereka tidak menggunakan data.

Aksi reaktif dengan menyebut berita sampah bukan menyelesaikan masalah. Mestinya jika mereka memang tidak memercayai kandungan berita itu, mereka melakukan respon balik dan bantahan secara datatif. Logika data dan fakta dapat menjadi “penangkal”. Namun hal ini belum kita temukan. Bahkan, SBY pun hanya bisa “sakit” seolah tidak mampu menjelaskan kepada publik tentang apa yang sebenarnya terjadi. Padahal, publik membutuhkan klarifikasi dan penjelasan yang akurat dari SBY. Inilah “kelemahan” orang-orang di sekeliling SBY yang hanya berkoar-koar membela tetapi tanpa argumen dan akurasi data.

Aksi reaktif dalam rangka membela pemimpinnya itu tidaklah salah. Namun, menjadi salah ketika hanya berupa pembelaan secara normatif, tanpa data akurat. Pembuktian itu dilakukan melalui hak jawab. Presiden SBY juga bisa minta klarifikasi kepada Kedutaan Besar Amerika Serikat. (Kompas.com, 13/3/2011).

Sebuah Pertaruhan

Siapapun mengakui bahwa jabatan Presiden merupakan “ikon” bagi sebuah negara. Jika seorang presiden memiliki black list maupun skandal dalam karir kepemimpinannya, maka ia akan memiliki beban moral dan beban sejarah bagi bangsa yang dipimpinnya untuk selama-lamanya. Sebut saja, Soeharto, Ben Ali, dan Hosni Mubarok dengan rezim otoritarianisme di masing-masing negara yang dipimpinnya, Hitler dengan kekejamannya di Jerman, pun juga Kaisar Hirohito, Mossoilini, dan pemimpin-pemimpin di dunia yang memiliki skandal dalam sejarah kepemimpinan mereka.

Begitu juga dengan SBY. Jika ia tidak berani membersihkan namanya sendiri, ia akan menjadi pemimpin yang tidak akan dikenang dengan jasa dan kebaikannya, tetapi dengan skandal yang pernah dilakukannya. Apalagi, skandal Bank Century yang mengguncang langit Indonesia selama dua tahun terakhir oleh Wikileaks juga disebut-sebut berkaitan erat dengan SBY. Skandal yang merugikan negara sebesar Rp 6,7 triliun tersebut disebut-sebut digunakan untuk pencalonan SBY-Boediono saat Pemilu Presiden 2009 lalu (Baca: Vivanews.com, 11/3/2011).

Oleh karenanya, temuan-temuan yang mengagetkan itu mesti diluruskan dengan data-data yang akurat oleh SBY sendiri. Sebab persoalan-persoalan tersebut merupakan pertaruhan bagi perjalanan kepemimpinannya. Setidaknya, dengan melakukan klarifikasi dan pembersihan namanya, SBY masih menjaga kredibilitas kepemimpinannya. Namun jika tidak, sejarah akan mencatat sebaliknya. Sehingga apa yang diingat dan dikenang masyarakat Indonesia khususnya, adalah sejarah cacat kepemimpinannya.

Tentu saja semua itu masalah pelik dan merupakan ujian berat bagi kepemimpinan SBY. Betapa tidak, setelah “Badai Kebohongan” pemerintah menggema di Indonesia awal tahun ini, badai kedua yang tak kalah hebatnya kembali datang. Meski datangnya dari Australia, namun gemanya dapat meningkatkan ketidakpercayaan bagi publik dan masyarakat Indonesia. Kini, Presiden SBY benar-benar dihadapkan pada “dunia nyata”, betapa permasalahan datang bertubi-tubi dan membutuhkan pengambilan keputusan dan tindakan yang cepat dan tepat. Apakah sejarah akan mencatat gemilang prestasi kepemimpinannya atau sebaliknya? Kelak, keputusan SBY hari ini dan juga waktu yang akan menjawabnya.

No comments:

Post a Comment

Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!