Oleh Moh. Ilyas*
Jika kita mengunjungi mal di beberapa titik di Jakarta satu pekan terakhir akan banyak kita temukan berbagai variasi warna kemerah-merahan yang bercorak Cina. Variasi itu sengaja dipasang karena pada 3 Februari kemarin, Umat Khong Hu Cu dan secara umum masyarakat Tionghua merayakan Hari Raya Imlek yang bertepatan dengan hari pertama bulan pertama penanggalan Tionghoa dan akan berakhir dengan Cap Go Meh tanggal kelima belas.
Pemandangan serupa di mal-mal biasanya juga terjadi setiap peringatan hari raya agama, misalnya Idul Fitri sebagai peringatan hari raya Umat Islam dan Hari Natal sebagai raya Umat Kristiani. Pemandangan itu biasanya juga disertai berbagai spanduk atau lukisan yang berisi ucapan selamat merayakannya. Tentu saja ini menjadi corak dan ciri perayaan seremonial tersendiri di Indonesia.
Sebenarnya, fenomena mal membuat dekorasi itu sepintas terasa sangat biasa dan seperti tidak memiliki substansi krusial. Namun jika kita coba gali lebih jauh, terdapat sisi yang luar biasa dalam seremonial itu, yaitu penganut agama satu dengan agama lain atau pengunjung yang berbeda agama tetap berjalan beriringan bersama-sama, saling tegur sapa, dan tidak ada kecurigaan maupun kecemburuan agama lain.
Tidak hanya itu, ucapan-ucapan selamat keagamaan bertebaran dari mulut ke mulut, mulai dari bentuk kartu hingga melalui short message service (SMS) dan telepon seluler. Misalnya ucapan “Minal 'Aidin Wal Faizin Mohon Maaf Lahir Batin” saat Hari Raya Umat Islam, ucapan “Happy Christmas” pada Hari Raya Umat Kristiani, dan ucapan “Gong Xi Fat Cai” saat Hari Raya Umat Khong Hu Cu.
Inilah tradisi selebrasi keagamaan yang sangat menyentuh relung-relung hati kita sebagai kaum agamawan. Tradisi seperti inilah yang memang dirindukan di bumi Indonesia, bahkan di bumi manapun sebenarnya, di mana agama berikut perayaannya tidak menjadi media pembangun keretakan, permusuhan, dan bahkan pertikaian.
Tanpa terasa, tradisi ini sudah sejak satu dekade terakhir mewarnai dunia selebrasi keagamaan di negeri ini. Kita tentu sangat bahagia melihat situasi tersebut, karena setiap agama pada prinsipnya memang mengajarkan kedamaian dan kasih sayang.
Sebatas Dalam Perayaan
Namun, yang perlu disayangkan, tradisi perayaan yang menggambarkan keakuran dan kerukunan antar umat beragama ini belum berimbas pada realitas kehidupan sehari-hari. Praktik kekerasan dan intoleransi beragama masih begitu mudah kita jumpai, bahkan di hampir setiap sudut negeri ini.
Tengok saja, data yang diungkap Moderate Moslem Society (MMS) terdapat sekitar 81 kasus intoleransi beragama di Indonesia sepanjang 2010. Jumlah tersebut naik 30 persen dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 59 kasus. Dari data MMS, ada tiga daerah yang paling tinggi tingkat intoleransinya, yakni Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Jakarta.
Hal ini bertolak belakang dengan sebuah jajak pendapat yang dilakukan MMS sebelumnya, yang mengatakan bahwa 96 persen responden menyatakan menerima pergaulan dengan kelompok yang berbeda agama. Bahkan 79,6 persen di antaranya menyatakan bersedia jika di lingkungannya dijadikan tempat perayaan agama lain. Dari kasus yang terjadi selama 2010, Umat Kristiani mengalami perlakukan intoleransi sebanyak 33 kali, Ahmadiyah 25 kali, dan kelompok yang dianggap sesat 11 kali (Media Indonesia, 23/12/2010).
Bentuk tindakan intoleransi ini bervariasi. Misalnya, pembongkaran patung naga di Singkawang, ancaman perusakan panti asuhan Ahmadiyah di Tasikmalaya, dan pemukulan Jamaah HKBP di Bekasi. Meskipun, banyak warga Bekasi mengakui bahwa tindakan pemukulan tersebut, karena oknum Jemaah HKBP dianggap tidak mau tahu keinginan dan desakan warga.
Dalam beberapa bulan terakhir di Bandung Raya misalnya, masih tampak “keresahan” warga atas nama agama. Hal ini sebagaimana diakui Forum Ulama Umat Islam (FUUI) yang mengaku menemukan setidaknya 90 titik upaya pemindahan keyakinan yang dilakukan dengan berbagai tindakan.
Terlepas pengakuan tersebut benar atau tidak, semestinya setiap pemeluk agama, baik kaum minoritas ataupun mayoritas sudah merasa “puas” dengan kondisi internal agamanya. Sehingga mereka tidak akan lagi berpikir bagaimana melebarkan sayap atau terus memperbanyak pemeluk agama yang dianut.
Jaga Pluralisme
Jika masing-masing pemeluk agama masih “sibuk” menambah penganut agamanya dan menularkan keyakinan pada orang yang sudah beragama, maka nilai-nilai pluralisme masih diabaikan. Pengabaian ini bila terus berlanjut justru akan menjadi bumerang bagi kaum beragama, minimalnya masih akan terjadi “kecemburuan” antara pemeluk agama satu dengan yang lainnya.
Padahal, konsep tersebut jauh dari ajaran pluralisme yang sebenarnya. Ajaran pluralisme sebagaimana dikemukakan Nurcholish Madjid merupakan suatu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. Pluralisme sendiri merupakan bias pluralitas (kemajemukan) yang memang merupakan suatu keniscayaan yang terjadi dalam hidup ini (Islam Doktrin dan Peradaban, 2000).
Dengan konsep ini, mestinya kerukunan umat beragama tidak hanya terjadi dalam selebrasi hari-hari besar agama saja. Kerukunan dan kedamaian tersebut harus masuk melampaui seremonial keagamaan yang ada, ia harus mampu menuntun dan mengarahkan realitas perbedaan itu menjadi satu kesatuan yang utuh dan tak menciderainya dengan konflik.
Jika pluralitas yang niscaya ini tidak dihargai, kita lantas akan teringat pada “wejangan” Ahmad Wahib dalam catatan hariannya, Pergolakan Pemikiran Islam. Ia mengatakan, “Theis dan Atheis bisa berkumpul, Muslim dan Kristiani bisa bercanda, Artis dan Atlet bisa bergurau, Kafirin dan Muttaqin bisa bermesraan. Tapi, Pluralis dan Anti-Pluralis tak bisa bertemu”. Oleh karenanya, masyarakat Indonesia harus tetap menjunjung tinggi hak masing-masing umat agama. Upaya menghargai hak-hak itulah cerminan bahwa pluralitas di negeri ini tidak sekadar ada, tetapi juga dihargai.
* Penulis adalah Pemerhati Sosial Budaya, tinggal di Jakarta.
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!