Oleh Moh. Ilyas*
Setelah Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono digoncang isu kebohongan dan keluhan rendahnya gaji, kini ia kembali digoncang dengan adanya buku-buku tentang dirinya yang masuk ke sekolah. Hal ini setelah pekan lalu, 10 seri buku “Lebih Dekat Dengan SBY” masuk ke beberapa Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Tegal Jawa Tengah.
Kontan saja peristiwa ini langsung menjadi kontroversi di masyarakat, terutama di kalangan pemerhati pendidikan. Sebagian mereka beranggapan bahwa cara semacam ini tidak dapat dibenarkan, karena buku yang kebanyakan berisi tentang profil Yudhoyono itu tidak sesuai dengan kebutuhan siswa, termasuk tidak ada kaitannya dengan mata pelajaran di sekolah. Sebagian lainnya, terutama dari Kementerian Pendidikan Nasional justru menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar dan tidak perlu diperdebatkan, sebab buku-buku itu juga bermanfaat sebagai buku motivasi terhadap siswa.
Terlepas dari perdebatan itu, fenomena ini tergolong aneh dan menimbulkan kecurigaan di masyarakat. Pasalnya, biaya penerbitan buku-buku tersebut menggunakan dana alokasi khusus (DAK). Oleh karena itu, kalangan yang tidak setuju meminta agar Kemendiknas segera menarik buku tersebut dari peredaran. Sementara Kemendiknas sendiri mengaku masih menunggu tim khusus untuk menelaah isi buku itu dan mereka juga mengaku tidak mengetahui peredaran buku itu.
Namun, alih-alih membentuk tim khusus menelusuri isi buku, sikap Kemendiknas bukannya berpikir untuk meneliti atau menarik, mereka malah membiarkan penyebaran buku itu terus berlanjut, bahkan penyebarannya ditemukan di tingkat Sekolah Dasar, yakni di salah satu SD di Kabupaten Garut Jawa Barat.
Padahal, An, Kepala Sekolah tersebut sebagaimana diberitakan Kompas.com, Selasa (1/2/2011) menyesalkan penyebaran buku itu di sekolahnya. Ia mengatakan, “Saya sudah baca semua, ternyata isinya lebih pada profil atau potongan-potongan kisah saja.” Dia mengaku di sekolah yang dipimpinnya masih banyak buku yang seharusnya pengadaannya diprioritaskan sebagai bahan bacaan siswa, apalagi kata dia, buku tersebut menggunakan dana DAK buku.
Kesan Kuat “Politis”
Meskipun Yudhoyono mengaku tidak mengetahui tentang adanya penyebaran buku tersebut, namun masyarakat kita sudah bisa membaca sisi lain di balik pengakuan itu. Masyarakat justru menilai bahwa penyebaran buku itu memiliki unsur politis. Bahkan, secara agak ekstrim Pengamat Komunikasi Politik Universitas Indonesia, Effendi Ghazali, menyebut penyebaran buku itu sebagai pencitraan Yudhoyono, untuk menggantikan album-album ciptaannya yang tidak laku di pasaran (Rakyatmerdeka.co.id, 30/1/2011).
Salah seorang siswa kelas IX SMP Negeri I Slawi pun mengatakan bahwa buku-buku itu hanya menunjukkan keunggulan Yudhoyono, misalnya dalam memberantas kemiskinan. Materi bukunya, kata dia, juga mengandung unsur politik sehingga kurang menunjang pelajaran.
Isi yang hanya menampilkan “ketokohan” dan perjalanan Yudhoyono ini seperti menggiring pikiran anak seusia SMP tentang kepemimpinannya yang dianggapnya sukses. Anak-anak, yang mestinya diberi bekal pengetahuan justru diarahkan ke “jalan-jalan” politik. Politik yang masuk ke sekolah perlahan-lahan akan meniadakan nilai-nilai moral siswa dan menggantinya menjadi nilai-nilai politis yang sarat dengan kepentingan sesaat.
Padahal secara definisi dan tujuan antara pendidikan dan politik tidak memiliki kesamaan. Pendidikan berorientasi pada adanya sebuah proses memanusiakan manusia, sementara politik seperti dikemukakan Harold Laswell (1981) merujuk pada definisi, “Who Get What, When, and How” (siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana). Dengan perbedaan ini saja, jelaslah bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan formal tidak boleh dimasuki kepentingan politik apapun.
Sekolah dan pendidikan itu ada karena bertujuan untuk mencerdaskan bangsa, bukan untuk memuluskan kepentingan maupun kekuasaan. Jika demikian, fenomena ini menunjukkan bahwa pendidikan sudah disubordinasikan pada kekuasaan politik yang selalu berakibat pada konsekuensi kebijakan yang mudah berubah-ubah karena tergantung pada siapa yang memegang kekuasaan. Padahal kepentingan di balik itu, seperti sinyalamen Foucault adalah untuk melestarikan kekuasaan.
Inilah yang membuat pendidikan kita selalu terseok-seok dan tidak mampu mengikuti perubahan yang begitu cepat. Pendidikan kita lebih tergantung pada mesin kekuasaan. Mesin kekuasaan ini selalu mencari kemapanan, ketimbang menginginkan perubahan (Politik Pendidikan Penguasa, 2005).
Potensi Korupsi
Indonesian Corruption Watch (ICW) mencium bau potensi korupsi dalam penyebaran buku-buku tersebut. Hal itu mengingat penerbitannya menggunakan dana DAK buku yang mestinya digunakan untuk membuat buku-buku pelajaran guna meningkatkan mutu kualitas pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun. Kecurigaan ICW ini juga diikuti Fraksi PDI Perjuangan di DPR. Oleh karenanya, Fraksi ini meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit penerbitan buku itu secara tuntas.
Lebih jauh Fraksi PDIP menilai Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta lembaga pendidikan yang terkait tidak menjalankan Permendiknas nomor 19 tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Pendidikan Tahun anggaran 2010 untuk SMP.
Jika kecurigaan ini benar, maka pendidikan sudah dibawa ke jurang kenistaan. Pendidikan yang sejatinya dijadikan media membangun bangsa, justru dijadikan alat memperkaya diri. Praktik korupsi melalui pengadaan buku secara tidak wajar ini dapat dikatakan sebagai bentuk korupsi yang membusukkan legitimasi pemerintahan. Bentuk ini oleh Ben W Heineman, Jr, dimasukkan ke dalam empat persoalan serius yang berhubungan dengan korupsi, terutama dengan kenyataan pahit meluasnya jaringan koruptor. Korupsi jenis ini dapat menjadi alat jagal demokrasi dan keadilan dalam ruang masyarakat politik yang beradab.
* Penulis adalah Wakil Direktur Yayasan Lingkar Meridian Jakarta.
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!