Oleh Moh. Ilyas*
Akhir-akhir ini perbincangan seputar demokrasi kembali mengemuka. Bahkan ungkapan-ungkapan kekecewaan yang berupa perdebatan mengenai essensi demokrasi juga hampir tiap hari terdengar di beberapa diskusi-diskusi beberapa aktivis maupun mantan aktivis. Sebagian mereka “menggugat” essensi demokrasi pasca-reformasi 1998 lalu.
Dalam peringatan peristiwa Malari dan HUT Indonesia Democracy Monitor (Indemo) misalnya, beberapa mantan aktivis Malari tahun 70-an, pengamat politik, hingga pengemuka hukum sekelas Adnan Buyung Nasution meragukan kepemimpinan SBY (yang dihasilkan melalui sistem demokrasi) akan mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat.
Bahkan, dalam acara yang berlangsung di Taman Ismail Marzuki, Sabtu (15/1) lalu itu, pengamat politik, Yudi Latif menilai bahwa posisi demokrasi di Indonesia saat ini berada dalam kekosongan makna. Artinya tak bisa diharapkan lagi, cita-cita demokrasi sebagai media mewujudkan pembangunan nasional.
Hal serupa juga diungkapkan mantan aktivis Malari, Hariman Siregar. Dia mengakui kekecewaannya terhadap hasil demokrasi saat ini di tanah air. Menurutnya, prosedur demokrasi di negeri kita sudah dibajak oleh partai politik yang hanya berorientasi pada uang dan kekuasaan. Sehingga demokrasi menjadi kehilangan arah dan substansinya.
Kekecewaan Yudi maupun Hariman ini sangat beralasan, terutama ketika melihat kebijakan-kebijakan pihak eksekutif (baca: presiden) tak kunjung dirasakan rakya. Rakyat hanya merasa dicekoki dengan janji-janji dan obralan “prestasi kerja” yang tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya di lapangan.
Sementara di sisi lain, kritik legislatif (baca: wakil rakyat) yang berfungsi sebagai check and balance terhadap pemerintah tak begitu kuat pengaruhnya, apalagi setelah dibentuknya Sekretariat Gabungan Partai Koalisi, DPR seperti semakin melempem atas kebijakan pemerintah dan klaim-klaim keberhasilannya. Padahal check and balance merupakan keniscayaan agar demokrasi dapat berjalan optimal. Ini tidak lain karena Setgab yang menjadi pendukung pemerintahan SBY-Boediono sangat kuat dalam membayang-bayangi daya kritis partai politik, walaupun keberadaannya dapat dinilai “melukai” demokrasi, karena ia dibangun bukan atas dasar kesamaan visi kepentingan publik, melainkan kesamaan kepentingan kekuasaan belaka.
Tidak hanya itu, Setgab ini juga berpengaruh pada adanya beberapa problem yang menciderai demokrasi dan merugikan negara semisal kasus Bank Century dan Kasus Gayus yang tidak mudah “dituntaskan”. Sebab sangat mungkin politik transaksional beroperasi yang mengakibatkan runtuhnya bangunan cita-cita dari seluruh partai untuk berpihak pada kepentingan rakyat.
Kendala lainnya yang menjadi batu sandungan daya kritis parpol, karena masing-masing parpol dianggap telah memiliki “kartu AS”. Demokrat misalnya dengan skandal Century, Golkar dengan kasus Gayus, PDI-P dengan kasus pemilihan Miranda Gultom sebagai Gubernur BI, dan PKS dengan adanya kasus Misbakhun. Jika demikian halnya, maka demokrasi di Indonesia tak bisa lagi diharapkan akan menghasilkan cita-citanya. Bahkan yang terjadi bukan lagi demokrasi, tetapi – meminjam istilah Plato sekitar 6 abad SM hanyalah timocracy, yaitu demokrasi yang dilaksanakan di tengah masyarakat korup sehingga membentuk pemerintahan yang korup pula.
Inilah fenomena politik “cari aman” yang menjadi kepanjangan dari kecenderungan adanya “politik barter” untuk mendapatkan jatah “kue” kekuasaan. Sementara di sisi lain, kontrol publik, yang menjadi kekuatan non-parlemen masih terkesan lewat saja di telinga pengambil kebijakan.
Pepesan Kosong
Peralihan Orde Baru ke Orde Reformasi menyajikan secercah harapan bagi berlangsungnya kehidupan politik yang demokratis. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi justru di luar dugaan. Masyarakat dipertontonkan dengan fenomena demokrasi semu yang hanya diobok-obok dengan janji maupun khayalan dari demokrasi itu sendiri.
Demikian itu terjadi karena demokrasi kita masih hanya berupa demokrasi prosedural, bukan demokrasi substansial. Demokrasi prosedural ini hanya ditandai dengan bentuk demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam pemilihan umum saja. Artinya, setiap warga negara memiliki hak untuk dapat memilih dan dipilih, sepanjang memenuhi persyaratan di muka hukum. Padahal, di sinilah sebenarnya sisi gelap demokrasi (the dark side of democracy) akan muncul, karena ketika semua orang dapat memilih dan dipilih, maka dapat muncul mobocracy, yaitu demokrasi yang dilaksanakan oleh masyarakat yang bodoh, tak berpendidikan, memiliki akhlak buruk, mudah disuap, dan cenderung menyukai kemaksiatan.
Itulah resiko demokrasi. Sehingga hasil produk demokrasi juga dipengaruhi oleh kualitas proses demokrasi itu sendiri. Dengan begitu, demokrasi bukan jaminan untuk dapat mengantarkan hasil tatanan pembangunan negara yang berkualitas. Barangkali itulah sebabnya, dalam makalahnya berjudul “On Nation States in The Changing World”, dalam sebuah Konferensi Internasional di Manila, Nopember 1992, Lee Kuan Yew antara lain mengatakan, “A nation must first achieve economic progress. Democracy will follow this”.
Apa yang dikatakan Yew ini seolah diulangi kembali oleh mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam sebuah seminar di CSIS, 22 Maret 2006. Kalla mengingatkan bahwa tidak semua negara yang menganut sistem demokrasi mampu memberikan kemakmuran bagi rakyatnya. Memang kalla tidak mempersalahkan demokrasi, tetapi terkesan menyayangkan proses demokrasi, yang dalam banyak kasus justru menghambat upaya penciptaan kemakmuran (Baca: Demokrasi Pilihlah Aku, 2009).
Apa yang disinyalir Yew dan Kalla ini seperti telah menemukan kebenarannya dalam konteks Indonesia saat ini. Pemimpin yang merupakan produk demokrasi seperti hanya bergeming melihat kenyataan banyaknya kasus yang bermunculan dan tidak mampu menyelesaikannya. Bahkan, ia hanya bersesumbar, semisal akan berada di garda terdepan dalam pemberantasan korupsi, namun kenyataannya, ia cenderung “bersembunyi” di balik alasan “intervensi”.
Oleh karenanya tidak heran jika para pemuka agama, belum lama ini menyebut pemerintah telah melakukan kebohongan publik, karena mereka hanya bersesumbar janji dan mengklaim keberhasilan, padahal kenyataannya tidak sesuai dengan klaim tersebut. Inilah negeri yang katanya demokratis, namun rakyatnya larut dalam kesengsaraan, penderitaan, dan kemiskinan. Dengan begitu, bukankah tepat jika dikatakan bahwa proses demokrasi kita masih hanya pepesan kosong?
* Penulis adalah Wakil Direktur Yayasan Lingkar Meridian dan Sekjen Bakornas LAPMI
pa rammih komunitas blogger madura. gabung neng alamat
ReplyDeletehttp://www.facebook.com/home.php?sk=group_132755613457565&ap=1