Oleh Moh. Ilyas
"Maling... maling... maling..." teriak beberapa warga yang sedang mengejar seorang maling di salah satu perkampungan warga, di Desa Kangenan, Gg I, Pamekasan.
Tak kurang dari dua menit, sekitar lima warga sudah berhasil meringkus maling, yang ternyata maling ayam itu. Ia digebukin, ditendang, ditempeleng, dan dihajar habis-habisan. Setiap warga yang datang, jika tidak langsung menghajar, pasti membentak dan menghujatnya. "Pate' reyah. Kamu pasti sering mencuri di sini ya?" gertak seorang pria tinggi yang datang. "Nggak Pak, cuma sekarang," jawab maling berbadan kurus itu dengan kondisi gemetar.
Kekerasan yang bertubi-tubi itu, sungguh tak dapat ku terima. Meski peristiwa ini terjadi sudah sekitar pukul 02.00 dini hari dengan kondisiku yang agak mengantuk, tapi nurani kemanusiaanku masih sadar menolak kekerasan semacam itu. Di saat sang "aktor" itu sudah tak berdaya dan hanya pasrah menerima cacian, hinaan, dan bahkan pukulan, semestinya tak perlu ada kekerasan.
Akan tetapi, warga yang menghajar barangkali tidak serta merta langsung bisa disalahkan. Tindakan mereka didasarkan pada kekesalan dan kekecewaan, karena mungkin saja, sebagian dari mereka juga korban sebelum-sebelumnya.
Dilema, ya aku memang dilema menerjemahkan persoalan ini. Aku seperti bergeming untuk menentukan siapa dalang peristiwa ini. "Kemiskinan," pikirku spontan.
Ya, kemiskinan. Pemuda malang itu berani dan nekad untuk mencuri meski hanya empat ekor ayam karena kemiskinan yang menderanya. Kemiskinan menghilangkan rasa takut seseorang untuk berbuat yang dilarang. Kemiskinan juga membangunkan keberanian seseorang untuk "menjadi hina" di hadapan publik, bahkan kemiskinan telah menjadi kursi empuk menuju tirani.
Itulah sebabnya Nabi kemudian mengungkapkan bahwa Kefakiran (baca juga kemiskinan) itu mendekatkan seseorang pada kekafiran. Orang bisa semena-mena, menjadi koruptor, menjadi penggemplang pajak, menjadi mafia, menjadi penguasa diktator, dan pejabat korup, karena kemiskinan yang mereka rasakan. Dalam hal ini, batasan miskin menjadi buram, sehingga nyaris tak pernah ada persepsi yang sama mengenai makna sebenarnya dari kata "miskin".
Ada banyak orang yang, sebenarnya, dalam ukuran pikiran orang lain cukup, tetapi bagi mereka justru dianggap kurang. Begitu pun seterusnya. Pada akhirnya, kemiskinan ini akan hilang dengan qanaah (rasa menerima). Rasa itulah yang nantinya menghegemoni seseorang untuk tidak menjadi perampok, penjambret, pencuri, dan koruptor.
Malam ini memanglah pertama kali bagiku bermalam di kawasan Kota Pamekasan setelah hampir dua tahun aku hijrah dan berkarir di Jakarta. Meski ini malam pertama, namun ditangkapnya maling tadi telah menyadarkanku dalam pertanyaan-pertanyaan. Mengapa orang bisa mencuri? Apa ia tak takut dihakimi massa hingga tewas atau babak belur? Mengapa ia begitu berani? Mengapa warga juga menggebukin?
Kangenan, Pamekasan, 28/2/2011
Pukul 02.45 WIB
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!