Oleh Moh. Ilyas
Sebagian manusia seperti enggan atau sulit terketuk hatinya untuk meneladani sifat-sifat Tuhannya. Sifat Al-'Afuwwu (Maha Pemaaf) yang merupakan salah satu dari Asmaaul Husna (Nama-nama Tuhan yang bagus) begitu sulit diterjemahkan dalam kepribadian manusia. Hal ini misalnya terlihat ketika mereka tidak mau "ringan tangan" memberikan maaf bagi orang lain, meski orang tersebut begitu sangat membutuhkan maafnya.
Setidaknya, sedikit kesimpulan pikiran inilah yang kami temukan dalam konflik antar organisasi mahasiswa di Bogor sejak enam bulan terakhir. Konflik dua organisasi berinisial H dan P itu berawal dari demonstrasi keduanya di Istana Kepresidenan Bogor, Oktober 2010 lalu. Aksi mengkritisi satu tahun kepemimpinan Yudhoyono yang dianggap gagal justru menjadi presenden buruk bagi kedua organisasi berbasiskan Islam ini. Pasalnya, demo ini telah menyulut dendam satu sama lain, terutama pihak P, yang merasa dirugikan karena salah satu anggota pihak P terluka akibat bacokan pisau dari tangan salah satu anggota H.
Konflik pun berlanjut, tersebutlah tiga nama dari kelompok H, yang masing-masing berinisial RH, RF, dan M, sebagai tersangka. Dari ketiganya, RH dan M, berdasarkan informasi yang kami terima, menjadi tersangka hanya karena mengikuti aksi, bukan karena pembacokan. Selanjutnya, berkas perkara yang menimpa ketiganya telah masuk ke Kejaksaan Negergi Bogor. Namun, pihak Kejaksaan tak kunjung memroses berkas perkaranya. Sehingga aksi protes pun muncul bertubi-tubi dari kelompok sekaligus senior P yang diduga dinahkodai komunitas berinisial N. "Mereka tidak akan memaafkan kami, sebelum kami dipenjara," kata RF, salah satu tersangka dari pihak H, yang mengaku tak terlibat masalah tersebut.
Di sisi lain, berbagai upaya penyelesaian secara kekeluargaan melalui pintu maaf terus dilakukan oleh organisasi H. Bahkan, pihak kampus tempat komplotan mahasiswa yang berseteru telah sepakat menyelesaikan secara kekeluargaan, namun kesepakatan itu tidak diindahkan.
Kini, kisah itu pun berlanjut. Api kebencian ternyata semakin berkobar menyelinap dalam benak komunitas P setelah mereka mengetahui bahwa RF, salah satu dari H hendak menjalankan sunnah Rasul, yaitu akad nikah. Sehingga mereka semakin getol menuntut penahanan ketiganya. Puncaknya, tuntutan itu pun kini menuai hasil, ketiganya telah mendekam di balik jeruji besi.
Wal-hasil, sekian upaya yang dilakukan hanya berbuah empedu, alias tak menghasilkan apa-apa. Maaf pun tak jua datang meski sudah sekian kali diminta terhadap pihak P. Kini, semua telah berpikir bahwa peristiwa ini tidak hanya melahirkan dendam pribadi, antara pelaku pembacokan dengan si korban. Peristiwa ini telah menciptakan dendam ideologis, karena didasarkan pada patron ideologi organisasi.
Ajaran level “Islam” yang disandang kedua organisasi itu hanya semacam simbol tanpa nilai. Ia tak berpengaruh sedikit pun. Tak ayal, kata maaf hanya menjadi kata yang begitu tabu dan sulit dicapai. Ia menjadi kata yang kian melangit, sehingga kian jauh dari capaian tangan-tangan makhluk lemah seperti manusia. Bahkan, tangan hukum sendiri, yang sebenarnya menginginkan pintu kekeluargaan tak mampu dan melunak lantaran tak ada kata maaf dari Si Korban.
Rupanya, maaf ideologis dan dendam ideologis seperti dua jurang yang tak mudah disatukan. Ia juga tak semudah membalikkan telapak tangan. Keduanya sangat sulit dipertemukan. Pupus sudah menyatukan commen idea antara keduanya.
Kini kita tahu bahwa maaf ideologis jauh lebih sulit dicapai dari pada maaf individu. Padahal, maaf ideologis melahirkan kultur dan jiwa sosial yang mumpuni. Sedangkan maaf individu hanya tercipta secara natural dari satu individu kepada individu lainnya. Kita mesti menghindari tipologi dendam ideologis yang membatu dan tak mudah dilunakkan dengan kata-kata maaf. Maka kemudian muncul statemen kekecewaan, "Tuhan aja memaafkan, kok manusia bisa-bisa seperti itu."
Kereta AC Ekonomi Bogor-Jakarta, 31/3/2011
Pukul 17.42 WIB
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!