Oleh Moh. Ilyas
Jabatan sebagai Presiden yang kedua kalinya bagi Susilo Bambang Yudhoyono langsung dipertaruhkan dengan masalah keadilan. Sejak baru dilantik, Oktober 2009 lalu, kepemimpinan SBY-Boediono langsung digoyang dengan isu ketidak-adilan, mulai dari kasus Cicak versus Buaya hingga meledaknya kasus Bank Century.
Dalam kasus pertama, SBY dianggap bertindak dengan penuh "kepura-puraan", karena hanya berani membentuk Tim Delapan, tetapi rekomendasi tim tersebut diabaikan, hingga akhirnya SBY melalui pidatonya yang normatif mendorong agar kasus Bibit-Chandra tersebut diselesaikan secara depoonering. Itu pun, hingga hari ini belum tuntas, sebab DPR baru-baru ini mengusulkan agar tetap diusut melalui hukum guna memastikan praktik rekayasa itu.
Sementara untuk kasus Bank Century, SBY bukannya berkehendak menuntaskan. Namun, dalam banyak kesempatan, ia selalu menyatakan bahwa bailout (penalangan) yang merugikan negara hingga 6,7 triliun tersebut sudah benar dan tidak berdampak sistemis seperti temuan Pansus Century di DPR.
Belum selesai semua itu, temuan Satgas Mafia Hukum atas ditahannya Artalyta Suryani di "surga" tahanan (yang dilengkapi fasilitas mewah) di Rutan Cipinang Jakarta Timur benar-benar mengusik rasa keadilan publik. Kini perempuan yang akrab disapa Ayin tersebut telah bebas, meskipun bebasnya terus kontroversial di masyarakat. Namun, lagi-lagi kasus soal ketidak-adilan kembali datang, yaitu kaburnya Sang Mafia Pajak, Gayus Tambunan dari penjara ke Bali hingga ke Singapura dan Cina. Sungguh, fenomena rasa keadilan yang ternodai.
Seolah semua itu belum lengkap, muncul lagi isu soal ketidakadilan yang, kini dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap pelaku penyuapan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) Miranda Goeltom terhadap 24 Anggota DPR periode 2004-2009. Dalam hal ini, KPK dianggap tidak adil dan tebang pilih, karena penerima suap sudah ditahan, sementara pelakunya dibiarkan melenggang bebas.
Satu tahun lebih Indonesia disita praktik hilangnya keadilan membuat kita rindu akan keadilan itu. Masih bisakah kita berharap adanya keadilan di negeri ini? Kapan kita bisa menikmatinya? Sebuah pertanyaan kerinduan yang sebenarnya juga berupa "kekecewaan". Kecewa, karena pemimpin dan penegak hukum yang diharapkan dapat memenuhinya sudah tak bisa lagi dipercaya.
Konsep Keadilan
Dalam sebuah training LK III (Advance Training) HMI di Lombok, Nusa Tenggara Barat, kerinduan dan kekecewaan itu terlihat begitu terang. Saat itu, peserta training berusaha menguak secara mendalam, hingga konsep keadilan pun "terpaksa" kembali didiskusikan. Apakah keadilan masih merupakan sesuatu yang abstrak dan melangit? atau ia sudah dapat dikonkretkan dan dibumikan?
Rupanya perdebatan sengit tak juga melahirkan konsepnya secara pasti. Definisi keadilan (termasuk keadilan sosial) masih terus menjadi bayang-bayang yang sukar diterjemahkan secara pasti. Ini tidak lain, karena pemaknaan peserta terhadap keadilan cenderung dipengaruhi oleh adanya ketidakadilan, baik yang mereka alami secara langsung maupun yang mereka temukan di lapangan. Bagaimana dengan pendekatan ilmiah dalam menemukan konsepnya?
Itu dia. Masalahnya, problem yang dihadapi memang menunjukkan bahwa keadilan (sosial) bukanlah wilayah garapan secara ilmiah, karena masalah keadilan bukanlah fenomena empiris yang dapat diukur secara kuantitatif. Namun ia merupakan konsep abstrak yang berkenaan dengan aspek kebijakan-kebijakan praksis, sehingga ia merupakah garapan filosofis dan bersifat ideologis. Itulah sebabnya mengapa dalam menjawab masalah di atas setiap peserta memiliki jawaban dan konsep yang berbeda sesuai dengan ideologi, kandungan batinnya, dan kapasitas pengetahuannya.
Namun, dalam perdebatan berikutnya, keadilan itu dikonsepsikan sebagai "menempatkan sesuatu sesuai tempatnya", tanpa melihat stratifikasi dan status sosialnya. Artinya, siapapun orangnya, apapun jabatannya jika melakukan pelanggaran, maka harus dihukum seadil-adilnya. Ini membantah persepsi umum yang mengatakan bahwa keadilan itu berarti harus sama.
Dengan tidak melihat latar belakang sosial ini, maka keadilan akan mudah ditegakkan. Hanya saja dalam praktiknya masih jauh panggang dari api. Keadilan seperti hanya “sebuah impian di masa tua untuk kembali ke masa muda,” ia menjadi ilusi dan imajinasi di negeri ini. Wajar jika ada yang menyebut negeri ini sebagai negeri “imajiner”. Alasannya karena di negeri ini, kecenderungan terkuat di tingkat legislatif, eksekutif, dan yudikatif senantiasa bermain dengan kepura-puraan.
Jika hendak mengambil ibrah, coba kita ungkap, apakah penyelesaian Skandal Century adil? Apakah Antasari Azhar dipenjara hanya dengan bukti SMS adil? Apakah Boediono yang diduga kuat terlibat dalam kasus Century lalu memimpin kasus Gayus adil? Apakah Miranda Gultoem yang tak kunjung dijadikan tersangka dalam kasus penyuapan Pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia adil? Apakah dibiarkannya Jhonny Allen, pengurus Partai Demokrat yang diduga terlibat kasus penyuapan tapi masih melenggang bebas adil? Dan setumpuk tanya tentang keadilan yang tak kunjung datang di negeri ini.
Ini hanya di seputar politik dan hukum. Bagaimana dalam dunia ketenagakerjaan, dunia pendidikan, dan dunia birokrasi yang, untuk menjadi PNS harus punya kedekatan dengan orang-orang tertentu? Belum juga masalah kesejahteraan, yang masyarakatnya digadang-gadang dengan janji, tetapi tak pernah ada bukti. Apakah ini juga keadilan? Kapan kita bisa menikmatinya?
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!