Suatu ketika salah seorang kawan bertanya, “Ngapain lo masih ke sana, Ini Jakarta Bung?” tanyanya dengan logat Betawi agak sinis, saat mengetahui aktivitasku tiap Kamis malam.
Aku diam saja mendengarnya. Namun beberapa saat setelah itu, spontan ku bilang, “Ini waktunya kita tobat.” Mendengar kalimat itu, ia hanya tersenyum seolah menganggap jawabanku sebagai boneka mainan saja.
Tiap Kamis malam, aku memang meluangkan waktu bersama “jamaah” melakukan silaturrahim dan transaksi spritual dengan Tuhanku. Hal yang ku lakukan mulai waktu Maghrib sampai selesai Isya’ ini bertempat di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan.
Setelah beberapa lama setelah itu aku berpikir bahwa Jakarta kota sesak, Jakarta kota keras, Jakarta kota penuh tantangan, dan Jakarta kota yang warganya didesak berlomba-lomba menaklukkan alam. Bahkan, Jakarta menjadi Ibu Kota Indonesia yang cenderung niscaya mempertaruhkan soal moral dan spritual. Mengapa? Karena perkara moral dan spritual sudah sering ditanggalkan demi menyelesaikan tuntutan tugas, kerja, maupun tuntutan kepentingan yang begitu warna-warni.
Secara lebih ekstrem, alam Jakarta juga bukan hal tabu manakala disebut dengan sebutan “alam sakit”. Hal ini lantaran sulitnya membedakan antara jiwa yang sehat, pikiran yang cerdas, dan moralitas yang berharga, di kota ini. Semuanya seperti kabur ditutup dengan "hal-hal ganjil" (baca: kebohongan maupun kemunafikan). Ia ibarat orang sakit, yang susah ditebak hasrat dan kemauannya. Bahasa kasarnya, di Jakarta mau orang jujur susah, mau cari orang benar, susah, dan mau cari orang ikhlas alias tulus jauh lebih susah lagi.
Di tengah hiruk pikuk kuatnya pengaruh alam sakit ini, sebagian warga Jakarta tidak mau pasrah menerimanya sebagai kutukan permanen. Sebagian mereka mencoba mencari penawarnya. Di antaranya dengan mengawal dan membekali mereka dengan kekuatan moral dan spritual (moral and spritual are a power). Sebab, dua obat inilah yang dianggap paling manjur.
Alasan inilah yang mengantarkanku masuk dalam aktivitas terbatas ini. Aku sadar bahwa individualisme dan personalisme menjadi sesuatu yang sulit dilawan. Ia seolah menjadi karakter yang menyatu secara utuh dengan alam Jakarta. Coba lihat, bagaimana kerasnya pengamen di bus-bus perkotaan? Bagaimana menderitanya pengemis di kereta kelas ekonomi dan di tempat-tempat ramai Ibu Kota, dan bagaimana pula ibu-ibu jompo maupun pengangguran, serta anak-anak putus sekolah yang menghabiskan hari-harinya di lampu-lampu merah atau kolong-kolong jembatan dan fly over? Belum lagi soal penjambretan, perampokan, penodongan, dan penganiayaan yang tak terhitung jumlahnya? Semua itu, ku akui sebagai buah dar individualisme.
Dalam potongan cerita di awal, andai aku tak memiliki hasrat sendiri untuk melangkah memperbaiki moralitas dan spritualitas, aku akan terbawa menjadi pribadi yang jauh dari dua karakter itu. Justru karena aku ingin memeliharanya sebagai warisan masa lalu yang baik. Aku sadar, terlalu banyak kisah-kisah masa lalu yang tak baik diceritakan hari ini, karena hanya tinggal kisahnya. Aku sadar bahwa aku telah mengalpakan banyak hal yang positif, demi hal-hal yang tak lebih positif. Aku sadar bahwa aku sedang hidup di alam sakit.
Bukan hanya aktivitas religius yang ku jalani. Di beberapa titik Ibu Kota, banyak warga yang ingin melepas kepengapan Jakarta dengan spritual. Tengok saja, istighasah semisal di kawasan Tebet, Pasar Minggu, maupun Buncit. Lihat saja, seremonial dzikir dan taubat ala Majelis Rasulullah yang dihadiri ribuan jamaah. Semua itu menunjukkan bahwa Jakarta masih memiliki ruang memperbaiki moral dan spritual. Hal ini tentu peluang bagi mereka yang menginginkannya.
Kuningan + Ps. Minggu, 31/3/2011
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!