Welcome to Ilyas' Site

Thursday, March 31, 2011

Negeri Tanpa Identitas


Indonesia...

Engkaulah negeriku...

Merah-Putih lambang kesucian hati dan keberanian jiwamu...

Garudamu terbang membawamu ke langit segala langit kemajuan dan kemerdekaan...

Indonesia, itulah dirimu...


Tapi sayang, itu masa lalu... Hai bangsaku...

Kini, kau bukan lagi Indonesia yang ku kenal tempo dulu...

Merah-Putih benderamu telah ditukar dengan aneka ragam warna,

Hingga anak-anakmu tak lagi mengerti tentang kesucian dan keberanian...

Kesucianmu dinodai dengan praktik-praktik korupsi dan perampokan...

Keberanianmu disalahgunakan untuk merebut kekuasaan atasmu, bukan melawan musuh-musuhmu...

Kini, kau telah jadi tumbal, wahai bangsaku...


Negeriku...

Kini, tak ada lagi simbol kekuatan pembangunan...

Sebab, burung Garudamu telah dicabik-cabik hingga tak berdaya

Garudamu telah dicengkeram dengan nafsu dan syahwat kekuasaan anak-anakmu...

Di negerimu, tak ada lagi misi pembangunan...

Tak ada lagi misi penyejahteraan rakyatmu...


Oh, Indonesiaku...

Kini identitasmu telah direnggut anak-anakmu yang serakah,

Garudaku, pergilah... Engkau hanya dijarah tiap waktu...

Di Indonesia, tak ada lagi yang menghargaimu...

Pergilah...!!!

Tak usah lagi bicara tentang negeri ini,

Karena ia tak lagi memiliki identitas...

Ya, Indonesiaku kini menjadi negeri tanpa identitas...


WPM, Jaksel, 31/3/2011

Pukul 23.03

Quo Vadis KPK?

Oleh Moh. Ilyas*

Sejumlah mata kini kembali menyoroti eksistensi dan gerak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasalnya, lembaga penegak hukum tersebut saat ini kembali membuat gebrakan yang menjadi magnet kuat bagi publik.

Namun sorotan publik kali ini berbeda dengan sebelumnya, yakni akhir 2009 hingga awal 2010 lalu, di mana KPK menuai simpati publik yang sangat signifikan (karena kuatnya upaya pelemahan terhadap lembaga tersebut). Kini sorotan tersebut terpecah. Sebagian tetap simpati, namun sebagian lainnya justru mulai mempertanyakan gerakan KPK, terutama kalangan politisi di senayan. Salah satunya misalnya dalam bentuk penolakan Komisi III DPR terhadap KPK, karena dua pimpinannya, yakni Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah dianggap masih memiliki kasus hukum baru-baru ini.

Apakah ini hanya akal-akalan DPR? Atau apakah politisi di DPR menyimpan “dendam” terhadap KPK? Mungkin saja. Sebab, lembaga tersebut baru mencebloskan 19 anggota DPR Periode 2004-2009 ke balik jeruji besi karena penyuapan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI)), Miranda Goeltom.

Namun, terlepas dari perdebatan itu, arah gerak KPK saat ini memang layak disoal. Performance dan kekuatan KPK yang pimpin Busyro Muqoddas ini bisa dikatakan berbeda 180 derajat dibanding KPK yang dulu, terutama saat di bawah kepemimpinan Antasari Azhar yang begitu “garang” terhadap koruptor. Saat ini, gerakan KPK untuk memberantas korupsi di Tanah Air terkesan masih setengah hati. Hal ini setelah kita menyaksikan beberapa kasus korupsi yang “tak disentuh” oleh KPK.

Alih-alih KPK beralasan belum mendapatkan barang bukti dan selalu dalam kata “penyelidikan”. Sebut saja misalnya, skandal Bailout Bank Century yang merugikan negara hingga Rp 6,7 triliun. Anehnya, meskipun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ditambah rekomendasi Pansus Century DPR RI menyatakan bahwa kasus tersebut banyak kejanggalan dan pelanggaran, KPK masih saja berdalih belum mendapatkan bukti pelanggarannya.

Kasus lainnya adalah kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang hingga saat ini masih mengambang dalam ketidakpastian. Selain itu, KPK juga terkesan mengabaikan pemeriksaan terhadap Miranda Goeltom sebagai penyuap dalam pemilihan DGS BI, padahal “para korban” Miranda sudah meringkuk dalam penjara. Akibatnya, muncul bahasa kekecewaan dari salah satu Anggota Dewan, “Masa ya, penyuapnya jin.”

Berbagai kecurigaan dan prasangka terus digulirkan kepada KPK, mulai dari tudingan KPK tebang pilih, hingga takut menyentuh penguasa, termasuk juga Partai Demokrat yang notabene sebagai partai penguasa.

Lihat saja kasus Johnny Allen dalam pembangunan sarana pelabuhan dan dermaga di kawasan Indonesia Timur yang memberikan suap senilai satu miliar terhadap Politisi PAN, Abdul Hadi Jamal. Sampai saat ini, Johnny masih menghirup udara di luar penjara, padahal Abdul Hadi Jamal sudah lebih dari setahun menghuni rumah tahanan.

Melihat fakta ini, KPK selalu “tidak berkutik”, maklum karena Johnny merupakan Wakil Ketua DPP Partai Demokrat. Tindakan KPK ini dikecam kalangan politisi di luar Demokrat, seperti Golkar, PDIP, dan PPP. Sekjen DPP PPP, Irgan Chairul Mahfiz, seperti diberitakan Indonesiamonitor.com (5/2/2011) mengatakan, “Ini kan aneh. KPK tampak tebang pilih dalam mengusut sebuah kasus. Jika ada politisi Partai Demokrat yang kena kasus, KPK diam saja. Sementara jika ada politisi dari partai lain yang kena kasus, KPK langsung kejar terus. Ini ada apa, kok KPK tidak berani sama politisi PD.”

Lantas, mengapa KPK begitu lemah dan tak berdaya? Inilah pertanyaan yang coba terus diungkap, mengingat dalam penegakan hukum di negeri ini, KPK masih lebih dipercaya publik dibanding penegak hukum lainnya, seperti Polri dan Kejaksaan Agung. Apakah saat ini pimpinan KPK, meminjam istilah Mantan Wapres Jusuf Kalla, sedang shock setelah mantan Ketua KPK, Antasari Azhar dibui dan dua pimpinan lainnya dikriminalisasi?

Terlepas dari pertanyaan itu, independensi dan komitmen KPK memang tengah diragukan banyak pihak. Rumus gerak lembaga superbodi itu dinilai telah “tercampur” oleh kekuatan politik, sehingga langkahnya pun cenderung menjadi politis. KPK dianggap hanya mampu membongkar kasus sekelas ikan teri. Sementara yang sekelas hiu KPK tak berdaya, apalagi yang berkaitan dengan pemerintah, seperti BLBI dan Century.

Arah Gerak KPK

Bila benar independensi KPK sedang dipertaruhkan, maka sebenarnya KPK sedang berperang melawan dirinya sendiri. Bahkan independensi yang mati dan komitmen yang raib dan kemudian menyebabkan adanya logika tebang pilih, justru akan membuat KPK menggali kuburnya sendiri yang berdampak pada hancurnya penegakan hukum di negeri ini.

Tentu saja penegakan hukum yang menggunakan logika tebang pilih itu akan merusak hukum itu sendiri. Setidaknya, hukum telah dijadikan alat dengan tujuan terbalik sebagai penegak ketidakadilan, bukan keadilan sebagaimana mestinya. Ketidakadilan yang menjadi leluasa hanya karena kekuatan tertentu, akan menjadikan KPK runtuh secara perlahan-lahan karena ketidakadilan yang dibuatnya sendiri. Sebab ketidakadilan itu pada prinsipnya, sebagaimana ditegaskan Martin Luther King, Jr (1929–1968), seorang pemimpin perjuangan hak sipil Amerika Serikat, akan menjadi ancaman bagi keadilan sampai kapanpun.

Oleh karenanya, arah dan sepak terjang KPK tidak boleh masuk angin, tidak boleh dirasuki kekuatan politik dan kekuasaan, dan tidak boleh “bergantung” pada penguasa. Ia mesti netral dan tetap berjalan secara independen. Dengan kata lain, jika seseorang misalnya memang melakuan tindak pidana, ia tidak boleh lepas dari mata hukum untuk diadili. Di sinilah prinsip dasar equality before the law (persamaan di hadapan hukum) yang menegaskan sikap tidak pandang bulu alias tebang pilih dalam penegakan hukum.

Mampukah KPK menjalankan proses hukum semacam itu, atau ia akan menjadi penegak hukum yang menjadi penakut dan “ikut” kemauan penguasa? Jika pilihan kedua yang dipilih, lantas mau dikemanakan KPK, quo vadis KPK?

Indonesia dan Mimpi Si Mamat


Sekitar pukul 03.30 pagi, si Mamat terbangun dari tidurnya. Namun, ia menyesali mengapa dirinya harus bangun. Maklum, ia baru saja bermimpi menjalani kehidupan yang berkualitas yang penuh kesenjangan antara cita dan realita, dan jauh dari tirani kekuasaan (baca Thaghut).

Dalam mimpinya, Mamat menemukan berbagai kisah keceriaan negerinya, di mana masyarakatnya hidup damai, tentram, dan sejahtera. Tak ada jeritan tangis karena kekurangan makan, tak ada anak telantar putus sekolah yang hari-harinya hanya dihibahkan di kolong jembatan, tak ada kisah keluarga yang berani bunuh diri lantaran kemiskinan yang mendera, tak ada pula pemulung yang modal hidupnya dari hasil mengais sampah. Di “negeri mimpi” itu tak ada penderitaan apapun dialami warga.


Tidak hanya itu, dalam mimpinya, Mamat melihat negeri hukum begitu agung di mata publik. Tak ada penodaan hukum, tak ada praktik jual beli dan rekayasa hukum. Di sana, hakim menjalankan hukum secara adil, tak ada tebang pilih, tak ada politisasi hukum, dan tak ada intervensi hukum, sehingga tak ada yang bersalah menjadi benar dan yang benar menjadi salah.

Sedangkan seorang pemimpin di negeri itu adalah mereka yang mengayomi, melayani, dan mendahului kepentingan rakyatnya, bukan justru para pemimpin itulah yang minta dilayani oleh rakyatnya. Mereka mencintai rakyatnya, menghindari rekayasa sosial untuk membohongi rakyatnya, dan amanah terhadap tugas dan tanggung jawabnya terhadap rakyat. Ia bukanlah pemimpin yang gila jabatan, yang mempertaruhkan harga diri demi mempertahankan jabatannya, dan mempolitisir kepentingannya.

Mimpi Mamat ini tepatnya bisa dikatakan antitesis dari berbagai realitas yang terjadi di Indonesia saat ini. Skandal hukum yang begitu terpuruk, diwarnai dengan berbagai rekayasa dan politisasi, keadilan yang hilang dan ketidakadilan yang membudaya telah menjadi garapan hukum kita. Bahkan, setelah ketajaman hukum di Kepolisian dan Kejaksaan Agung ditumpulkan, kini lembaga superbodi, Komisi Pemberantasan Korupsi juga "dikriminalisasi" dengan intervensi penguasa.

Indonesia selama ini hanya "diobok-obok" dan digerakkan dalam agenda kepentingan yang terselubung demi memuaskan hasrat oknum penguasa. Akibatnya, data-data kemajuan dipalsukan, semua kasus direkayasa, berbagai isu-isu besar dialihkan. Sementara mata hakim yang ada di bawah kendalinya dibutakan, sehingga tak bisa melihat mana yang benar dan salah, mana perlakuan adil dan tidak. Lebih dari itu, tugas polisi diintervensi sehingga tak bisa berbuat sesuai hukum, dan kerja-kerja pembantunya diarahkan sejalan dengan kemauannya.

Di sisi lain, partai politik menjadi kekuatan absolut yang dijadikan alat merengkuh kekuasaan tanpa peduli kebenaran. Pemimpin Parpol bisa dengan leluasa mengatur anggota partainya di legislatif untuk menyukseskan rencananya. Akibatnya, anggota DPR bukan tidak layak lagi disebut sebagai wakil rakyat melainkan hanya wakil partai.

Semua itu telah menghabiskan kepercayaan publik. Coba lihat, siapakah yang percaya Presiden, Gubernur, maupun Bupati saat ini? Siapakah yang percaya polisi, hakim, dan jaksa? Siapa pula yang percaya pemimpin partai? Kepercayaan itu terus digerus oleh tindakan mereka sendiri. Kini, mimpi Mamat itu pun hanya sekadar menjadi konsumsi cerita dunia khayal dan dunia mimpi, tidak di alam nyata seperti Indonesia ini.

WPM, Jakarta Selatan, 31/3/2011

Mencintai Dengan Sederhana



Sayang...

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,

Dengan kata dan kalimat biasa-biasa, namun penuh makna,

Dengan bait-bait puisi nan tak puitis,

Namun menyirat kesetiaan dan kedalaman hakikat cinta...


Sayang...

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,

Dengan senandung nyanyian bertalu, namun berbalut rindu...

Dengan kaidah-kaindah natural serta apa adanya, namun bermakna...

Tanpa misteri, tanpa ironi...


Aku ingin mencintaimu apa adanya...

Dengan sehelai kain, namun ia kain cinta.

Dengan selembar alas, namun alas rindu,

Sebagaimana alas Fatimah dan Ali, suaminya...


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,

Dengan hikayat hati yang syahdu,

Dengan nalar-nalar bisu, karenamu...

Jauh dari hipokrasi sanubari...


Aku ingin mencintaimu apa adanya,

Tanpa intervensi, tanpa rekayasa alat apapun,

Tanpa sulapan topeng-topeng kepalsuan...

Aku ingin mencintaimu lepas dari segenap ikatan khayalan...


Sayang...

Aku ingin cintaku penuh kelembutan,

Lembut laksana belaian bunda terhadap bayinya,

Lembut seperti derai angin di kesunyian malam,

Lembut ibarat senyuman mata air di pagi buta...


Sayang...

Aku ingin tulus mencintaimu,

setulus buih lautan yang rela menerima terpaan badai sekalipun...

Sayang... Aku mencintaimu lebih dari yang kau tahu...


WPM, Jakarta Selatan, 31/3/2011

Pukul 23.23 WIB

Kesunyian Jiwa

Untuknya di Taman Surgawi

Tantangan Moral-Spritual di “Alam Sakit”

Suatu ketika salah seorang kawan bertanya, “Ngapain lo masih ke sana, Ini Jakarta Bung?” tanyanya dengan logat Betawi agak sinis, saat mengetahui aktivitasku tiap Kamis malam.

Aku diam saja mendengarnya. Namun beberapa saat setelah itu, spontan ku bilang, “Ini waktunya kita tobat.” Mendengar kalimat itu, ia hanya tersenyum seolah menganggap jawabanku sebagai boneka mainan saja.

Tiap Kamis malam, aku memang meluangkan waktu bersama “jamaah” melakukan silaturrahim dan transaksi spritual dengan Tuhanku. Hal yang ku lakukan mulai waktu Maghrib sampai selesai Isya’ ini bertempat di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan.

Setelah beberapa lama setelah itu aku berpikir bahwa Jakarta kota sesak, Jakarta kota keras, Jakarta kota penuh tantangan, dan Jakarta kota yang warganya didesak berlomba-lomba menaklukkan alam. Bahkan, Jakarta menjadi Ibu Kota Indonesia yang cenderung niscaya mempertaruhkan soal moral dan spritual. Mengapa? Karena perkara moral dan spritual sudah sering ditanggalkan demi menyelesaikan tuntutan tugas, kerja, maupun tuntutan kepentingan yang begitu warna-warni.

Secara lebih ekstrem, alam Jakarta juga bukan hal tabu manakala disebut dengan sebutan “alam sakit”. Hal ini lantaran sulitnya membedakan antara jiwa yang sehat, pikiran yang cerdas, dan moralitas yang berharga, di kota ini. Semuanya seperti kabur ditutup dengan "hal-hal ganjil" (baca: kebohongan maupun kemunafikan). Ia ibarat orang sakit, yang susah ditebak hasrat dan kemauannya. Bahasa kasarnya, di Jakarta mau orang jujur susah, mau cari orang benar, susah, dan mau cari orang ikhlas alias tulus jauh lebih susah lagi.

Di tengah hiruk pikuk kuatnya pengaruh alam sakit ini, sebagian warga Jakarta tidak mau pasrah menerimanya sebagai kutukan permanen. Sebagian mereka mencoba mencari penawarnya. Di antaranya dengan mengawal dan membekali mereka dengan kekuatan moral dan spritual (moral and spritual are a power). Sebab, dua obat inilah yang dianggap paling manjur.

Alasan inilah yang mengantarkanku masuk dalam aktivitas terbatas ini. Aku sadar bahwa individualisme dan personalisme menjadi sesuatu yang sulit dilawan. Ia seolah menjadi karakter yang menyatu secara utuh dengan alam Jakarta. Coba lihat, bagaimana kerasnya pengamen di bus-bus perkotaan? Bagaimana menderitanya pengemis di kereta kelas ekonomi dan di tempat-tempat ramai Ibu Kota, dan bagaimana pula ibu-ibu jompo maupun pengangguran, serta anak-anak putus sekolah yang menghabiskan hari-harinya di lampu-lampu merah atau kolong-kolong jembatan dan fly over? Belum lagi soal penjambretan, perampokan, penodongan, dan penganiayaan yang tak terhitung jumlahnya? Semua itu, ku akui sebagai buah dar individualisme.

Dalam potongan cerita di awal, andai aku tak memiliki hasrat sendiri untuk melangkah memperbaiki moralitas dan spritualitas, aku akan terbawa menjadi pribadi yang jauh dari dua karakter itu. Justru karena aku ingin memeliharanya sebagai warisan masa lalu yang baik. Aku sadar, terlalu banyak kisah-kisah masa lalu yang tak baik diceritakan hari ini, karena hanya tinggal kisahnya. Aku sadar bahwa aku telah mengalpakan banyak hal yang positif, demi hal-hal yang tak lebih positif. Aku sadar bahwa aku sedang hidup di alam sakit.

Bukan hanya aktivitas religius yang ku jalani. Di beberapa titik Ibu Kota, banyak warga yang ingin melepas kepengapan Jakarta dengan spritual. Tengok saja, istighasah semisal di kawasan Tebet, Pasar Minggu, maupun Buncit. Lihat saja, seremonial dzikir dan taubat ala Majelis Rasulullah yang dihadiri ribuan jamaah. Semua itu menunjukkan bahwa Jakarta masih memiliki ruang memperbaiki moral dan spritual. Hal ini tentu peluang bagi mereka yang menginginkannya.


Kuningan + Ps. Minggu, 31/3/2011

Pukul 19.20 WIB

Antara Maaf Ideologis dan Dendam Ideologis

Oleh Moh. Ilyas


Sebagian manusia seperti enggan atau sulit terketuk hatinya untuk meneladani sifat-sifat Tuhannya. Sifat Al-'Afuwwu (Maha Pemaaf) yang merupakan salah satu dari Asmaaul Husna (Nama-nama Tuhan yang bagus) begitu sulit diterjemahkan dalam kepribadian manusia. Hal ini misalnya terlihat ketika mereka tidak mau "ringan tangan" memberikan maaf bagi orang lain, meski orang tersebut begitu sangat membutuhkan maafnya.

Setidaknya, sedikit kesimpulan pikiran inilah yang kami temukan dalam konflik antar organisasi mahasiswa di Bogor sejak enam bulan terakhir. Konflik dua organisasi berinisial H dan P itu berawal dari demonstrasi keduanya di Istana Kepresidenan Bogor, Oktober 2010 lalu. Aksi mengkritisi satu tahun kepemimpinan Yudhoyono yang dianggap gagal justru menjadi presenden buruk bagi kedua organisasi berbasiskan Islam ini. Pasalnya, demo ini telah menyulut dendam satu sama lain, terutama pihak P, yang merasa dirugikan karena salah satu anggota pihak P terluka akibat bacokan pisau dari tangan salah satu anggota H.


Konflik pun berlanjut, tersebutlah tiga nama dari kelompok H, yang masing-masing berinisial RH, RF, dan M, sebagai tersangka. Dari ketiganya, RH dan M, berdasarkan informasi yang kami terima, menjadi tersangka hanya karena mengikuti aksi, bukan karena pembacokan. Selanjutnya, berkas perkara yang menimpa ketiganya telah masuk ke Kejaksaan Negergi Bogor. Namun, pihak Kejaksaan tak kunjung memroses berkas perkaranya. Sehingga aksi protes pun muncul bertubi-tubi dari kelompok sekaligus senior P yang diduga dinahkodai komunitas berinisial N. "Mereka tidak akan memaafkan kami, sebelum kami dipenjara," kata RF, salah satu tersangka dari pihak H, yang mengaku tak terlibat masalah tersebut.

Di sisi lain, berbagai upaya penyelesaian secara kekeluargaan melalui pintu maaf terus dilakukan oleh organisasi H. Bahkan, pihak kampus tempat komplotan mahasiswa yang berseteru telah sepakat menyelesaikan secara kekeluargaan, namun kesepakatan itu tidak diindahkan.

Kini, kisah itu pun berlanjut. Api kebencian ternyata semakin berkobar menyelinap dalam benak komunitas P setelah mereka mengetahui bahwa RF, salah satu dari H hendak menjalankan sunnah Rasul, yaitu akad nikah. Sehingga mereka semakin getol menuntut penahanan ketiganya. Puncaknya, tuntutan itu pun kini menuai hasil, ketiganya telah mendekam di balik jeruji besi.

Wal-hasil, sekian upaya yang dilakukan hanya berbuah empedu, alias tak menghasilkan apa-apa. Maaf pun tak jua datang meski sudah sekian kali diminta terhadap pihak P. Kini, semua telah berpikir bahwa peristiwa ini tidak hanya melahirkan dendam pribadi, antara pelaku pembacokan dengan si korban. Peristiwa ini telah menciptakan dendam ideologis, karena didasarkan pada patron ideologi organisasi.

Ajaran level “Islam” yang disandang kedua organisasi itu hanya semacam simbol tanpa nilai. Ia tak berpengaruh sedikit pun. Tak ayal, kata maaf hanya menjadi kata yang begitu tabu dan sulit dicapai. Ia menjadi kata yang kian melangit, sehingga kian jauh dari capaian tangan-tangan makhluk lemah seperti manusia. Bahkan, tangan hukum sendiri, yang sebenarnya menginginkan pintu kekeluargaan tak mampu dan melunak lantaran tak ada kata maaf dari Si Korban.

Rupanya, maaf ideologis dan dendam ideologis seperti dua jurang yang tak mudah disatukan. Ia juga tak semudah membalikkan telapak tangan. Keduanya sangat sulit dipertemukan. Pupus sudah menyatukan commen idea antara keduanya.

Kini kita tahu bahwa maaf ideologis jauh lebih sulit dicapai dari pada maaf individu. Padahal, maaf ideologis melahirkan kultur dan jiwa sosial yang mumpuni. Sedangkan maaf individu hanya tercipta secara natural dari satu individu kepada individu lainnya. Kita mesti menghindari tipologi dendam ideologis yang membatu dan tak mudah dilunakkan dengan kata-kata maaf. Maka kemudian muncul statemen kekecewaan, "Tuhan aja memaafkan, kok manusia bisa-bisa seperti itu."

Kereta AC Ekonomi Bogor-Jakarta, 31/3/2011
Pukul 17.42 WIB

Menjadi Kaya Melalui Wirausaha


Dalam sebuah akun facebook Senin (28/3) lalu aku menulis sebuah status wall dengan kalimat begini, "Menjadi pengusaha dalam pergaulan, menjadi politisi dalam perbincangan, dan menjadi akademisi dalam aksi dan gagasan. Good Luck...!!!.”

Kaya adalah sebuah pilihan. Sementara pintu terbaik dalam mencapai kekayaan, sebagaimana dilegitimasi Nabi adalah pernigaaan atau pintu wirausaha. Legalitas ini selain disabdakannya, pernah juga dipraktekkan langsung Nabi ketika ia menjadi saudagar bersama istrinya, Khadijah RA.

Legalitas Nabi ini bukan tanpa alasan. Nabi menganggapnya sebagai usaha menghasilkan rezeki paling baik di antara beberapa usaha yang lainnya, seperti sabdanya yang diriwayatkan Imam Baihaqi: “Sebaik-baik usaha adalah usaha orang-orang yang berniaga (pengusaha atau entrepreneur), yang jika berbicara tidak dusta, jika diberi amanah tidak khianat, jika berjanji tidak meleset, jika membeli tidak mencela (barang yang dibelinya), jika menjual tidak memuji-muji (barang yang akan dijualnya), jika berhutang tidak menunda-nunda pembayarannya, dan jika berpiutang tidak mempersulit (orang yang berhutang).” (baca Kamaluddin, 2007: 19).

Tentu saja, model bisnis dan wirausaha yang dimaksud nabi ini jauh dari praktik-praktik riba (hutang piutang yang mengambil keuntungan/ bunga) dan penipuan (baca mencuri timbangan, dsb).

Sebuah buku berjudul “Bagaimana Rasululah Saw Membangun Kerajaan Bisnis” (2007:14) menjelaskan bahwa Nabi sejak kecil telah ditempa dalam lingkungan yang memiliki semangat kewirausahaan, semangat kemandirian, kreatif, dan kemampuan mengambil resiko yang tumbuh baik dalam pribadinya. Lingkungan ini kemudian berpengaruh terhadap pembentukan jiwa nabi yang kelak menjadi saudagar, terutama setelah mempersunting Sang perempuan kaya, Khadijah al-Kubra.

Hadits dan landasan-landasan ini aku ingat manakala aku sedang berpikir, “Bagaimana aku bisa kaya?” Pikiran ini – jujur kerapkali mengunjungiku, bahkan semenjak aku baru hendak berkarir di Jakarta 2009 lalu. Saat itu, aku sempat berpikir untuk melakukan perniagaan sepeda motor, yang dibeli di jakarta, lalu dijual kembali di Pamekasan. Beberapa kali kalkulasi telah ku lakukan, bahkan hingga saat ini. Namun sayang, aku terkadang masih terbebani dengan persoalan modal.

Sebenarnya secara pribadi aku lebih sreg menjadi pengusaha (investor) media, semisal Aburizal Bakrie dengan TVOne-nya, Surya Paloh dengan Media Group-nya, Hary Tanoesoedibjo dengan Media Nusantara Citra (MNC)-nya, Dahlan Iskan dengan Jawa Pos-nya, Erick Thohir dengan Republika-nya, Jakob Oetama dengan Kompas-nya, dan beberapa nama lainnya. Terkadang, aku juga ingin menjadi politisi semisal Akbar Tandjung dan Anas Urbaningrum, atau gagasan-gagasan menjadi penulis dan pengamat politik semisal Eep Saefullah Fatah, Effendi Ghazali, Ikrar Nusa Bhakti, dan beberapa deretan analis politik lainnya, dan tentu yang pasti ingin menjadi tokoh-tokoh bangsa sekaliber alm. Cak Nur, Amien Rais, Syafi’i Maarif, dan tokoh-tokoh besar bangsa lainnya.

Kendati demikian, menjadi bisnisman (enterpreneur) cukup kuat dalam pikiranku. Aku berpikir, bila aku hanya sekadar menjadi karyawan – apapun – aku sulit untuk kaya luar biasa. Bila aku hanya menjadi PNS, barangkali aku bisa kaya jika meniru gaya Gayus Tambunan, apalagi hanya menjadi guru ataupun dosen, yang, menurutku, mesti dilandasi dengan jiwa pengabdian dan ketulusan yang tinggi. Dengan begitu, tentu pintu perniagaan sangat ingin ku jamah dan kulalui.

Lead tulisan ini yang menukil “Menjadi pengusaha dalam pergaulan,” dari akun jaring sosial facebookku, sebenarnya sebagai motivasi terhadap diriku sendiri. Aku ingin betul-betul “berenang” di kolam wirausaha. Aku belajar bergaul dengan pengusaha IT, berdiskusi dengan pengusaha Lele, kerap bercengkrama dengan kawan yang sangat antusias membuka usaha gula di Pamekasan, walaupun di balik semua itu aku tidak ingin melupakan semangat jurnalisme dan akademikku, yang insyaallah akan ku lanjutkan di Universitas Indonesia sebelum pertengahan tahun ini.

Tulisan ini pun, sengaja ku ciptakan karena sudah membeku dalam otakku, mungkin disebabkan terlalu seringnya aku berpikir tentang kekayaan. Bagaimana menjadi rich man di Indonesia, bagaimana menanggung beban keluarga dan kawan-kawanku yang membutuhkan uluran tangan finansial, dan bagaimana pula menjadikan tangan ini sebagai “al-yadu al-‘ulya”, termasuk terhadap kegiatan-kegiatan organisasi. Ya, jawabnya aku harus menjadi pengusaha dengan tidak meninggalkan hal-hal yang aku impikan sebagaimana ku sebutkan di atas.

Ps. Minggu, Jaksel, 30-31/3/2011

Demi Sebuah Cita-cita

Setiap menjelang malam, kumpulan kelelawar itu keluar dari pertapaannya. Mereka beterbangan kesana kemari demi sebuah cita-cita. Cita-cita “binatang malam” itu tak lain adalah kehidupan. Mereka melakukan pengembaraan malam karena hasrat agar bisa tetap bereksistensi.

Cerita kelelewar ini bukanlah “warisan” yang hanya ingin ditularkan pada komunitasnya saja. Tetapi semua komunitas makhluk hidup yang memiliki niat untuk bereksistensi, tak terkecuali manusia. Tentu dengan mekanisme maupun prosedur kerja yang berbeda-beda satu sama lain.

Saya menggunakan analogi binatang, karena manusia, sebagaimana banyak dijelaskan dalam beberapa referensi Kitab Mantiq (ilmu logika), merupakan binatang yang berbicara (baca hayawaanun naatiqu). Makna “berbicara” ini oleh Aristoteles disebut berpikir. Ini tidak lain karena manusia merupakan animal rationale artinya binatang yang mempunyai rasio, zoon politicon, dan makhluk hylemorfik, artinya makhluk yang terdiri dari materi dan bentuk-bentuk. Sehingga manusia, menurut Aristoteles tepat disebut homo est animal simbolicum dan homo est animal rationale.

I’tibar terhadap binatang ini terjadi karena dalam diri manusia terdapat sisi kebinatangan sebagaimana persepsi Charles Darwin atau teori Freud tentang “Id” yang dijadikan pusat dari naluri dan impuls yang bersifat primitif dan kebinatangan. Atau barangkali sebutan binatang bagi manusia itu didasarkan pada fakta bahwa bentuk manusia tidak terlalu berbeda dengan kera, sebagaimana diungkap dalam Teori Evolusi Darwin melalui bukunya, “The Origin of Species” dan Alfred Russel Wallec. Meskipun pada teori ini masih melahirkan perdebatan, terutama setelah muncul sanggahan dari Harun Yahya tentang asal usul manusia. Kendati asal-usul manusia itu masih diperdebatkan, namun kemampuan manusia yang bisa berpikir dan memiliki cita-cita merupakan sesuatu yang tak terbantahkan.

Judul “Demi sebuah cita-cita”, merupakan suatu penggalan kisah yang seolah “dilestarikan” dalam beberapa rentetan kisah hidupku. Ia menjadi semacam “air susu” yang, kedua kosa katanya tidak boleh dipisah agar tidak bermakna lain. Bermula dari “petualangan” dedikasi dan pengabdianku di Kompleks Keagamaan di bilangan Mlokorejo, Jember delapan tahun silam. Meski di sana merupakan pengabdian pertamaku dari salah satu lembaga pendidikan Islam di Pamekasan, namun ia mesti ku putuskan sebagai yang terakhir. Itu tak lain, karena kebutuhan akademik yang mesti harus ku tempa lebih jauh.

Tak cukup sampai di situ, lima tahun kemudian, yakni 2009 lalu, aku pun harus rela meninggalkan satu asa demi menuju asa yang lainnya, yaitu keputusanku singgah ke Jakarta dan menjadi bagian dari komunitas nasional lembaga pers sebuah organisasi. Saat itu, sebenarnya ada keinginan beberapa kawan maupun senior di Pamekasan agar aku “melenggang” menuju puncak tertinggi organisasi, namun tidak aku indahkan. Mengapa? Itu semua demi cita-cita “yang lain”.

Kini, tragedi itu pun terulang. Sedari awal karirku di Republika, salah satu media nasional, yang disebut-sebut koran Islam terbesar di Indonesia, godaan demi godaan kerap kali menghantui. Godaan itu adalah melanjutkan studi “masterku”. Namun, godaan itu kerap kuabaikan, hingga pada akhirnya, setelah satu tahun aku jalani dunia “merangkai kata melalui pena ini”, ku putuskan juga untuk melepasnya. Ya, godaan itu sepertinya telah betul-betul “melunturkan” jiwa jurnalisku, dan kembali masuk ke dunia akademik.

Kisah-kisah ini kututurkan agar aku mengerti bahwa sebuah keindahan tak selamanya indah manakala keindahan baru menghampiri. Hasrat selamanya akan tetap menjadi hasrat walaupun terkadang nilai dan kuantitasnya fluktuatif. Begitu pun cita-cita. Tak ada yang salah dengan cita-cita (apapun) setiap individu. Hanya saja, pada saatnya nanti, lepas dari emosionalitas kita, terkadang, ia mesti tergadaikan demi cita-cita baru yang “dipikirkan” lebih ideal berdasarkan realitas obyektif maupun realitas khayalnya secara pribadi.

Menurutku, cita-cita akan senantiasa mengalir dari satu sungai ke sungai lainnya, dari satu muara ke muara lainnya, hingga ia mencapai ujung muara dari seluruh muara. Ya, cita-cita manusia akan berakhir tatkala ia telah merengkuh ajal sakaratul maut dengan ultimate goal, jannaatun naim atau nirwana keabadian di alam yang sesungguhnya kelak. Selamat bercita-cita...!!!

Wisma Pasar Minggu, Jakarta Selatan, 30/03/2011

Pukul 02.51 WIB.

Wednesday, March 30, 2011

The Age dan Pertaruhan Kepemimpinan SBY

Oleh Moh. Ilyas*

Pemberitaan yang dimuat dua media Australia, yaitu The Age dan The Sydney Morning Herald pekan lalu menjadi pertaruhan bagi kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pasalnya, isi pemberitaan tersebut betul-betul “membuka aib” presiden yang telah memimpin negeri ini selama tujuh tahun itu.

Dengan judul “Yudhoyono Abused Power”, The Age yang menukil dari kawat-kawat diplomatik rahasia Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta yang bocor ke situs WikiLeaks mengungkap beberapa temuan tentang kepemimpinan SBY yang menyalahgunakan kekuasaannya. SBY secara pribadi telah melindungi pelaku-pelaku korupsi di negeri ini dengan intervensi terhadap jaksa dan hakim. Presiden Keenam RI itu juga diberitakan telah menggunakan badan intelijen negara demi memata-matai saingan politik dan, setidaknya, seorang menteri senior dalam pemerintahannya sendiri.

Tentu saja berita yang dilansir dua media Australia tersebut belum pasti kebenarannya, karena belum didalami dan digali secara hukum. Hanya saja, reaksi orang-orang istana, termasuk petinggi sebagian partai pendukung pemerintah yang reaktif semakin memperjelas kecurigaan publik terhadap kebenaran isi berita tersebut. Logikanya, “Jika memang tidak salah, mengapa mesti repot-repot mengaku tidak bersalah?” Bukankah diam bisa menjadi jawaban?

Bahkan tidak tanggung-tanggung, pihak istana berkilah dengan menyebut berita yang mengguncang Indonesia dan Australia tersebut hanyalah berita sampah. Tanggapan yang bertubi-tubi dengan nada “sinis” penolakan terhadap dua berita itu menunjukkan bahwa lingkaran istana seperti kebakaran jenggot. Jika demikian, publik kemungkinan besar dapat mencurigai bahwa isi berita tersebut memang benar?

Logika Data

“Bermaksud memukul orang lain, ya, malah kena sendiri”. Inilah barangkali ungkapan yang mungkin tepat menggambarkan fenomena munculnya hasil bongkaran Wikileaks yang berpotensi meruntuhkan dinding-dinding kepercayaan rakyat Indonesia terhadap pemimpinnya itu. Pihak istana dengan tergopoh-gopoh mengeluarkan bantahan itu malah seperti melakukan bunuh diri. Mengapa? Alasannya karena mereka tidak menggunakan data.

Aksi reaktif dengan menyebut berita sampah bukan menyelesaikan masalah. Mestinya jika mereka memang tidak memercayai kandungan berita itu, mereka melakukan respon balik dan bantahan secara datatif. Logika data dan fakta dapat menjadi “penangkal”. Namun hal ini belum kita temukan. Bahkan, SBY pun hanya bisa “sakit” seolah tidak mampu menjelaskan kepada publik tentang apa yang sebenarnya terjadi. Padahal, publik membutuhkan klarifikasi dan penjelasan yang akurat dari SBY. Inilah “kelemahan” orang-orang di sekeliling SBY yang hanya berkoar-koar membela tetapi tanpa argumen dan akurasi data.

Aksi reaktif dalam rangka membela pemimpinnya itu tidaklah salah. Namun, menjadi salah ketika hanya berupa pembelaan secara normatif, tanpa data akurat. Pembuktian itu dilakukan melalui hak jawab. Presiden SBY juga bisa minta klarifikasi kepada Kedutaan Besar Amerika Serikat. (Kompas.com, 13/3/2011).

Sebuah Pertaruhan

Siapapun mengakui bahwa jabatan Presiden merupakan “ikon” bagi sebuah negara. Jika seorang presiden memiliki black list maupun skandal dalam karir kepemimpinannya, maka ia akan memiliki beban moral dan beban sejarah bagi bangsa yang dipimpinnya untuk selama-lamanya. Sebut saja, Soeharto, Ben Ali, dan Hosni Mubarok dengan rezim otoritarianisme di masing-masing negara yang dipimpinnya, Hitler dengan kekejamannya di Jerman, pun juga Kaisar Hirohito, Mossoilini, dan pemimpin-pemimpin di dunia yang memiliki skandal dalam sejarah kepemimpinan mereka.

Begitu juga dengan SBY. Jika ia tidak berani membersihkan namanya sendiri, ia akan menjadi pemimpin yang tidak akan dikenang dengan jasa dan kebaikannya, tetapi dengan skandal yang pernah dilakukannya. Apalagi, skandal Bank Century yang mengguncang langit Indonesia selama dua tahun terakhir oleh Wikileaks juga disebut-sebut berkaitan erat dengan SBY. Skandal yang merugikan negara sebesar Rp 6,7 triliun tersebut disebut-sebut digunakan untuk pencalonan SBY-Boediono saat Pemilu Presiden 2009 lalu (Baca: Vivanews.com, 11/3/2011).

Oleh karenanya, temuan-temuan yang mengagetkan itu mesti diluruskan dengan data-data yang akurat oleh SBY sendiri. Sebab persoalan-persoalan tersebut merupakan pertaruhan bagi perjalanan kepemimpinannya. Setidaknya, dengan melakukan klarifikasi dan pembersihan namanya, SBY masih menjaga kredibilitas kepemimpinannya. Namun jika tidak, sejarah akan mencatat sebaliknya. Sehingga apa yang diingat dan dikenang masyarakat Indonesia khususnya, adalah sejarah cacat kepemimpinannya.

Tentu saja semua itu masalah pelik dan merupakan ujian berat bagi kepemimpinan SBY. Betapa tidak, setelah “Badai Kebohongan” pemerintah menggema di Indonesia awal tahun ini, badai kedua yang tak kalah hebatnya kembali datang. Meski datangnya dari Australia, namun gemanya dapat meningkatkan ketidakpercayaan bagi publik dan masyarakat Indonesia. Kini, Presiden SBY benar-benar dihadapkan pada “dunia nyata”, betapa permasalahan datang bertubi-tubi dan membutuhkan pengambilan keputusan dan tindakan yang cepat dan tepat. Apakah sejarah akan mencatat gemilang prestasi kepemimpinannya atau sebaliknya? Kelak, keputusan SBY hari ini dan juga waktu yang akan menjawabnya.

Waspadai Isu Kekerasan Bermotif Agama

Oleh Moh. Ilyas*


Sebuah bom meledak di kompleks Utan Kayu, Jakarta Timur, sekitar pukul 16.30 WIB, Selasa (16/3). Bom tersebut terkesan diarahkan kepada Koordinator Jaringan Islam Liberal, Ulil Abshar Abdalla, karena diletakkan di dalam paket kiriman buku yang dialamatkan kepada Ulil. Namun, hingga kini belum diketahui secara pasti pelaku dan motif pengiriman bom tersebut.

Kendati demikian, publik tidak mau menunggu hasil kepolisian untuk mengetahui motif di balik pengeboman tersebut, sehingga mereka memunculkan spekulasi masing-masing. Misalnya ada yang mengatakan kebencian publik terhadap Partai Demokrat, mengingat Ulil salah satu pengurus partai penguasa tersebut. Sebagian lainnya berspekulasi bahwa bom tersebut sebagai upaya pengalihan isu, karena beberapa hari terakhir, Presiden SBY diobok-obok dengan isu "Penyalahgunaan kekuasaannya" yang terungkap dari situs Wikileaks.

Namun selain dari dua spekulasi itu ada juga yang berspekulasi bahwa kasus tersebut berkaitan erat dengan isu agama, yang kemungkinan besar dilakukan oleh kaum ekstremis maupun fundamentalis. Alasannya karena Ulil selama ini dikenal dengan pemikir Islam liberal, yang banyak pemikirannya berseberangan dengan kebanyakan pemahaman umat Islam, bahkan dianggap "melukai" perasaan mereka.


Kita tahu bahwa Kompleks Utan Kayu merupakan kawasan yang banyak dijadikan tempat berkumpulnya para aktivis, terutama kalangan JIL. Namun, kita juga tidak bisa berspekulasi dengan melontarkan motif-motif di balik aksi "anti kemanusiaan" itu, karena kita memang belum mengetahui bukti-buktinya secara akurat.


Membawa term agama dalam beberapa kasus kemanusiaan di negeri ini seperti sudah menjadi tradisi. Sebut saja kasus penusukan warga Ahmadiyah di Cikeusik maupun perusakan gereja di Temenggung beberapa bulan lalu. Padahal, banyak kalangan mensinyalir kasus tersebut merupakan pengalihan isu belaka, sebab para pelakunya justru bukan warga setempat, tetapi datang dari luar daerah tersebut. Alasan lainnya, karena aparat kepolisian dua hari sebelum kejadian sudah mengetahui informasi rencana penyerangan terhadap warga Ahmadiyah, namun aparat terkesan membiarkan.


Kendati demikian, media massa sudah "terlanjur" mengibarkan "bendera agama" dengan mengusung isu bahwa penusukan itu bermotif agama, yang mengakibatkan tokoh-tokoh agama terpojokkan, karena dianggap tak berdaya mengurus umatnya.


Perlu diingat, peristiwa Cikeusik dan Temenggung yang menyudutkan tokoh agama itu terjadi beberapa saat setelah tokoh lintas agama dengan suara nyaring menyatakan kebohongan pemerintah. Oleh karenanya, upaya menyudutkan keberadaan tokoh agama melalui peristiwa tersebut dianggap pengalihan isu dan "strategi" membasmi pengaruh mereka.

Apakah pengeboman di Utan Kayu tersebut juga pengalihan isu dan bukan karena klaim bahwa kaum fundamentalis kalah argumentasi terhadap kaum liberalis, seperti yang diduga sebagian orang? Kita tidak tahu secara pasti. Oleh karenanya, semua peristiwa yang terjadi tidak bisa langsung diterjemahkan secara kasat mata, melainkan harus dipahami dan digali secara mendalam.


Harga Kemanusiaan


Terlepas dari apapun motifnya, pengeboman tersebut tetaplah merupakan tindakan yang terkutuk, dan tak dapat dibiarkan. Ia telah menodai dan menginjak-injak nilai-nilai kemanusiaan.


Kesadaran akan harga kemanusiaan ini merupakan sebuah keniscayaan bagi siapapun, terutama umat beragama (jika dikaitkan dengan agama). Alasannya karena agama, meminjam pernyataan Cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid, tetap bersifat kemanusiaan, karena bertujuan menuntun manusia mencapai kebahagiaan. Selain itu, tegas Cak Nur (sapaan Nurcholish Madjid), nilai kemanusiaan tidak mungkin bertentangan dengan nilai keagamaan. Demikian pula nilai keagamaan mustahil bertentangan dengan nilai kemanusiaan. (Baca: Islam Doktrin dan Peradaban, 2000).


Dengan begitu, tindakan biadab, tindakan pembunuhan, termasuk pengeboman merupakan tindakan anti-kemanusiaan yang sangat jauh dari ajaran agama mana pun. Tidak ada legalitas agama yang bisa dijadikan dasar argumen pembenaran. Tidak ada pula dasar sosiologis yang membolehkan menghilangkan nyawa ataupun melukai orang lain.


Oleh karenanya, harga kemanusiaan pada prinsipnya sudah final dan tak bisa dipertentangkan lagi. Ia merupakan harga tertinggi dalam sebuah jalinan relasional, baik secara vertikal maupun horizontal.


Respon Ulil


Bagaimana tanggapan Ulil mengenai bom yang diduga kuat dialamatkan kepada dirinya? Ulil mengatakan, "Sangkaan saya, ada motif politik di baliknya. Bentuknya teror politik. Tetapi saya tidak mau berpanjang-panjang. Biarlah ini menjadi wilayah polisi saja." (Indopos, 16/3/2011).


Ulil tidak ingin berspekulasi bahwa kasus tersebut berkaitan dengan agama. Sebab selama ini, kalaupun ada ancaman sebagai dampak dari perbedaan pandangan dan pemikiran keagamaan tidak sampai berupa pengeboman. Ia justru curiga bahwa pengeboman tersebut bermotif politik karena beberapa hari terakhir, pengurus Partai Demokrat ini cukup aktif mengomentari persoalan politik, terutama yang berkaitan dengan penguasa maupun partainya.


Apakah pernyataan Ulil benar? Mungkin saja. Semua kita berhak menginterpretasikan sebuah peristiwa dengan berbagai dalih. Hanya saja, kita tentu juga harus rasional menggulingkan isu. Ketika agama selalu dibawa-bawa tanpa dasar argumentasi yang utuh dan proporsional, justru hanya akan menjadi bumerang bagi agama itu sendiri. Agama tak perlu terus-terusan dijadikan "kambing hitam" dalam kasus-kasus kekerasan.


Agama adalah "tempat berteduh" yang nyaman bagi pemeluknya. Namun, tempat itu terkadang dirusak sendiri oleh penghuninya manakala mereka memiliki kepentingan pribadi. Bukankah agama selama ini masih banyak dijadikan sekadar alat politik maupun kekuasaan demi memenuhi hasrat kepentingan saja?

* Penulis adalah Wakil Direktur Lingkar Meridian Jakarta

Ujian Kepemimpinan SBY

Oleh Moh. Ilyas*

Beberapa hari terakhir, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dihadapkan pada sejumlah permasalahan pelik, khususnya terkait isu yang melunturkan kepercayaan publik terhadap kepemimpinannya. Misalnya, soal gonjang-gonjing politik nasional seperti rencana dibentuknya panitia angket mafia pajak yang dianggap bakal mengganggu ketenangan kekuasaannya. Meskipun pada akhirnya rencana tersebut digagalkan di Sidang Paripurna, namun SBY belum “nyaman” seratus persen.

Ketidak-nyamanan tersebut disebabkan isu soal koalisi dan reshuffle kabinet yang cukup menyedot perhatian publik, di mana pertaruhannya adalah soal depak-mendapak partai koalisi dan merangkul partai yang sebelumnya oposisi. Tidak nyaman, karena SBY sudah “didesak” oleh partainya sendiri dan kembali dianggap peragu oleh banyak kalangan, sehingga muncul persepsi bahwa SBY tidak akan berani melakukan reshuffle terhadap kader dari Partai Golkar dan PKS, yang dalam beberapa kebijakan strategis dianggap melanggar aturan koalisi.

Hal tersebut sebenarnya bukan barang baru bagi SBY. Sebelumnya, misalnya pada 10 Januari lalu, sejumlah Tokoh Lintas Agama mengeluarkan “somasi kebohongan” terhadap Pemerintahannya. Somasi tersebut digulirkan dengan alasan Pemerintahan SBY telah melakukan kebohongan publik. Belum selesai isu tersebut, SBY kembali digoncang soal keluhannya mengenai gajinya yang sudah tujuh tahun tidak naik.

Tidak hanya itu, masalah seolah tak mau ujug-ujug pergi, masalah lainnya juga berdengung di telinga SBY, yakni persoalan penyebaran buku-buku serial dirinya yang tersebar di beberapa sekolah tingkat SMP dan SD di Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Rupanya ujian demi ujian datang silih berganti. Kini Presiden SBY benar-benar dihadapkan pada “dunia nyata”, betapa permasalahan datang bertubi-tubi dan membutuhkan pengambilan keputusan dan tindakan yang cepat dan tepat. Tetapi, yang terjadi belum menunjuk ke sana. Bahkan, selain tiga masalah di atas, SBY juga kerap menuai kritik tajam mengenai banyaknya masalah mafia perpajakan, mafia hukum, dan skandal korupsi yang tak kunjung usai. Kritik tersebut bergulir karena SBY selalu berjanji akan berada di barisan terdepan dalam memberantas korupsi.

Untuk masalah pemberantasan kaum mafia misalnya, SBY dituntut “kerja ekstra”, karena kasus tersebut sudah merasuk ke akar-akar penegakan hukum di negeri ini. Persekongkolan para mafia telah memorak-porandakan tatanan dan sistem nilai yang diciptakan untuk pembangunan bangsa, dan fenomena ini sudah merambah ke beberapa instansi pemerintah, misalnya Polri, Kejaksaan Agung, dan Direktorat Perpajakan.

Belum lagi masalah ketenaga-kerjaan di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi maupun masalah penyebaran buku yang berkaitan dengan peran Kementerian Pendidikan Nasional yang, oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) diduga berpotensi korupsi karena menggunakan dana alokasi khusus (DAK). Di sinilah “suara lantang” SBY untuk memberantas korupsi dipertaruhkan. Ia didesak publik untuk tidak sekadar berretorika, tetapi betul-betul merealisasikan janji-janji dan retorikanya itu. Jika tidak, maka public trust (kepercayaan publik) dan market trust (kepercayaan pasar) akan hilang dengan sendirinya.

Bagi pemimpin, kepercayaan publik merupakan kunci tertinggi suksesnya kepemimpinanannya. Jika publik tidak percaya, maka apapun yang dikerjakan pemimpinnya seperti sia-sia belaka. Sebab, kepercayaan tidak saja menjadi motivasi, tetapi juga memiliki pengaruh kuat, bahkan salah satu penentu dalam perjalanan kepemimpinan. Bila kepercayaan ini tidak terobati dan tetap berupa ketidakpercayaan, sangat mungkin ia akan berubah menjadi teriakan revolusi untuk menumbang pemimpin yang berkuasa.

Oleh karenanya, memulihkan kepercayaan publik dan kepercayaan pasar adalah ujian utama bagi pemimpin mana pun yang memiliki otoritas dalam pemerintahan. Tidak saja mengandung konsekuensi politik, masalah kepercayaan publik tersebut juga akan menentukan besar kecilnya kepercayaan pasar terhadap kerja-kerja seorang pemimpin.

Menurut Sun Tzu, ahli strategi Cina, kalau sebuah negeri mampu membangun kekuatan pertahanannya dengan baik, maka musuh enggan untuk menyerang. Bila direfleksikan, bila pemerintah mampu mengatasi gelombang badai kompleksitas permasalahan yang dihadapi bangsa, kritik dan goyangan kalangan para politisi, tokoh agama, termasuk mahasiswa tidak akan menganjlokkan tingkat kepercayaan publik dan pasar.

Soal Komunikasi

Publik mengetahui, dalam soal kemampuan retorika, SBY tak diragukan lagi, apalagi pernah dibuktikan dengan penghargaan atau award berkaitan dengan kemampuan retorikanya. Namun, publik pun menyadari bahwa retorika SBY ada kalanya belum mampu menjadi komunikasi yang dikehendaki publik.

SBY juga mulai agak kesulitan dalam menghadapi gelombang badai permasalahan strategis yang melanda bangsa ini. Ia beberapa kali mengimbau kepada bawahannya agar segera menuntaskan masalah-masalah pelik bangsa. Namun, himbauan itu terkesan seperti himbauan kosong yang tak perlu direalisasikan. Lihat saja misalnya himbauan agar Kapolri, Jenderal Timor Pradopo segera menuntaskan kasus Mafia Pajak, Gayus Halomoan Tambunan. Saat itu, Timor berjanji akan menuntaskan dalam 10 hari, namun hingga saat ini, sudah hampir tiga bulan hasilnya belum juga tuntas.

Perihal komunikasi lainnya yang belum sepenuhnya tercapai adalah saat menanggapi pernyataan sikap para Tokoh Lintas Agama baru-baru ini. Komunikasi yang dilakukan SBY, sebagaimana diakui Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, masih hanya berupa retorika normatif dan tidak substantif, sehingga tidak menjadi solusi bagi persoalan bangsa.

Komunikasi SBY tersebut sudah barang tentu mengecewakan bagi kalangan yang menginginkan perubahan dan tak sekadar retorika. Dalam hal ini, komunikasi politik sekaligus komunikasi massa SBY masih perlu ditingkatkan lagi. Ini tidak lain tujuannya untuk menghindari gejolak politik dan menciptakan stabilitas politik hingga purna kepemimpinannya yang kedua pada 2014 mendatang.

Selain itu, tidak ada jalan lain, SBY harus menunjukkan kepada publik dan pasar bahwa tim kabinetnya solid dan kapabel agar kepercayaan pasar pulih. Hal ini penting mengingat sejak awal pembentukan kabinetnya lebih ditopang oleh share politik, bukan sebuah zakeen kabinet sebagaimana mestinya. Apalagi sejak awal kepemimpinannya yang kedua, banyak kapabilitas dan kualitas komunikasi jajaran kabinet yang dipertanyakan. Apabila hal ini tidak terjadi, kredibilitas pemerintahan SBY akan makin anjlok.

Tantangan lain Presiden SBY yang tak kalah beratnya adalah menciptakan citra bahwa dirinya, wakil presiden, dan para anggota kabinetnya betul-betul bekerja demi kepentingan bangsa dan negara, bukan kepentingan pribadi atau kelompok masing-masing.

* Penulis adalah Pemerhati Sosial Politik dan Sekjen Bakornas LAPMI

Tuesday, March 29, 2011

Reshuffle dan Perubahan


Oleh Moh. Ilyas*


Setiap zaman memiliki dinamikanya tersendiri, dan setiap dinamika zaman melambangkan suatu perubahan di dalamnya. Ibaratnya, setiap hari dalam tubuh kita terdapat miliaran sel yang mati atau bunuh diri. Namun, sel-sel yang mati itu merupakan sel yang sudah tidak diperlukan lagi. Peristiwa bunuh diri sel itu dimaksudkan agar populasi sel pada tubuh tetap seimbang, sehingga kondisi tubuh dapat tetap sehat dan bugar.

Analogi ini kontekstual jika dikaitkan pada ranah birokrasi kita saat ini. Birokrasi Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berikut jajaran kabinetnya, belum memperlihatkan prestasi kerja yang patut diacungi jempol. SBY masih sering "tersandera" oleh fenomena politik dan hukum yang cenderung mengancam kekuasaannya. Dengan bahasa lebih ekstrem, hingga 1,5 tahun kepemimpinan SBY kedua ini belum sepenuhnya dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat.

Bahkan kerja yang ditampilkan SBY dan para pembantunya masih jauh panggang dari tujuan utamanya dalam menyejahterakan rakyat. Pemerintah masih berkutat pada dunia klaim melalui iklan dan pemberitaan media massa, namun kenyataannya rakyat tidak merasakan apa yang diklaim pemerintah. Inilah yang kemudian melahirkan tudingan bahwa Rezim SBY Periode ini merupakan Rezim Bohong, di mana semua pembangunan pemerintahannya dibangun berdasarkan kebohongan.

Fenomena "kesenjangan" antara harapan dan kenyataan di tingkat birokrasi tersebut kemudian juga melahirkan persepsi negatif, yaitu bahwa kepemimpinan SBY saat ini sudah lusuh. Oleh karenanya ia perlu disegarkan dengan reshuffle (perubahan susunan) menteri-menterinya yang dianggap menjadi penyebab lusuhnya birokrasi di bawah kendalinya.

Dengan demikian, pintu reshuffle merupakan sebuah keniscayaan dalam menciptakan suasana dan dunia baru serta menyegarkan pemerintahan saat ini. Ia juga merupakan langkah pembaruan yang memang seyogyanya dihadirkan guna mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat. Setidaknya, sesuatu yang belum tergarap dan belum terjawab oleh kepemimpinan status quo akan dijawab oleh pembaru pasca-reshuffle.


Tidak Semata Politis

Banyak analis menyatakan bahwa perombakan kabinet jilid 2 ini disebabkan sikap dua partai politik yang tergabung dalam koalisi yang kerap berbeda dengan Partai Demokrat sebagai partai penguasa dalam persoalan-persoalan strategis. Dua partai yang dimaksud adalah Partai Golkar dan PKS. Keduanya berbeda haluan dengan Demokrat dalam dua kasus besar, yakni keputusan bailout (penalangan) Bank Century dan rencana pembentukan panitia angket mafia perpajakan yang kandas dalam Sidang Paripurna beberapa waktu lalu.

Jika analisis yang sudah menjadi bola salju yang menggelinding dan mengarah ke wacana reshuffle akhir-akhir ini hanya didasarkan pada peta politik (politic maps) benar, maka sungguh amat disayangkan. Pasalnya, sebuah komitmen kerja untuk bangsa ini tak lebih dari sekadar sandiwara politik. Sehingga seolah-olah aksi politiklah yang menjadi penentu apakah kinerja mereka baik atau buruk.

Barangkali ini adalah resiko pemerintahan yang dibangun dalam sketsa politis. Ini pula mempertegas bahwa perjanjian dan kesepakatan awal yang politis akan cenderung menyebabkan kebijakan yang politis pula. Dengan demikian, jika benar ada pergantian menteri, maka pergantian tersebut semata-mata politis.

Tidak hanya itu, konsekuensi jabatan politis sebagai tindak lanjut dari transaksi politik juga akan melahirkan kebijakan transaksional. Dengan begitu, kebijakan yang diambil saat menjadi menteri kemungkinan besar nantinya juga akan transaksional. Hal tersebut bersesuaian jika dirunut dari pengertian politik sebagaimana dikemukakan Harold Laswell, “Who gets what, when, how.” Artinya, politisi yang memperoleh tujuan politiknya berpotensi mengabaikan hal-hal yang menjadi kewajibannya untuk bekerja terhadap kepentingan rakyatnya semata, back to society.

Inilah kemudian yang menjadi titik dasar pemikiran bahwa pejabat publik juga diperlukan dari kalangan profesional. Sebab, mereka tidak dikungkung oleh kepentingan partai atau kelompok tertentu dan juga tidak bertanggung jawab terhadap parpol. Kaum profesional bertanggung jawab terhadap profesionalismenya, sehingga dampak kerjanya terhadap kesejahteraan rakyat lebih bisa diharapkan.

Kendati demikian, juga sangat mungkin pejabat publik yang melewati jalan politik bisa bekerja secara profesional. Mereka juga dapat memegang amanah tidak hanya pada partai, tetapi juga pada rakyat yang membutuhkan prestasi kerja dari jabatannya. Politisi semacam ini oleh mantan Presiden Amerika Serikat,Harry S. Truman dianggap memegang hakikat "kontrak" antara parpol dengan rakyat. Truman mengatakan, “To Me, party platform are contracts with the people” (Bagi saya, platform partai adalah kontrak dengan rakyat).

Hanya saja, politik yang digambarkan Truman ini masih langka di Indonesia, baik kalangan politisi di legislatif maupun eksekutif. Kebanyakan politisi kita masih terkungkung oleh kekuatan parpol yang cenderung pragmatis. Mereka masih tersandera dengan kepentingan parpolnya atau simbol dan pejabat tertentu dari parpol tersebut.

Akhirnya menjadi jelas bahwa perubahan negeri ini dapat dimotori oleh reshuffle kabinet yang dilakukan secara profesional. Pertimbangan politik bagi SBY tentu saja sah. Hanya saja pertimbangan tersebut tidak mereduksi nilai-nilai profesional yang mesti dimiliki calon-calon pendampingnya pasca-reshuffle. Ini jika SBY ingin mengakhiri masa jabatannya dengan kerja-kerja positif untuk rakyatnya dan nama harum bagi masyarakatnya. Jika tidak, bukan tidak mungkin sebutan “Rezim Bohong” akan terus berlanjut hingga kepemimpinannya berakhir 2014 mendatang. Sekarang saatnya SBY memilih yang terbaik untuk negeri ini.

* Penulis adalah Sekjen Bakornas LAPMI PB HMI