Oleh Moh. Ilyas*
Kekerasan atas nama agama kembali terjadi. Kekerasan tersebut terjadi di Kampung Peundeuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten, pada Ahad (6/2), di mana jamaah Ahmadiyah diserang ratusan warga dan menyebabkan tiga jamaah tewas.
Kekerasan terhadap Ahmadiyah bukan kali ini saja terjadi. Penelusuran Tempointeraktif.com (7/2/2011) menunjukkan bahwa Ahmadiyah menjadi korban kekerasan sejak 2010 hingga Februari 2011 ini sudah sebanyak 15 kali. Di antaranya, pembakaran Musholla Ahmadiyah di Cianjur, kekerasan terhadap Ahmadiyah di Makassar, pembongkaran masjid di Sukabumi, dan penyerangan dan pengrusakan masjid di Ciputat.
Kekerasan atas nama agama ternyata tidak hanya terhadap Ahmadiyah. Pada tahun 2010 lalu, Moderate Moslem Society (MMS) melansir sekitar 81 kasus intoleransi beragama di Indonesia terjadi. Angka tersebut naik 30 persen dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 59 kasus. Dari data MMS, ada tiga daerah yang paling tinggi tingkat intoleransinya, yakni Jawa Barat (73 kasus), Sumatera Barat (56 kasus), dan Jakarta (45 kasus).
Hal ini bertolak belakang dengan sebuah jajak pendapat yang dilakukan sebelumnya, yang mengatakan bahwa 96 persen responden menyatakan menerima pergaulan dengan kelompok yang berbeda agama. Bahkan 79,6 persen di antaranya menyatakan bersedia jika di lingkungannya dijadikan tempat perayaan agama lain. Dari kasus yang terjadi selama 2010, umat kristiani mengalami perlakukan intoleransi sebanyak 33 kali, Ahmadiyah 25 kali, dan kelompok yang dianggap sesat 11 kali (Media Indonesia, 23/12/2010).
Bentuk tindakan intoleransi ini bervariasi. Misalnya, pembongkaran patung naga di Singkawang, ancaman perusakan panti asuhan Ahmadiyah di Tasikmalaya, dan pemukulan Jamaah HKBP di Bekasi. Meskipun, banyak warga Bekasi mengakui bahwa tindakan pemukulan tersebut, karena oknum Jemaah HKBP dianggap tidak mau tahu keinginan dan desakan warga.
Peristiwa-peristiwa kekerasan tersebut telah mencoreng wajah agama, terutama Islam. Islam yang mestinya mampu menciptakan kedamaian dan perdamaian, sebagaimana misi utama diutusnya Nabi Muhammad sebagaimana Rahmatan lil ‘alamin tidak tercermin dalam perilaku umatnya. Justru umat Islam seolah “dirasuki” kebencian terhadap perbedaan yang sejatinya dihormati dan dihargai, bukan bertindak kekerasan, apalagi sampai menghilangkan nyawa.
Fenomena ini juga menunjukkan bahwa masalah etika dan kebebasan beragama di tanah air masih belum mendapatkan perhatian secara optimal, sehingga tugas umat beragama juga belum selesai. Banyak umat beragama masih berasumsi bahwa keyakinan kebenaran akan suatu agama secara langsung meniadakan kebenaran agama lain. Mereka menjadi tertutup (baca: eksklusif) untuk mempelajari dan mengetahui agama lain.
Rupanya, puluhan tragedi kemanusiaan yang mengatasnamakan agama yang terjadi sejak puluhan tahun lalu masih belum cukup menjadi pelajaran, padahal semua itu dapat dikatakan karena sempitnya pemahaman pemeluk agama terhadap agama lain. Sehingga mereka – meminjam istilah Ahmad N. Burhani – terjebak dalam kungkungan ideologis, yakni munculnya klaim of truth (klaim kebenaran) dan klaim of salvation (klaim keselamatan). (Baca: Ahmad N. Burhani, 2001).
“Emoh” Mempelajari Agama Lain
Sikap menutup diri dari kebenaran agama lain itu melahirkan sikap "emoh" atau tidak mau untuk mengetahui agama lain yang sebenarnya. Kemauan mempelajari agama lain hanya pada sisi-sisi kelemahannya saja, sehingga dalam pandangannya, agama yang dianutnya saja yang benar, sementara agama lain semuanya salah.
Padahal, menurut mantan Menteri Agama, Mukti Ali, kekuatan suatu sistem agama tidak dapat ditemukan dengan melihat kekeliruan-kekeliruannya, tapi dengan mempelajari apa yang baik dan benar atau setidaknya yang mendekati benar. Dengan mempelajari agama-agama lain, lanjut Mukti Ali, kita dapat sampai pada pemahaman lebih baik mengenai agama kita sendiri dan dengan cara ini keimanan kita kian mendalam. (Lihat dalam Greg Barton, 1999).
Kemauan mempelajari agama lain itu pada akhirnya akan sampai pada ajaran inklusivisme, sebuah ajaran keterbukaan dalam beragama. Dengan ajaran ini, seorang pemeluk agama tidak akan terkungkung dalam agama tertentu yang menyebabkannya membenci, bahkan memusuhi agama lain. Ia, bisa saja sangat yakin dengan kebenaran agamanya, tetapi keyakinan itu tidak membuatnya bersikap "buta" dan "tuli" terhadap kebenaran agama lain.
Tentu saja dalam memahami agama lain, ia tidak sedang diikat oleh agamanya sendiri, atau meminjam bahasa Alwi Shihab, ia berani membuka baju keagamaannya saat meneliti agama lain. Dengan langkah seperti itu, ia akan mendapatkan hasil obyektif mengenai agama yang ditelitinya. (Baca: Alwi Shihab, 1997).
Cara-cara semacam ini, sangat tepat dijadikan "jembatan" dalam membangun kualitas keberagamaan di Indonesia. Setidaknya tidak akan ada lagi yang namanya chaos atas dasar agama. Ini tidak hanya berlaku bagi agama tertentu saja, tetapi semua agama yang hidup di negeri yang menghargai pluralitas ini. Namun, jika cara-cara elok ini dijauhi, bukan hal mustahil fenomena konflik keberagamaan akan terus berjalan mulus.
Kesadaran Pluralitas
Salah satu pimpinan sebuah organisasi masyarakat baru-baru ini mensinyalir kecenderungan yang dipersalahkan dalam kasus beragama adalah agama mayoritas. Menurutnya, hal itu tidak dapat dibenarkan, sebab yang memulai "pertikaian" atas nama agama, terkadang kelompok non-mayoritas.
Pernyataan pimpinan ormas tersebut tentu tidak untuk memojokkan satu agama saja. Ia hanya ingin perdamaian beragama dimulai secara bersama-sama oleh semua pemeluk agama, baik Islam, Kristen, Budha, Hindu, maupun Konghucu. Semua pemeluk agama berhak hidup damai, aman, dan sentosa.
Inilah landasannya, mengapa kita begitu berharap bahwa pada tahun ini dan tahun-tahun mendatang tidak akan lagi ada konflik-konflik yang dimotori oleh agama. Kita sudah jenuh dengan konflik itu. Kita ingin semua umat beragama dibangun atas kesadaran pluralitas yang tinggi, di mana kesetaraan, kesamaan, dan persamaan hak hidup tumbuh bersemai dalam aneka spektrum kehidupan umat beragama di tanah air.
Barangkali inilah inti-keinginan tokoh-tokoh pluralis seperti Nurcholish Madjid (alm) dan Abdurrahman Wahid (alm) untuk memaknai pluralitas secara substansial dan nyata di Indonesia. Mereka seolah-olah berpesan, "Kami menitipkan harga pluralitas keberagamaan itu tidak hanya dalam wacana dan diskusi. Kami menginginkan masyarakat Indonesia hidup bersama, aman, dan damai dalam makna pluralitas yang sebenarnya tanpa memandang dari agama mana mereka berasal.”
* Penulis adalah Wakil Direktur Yayasan Lingkar Meridian, Jakarta.
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!