Oleh: Moh. Ilyas*
Kekerasan terhadap warga Ahmadiyah kembali terjadi. Peristiwa ini terjadi di Kampung Peundeuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten pada Ahad (6/2) lalu dan diduga terjadi karena adanya provokasi dari pihak Ahmadiyah terhadap umat Islam, sehingga menyebabkan terjadinya bentrokan. Namun, sungguh menyedihkan, sebab peristiwa ini telah berujung pada tewasnya tiga warga Ahmadiyah.
Jika ditelusuri, kekerasan terhadap Ahmadiyah bukan kali ini saja terjadi. Paling tidak di Indonesia sejak tahun 2010 hingga saat ini telah terjadi sedikitnya 15 kekerasan terhadap kelompok yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi terakhir itu. Mulai dari kekerasan berupa pembakaran rumah ibadah, penyerangan, hingga pembunuhan.
Terlepas dari adanya motif provokasi dari pihak mana pun, peristiwa ini telah menambah daftar panjang kekerasan atas nama agama yang menyebabkan hilangnya nyawa. Hal ini merupakan tindakan yang tak dapat dibenarkan, baik oleh negara sebagai penegak hukum, maupun oleh agama sendiri.
Ahmadiyah sebagaimana dijelaskan dalam Wikipedia.org, merupakan Jamaah Muslim yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada tahun 1889 di satu desa kecil yang bernama Qadian, Punjab, India. Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai Mujaddid, al Masih, dan al Mahdi. Di Indonesia, organisasi ini telah berbadan hukum dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia sejak 1953 (SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953). Namun, atas nama Pemerintah Indonesia, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung pada tanggal 9 Juni 2008 telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama, yang memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya yang bertentangan dengan Islam.
Secara prinsip, Ahmadiyah memang bukanlah “agama formal” sebagaimana enam agama yang sudah diakui legalitasnya di Indonesia. Meski mengaku salah satu sempalan dari Islam, keberadaan Ahmadiyah tidak diterima oleh sebagian besar umat Islam. Bahkan, melalui Surat Ketetapan Bersama (SKB) Tiga Menteri tersebut Ahmadiyah tidak diperbolehkan menyebarkan ajarannya, apalagi dengan mengaku bagian dari Islam.
Dilema Negara
Tujuan dibuatnya SKB Tiga Menteri pada 2008 lalu tidak lepas dari kondisi sosial keagamaan yang cenderung berseteru dan berkonflik satu sama lain, baik antara satu agama dengan agama lain atau satu aliran dengan aliran lain. Tetapi dalam perjalanannya, ketetapan ini seperti kehilangan arti, sebab nyaris tidak ada ketegasan pemerintah, termasuk juga aparat dalam menjalankannya. Bahkan dalam beberapa kasus, pemerintah dan aparat baru sigap jika peristiwa “bentrok” sudah meledak.
Penegakan aturan yang banyak di luar harapan publik ini melahirkan “kekecawaan” di kalangan publik secara umum. Hal itu juga yang menyebabkan fenomena kekerasan atas nama agama kembali terulang, sehingga adanya SKB hampir sama dengan tidak ada. Pelanggaran-pelanggaran terhadap SKB yang dilakukan kalangan Ahmadiyah misalnya, masih tetap menjalankan aktivitas Ahmadiyah dengan membawa nama Islam dan tetap menyebarkannya. Padahal, dalam SKB jelas-jelas disebutkan bahwa Ahmadiyah tidak boleh melaksanakan aktivitas keagamaannya jika masih mengaku Islam, apalagi mengajak umat Islam untuk mengikuti aliran mereka.
Tindakan demikian tentu saja menyulut amarah umat Islam. Namun, pelanggaran ini tak pernah mendapatkan perhatian dari pemerintah ataupun aparat. Mereka sepertinya menunggu “peristiwa” terlebih dahulu untuk melangkah.
Ketika sedang bergejolak kembali seperti saat ini, pemerintah dan aparatur Negara tampak kehilangan “akal” untuk menyelesaikannya. Mereka segera dihadapkan pada sebuah dilema. Di satu sisi, mereka dituntut membubarkan Ahmadiyah, di sisi lain mereka dituntut “merombak” ulang SKB Tiga Menteri. Jika memilih membubarkan Ahmadiyah, terkesan kebebasan beragama di Indonesia terabaikan, namun jika memilih merombak SKB Tiga Menteri dikhawatirkan konflik antara satu agama maupun kelompok dengan agama lainnya semakin parah.
Oleh karenanya, pemerintah mestinya bisa lebih serius dan tidak setengah hati dalam menjalankan SKB itu, Alasannya karena SKB itu sudah merupakan aturan yang netral demi terciptanya kedamaian dan kerukunan. Setiap pelanggaran mesti diselesaikan secara hukum, sehingga tidak ada sanksi hukum (bermain hakim sendiri) di lapangan. Ini tidak lain agar Negara tidak larut dalam dilema penyelesaiannya. Pemerintah harus segera mengambil langkah dan menjalankannya secara konsisten.
Logikanya, aturan apapun yang dipakai, jika tidak disertai dengan ghirah (semangat) menjalankannya secara serius, hanya akan hampa. Aturan itu ada, namun seperti tiada. Itulah barangkali gambaran SKB Tiga Menteri sejak digulirkan tiga tahun lalu.
Hilangnya Dialog
Kekerasan atas nama agama, termasuk pengeroyokan terhadap Ahmadiyah terjadi dilatari karena tidak ada semangat dialog dalam menanggapi perbedaan. Asas dialogis yang mencerminkan kekeluargaan dan persaudaraan “digadaikan” dan direduksi dengan emosi. Dengan kata lain, perbedaan selalu dijawab dengan emosi, sehingga bentrok pun tak terelakkan.
Budaya dialog dalam menyikapi perbedaan dan silang pendapat ini perlu dan bahkan niscaya dilakukan. Dengan dialog, otot yang tegang menjadi lentur, emosi yang memuncak bisa menurun. Dan dengan dialog pula inti permasalahan bisa dipecahkan secara bersama-sama. Tentu saja bukanlah dialog yang ingin cari benar sendiri, tetapi betul-betul mencari solusi. Bukankah beberapa perbedaan atas nama agama yang diselesaikan secara dialogis dapat berakhir damai?
Inilah tantangan bagi pemeluk agama atau penganut aliran tertentu terhadap agama maupun aliran lain. Agama identik dengan ideologi yang cenderung membuat pemeluknya fanatik. Jika fanatisme yang dimiliki adalah fanatisme buta dan tidak didasarkan pada kesadaran dialogis dan jiwa yang terbuka, maka kecenderungan besar yang terjadi adalah adanya bentrok dan konflik sosial, dan ini jauh dari semangat beragama itu sendiri.
* Penulis adalah Wakil Direktur Yayasan Lingkar Meridian Jakarta.
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!