Oleh Moh. Ilyas*
Wacana kebohongan yang digulirkan Tokoh Lintas Agama (TLA) pada 10 Januari lalu sepertinya hanya angin lalu bagi Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Meski wacana tersebut sudah jelas-jelas ditujukan kepada pemerintah, namun mereka masih hanya merespon dengan cara membantah dan mengelak, bukan merealisasikan apa yang dianggap kebohongan. Padahal para TLA sudah mengungkap 18 kebohongan yang dilakukan pemerintah saat ini, sembilan di antaranya kebohongan lama dan sembilan lainnya kebohongan baru.
Pemerintah di lingkaran istana disibukkan dengan membuat isu-isu tandingan guna menyangkal tudingan kebohongan tersebut. Misalnya saja isu adanya langkah politis, isu rencana bahwa salah satu tokoh agama, Din Syamsuddin akan mencalonkan sebagai presiden 2014, isu bukan aspirasi rakyat, hingga isu provokasi. Bahkan, pemerintah juga diperkuat “lembaga-lembaga gelap” yang mengatasnamakan Gadis atau Gerakan Anti Din Syamsuddin dalam melawan tudingan kebohongan itu.
Selain aspirasi itu dianggap angin lalu yang, mungkin hanya masuk dari telinga kanan dan langsung keluar dari telinga kiri, tudingan kebohongan itu hanya dianggap sebagai permainan belaka. Para TLA dengan wacana mereka seolah hanya dianggap bermain-main dan tidak serius dengan tudingannya. Ini terlihat jelas, pemerintah cenderung melempar-lempar isu dan mengklaim atas dasar data mereka sendiri. Misalnya dengan menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam menilai pengangguran atau angka kemiskinan. Padahal, data pengangguran itu diambil saat musim panen, yang rata-rata sedang bekerja, dan tidak sesuai jika dilihat secara menyeluruh kondisi saat ini.
Istilah permainan sendiri yang dalam bahasa Inggris disebut game menurut kamus media online Wikipedia.org adalah kegiatan terstruktur yang biasanya dilakukan untuk kesenangan dan kadang-kadang digunakan sebagai alat pendidikan. Namun, Sosiolog Perancis, Roger Caillois dalam bukunya, Les Jeux Et Les Hommes (1957) mendefinisikan, permainan adalah kegiatan yang mesti melibatkan beberapa karakter, di antaranya fun (lucu), uncertain (tak menentu), dan non-productive (tidak produktif).
Dengan merujuk pada pandangan Caillois, jika benar bahwa kritik kebohongan hanya dianggap sebagai permainan, maka ujung-ujungnya pasti menjadi tidak jelas. Artinya, jika ia sudah dipermainkan, sudah barang tentu pelaku-pelaku kebohongan itu (baca: pemerintah) akan mengabaikannya dan tidak menganggap sebagai sesuatu yang serius dan tidak mendesak untuk diselesaikan. Bahkan, sangat mungkin kritik kebohongan itu hanya dianggap “lucu” saja. Bukankah sudah banyak contoh kasus di negeri ini, namun faktanya dibolak-balik, yang serius dianggap lucu dan yang lucu dianggap serius?
Permainan ini sebenarnya sudah terbaca sejak pemerintah memunculkan berbagai bantahan pasca-tudingan kebohongan, yang terkesan “mengada-ada”, seperti tudingan politis. Tentu saja para TLA tidak tinggal diam dengan tudingan itu. Ahmad Syafii Maarif misalnya dengan tegas mengatakan, “Untuk apa kami berpolitik?” Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin mengatakan bahwa dalam “kritik kebohongan” itu memang ada motif politiknya, tetapi politik kebangsaan demi kesejahteraan rakyat dan bukan politik praktis yang bertujuan mencari sebuah posisi di kekuasaan, apalagi pemakzulan SBY. Begitu juga apa yang dikatakan Andreas A Yewangoe, tokoh agama lainnya, yang menyatakan bahwa kritik kebohongan tersebut memang riil adanya sesuai dengan kondisi riil di masyarakat.
Evaluasi Diri
Pemimpin bijak tidak menganggap kritikan itu sebagai musuh. Sebaliknya, ia menganggapnya sebagai sebuah ide segar yang akan membantunya dalam meraih hasil kepemimpinan yang berkualitas. Artinya, dalam konteks Indonesia, SBY sebagai pemimpin tertinggi di negeri ini mestinya tidak “bertelinga tipis” mendengar kritikan itu. Ia bahkan perlu berterima kasih karena masih ada yang peduli dengan masalah kepemimpinannya dalam membawa masyarakat Indonesia sejahtera, adil, dan makmur.
Akan tetapi sungguh sangat disayangkan, SBY dan para menterinya terkesan belum siap melakukan evaluasi diri dengan berkaca pada kritikan itu. Bahkan, dalam pertemuan dialogis yang diadakan SBY dengan TLA tidak menghasilkan sesuatu yang substantif, sebab SBY selalu menanggapi secara normatif. Pertemuan yang diharapkan bisa “membuka kesadaran” pemerintah tersebut akhirnya gagal, karena SBY juga melibatkan beberapa tokoh agama yang “pro” SBY.
Ini merupakan suatu indikasi bahwa kritikan TLA masih belum dianggap mewakili semua tokoh agama dan cenderung dianggap bermuatan politis, sehingga SBY menganggapnya sebagai sesuatu yang “kosong” belaka. Tentu saja buntut dari anggapan ini adalah hilangnya realisasi dan perbaikan dari apa yang menjadi substansi kritik kebohongan para TLA tersebut.
Gerakan Politik
Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ikrar Nusa Bhakti, dalam sebuah diskusi di salah satu stasiun TV swasta, menilai gerakan para TLA tersebut sebagai gerakan moral. Gerakan tersebut, kata dia, perlu diapresiasi, karena gerakan itu masih menunjukkan bahwa sebenarnya para TLA masih “berbaik hati” terhadap pemerintah yang sudah lama larut dalam kebohongan.
Menurutnya, bukan sesuatu yang mustahil jika para TLA itu nantinya bisa berubah pikiran dan mengganti gerakan moral mereka menjadi gerakan politik. Ini mungkin terjadi manakala apa yang mereka perjuangkan melalui gerakan moral tersebut tetap berbuntut kesia-siaan dan tidak didapat langkah konkret pemerintah.
Analisis dan penilaian Ikrar ini memang bukanlah sesuatu yang absurd. Jika kondisi kebohongan terus berlanjut, bukan tidak mungkin pemerintahan SBY periode kedua ini berhenti sebelum 2014, sebagaimana mestinya. Apalagi ketika yang dipertaruhkan adalah skandal hukum yang tak kunjung usai dan kesejahteraan rakyat yang hanya berada di ujung lidah klaim dan janji-janji.
Bukankah mundurnya atau kaburnya Presiden Tunisia, Zine El Abidine Ben Ali ke Arab Saudi baru-baru ini juga disebabkan adanya kesenjangan kesejahteraan yang dialami rakyatnya? Bahkan Ali “diturunkan” oleh Mohamed Bouazizi, seorang pedagang sayur yang terpaksa membakar dirinya karena derita yang dialami, krisis pangan yang melanda, serta rakyat yang hidup dalam politik yang tak peduli pada kritik.
Tentu masyarakat kita tidak menginginkan fenomena Tunisia ini terjadi di Indonesia. Meskipun berbagai “tayangan” buruk telah ditampilkan rezim SBY, masyarakat kita masih cukup sabar menunggu perubahan. Namun, apakah masa menunggu ini akan membuahkan perubahan berarti? Semoga!
* Penulis adalah Wakil Direktur Yayasan Lingkar Meridian, Jakarta.
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!