Jumat dua pekan lalu, saya masih merekam aktivitas keseharianku di Jakarta, sebuah kota yang dijadikan pusat "kehidupan" masyarakat Indonesia. Saat itu, aku melenggang ke Senayan, tempat ngantornya para wakil rakyat guna "berdiskusi" dengan salah satu senior yang kebetulan membutuhkan akses media. Di Jakarta, berbagai kegiatan, terstruktur maupun tak terstruktur aku lakukan sebagai rentetan dari jalan panjang kisah hidupku.
Dua hari kemudian, yakni pada Senin (15/2), aku memutuskan untuk beranjak ke Provinsi Nusa Tenggara Barat, tepatnya di Mataram dan Lombok Barat. Alasanku pergi karena sebuah training yang memang sudah sejak lama ingin aku ikuti. Dalam training jenjang "Doktoral" organisasi tersebut, banyak hal telah ku lalui, mulai dari tempaan perkawanan, perkaderan, problem solving, hingga penjelajahan makna hidup secara konsep maupun praktis. Secara praktis misalnya, travelling ke Pantai Senggigi, Lombok Barat atau yang biasa disingkat Lobar.
Seminggu ku lalui di Lobar, training pun berakhir dengan cukup memuaskan. Setelah kegiatan yang digelar di SKB Lobar itu, aku bersama enam kawan masih menyempatkan keliling Mataram-Lombok, hingga Pantai Kute, dengan pengetahuan baru tentang cerita Putri Mandalika di Pantai Kute pada 24/2/2011, dan tradisi perang warga di beberapa titik sepanjang jalan menuju Pantai Kute, Lombok Tengah atau yang biasa disebut Loteng.
Esoknya aku sudah tiba di Pulau Dewata Bali. Masih bersama enam kawanku seharian ku "berdiskusi" dengan alam dan pemandangan di Bali. Hanya dengan sebuah mobil APV aku bisa menikmati Bali sejak matahari terbit hingga terbenam, mulai dari Pelabuhan, Goa Lawah Kabupaten Klungkung, Kampus Udayana I dan II, Sekretariat HMI, Garuda Wisnu Kencana (GWK), Pantai New Kute (Dream Land), Pantai Jimbaran, hingga Pantai Kute yang populer dengan turis dan peristiwa dahsyatnya bom Bali II.
Sejarah banyak mencatat di masa lalu, banyak sekali orang yang berpetualang dari satu daerah ke daerah lain, bahkan dari satu negara ke negara lain. Selain mencari guru, kaum cerdik cendekia kala itu juga menambah pengalaman dan suasana baru untuk menemukan sesuatu yang baru. Ada pula yang melanglang buana dengan tujuan meneliti masalah ketidakadilan di negara yang dikunjungi. Praktik ini misalnya pernah dilakukan Ernesto Guevara atau akrab dengan sebutan Che Guevara. Ia melanglang Buana dari Rosario Argentina, negara tempat kelahirannya, ke Kuba, Amerika Latin yang berhasil “ditaklukannya” melalui pintu revolusi bersama Fidel Castro.
Namun perjalananku itu belum seperti Che yang langsung menghidupkan revolusi, aku masih sebatas mengenal dan sesekali belajar mengoreksi dan menguak kesejarahan, termasuk dinamika dua daerah itu. Di NTB misalnya kontroversialnya rencana pembangunan Islamic Center di tengah pembangunan fisik yang belum terpenuhi, seperti jalan rusak di Kabupaten Dompu atau persoalan lokalisasi prostitusi seperti diceritakan kawan-kawan asal Bima.
Sementara di Denpasar Bali misalnya, adanya praktik "mesum" yang sudah dianggap sebuah kewajaran di salah satu kawasan (baca: desa) Sasetan sehari menjelang Hari Nyepi. Praktik tersebut berupa ciuman massal (tanpa status apapun) sekitar 5 jam. Praktik itu dipercaya sebagai pintu penyucian seorang penganut agama Hindu memasuki Hari Nyepi.
Apapun pengetahuan yang didapat di "perantauan" ini aku anggap sebagai sebuah kemestian dan kesenantiasaan. Sebab, perjalanan panjang menjadi tak berarti jika para musafir itu tak dapat mengumpulkan sederet pengetahuan yang bisa dianalisis, bisa didiagnosis, bahkan bisa dicarikan jalan keluarnya. Kita juga dapat mengambil hikmah dan referensi-referensi hidup secara lebih lengkap untuk menjadi manusia paripurna (insan kamil).
My home, 3 days after Bali, 2/26
Pukul 12.26 WIB
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!