Oleh Moh. Ilyas*
Upaya pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Mafia Pajak di DPR sebagai buntut dari aksi kejahatan Gayus Halomoan Tambunan sepertinya tak lagi mendapatkan support penuh dari rakyat. Rakyat sudah terlihat "cuek" dengan langkah tersebut, karena DPR sudah memiliki track record buruk, terutama dalam menyelesaikan kasus besar seperti Skandal Bank Century.
Mungkin inilah kesadaran baru rakyat yang selama ini terpendam. Mereka sudah trauma dengan mega-skandal Bank Century yang diobok-obok Pansus Century, namun ujung-ujungnya tidak jelas juga. Kasus yang merugikan negara hingga 6,7 triliun itu hilang diterpa angin politik dan perselingkuhan kekuasaan. Padahal, Pansus Century menghabiskan anggaran hingga miliaran rupiah dalam upaya pembongkarannya. Fenomena ini seolah mengingatkan kita bahwa setiap masalah yang dibawa ke wilayah politik akan menjadi politis.
Tidak heran bila Tajuk Rencana Harian Suara Pembaruan pada Jumat (28/1/2011) mengeluarkan judul “DPR Bikin Sinetron Lagi”. Judul ini bukanlah sesuatu yang hiperbolik. Judul ini, menurut penulis, berusaha menegaskan dengan sebenarnya bahwa rakyat sudah terlalu jenuh dipertontonkan jalan panjang pengungkapan Skandal Century. Mereka juga berharap kasus tersebut akan tuntas hingga pelaku-pelakunya ditangkap, tetapi harapan tersebut kandas dan rakyat pun akhirnya hanya bisa mengelus dada.
Penggunaan bahasa “Sinetron” di Senayan memang langsung mencuat, terutama sejak upaya pembongkaran kasus tersebut, sehingga bermunculan juga sebutan-sebutan seperti Anggota DPR mendadak jadi artis, karena selalu menjadi host layar kaca televisi.
Apa yang diangkat Tajuk Suara Pembaruan tersebut juga terkesan menampilkan frustasi dan pesimisme terhadap agenda-agenda DPR semisal pembentukan Pansus. Tajuk tersebut juga memperkukuh kondisi rakyat saat ini yang sudah tidak butuh tontonan-tontonan kosong, rakyat butuh bukti nyata, bukan kata-kata, apalagi hanya buaian janji belaka. Centurygate sudah menjadi bukti yang mengecewakan bagi rakyat.
Bahkan secara lebih pedas pada paragraf terakhir Tajuk tersebut, dinyatakan, "Rasanya percuma kita berkomentar banyak karena ungkapan ‘Anjing menggonggong kafilah berlalu’ sudah menjadi falsafah hidup para wakil rakyat kita. Karena itu, kita hanya bisa mengingatkan; belajarlah dari Pansus Century. Jangan terus menerus membodohi rakyat dengan suguhan sinetron murahan dari Senayan."
Wakil Rakyat, Benarkah?
Bila kita menyaksikan lebih jauh ‘tayangan” dalam penyelesaian Skandal Century beberapa bulan lalu memperlihatkan suatu tarik ulur kepentingan dalam puncak penyelesaiannya. Ini terlihat misalnya tidak samanya anggota DPR satu suara menganggap bahwa bailout (penalangan) merupakan pelanggaran, padahal Badan Pemeriksa Keuangan ditambah data-data Pansus Century sudah memperlihatkan adanya pelanggaran dalam kasus tersebut. Tapi ternyata beberapa partai hanya “tutup mata” dengan fakta itu. Lihat saja misalnya, Partai Demokrat, PKB, dan PAN, yang tetap memilih opsi "tidak ada masalah" atas bailout tersebut.
Kondisi semacam ini tidak hanya di Pansus Century. Berbagai kasus yang melibatkan DPR, ujung-ujungnya tetap apa kata partai. Jika partai yang dihuninya bilang A, maka harus A, begitu seterusnya. Padahal, hemat penulis, belum tentu pilihan anggota DPR yang selalu "apa kata partai" itu sesuai dengan nurani mereka. Mereka, demi keamanan dan kenyamanannya di partai (bebas dari recall), rela mengorbankan nurani dan keberpihakannya kepada rakyat.
Tidak hanya itu, anggota DPR dari Fraksi Golkar misalnya, yang saat di Pansus Century paling “kritis dan ngotot” membongkar skandal itu, kini terus melemah. Kontan saja, isu yang terdengar di publik adalah isu barter dan politik transaksional, termasuk ujungnya ditendangnya Sri Mulyani dari kursi Kabinet ke Bank Dunia, dan tak lama setelah itu langsung dibentuk Sekretariat Gabungan yang dikomandani Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie.
Fenomena-fenomena tersebut kian mengukuhkan bahwa anggota DPR sejatinya bukanlah wakil rakyat, tetapi masih merupakan wakil partai. Dengan kata lain, jika terdapat suatu kebijakan yang merugikan partainya, maka tak peduli rakyat rugi atau tidak, mereka pasti lebih memilih partai. Lihatlah suara-suara bungkam anggota DPR yang terkesan "membela" Skandal Century. Lihat pula mundurnya sejumlah fraksi di DPR dari rencana pembentukan Pansus Angket Mafia Pajak karena induknya (Fraksi Demokrat) telah menyatakan mundur, meskipun Demokrat sebagai inisiator gagasan itu telah menjilat ludahnya sendiri.
Padahal dalam sistem demokrasi, rakyat mestinya tidak boleh ditinggalkan wakil-wakilnya di DPR, karena mereka dipilih oleh dan untuk rakyat. Tapi kenyataan berkata lain, rakyat hanya seperti sapi perahan yang dibutuhkan manakala musim Pemilihan Umum saja, setelah itu mereka ditinggalkan ramai-ramai.
Dalam kondisi wakil yang lupa rakyatnya ini, kita seperti diingatkan oleh Mantan Presiden AS, Harry S. Truman, tentang sikap Parpol yang semestinya dilakukan. Truman mengatakan, "To Me, party platform are contracts with the people" (Bagi saya, platform partai adalah kontrak dengan rakyat).
Sebagai seorang presiden, Truman tentu sadar dengan konsekuensi apa yang diungkapkannya. Ia menyadari, sebagai individu yang bernaung di bawah partai politik, tindakan dan kebijakannya tidak boleh membelakangi rakyat, sebab partai politik tanpa rakyat adalah sesuatu yang mustahil adanya, apalagi dalam sistem demokrasi.
Jaga Marwah
Citra partai politik di mata rakyat kian memudar, terutama pasca-meledaknya Bank Century yang tidak ada kejelasannya. Anggota DPR dan Parpol juga sudah kehilangan marwah atau harga diri, sehingga sebagian rakyat mengatakan, "Semua partai di negeri ini sama, yang ada di otak mereka (orang-orang parpol) hanyalah uang dan kekuasaan. Masalah rakyat sejahtera atau tidak soal belakangan."
Ketidakpercayaan ini bukanlah sesuatu yang sengaja diciptakan oleh rakyat, melainkan itu diciptakan sendiri oleh pelaku-pelaku partai politik. Dengan kata lain, rakyat tidak percaya bukan karena diintimidasi atau bukan karena faktor benci, tetapi karena realitas parpol sendiri yang sudah membangun ketidakpercayaan itu.
Bagaimana agar rakyat bisa kembali percaya? Di antara cara yang bisa ditempuh, partai mesti segera membenahi seluruh persoalan-persoalan yang mendera internalnya. Hilangnya komitmen partai untuk berpihak kepada rakyat segera dikembalikan, adanya jarak dalam persoalan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat harus segera disatukan, dan janji-janji yang sudah diobral, terutama saat kampanye untuk menyejahterakan rakyat dalam Pemilu segera direalisasikan. Bila ini diperbaiki, kepercayaan itu nantinya dimungkinkan bisa pulih kembali.
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!