Welcome to Ilyas' Site

Monday, February 28, 2011

Kebohongan dan Kekerasan

Oleh Moh. Ilyas

Saat kata "kebohongan" belum selesai menjadi suguhan di negeri ini, kini kata baru kembali menjadi suguhan kita, yakni kata "kekerasan". Kata kekerasan ini booming kembali dalam sebulan terakhir setelah peristiwa pengeroyokan dan pembunuhan tiga jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Banten dan pembakaran dua gereja di Temenggung Jawa Tengah.

Belum selesai di dua tempat tersebut, kini peristiwa kekerasan kembali terjadi, yakni penyerangan rumah ibadah aliran Syi'ah di Pasuruan, Jawa Timur. Syiah merupakan aliran dalam Islam yang sangat mengagungkan Ahlul Bait (keluarga Nabi). Aliran ini berbeda dengan Ahmadiyah, ia diterima di kalangan umat Islam, karena perbedaan ajarannya tidak menyangkut hal yang qath'i seperti halnya Ahmadiyah.

Kalau kita amati, kata "kebohongan" dan "kekerasan" lahir dalam aneka konteks yang berbeda. Bohong, misalnya muncul bersentuhan dengan keterlibatan pemerintah sebagai pelaku. Sedangkan kekerasan bersentuhan dengan aliran dan agama tertentu. Meski demikian, ujung kekerasan atas nama agama tersebut juga merupakan tanggung jawab pemerintah.

Secara formal, dua kata tersebut memang memiliki makna berbeda. Namun, secara essensial, makna keduanya sama, yakni sama-sama menunjuk pada adanya suatu kekerasan. Bedanya, amuk massal ataupun penyerangan dalam makna sebenarnya merupakan kekerasan secara fisik, sedangkan kebohongan merupakan kekerasan secara psikis (mental).

Anehnya, dua kata ini beberapa hari setelah aksi atas nama agama tersebut mulai disepadankan dan dikaitkan secara erat. Alasannya, karena keduanya dianggap datang dengan satu skenario di negeri ini, yakni skenario pengalihan isu yang dilakukan pemerintah.

Konon, wacana pengalihan isu ini sengaja dibuat untuk menghancurkan kredibilitas para Tokoh Lintas Agama (TLA) yang sebelumnya mengkritik pemerintah secara keras dengan isu kebohongan. Jika berhasil, isu tersebut akan melemahkan mental dan posisi para TLA tersebut. Setidaknya mereka akan digunjing dengan ungkapan-ungkapan semisal, "Ngapain mereka urus pemerintah, wong urus umatnya saja tidak mampu," kira-kira tak jauh dari kalimat tersebut redaksionalnya.

Negara Terlibat

Dalam Jurnal Gagasan, sebuah jurnal KAHMI (Vol 2, nomor 1, 2011), Ostaf Al Mustafa menulis "Otoritasi Kedustaan Negara di Televisi". Dalam tulisan ini, ia mengangkat kembali tentang isu seputar kebohongan dalam kasus penangkapan teroris di Solo, Jawa Tengah. Dengan melansir berbagai media-online yang mengkonfrontir konferensi pers kepolisian dengan pernyataan warga sekitar lokasi kejadian.

Dijelaskannya, penangkapan teroris di Solo tersebut sangat kuat tercium aroma “kebohongan” alias pengalihan isu. Hal ini salah satunya ditandai dengan cerita warga bahwa beberapa sebelum penggerebekan para teroris tersebut, sudah banyak orang yang tinggi kekar, yang diakui warga, mereka polisi meski tak berpakaian lengkap kepolisian. Dengan begitu memperjelas bahwa orang yang menangkap dan orang yang ditangkap sangat mungkin merupakan komplotan polisi yang memang sengaja “diciptakan”.

Tidak hanya itu, Ostaf juga menyebutkan beberapa indikator lainnya, misalnya keterlibatan Kepala BIN Joko Suyanto dalam konferensi pers Kapolri di Mabes Polri, yang tidak biasanya, termasuk dalam penangkapan teroris, ia ikut terlibat. Bahkan, ia ikut mempertegas bahwa penangkapan tersebut bukan pengalihan isu. Keterlibatannya itu diduga untuk menguatkan Bambang Hendarso Danuri, yang saat itu sebagai Kapolri dalam melakoni “kebohongan” itu.

Di luar penjelasan Ostaf tersebut, publik pun memang kerap mempertanyakan adanya aksi-aksi semisal penangkapan teroris atau masalah lain yang terjadi di tengah hiruk pikuk perpolitikan yang tidak menentu atau terkadang di saat posisi penguasa merasa terancam. Sebut saja beberapa hari setelah Pilpres 2009 lalu langsung muncul penangkapan teroris. Padahal peristiwa tersebut diduga telah didesain secara sistemis, karena pada saat itu, legitimasi Pemilu yang memenangkan pasangan SBY-Boediono sudah mulai digugat lantaran KPU memiliki banyak persoalan. Namun, gugatan demi gugatan akhirnya surut setelah isu terorisme itu dicoba digelindingkan menjadi “gerakan ketidakpuasan” kompetitor yang kalah dalam Pilpres. Strategi ini luar biasa dalam melemahkan mental Capres-Cawapres lain yang ingin mencari kebenaran, namun mereka harus takluk dan menyerah pada perkembangan isu.

Praktik semacam ini merupakan bentuk kekerasan secara psikis by design. Ia melemahkan sendi-sendi berbangsa dan bernegara secara benar. Meski yang telah berlalu berhasil, namun bukan hal mustahil kebohongan itu suatu saat akan tercium pula. Bukankah sudah jelas pepatah, “Sedalam-dalamnya bangkai dikubur akan tercium juga baunya.”

Menurut Max Weber (1994), di dalam Political Writings-nya Peter Lassman dan Ronald Speirs mendefinisikan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh negara atau kelompok didefinisikan sebagai "monopoli atau legitimasi untuk melakukan kekerasan secara sah", yakni dengan alasan untuk melaksanakan putusan pengadilan, menjaga ketertiban umum atau dalam keadaan perang yang dapat berubah menjadi semacam perbuatan terorisme yang dilakukan oleh negara atau kelompok yang dapat menjadi salah satu bentuk kekerasan ekstrem.

Bisa saja berbagai gerakan kekerasan di atas dianggap sebagai jalan keluar bagi kepentingan publik. Walaupun sebenarnya, ia hanya didasarkan pada kepentingan individu atau kelompok tertentu. Hari ini tidak susah mengubah sesuatu yang benar menjadi salah dan sesuatu yang salah menjadi benar, apalagi oleh penguasa, yang sudah menggenggam kekuasaan di negeri ini. Bukankah sudah banyak peristiwa pemimpin dunia, yang demi mempertahankan kekuasaannya, menciptakan konspirasi-konspirasi?

No comments:

Post a Comment

Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!