Welcome to Ilyas' Site

Monday, February 28, 2011

Kota Mati

Oleh Moh. Ilyas

Di kota mati, kemajuan terhenti...

Karena tak ada lagi pembangunan berarti,

Pemerintahnya seperti tak punya hati

atau terlalu bertindak hati-hati...


Di kota mati, pemerintah selalu mengejar upeti...

Padahal, kehidupan rakyatnya tidak pasti

Rakyat selalu diminta sabar menanti...

"Sampai kapan?" tanya Si Siti...

Sampai matahari tak lagi mampu memberikan senyum sinarnya pada bunga melati? Ntahlah...

Tapi inilah kota mati, kota yang hanya disesaki janji2, bukan bukti...


Di Kota mati, forum-forum intelektual bertaburan dengan diskusi...

Gedung-gedung, jalan-jalan perkotaan dipoles asri...

Tapi tetap saja tiada arti...

karena walau hanya demi sesuap nasi...

Rakyat jelata masih harus bertaburan mencari panti...


Ya, inilah kota mati

Pemerintah sukanya mendikte...

Rakyatnya terlalu baik hati,

Sehingga tak pernah berkehendak mencipta revolusi...


Kangenan + My House, 28/2/2011

Pukul 22.59 WIB

Maling Ayam, Kasihan Dikau...

Oleh Moh. Ilyas


"Maling... maling... maling..." teriak beberapa warga yang sedang mengejar seorang maling di salah satu perkampungan warga, di Desa Kangenan, Gg I, Pamekasan.


Tak kurang dari dua menit, sekitar lima warga sudah berhasil meringkus maling, yang ternyata maling ayam itu. Ia digebukin, ditendang, ditempeleng, dan dihajar habis-habisan. Setiap warga yang datang, jika tidak langsung menghajar, pasti membentak dan menghujatnya. "Pate' reyah. Kamu pasti sering mencuri di sini ya?" gertak seorang pria tinggi yang datang. "Nggak Pak, cuma sekarang," jawab maling berbadan kurus itu dengan kondisi gemetar.


Kekerasan yang bertubi-tubi itu, sungguh tak dapat ku terima. Meski peristiwa ini terjadi sudah sekitar pukul 02.00 dini hari dengan kondisiku yang agak mengantuk, tapi nurani kemanusiaanku masih sadar menolak kekerasan semacam itu. Di saat sang "aktor" itu sudah tak berdaya dan hanya pasrah menerima cacian, hinaan, dan bahkan pukulan, semestinya tak perlu ada kekerasan.

Akan tetapi, warga yang menghajar barangkali tidak serta merta langsung bisa disalahkan. Tindakan mereka didasarkan pada kekesalan dan kekecewaan, karena mungkin saja, sebagian dari mereka juga korban sebelum-sebelumnya.

Dilema, ya aku memang dilema menerjemahkan persoalan ini. Aku seperti bergeming untuk menentukan siapa dalang peristiwa ini. "Kemiskinan," pikirku spontan.

Ya, kemiskinan. Pemuda malang itu berani dan nekad untuk mencuri meski hanya empat ekor ayam karena kemiskinan yang menderanya. Kemiskinan menghilangkan rasa takut seseorang untuk berbuat yang dilarang. Kemiskinan juga membangunkan keberanian seseorang untuk "menjadi hina" di hadapan publik, bahkan kemiskinan telah menjadi kursi empuk menuju tirani.

Itulah sebabnya Nabi kemudian mengungkapkan bahwa Kefakiran (baca juga kemiskinan) itu mendekatkan seseorang pada kekafiran. Orang bisa semena-mena, menjadi koruptor, menjadi penggemplang pajak, menjadi mafia, menjadi penguasa diktator, dan pejabat korup, karena kemiskinan yang mereka rasakan. Dalam hal ini, batasan miskin menjadi buram, sehingga nyaris tak pernah ada persepsi yang sama mengenai makna sebenarnya dari kata "miskin".

Ada banyak orang yang, sebenarnya, dalam ukuran pikiran orang lain cukup, tetapi bagi mereka justru dianggap kurang. Begitu pun seterusnya. Pada akhirnya, kemiskinan ini akan hilang dengan qanaah (rasa menerima). Rasa itulah yang nantinya menghegemoni seseorang untuk tidak menjadi perampok, penjambret, pencuri, dan koruptor.

Malam ini memanglah pertama kali bagiku bermalam di kawasan Kota Pamekasan setelah hampir dua tahun aku hijrah dan berkarir di Jakarta. Meski ini malam pertama, namun ditangkapnya maling tadi telah menyadarkanku dalam pertanyaan-pertanyaan. Mengapa orang bisa mencuri? Apa ia tak takut dihakimi massa hingga tewas atau babak belur? Mengapa ia begitu berani? Mengapa warga juga menggebukin?

Kangenan, Pamekasan, 28/2/2011

Pukul 02.45 WIB

L a n g l a n g B u a n a

Oleh Moh. Ilyas

Jumat dua pekan lalu, saya masih merekam aktivitas keseharianku di Jakarta, sebuah kota yang dijadikan pusat "kehidupan" masyarakat Indonesia. Saat itu, aku melenggang ke Senayan, tempat ngantornya para wakil rakyat guna "berdiskusi" dengan salah satu senior yang kebetulan membutuhkan akses media. Di Jakarta, berbagai kegiatan, terstruktur maupun tak terstruktur aku lakukan sebagai rentetan dari jalan panjang kisah hidupku.

Dua hari kemudian, yakni pada Senin (15/2), aku memutuskan untuk beranjak ke Provinsi Nusa Tenggara Barat, tepatnya di Mataram dan Lombok Barat. Alasanku pergi karena sebuah training yang memang sudah sejak lama ingin aku ikuti. Dalam training jenjang "Doktoral" organisasi tersebut, banyak hal telah ku lalui, mulai dari tempaan perkawanan, perkaderan, problem solving, hingga penjelajahan makna hidup secara konsep maupun praktis. Secara praktis misalnya, travelling ke Pantai Senggigi, Lombok Barat atau yang biasa disingkat Lobar.

Seminggu ku lalui di Lobar, training pun berakhir dengan cukup memuaskan. Setelah kegiatan yang digelar di SKB Lobar itu, aku bersama enam kawan masih menyempatkan keliling Mataram-Lombok, hingga Pantai Kute, dengan pengetahuan baru tentang cerita Putri Mandalika di Pantai Kute pada 24/2/2011, dan tradisi perang warga di beberapa titik sepanjang jalan menuju Pantai Kute, Lombok Tengah atau yang biasa disebut Loteng.

Esoknya aku sudah tiba di Pulau Dewata Bali. Masih bersama enam kawanku seharian ku "berdiskusi" dengan alam dan pemandangan di Bali. Hanya dengan sebuah mobil APV aku bisa menikmati Bali sejak matahari terbit hingga terbenam, mulai dari Pelabuhan, Goa Lawah Kabupaten Klungkung, Kampus Udayana I dan II, Sekretariat HMI, Garuda Wisnu Kencana (GWK), Pantai New Kute (Dream Land), Pantai Jimbaran, hingga Pantai Kute yang populer dengan turis dan peristiwa dahsyatnya bom Bali II.

Sejarah banyak mencatat di masa lalu, banyak sekali orang yang berpetualang dari satu daerah ke daerah lain, bahkan dari satu negara ke negara lain. Selain mencari guru, kaum cerdik cendekia kala itu juga menambah pengalaman dan suasana baru untuk menemukan sesuatu yang baru. Ada pula yang melanglang buana dengan tujuan meneliti masalah ketidakadilan di negara yang dikunjungi. Praktik ini misalnya pernah dilakukan Ernesto Guevara atau akrab dengan sebutan Che Guevara. Ia melanglang Buana dari Rosario Argentina, negara tempat kelahirannya, ke Kuba, Amerika Latin yang berhasil “ditaklukannya” melalui pintu revolusi bersama Fidel Castro.

Namun perjalananku itu belum seperti Che yang langsung menghidupkan revolusi, aku masih sebatas mengenal dan sesekali belajar mengoreksi dan menguak kesejarahan, termasuk dinamika dua daerah itu. Di NTB misalnya kontroversialnya rencana pembangunan Islamic Center di tengah pembangunan fisik yang belum terpenuhi, seperti jalan rusak di Kabupaten Dompu atau persoalan lokalisasi prostitusi seperti diceritakan kawan-kawan asal Bima.

Sementara di Denpasar Bali misalnya, adanya praktik "mesum" yang sudah dianggap sebuah kewajaran di salah satu kawasan (baca: desa) Sasetan sehari menjelang Hari Nyepi. Praktik tersebut berupa ciuman massal (tanpa status apapun) sekitar 5 jam. Praktik itu dipercaya sebagai pintu penyucian seorang penganut agama Hindu memasuki Hari Nyepi.

Apapun pengetahuan yang didapat di "perantauan" ini aku anggap sebagai sebuah kemestian dan kesenantiasaan. Sebab, perjalanan panjang menjadi tak berarti jika para musafir itu tak dapat mengumpulkan sederet pengetahuan yang bisa dianalisis, bisa didiagnosis, bahkan bisa dicarikan jalan keluarnya. Kita juga dapat mengambil hikmah dan referensi-referensi hidup secara lebih lengkap untuk menjadi manusia paripurna (insan kamil).

My home, 3 days after Bali, 2/26

Pukul 12.26 WIB

Kapan Kita Bisa Menikmati Keadilan?

Oleh Moh. Ilyas

Jabatan sebagai Presiden yang kedua kalinya bagi Susilo Bambang Yudhoyono langsung dipertaruhkan dengan masalah keadilan. Sejak baru dilantik, Oktober 2009 lalu, kepemimpinan SBY-Boediono langsung digoyang dengan isu ketidak-adilan, mulai dari kasus Cicak versus Buaya hingga meledaknya kasus Bank Century.

Dalam kasus pertama, SBY dianggap bertindak dengan penuh "kepura-puraan", karena hanya berani membentuk Tim Delapan, tetapi rekomendasi tim tersebut diabaikan, hingga akhirnya SBY melalui pidatonya yang normatif mendorong agar kasus Bibit-Chandra tersebut diselesaikan secara depoonering. Itu pun, hingga hari ini belum tuntas, sebab DPR baru-baru ini mengusulkan agar tetap diusut melalui hukum guna memastikan praktik rekayasa itu.

Sementara untuk kasus Bank Century, SBY bukannya berkehendak menuntaskan. Namun, dalam banyak kesempatan, ia selalu menyatakan bahwa bailout (penalangan) yang merugikan negara hingga 6,7 triliun tersebut sudah benar dan tidak berdampak sistemis seperti temuan Pansus Century di DPR.

Belum selesai semua itu, temuan Satgas Mafia Hukum atas ditahannya Artalyta Suryani di "surga" tahanan (yang dilengkapi fasilitas mewah) di Rutan Cipinang Jakarta Timur benar-benar mengusik rasa keadilan publik. Kini perempuan yang akrab disapa Ayin tersebut telah bebas, meskipun bebasnya terus kontroversial di masyarakat. Namun, lagi-lagi kasus soal ketidak-adilan kembali datang, yaitu kaburnya Sang Mafia Pajak, Gayus Tambunan dari penjara ke Bali hingga ke Singapura dan Cina. Sungguh, fenomena rasa keadilan yang ternodai.

Seolah semua itu belum lengkap, muncul lagi isu soal ketidakadilan yang, kini dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap pelaku penyuapan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) Miranda Goeltom terhadap 24 Anggota DPR periode 2004-2009. Dalam hal ini, KPK dianggap tidak adil dan tebang pilih, karena penerima suap sudah ditahan, sementara pelakunya dibiarkan melenggang bebas.

Satu tahun lebih Indonesia disita praktik hilangnya keadilan membuat kita rindu akan keadilan itu. Masih bisakah kita berharap adanya keadilan di negeri ini? Kapan kita bisa menikmatinya? Sebuah pertanyaan kerinduan yang sebenarnya juga berupa "kekecewaan". Kecewa, karena pemimpin dan penegak hukum yang diharapkan dapat memenuhinya sudah tak bisa lagi dipercaya.

Konsep Keadilan

Dalam sebuah training LK III (Advance Training) HMI di Lombok, Nusa Tenggara Barat, kerinduan dan kekecewaan itu terlihat begitu terang. Saat itu, peserta training berusaha menguak secara mendalam, hingga konsep keadilan pun "terpaksa" kembali didiskusikan. Apakah keadilan masih merupakan sesuatu yang abstrak dan melangit? atau ia sudah dapat dikonkretkan dan dibumikan?

Rupanya perdebatan sengit tak juga melahirkan konsepnya secara pasti. Definisi keadilan (termasuk keadilan sosial) masih terus menjadi bayang-bayang yang sukar diterjemahkan secara pasti. Ini tidak lain, karena pemaknaan peserta terhadap keadilan cenderung dipengaruhi oleh adanya ketidakadilan, baik yang mereka alami secara langsung maupun yang mereka temukan di lapangan. Bagaimana dengan pendekatan ilmiah dalam menemukan konsepnya?

Itu dia. Masalahnya, problem yang dihadapi memang menunjukkan bahwa keadilan (sosial) bukanlah wilayah garapan secara ilmiah, karena masalah keadilan bukanlah fenomena empiris yang dapat diukur secara kuantitatif. Namun ia merupakan konsep abstrak yang berkenaan dengan aspek kebijakan-kebijakan praksis, sehingga ia merupakah garapan filosofis dan bersifat ideologis. Itulah sebabnya mengapa dalam menjawab masalah di atas setiap peserta memiliki jawaban dan konsep yang berbeda sesuai dengan ideologi, kandungan batinnya, dan kapasitas pengetahuannya.

Namun, dalam perdebatan berikutnya, keadilan itu dikonsepsikan sebagai "menempatkan sesuatu sesuai tempatnya", tanpa melihat stratifikasi dan status sosialnya. Artinya, siapapun orangnya, apapun jabatannya jika melakukan pelanggaran, maka harus dihukum seadil-adilnya. Ini membantah persepsi umum yang mengatakan bahwa keadilan itu berarti harus sama.

Dengan tidak melihat latar belakang sosial ini, maka keadilan akan mudah ditegakkan. Hanya saja dalam praktiknya masih jauh panggang dari api. Keadilan seperti hanya “sebuah impian di masa tua untuk kembali ke masa muda,” ia menjadi ilusi dan imajinasi di negeri ini. Wajar jika ada yang menyebut negeri ini sebagai negeri “imajiner”. Alasannya karena di negeri ini, kecenderungan terkuat di tingkat legislatif, eksekutif, dan yudikatif senantiasa bermain dengan kepura-puraan.

Jika hendak mengambil ibrah, coba kita ungkap, apakah penyelesaian Skandal Century adil? Apakah Antasari Azhar dipenjara hanya dengan bukti SMS adil? Apakah Boediono yang diduga kuat terlibat dalam kasus Century lalu memimpin kasus Gayus adil? Apakah Miranda Gultoem yang tak kunjung dijadikan tersangka dalam kasus penyuapan Pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia adil? Apakah dibiarkannya Jhonny Allen, pengurus Partai Demokrat yang diduga terlibat kasus penyuapan tapi masih melenggang bebas adil? Dan setumpuk tanya tentang keadilan yang tak kunjung datang di negeri ini.

Ini hanya di seputar politik dan hukum. Bagaimana dalam dunia ketenagakerjaan, dunia pendidikan, dan dunia birokrasi yang, untuk menjadi PNS harus punya kedekatan dengan orang-orang tertentu? Belum juga masalah kesejahteraan, yang masyarakatnya digadang-gadang dengan janji, tetapi tak pernah ada bukti. Apakah ini juga keadilan? Kapan kita bisa menikmatinya?

Kapan Kita Bisa Menikmati Keadilan?

Oleh Moh. Ilyas

Jabatan sebagai Presiden yang kedua kalinya bagi Susilo Bambang Yudhoyono langsung dipertaruhkan dengan masalah keadilan. Sejak baru dilantik, Oktober 2009 lalu, kepemimpinan SBY-Boediono langsung digoyang dengan isu ketidak-adilan, mulai dari kasus Cicak versus Buaya hingga meledaknya kasus Bank Century.

Dalam kasus pertama, SBY dianggap bertindak dengan penuh "kepura-puraan", karena hanya berani membentuk Tim Delapan, tetapi rekomendasi tim tersebut diabaikan, hingga akhirnya SBY melalui pidatonya yang normatif mendorong agar kasus Bibit-Chandra tersebut diselesaikan secara depoonering. Itu pun, hingga hari ini belum tuntas, sebab DPR baru-baru ini mengusulkan agar tetap diusut melalui hukum guna memastikan praktik rekayasa itu.

Sementara untuk kasus Bank Century, SBY bukannya berkehendak menuntaskan. Namun, dalam banyak kesempatan, ia selalu menyatakan bahwa bailout (penalangan) yang merugikan negara hingga 6,7 triliun tersebut sudah benar dan tidak berdampak sistemis seperti temuan Pansus Century di DPR.

Belum selesai semua itu, temuan Satgas Mafia Hukum atas ditahannya Artalyta Suryani di "surga" tahanan (yang dilengkapi fasilitas mewah) di Rutan Cipinang Jakarta Timur benar-benar mengusik rasa keadilan publik. Kini perempuan yang akrab disapa Ayin tersebut telah bebas, meskipun bebasnya terus kontroversial di masyarakat. Namun, lagi-lagi kasus soal ketidak-adilan kembali datang, yaitu kaburnya Sang Mafia Pajak, Gayus Tambunan dari penjara ke Bali hingga ke Singapura dan Cina. Sungguh, fenomena rasa keadilan yang ternodai.

Seolah semua itu belum lengkap, muncul lagi isu soal ketidakadilan yang, kini dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap pelaku penyuapan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) Miranda Goeltom terhadap 24 Anggota DPR periode 2004-2009. Dalam hal ini, KPK dianggap tidak adil dan tebang pilih, karena penerima suap sudah ditahan, sementara pelakunya dibiarkan melenggang bebas.

Satu tahun lebih Indonesia disita praktik hilangnya keadilan membuat kita rindu akan keadilan itu. Masih bisakah kita berharap adanya keadilan di negeri ini? Kapan kita bisa menikmatinya? Sebuah pertanyaan kerinduan yang sebenarnya juga berupa "kekecewaan". Kecewa, karena pemimpin dan penegak hukum yang diharapkan dapat memenuhinya sudah tak bisa lagi dipercaya.

Konsep Keadilan

Dalam sebuah training LK III (Advance Training) HMI di Lombok, Nusa Tenggara Barat, kerinduan dan kekecewaan itu terlihat begitu terang. Saat itu, peserta training berusaha menguak secara mendalam, hingga konsep keadilan pun "terpaksa" kembali didiskusikan. Apakah keadilan masih merupakan sesuatu yang abstrak dan melangit? atau ia sudah dapat dikonkretkan dan dibumikan?

Rupanya perdebatan sengit tak juga melahirkan konsepnya secara pasti. Definisi keadilan (termasuk keadilan sosial) masih terus menjadi bayang-bayang yang sukar diterjemahkan secara pasti. Ini tidak lain, karena pemaknaan peserta terhadap keadilan cenderung dipengaruhi oleh adanya ketidakadilan, baik yang mereka alami secara langsung maupun yang mereka temukan di lapangan. Bagaimana dengan pendekatan ilmiah dalam menemukan konsepnya?

Itu dia. Masalahnya, problem yang dihadapi memang menunjukkan bahwa keadilan (sosial) bukanlah wilayah garapan secara ilmiah, karena masalah keadilan bukanlah fenomena empiris yang dapat diukur secara kuantitatif. Namun ia merupakan konsep abstrak yang berkenaan dengan aspek kebijakan-kebijakan praksis, sehingga ia merupakah garapan filosofis dan bersifat ideologis. Itulah sebabnya mengapa dalam menjawab masalah di atas setiap peserta memiliki jawaban dan konsep yang berbeda sesuai dengan ideologi, kandungan batinnya, dan kapasitas pengetahuannya.

Namun, dalam perdebatan berikutnya, keadilan itu dikonsepsikan sebagai "menempatkan sesuatu sesuai tempatnya", tanpa melihat stratifikasi dan status sosialnya. Artinya, siapapun orangnya, apapun jabatannya jika melakukan pelanggaran, maka harus dihukum seadil-adilnya. Ini membantah persepsi umum yang mengatakan bahwa keadilan itu berarti harus sama.

Dengan tidak melihat latar belakang sosial ini, maka keadilan akan mudah ditegakkan. Hanya saja dalam praktiknya masih jauh panggang dari api. Keadilan seperti hanya “sebuah impian di masa tua untuk kembali ke masa muda,” ia menjadi ilusi dan imajinasi di negeri ini. Wajar jika ada yang menyebut negeri ini sebagai negeri “imajiner”. Alasannya karena di negeri ini, kecenderungan terkuat di tingkat legislatif, eksekutif, dan yudikatif senantiasa bermain dengan kepura-puraan.

Jika hendak mengambil ibrah, coba kita ungkap, apakah penyelesaian Skandal Century adil? Apakah Antasari Azhar dipenjara hanya dengan bukti SMS adil? Apakah Boediono yang diduga kuat terlibat dalam kasus Century lalu memimpin kasus Gayus adil? Apakah Miranda Gultoem yang tak kunjung dijadikan tersangka dalam kasus penyuapan Pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia adil? Apakah dibiarkannya Jhonny Allen, pengurus Partai Demokrat yang diduga terlibat kasus penyuapan tapi masih melenggang bebas adil? Dan setumpuk tanya tentang keadilan yang tak kunjung datang di negeri ini.

Ini hanya di seputar politik dan hukum. Bagaimana dalam dunia ketenagakerjaan, dunia pendidikan, dan dunia birokrasi yang, untuk menjadi PNS harus punya kedekatan dengan orang-orang tertentu? Belum juga masalah kesejahteraan, yang masyarakatnya digadang-gadang dengan janji, tetapi tak pernah ada bukti. Apakah ini juga keadilan? Kapan kita bisa menikmatinya?

Kebohongan dan Kekerasan

Oleh Moh. Ilyas

Saat kata "kebohongan" belum selesai menjadi suguhan di negeri ini, kini kata baru kembali menjadi suguhan kita, yakni kata "kekerasan". Kata kekerasan ini booming kembali dalam sebulan terakhir setelah peristiwa pengeroyokan dan pembunuhan tiga jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Banten dan pembakaran dua gereja di Temenggung Jawa Tengah.

Belum selesai di dua tempat tersebut, kini peristiwa kekerasan kembali terjadi, yakni penyerangan rumah ibadah aliran Syi'ah di Pasuruan, Jawa Timur. Syiah merupakan aliran dalam Islam yang sangat mengagungkan Ahlul Bait (keluarga Nabi). Aliran ini berbeda dengan Ahmadiyah, ia diterima di kalangan umat Islam, karena perbedaan ajarannya tidak menyangkut hal yang qath'i seperti halnya Ahmadiyah.

Kalau kita amati, kata "kebohongan" dan "kekerasan" lahir dalam aneka konteks yang berbeda. Bohong, misalnya muncul bersentuhan dengan keterlibatan pemerintah sebagai pelaku. Sedangkan kekerasan bersentuhan dengan aliran dan agama tertentu. Meski demikian, ujung kekerasan atas nama agama tersebut juga merupakan tanggung jawab pemerintah.

Secara formal, dua kata tersebut memang memiliki makna berbeda. Namun, secara essensial, makna keduanya sama, yakni sama-sama menunjuk pada adanya suatu kekerasan. Bedanya, amuk massal ataupun penyerangan dalam makna sebenarnya merupakan kekerasan secara fisik, sedangkan kebohongan merupakan kekerasan secara psikis (mental).

Anehnya, dua kata ini beberapa hari setelah aksi atas nama agama tersebut mulai disepadankan dan dikaitkan secara erat. Alasannya, karena keduanya dianggap datang dengan satu skenario di negeri ini, yakni skenario pengalihan isu yang dilakukan pemerintah.

Konon, wacana pengalihan isu ini sengaja dibuat untuk menghancurkan kredibilitas para Tokoh Lintas Agama (TLA) yang sebelumnya mengkritik pemerintah secara keras dengan isu kebohongan. Jika berhasil, isu tersebut akan melemahkan mental dan posisi para TLA tersebut. Setidaknya mereka akan digunjing dengan ungkapan-ungkapan semisal, "Ngapain mereka urus pemerintah, wong urus umatnya saja tidak mampu," kira-kira tak jauh dari kalimat tersebut redaksionalnya.

Negara Terlibat

Dalam Jurnal Gagasan, sebuah jurnal KAHMI (Vol 2, nomor 1, 2011), Ostaf Al Mustafa menulis "Otoritasi Kedustaan Negara di Televisi". Dalam tulisan ini, ia mengangkat kembali tentang isu seputar kebohongan dalam kasus penangkapan teroris di Solo, Jawa Tengah. Dengan melansir berbagai media-online yang mengkonfrontir konferensi pers kepolisian dengan pernyataan warga sekitar lokasi kejadian.

Dijelaskannya, penangkapan teroris di Solo tersebut sangat kuat tercium aroma “kebohongan” alias pengalihan isu. Hal ini salah satunya ditandai dengan cerita warga bahwa beberapa sebelum penggerebekan para teroris tersebut, sudah banyak orang yang tinggi kekar, yang diakui warga, mereka polisi meski tak berpakaian lengkap kepolisian. Dengan begitu memperjelas bahwa orang yang menangkap dan orang yang ditangkap sangat mungkin merupakan komplotan polisi yang memang sengaja “diciptakan”.

Tidak hanya itu, Ostaf juga menyebutkan beberapa indikator lainnya, misalnya keterlibatan Kepala BIN Joko Suyanto dalam konferensi pers Kapolri di Mabes Polri, yang tidak biasanya, termasuk dalam penangkapan teroris, ia ikut terlibat. Bahkan, ia ikut mempertegas bahwa penangkapan tersebut bukan pengalihan isu. Keterlibatannya itu diduga untuk menguatkan Bambang Hendarso Danuri, yang saat itu sebagai Kapolri dalam melakoni “kebohongan” itu.

Di luar penjelasan Ostaf tersebut, publik pun memang kerap mempertanyakan adanya aksi-aksi semisal penangkapan teroris atau masalah lain yang terjadi di tengah hiruk pikuk perpolitikan yang tidak menentu atau terkadang di saat posisi penguasa merasa terancam. Sebut saja beberapa hari setelah Pilpres 2009 lalu langsung muncul penangkapan teroris. Padahal peristiwa tersebut diduga telah didesain secara sistemis, karena pada saat itu, legitimasi Pemilu yang memenangkan pasangan SBY-Boediono sudah mulai digugat lantaran KPU memiliki banyak persoalan. Namun, gugatan demi gugatan akhirnya surut setelah isu terorisme itu dicoba digelindingkan menjadi “gerakan ketidakpuasan” kompetitor yang kalah dalam Pilpres. Strategi ini luar biasa dalam melemahkan mental Capres-Cawapres lain yang ingin mencari kebenaran, namun mereka harus takluk dan menyerah pada perkembangan isu.

Praktik semacam ini merupakan bentuk kekerasan secara psikis by design. Ia melemahkan sendi-sendi berbangsa dan bernegara secara benar. Meski yang telah berlalu berhasil, namun bukan hal mustahil kebohongan itu suatu saat akan tercium pula. Bukankah sudah jelas pepatah, “Sedalam-dalamnya bangkai dikubur akan tercium juga baunya.”

Menurut Max Weber (1994), di dalam Political Writings-nya Peter Lassman dan Ronald Speirs mendefinisikan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh negara atau kelompok didefinisikan sebagai "monopoli atau legitimasi untuk melakukan kekerasan secara sah", yakni dengan alasan untuk melaksanakan putusan pengadilan, menjaga ketertiban umum atau dalam keadaan perang yang dapat berubah menjadi semacam perbuatan terorisme yang dilakukan oleh negara atau kelompok yang dapat menjadi salah satu bentuk kekerasan ekstrem.

Bisa saja berbagai gerakan kekerasan di atas dianggap sebagai jalan keluar bagi kepentingan publik. Walaupun sebenarnya, ia hanya didasarkan pada kepentingan individu atau kelompok tertentu. Hari ini tidak susah mengubah sesuatu yang benar menjadi salah dan sesuatu yang salah menjadi benar, apalagi oleh penguasa, yang sudah menggenggam kekuasaan di negeri ini. Bukankah sudah banyak peristiwa pemimpin dunia, yang demi mempertahankan kekuasaannya, menciptakan konspirasi-konspirasi?

Wajah Agama Kembali Tercoreng

Oleh Moh. Ilyas*

Kekerasan atas nama agama kembali terjadi. Kekerasan tersebut terjadi di Kampung Peundeuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten, pada Ahad (6/2), di mana jamaah Ahmadiyah diserang ratusan warga dan menyebabkan tiga jamaah tewas.

Kekerasan terhadap Ahmadiyah bukan kali ini saja terjadi. Penelusuran Tempointeraktif.com (7/2/2011) menunjukkan bahwa Ahmadiyah menjadi korban kekerasan sejak 2010 hingga Februari 2011 ini sudah sebanyak 15 kali. Di antaranya, pembakaran Musholla Ahmadiyah di Cianjur, kekerasan terhadap Ahmadiyah di Makassar, pembongkaran masjid di Sukabumi, dan penyerangan dan pengrusakan masjid di Ciputat.

Kekerasan atas nama agama ternyata tidak hanya terhadap Ahmadiyah. Pada tahun 2010 lalu, Moderate Moslem Society (MMS) melansir sekitar 81 kasus intoleransi beragama di Indonesia terjadi. Angka tersebut naik 30 persen dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 59 kasus. Dari data MMS, ada tiga daerah yang paling tinggi tingkat intoleransinya, yakni Jawa Barat (73 kasus), Sumatera Barat (56 kasus), dan Jakarta (45 kasus).

Hal ini bertolak belakang dengan sebuah jajak pendapat yang dilakukan sebelumnya, yang mengatakan bahwa 96 persen responden menyatakan menerima pergaulan dengan kelompok yang berbeda agama. Bahkan 79,6 persen di antaranya menyatakan bersedia jika di lingkungannya dijadikan tempat perayaan agama lain. Dari kasus yang terjadi selama 2010, umat kristiani mengalami perlakukan intoleransi sebanyak 33 kali, Ahmadiyah 25 kali, dan kelompok yang dianggap sesat 11 kali (Media Indonesia, 23/12/2010).

Bentuk tindakan intoleransi ini bervariasi. Misalnya, pembongkaran patung naga di Singkawang, ancaman perusakan panti asuhan Ahmadiyah di Tasikmalaya, dan pemukulan Jamaah HKBP di Bekasi. Meskipun, banyak warga Bekasi mengakui bahwa tindakan pemukulan tersebut, karena oknum Jemaah HKBP dianggap tidak mau tahu keinginan dan desakan warga.

Peristiwa-peristiwa kekerasan tersebut telah mencoreng wajah agama, terutama Islam. Islam yang mestinya mampu menciptakan kedamaian dan perdamaian, sebagaimana misi utama diutusnya Nabi Muhammad sebagaimana Rahmatan lil ‘alamin tidak tercermin dalam perilaku umatnya. Justru umat Islam seolah “dirasuki” kebencian terhadap perbedaan yang sejatinya dihormati dan dihargai, bukan bertindak kekerasan, apalagi sampai menghilangkan nyawa.

Fenomena ini juga menunjukkan bahwa masalah etika dan kebebasan beragama di tanah air masih belum mendapatkan perhatian secara optimal, sehingga tugas umat beragama juga belum selesai. Banyak umat beragama masih berasumsi bahwa keyakinan kebenaran akan suatu agama secara langsung meniadakan kebenaran agama lain. Mereka menjadi tertutup (baca: eksklusif) untuk mempelajari dan mengetahui agama lain.

Rupanya, puluhan tragedi kemanusiaan yang mengatasnamakan agama yang terjadi sejak puluhan tahun lalu masih belum cukup menjadi pelajaran, padahal semua itu dapat dikatakan karena sempitnya pemahaman pemeluk agama terhadap agama lain. Sehingga mereka – meminjam istilah Ahmad N. Burhani – terjebak dalam kungkungan ideologis, yakni munculnya klaim of truth (klaim kebenaran) dan klaim of salvation (klaim keselamatan). (Baca: Ahmad N. Burhani, 2001).

“Emoh” Mempelajari Agama Lain

Sikap menutup diri dari kebenaran agama lain itu melahirkan sikap "emoh" atau tidak mau untuk mengetahui agama lain yang sebenarnya. Kemauan mempelajari agama lain hanya pada sisi-sisi kelemahannya saja, sehingga dalam pandangannya, agama yang dianutnya saja yang benar, sementara agama lain semuanya salah.

Padahal, menurut mantan Menteri Agama, Mukti Ali, kekuatan suatu sistem agama tidak dapat ditemukan dengan melihat kekeliruan-kekeliruannya, tapi dengan mempelajari apa yang baik dan benar atau setidaknya yang mendekati benar. Dengan mempelajari agama-agama lain, lanjut Mukti Ali, kita dapat sampai pada pemahaman lebih baik mengenai agama kita sendiri dan dengan cara ini keimanan kita kian mendalam. (Lihat dalam Greg Barton, 1999).

Kemauan mempelajari agama lain itu pada akhirnya akan sampai pada ajaran inklusivisme, sebuah ajaran keterbukaan dalam beragama. Dengan ajaran ini, seorang pemeluk agama tidak akan terkungkung dalam agama tertentu yang menyebabkannya membenci, bahkan memusuhi agama lain. Ia, bisa saja sangat yakin dengan kebenaran agamanya, tetapi keyakinan itu tidak membuatnya bersikap "buta" dan "tuli" terhadap kebenaran agama lain.

Tentu saja dalam memahami agama lain, ia tidak sedang diikat oleh agamanya sendiri, atau meminjam bahasa Alwi Shihab, ia berani membuka baju keagamaannya saat meneliti agama lain. Dengan langkah seperti itu, ia akan mendapatkan hasil obyektif mengenai agama yang ditelitinya. (Baca: Alwi Shihab, 1997).

Cara-cara semacam ini, sangat tepat dijadikan "jembatan" dalam membangun kualitas keberagamaan di Indonesia. Setidaknya tidak akan ada lagi yang namanya chaos atas dasar agama. Ini tidak hanya berlaku bagi agama tertentu saja, tetapi semua agama yang hidup di negeri yang menghargai pluralitas ini. Namun, jika cara-cara elok ini dijauhi, bukan hal mustahil fenomena konflik keberagamaan akan terus berjalan mulus.

Kesadaran Pluralitas

Salah satu pimpinan sebuah organisasi masyarakat baru-baru ini mensinyalir kecenderungan yang dipersalahkan dalam kasus beragama adalah agama mayoritas. Menurutnya, hal itu tidak dapat dibenarkan, sebab yang memulai "pertikaian" atas nama agama, terkadang kelompok non-mayoritas.

Pernyataan pimpinan ormas tersebut tentu tidak untuk memojokkan satu agama saja. Ia hanya ingin perdamaian beragama dimulai secara bersama-sama oleh semua pemeluk agama, baik Islam, Kristen, Budha, Hindu, maupun Konghucu. Semua pemeluk agama berhak hidup damai, aman, dan sentosa.

Inilah landasannya, mengapa kita begitu berharap bahwa pada tahun ini dan tahun-tahun mendatang tidak akan lagi ada konflik-konflik yang dimotori oleh agama. Kita sudah jenuh dengan konflik itu. Kita ingin semua umat beragama dibangun atas kesadaran pluralitas yang tinggi, di mana kesetaraan, kesamaan, dan persamaan hak hidup tumbuh bersemai dalam aneka spektrum kehidupan umat beragama di tanah air.

Barangkali inilah inti-keinginan tokoh-tokoh pluralis seperti Nurcholish Madjid (alm) dan Abdurrahman Wahid (alm) untuk memaknai pluralitas secara substansial dan nyata di Indonesia. Mereka seolah-olah berpesan, "Kami menitipkan harga pluralitas keberagamaan itu tidak hanya dalam wacana dan diskusi. Kami menginginkan masyarakat Indonesia hidup bersama, aman, dan damai dalam makna pluralitas yang sebenarnya tanpa memandang dari agama mana mereka berasal.”

* Penulis adalah Wakil Direktur Yayasan Lingkar Meridian, Jakarta.

Ahmadiyah dan Dilema Negara

Oleh: Moh. Ilyas*

Kekerasan terhadap warga Ahmadiyah kembali terjadi. Peristiwa ini terjadi di Kampung Peundeuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten pada Ahad (6/2) lalu dan diduga terjadi karena adanya provokasi dari pihak Ahmadiyah terhadap umat Islam, sehingga menyebabkan terjadinya bentrokan. Namun, sungguh menyedihkan, sebab peristiwa ini telah berujung pada tewasnya tiga warga Ahmadiyah.

Jika ditelusuri, kekerasan terhadap Ahmadiyah bukan kali ini saja terjadi. Paling tidak di Indonesia sejak tahun 2010 hingga saat ini telah terjadi sedikitnya 15 kekerasan terhadap kelompok yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi terakhir itu. Mulai dari kekerasan berupa pembakaran rumah ibadah, penyerangan, hingga pembunuhan.

Terlepas dari adanya motif provokasi dari pihak mana pun, peristiwa ini telah menambah daftar panjang kekerasan atas nama agama yang menyebabkan hilangnya nyawa. Hal ini merupakan tindakan yang tak dapat dibenarkan, baik oleh negara sebagai penegak hukum, maupun oleh agama sendiri.

Ahmadiyah sebagaimana dijelaskan dalam Wikipedia.org, merupakan Jamaah Muslim yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada tahun 1889 di satu desa kecil yang bernama Qadian, Punjab, India. Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai Mujaddid, al Masih, dan al Mahdi. Di Indonesia, organisasi ini telah berbadan hukum dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia sejak 1953 (SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953). Namun, atas nama Pemerintah Indonesia, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung pada tanggal 9 Juni 2008 telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama, yang memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya yang bertentangan dengan Islam.

Secara prinsip, Ahmadiyah memang bukanlah “agama formal” sebagaimana enam agama yang sudah diakui legalitasnya di Indonesia. Meski mengaku salah satu sempalan dari Islam, keberadaan Ahmadiyah tidak diterima oleh sebagian besar umat Islam. Bahkan, melalui Surat Ketetapan Bersama (SKB) Tiga Menteri tersebut Ahmadiyah tidak diperbolehkan menyebarkan ajarannya, apalagi dengan mengaku bagian dari Islam.

Dilema Negara

Tujuan dibuatnya SKB Tiga Menteri pada 2008 lalu tidak lepas dari kondisi sosial keagamaan yang cenderung berseteru dan berkonflik satu sama lain, baik antara satu agama dengan agama lain atau satu aliran dengan aliran lain. Tetapi dalam perjalanannya, ketetapan ini seperti kehilangan arti, sebab nyaris tidak ada ketegasan pemerintah, termasuk juga aparat dalam menjalankannya. Bahkan dalam beberapa kasus, pemerintah dan aparat baru sigap jika peristiwa “bentrok” sudah meledak.

Penegakan aturan yang banyak di luar harapan publik ini melahirkan “kekecawaan” di kalangan publik secara umum. Hal itu juga yang menyebabkan fenomena kekerasan atas nama agama kembali terulang, sehingga adanya SKB hampir sama dengan tidak ada. Pelanggaran-pelanggaran terhadap SKB yang dilakukan kalangan Ahmadiyah misalnya, masih tetap menjalankan aktivitas Ahmadiyah dengan membawa nama Islam dan tetap menyebarkannya. Padahal, dalam SKB jelas-jelas disebutkan bahwa Ahmadiyah tidak boleh melaksanakan aktivitas keagamaannya jika masih mengaku Islam, apalagi mengajak umat Islam untuk mengikuti aliran mereka.

Tindakan demikian tentu saja menyulut amarah umat Islam. Namun, pelanggaran ini tak pernah mendapatkan perhatian dari pemerintah ataupun aparat. Mereka sepertinya menunggu “peristiwa” terlebih dahulu untuk melangkah.

Ketika sedang bergejolak kembali seperti saat ini, pemerintah dan aparatur Negara tampak kehilangan “akal” untuk menyelesaikannya. Mereka segera dihadapkan pada sebuah dilema. Di satu sisi, mereka dituntut membubarkan Ahmadiyah, di sisi lain mereka dituntut “merombak” ulang SKB Tiga Menteri. Jika memilih membubarkan Ahmadiyah, terkesan kebebasan beragama di Indonesia terabaikan, namun jika memilih merombak SKB Tiga Menteri dikhawatirkan konflik antara satu agama maupun kelompok dengan agama lainnya semakin parah.

Oleh karenanya, pemerintah mestinya bisa lebih serius dan tidak setengah hati dalam menjalankan SKB itu, Alasannya karena SKB itu sudah merupakan aturan yang netral demi terciptanya kedamaian dan kerukunan. Setiap pelanggaran mesti diselesaikan secara hukum, sehingga tidak ada sanksi hukum (bermain hakim sendiri) di lapangan. Ini tidak lain agar Negara tidak larut dalam dilema penyelesaiannya. Pemerintah harus segera mengambil langkah dan menjalankannya secara konsisten.

Logikanya, aturan apapun yang dipakai, jika tidak disertai dengan ghirah (semangat) menjalankannya secara serius, hanya akan hampa. Aturan itu ada, namun seperti tiada. Itulah barangkali gambaran SKB Tiga Menteri sejak digulirkan tiga tahun lalu.

Hilangnya Dialog

Kekerasan atas nama agama, termasuk pengeroyokan terhadap Ahmadiyah terjadi dilatari karena tidak ada semangat dialog dalam menanggapi perbedaan. Asas dialogis yang mencerminkan kekeluargaan dan persaudaraan “digadaikan” dan direduksi dengan emosi. Dengan kata lain, perbedaan selalu dijawab dengan emosi, sehingga bentrok pun tak terelakkan.

Budaya dialog dalam menyikapi perbedaan dan silang pendapat ini perlu dan bahkan niscaya dilakukan. Dengan dialog, otot yang tegang menjadi lentur, emosi yang memuncak bisa menurun. Dan dengan dialog pula inti permasalahan bisa dipecahkan secara bersama-sama. Tentu saja bukanlah dialog yang ingin cari benar sendiri, tetapi betul-betul mencari solusi. Bukankah beberapa perbedaan atas nama agama yang diselesaikan secara dialogis dapat berakhir damai?

Inilah tantangan bagi pemeluk agama atau penganut aliran tertentu terhadap agama maupun aliran lain. Agama identik dengan ideologi yang cenderung membuat pemeluknya fanatik. Jika fanatisme yang dimiliki adalah fanatisme buta dan tidak didasarkan pada kesadaran dialogis dan jiwa yang terbuka, maka kecenderungan besar yang terjadi adalah adanya bentrok dan konflik sosial, dan ini jauh dari semangat beragama itu sendiri.

* Penulis adalah Wakil Direktur Yayasan Lingkar Meridian Jakarta.

Tudingan Bohong Kok Dianggap Permainan

Oleh Moh. Ilyas*

Wacana kebohongan yang digulirkan Tokoh Lintas Agama (TLA) pada 10 Januari lalu sepertinya hanya angin lalu bagi Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Meski wacana tersebut sudah jelas-jelas ditujukan kepada pemerintah, namun mereka masih hanya merespon dengan cara membantah dan mengelak, bukan merealisasikan apa yang dianggap kebohongan. Padahal para TLA sudah mengungkap 18 kebohongan yang dilakukan pemerintah saat ini, sembilan di antaranya kebohongan lama dan sembilan lainnya kebohongan baru.

Pemerintah di lingkaran istana disibukkan dengan membuat isu-isu tandingan guna menyangkal tudingan kebohongan tersebut. Misalnya saja isu adanya langkah politis, isu rencana bahwa salah satu tokoh agama, Din Syamsuddin akan mencalonkan sebagai presiden 2014, isu bukan aspirasi rakyat, hingga isu provokasi. Bahkan, pemerintah juga diperkuat “lembaga-lembaga gelap” yang mengatasnamakan Gadis atau Gerakan Anti Din Syamsuddin dalam melawan tudingan kebohongan itu.

Selain aspirasi itu dianggap angin lalu yang, mungkin hanya masuk dari telinga kanan dan langsung keluar dari telinga kiri, tudingan kebohongan itu hanya dianggap sebagai permainan belaka. Para TLA dengan wacana mereka seolah hanya dianggap bermain-main dan tidak serius dengan tudingannya. Ini terlihat jelas, pemerintah cenderung melempar-lempar isu dan mengklaim atas dasar data mereka sendiri. Misalnya dengan menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam menilai pengangguran atau angka kemiskinan. Padahal, data pengangguran itu diambil saat musim panen, yang rata-rata sedang bekerja, dan tidak sesuai jika dilihat secara menyeluruh kondisi saat ini.

Istilah permainan sendiri yang dalam bahasa Inggris disebut game menurut kamus media online Wikipedia.org adalah kegiatan terstruktur yang biasanya dilakukan untuk kesenangan dan kadang-kadang digunakan sebagai alat pendidikan. Namun, Sosiolog Perancis, Roger Caillois dalam bukunya, Les Jeux Et Les Hommes (1957) mendefinisikan, permainan adalah kegiatan yang mesti melibatkan beberapa karakter, di antaranya fun (lucu), uncertain (tak menentu), dan non-productive (tidak produktif).

Dengan merujuk pada pandangan Caillois, jika benar bahwa kritik kebohongan hanya dianggap sebagai permainan, maka ujung-ujungnya pasti menjadi tidak jelas. Artinya, jika ia sudah dipermainkan, sudah barang tentu pelaku-pelaku kebohongan itu (baca: pemerintah) akan mengabaikannya dan tidak menganggap sebagai sesuatu yang serius dan tidak mendesak untuk diselesaikan. Bahkan, sangat mungkin kritik kebohongan itu hanya dianggap “lucu” saja. Bukankah sudah banyak contoh kasus di negeri ini, namun faktanya dibolak-balik, yang serius dianggap lucu dan yang lucu dianggap serius?

Permainan ini sebenarnya sudah terbaca sejak pemerintah memunculkan berbagai bantahan pasca-tudingan kebohongan, yang terkesan “mengada-ada”, seperti tudingan politis. Tentu saja para TLA tidak tinggal diam dengan tudingan itu. Ahmad Syafii Maarif misalnya dengan tegas mengatakan, “Untuk apa kami berpolitik?” Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin mengatakan bahwa dalam “kritik kebohongan” itu memang ada motif politiknya, tetapi politik kebangsaan demi kesejahteraan rakyat dan bukan politik praktis yang bertujuan mencari sebuah posisi di kekuasaan, apalagi pemakzulan SBY. Begitu juga apa yang dikatakan Andreas A Yewangoe, tokoh agama lainnya, yang menyatakan bahwa kritik kebohongan tersebut memang riil adanya sesuai dengan kondisi riil di masyarakat.

Evaluasi Diri

Pemimpin bijak tidak menganggap kritikan itu sebagai musuh. Sebaliknya, ia menganggapnya sebagai sebuah ide segar yang akan membantunya dalam meraih hasil kepemimpinan yang berkualitas. Artinya, dalam konteks Indonesia, SBY sebagai pemimpin tertinggi di negeri ini mestinya tidak “bertelinga tipis” mendengar kritikan itu. Ia bahkan perlu berterima kasih karena masih ada yang peduli dengan masalah kepemimpinannya dalam membawa masyarakat Indonesia sejahtera, adil, dan makmur.

Akan tetapi sungguh sangat disayangkan, SBY dan para menterinya terkesan belum siap melakukan evaluasi diri dengan berkaca pada kritikan itu. Bahkan, dalam pertemuan dialogis yang diadakan SBY dengan TLA tidak menghasilkan sesuatu yang substantif, sebab SBY selalu menanggapi secara normatif. Pertemuan yang diharapkan bisa “membuka kesadaran” pemerintah tersebut akhirnya gagal, karena SBY juga melibatkan beberapa tokoh agama yang “pro” SBY.

Ini merupakan suatu indikasi bahwa kritikan TLA masih belum dianggap mewakili semua tokoh agama dan cenderung dianggap bermuatan politis, sehingga SBY menganggapnya sebagai sesuatu yang “kosong” belaka. Tentu saja buntut dari anggapan ini adalah hilangnya realisasi dan perbaikan dari apa yang menjadi substansi kritik kebohongan para TLA tersebut.

Gerakan Politik

Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ikrar Nusa Bhakti, dalam sebuah diskusi di salah satu stasiun TV swasta, menilai gerakan para TLA tersebut sebagai gerakan moral. Gerakan tersebut, kata dia, perlu diapresiasi, karena gerakan itu masih menunjukkan bahwa sebenarnya para TLA masih “berbaik hati” terhadap pemerintah yang sudah lama larut dalam kebohongan.

Menurutnya, bukan sesuatu yang mustahil jika para TLA itu nantinya bisa berubah pikiran dan mengganti gerakan moral mereka menjadi gerakan politik. Ini mungkin terjadi manakala apa yang mereka perjuangkan melalui gerakan moral tersebut tetap berbuntut kesia-siaan dan tidak didapat langkah konkret pemerintah.

Analisis dan penilaian Ikrar ini memang bukanlah sesuatu yang absurd. Jika kondisi kebohongan terus berlanjut, bukan tidak mungkin pemerintahan SBY periode kedua ini berhenti sebelum 2014, sebagaimana mestinya. Apalagi ketika yang dipertaruhkan adalah skandal hukum yang tak kunjung usai dan kesejahteraan rakyat yang hanya berada di ujung lidah klaim dan janji-janji.

Bukankah mundurnya atau kaburnya Presiden Tunisia, Zine El Abidine Ben Ali ke Arab Saudi baru-baru ini juga disebabkan adanya kesenjangan kesejahteraan yang dialami rakyatnya? Bahkan Ali “diturunkan” oleh Mohamed Bouazizi, seorang pedagang sayur yang terpaksa membakar dirinya karena derita yang dialami, krisis pangan yang melanda, serta rakyat yang hidup dalam politik yang tak peduli pada kritik.

Tentu masyarakat kita tidak menginginkan fenomena Tunisia ini terjadi di Indonesia. Meskipun berbagai “tayangan” buruk telah ditampilkan rezim SBY, masyarakat kita masih cukup sabar menunggu perubahan. Namun, apakah masa menunggu ini akan membuahkan perubahan berarti? Semoga!

* Penulis adalah Wakil Direktur Yayasan Lingkar Meridian, Jakarta.

Selebrasi Agama dan Pluralisme

Oleh Moh. Ilyas*

Jika kita mengunjungi mal di beberapa titik di Jakarta satu pekan terakhir akan banyak kita temukan berbagai variasi warna kemerah-merahan yang bercorak Cina. Variasi itu sengaja dipasang karena pada 3 Februari kemarin, Umat Khong Hu Cu dan secara umum masyarakat Tionghua merayakan Hari Raya Imlek yang bertepatan dengan hari pertama bulan pertama penanggalan Tionghoa dan akan berakhir dengan Cap Go Meh tanggal kelima belas.

Pemandangan serupa di mal-mal biasanya juga terjadi setiap peringatan hari raya agama, misalnya Idul Fitri sebagai peringatan hari raya Umat Islam dan Hari Natal sebagai raya Umat Kristiani. Pemandangan itu biasanya juga disertai berbagai spanduk atau lukisan yang berisi ucapan selamat merayakannya. Tentu saja ini menjadi corak dan ciri perayaan seremonial tersendiri di Indonesia.

Sebenarnya, fenomena mal membuat dekorasi itu sepintas terasa sangat biasa dan seperti tidak memiliki substansi krusial. Namun jika kita coba gali lebih jauh, terdapat sisi yang luar biasa dalam seremonial itu, yaitu penganut agama satu dengan agama lain atau pengunjung yang berbeda agama tetap berjalan beriringan bersama-sama, saling tegur sapa, dan tidak ada kecurigaan maupun kecemburuan agama lain.

Tidak hanya itu, ucapan-ucapan selamat keagamaan bertebaran dari mulut ke mulut, mulai dari bentuk kartu hingga melalui short message service (SMS) dan telepon seluler. Misalnya ucapan “Minal 'Aidin Wal Faizin Mohon Maaf Lahir Batin” saat Hari Raya Umat Islam, ucapan “Happy Christmas” pada Hari Raya Umat Kristiani, dan ucapan “Gong Xi Fat Cai” saat Hari Raya Umat Khong Hu Cu.

Inilah tradisi selebrasi keagamaan yang sangat menyentuh relung-relung hati kita sebagai kaum agamawan. Tradisi seperti inilah yang memang dirindukan di bumi Indonesia, bahkan di bumi manapun sebenarnya, di mana agama berikut perayaannya tidak menjadi media pembangun keretakan, permusuhan, dan bahkan pertikaian.

Tanpa terasa, tradisi ini sudah sejak satu dekade terakhir mewarnai dunia selebrasi keagamaan di negeri ini. Kita tentu sangat bahagia melihat situasi tersebut, karena setiap agama pada prinsipnya memang mengajarkan kedamaian dan kasih sayang.

Sebatas Dalam Perayaan

Namun, yang perlu disayangkan, tradisi perayaan yang menggambarkan keakuran dan kerukunan antar umat beragama ini belum berimbas pada realitas kehidupan sehari-hari. Praktik kekerasan dan intoleransi beragama masih begitu mudah kita jumpai, bahkan di hampir setiap sudut negeri ini.

Tengok saja, data yang diungkap Moderate Moslem Society (MMS) terdapat sekitar 81 kasus intoleransi beragama di Indonesia sepanjang 2010. Jumlah tersebut naik 30 persen dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 59 kasus. Dari data MMS, ada tiga daerah yang paling tinggi tingkat intoleransinya, yakni Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Jakarta.

Hal ini bertolak belakang dengan sebuah jajak pendapat yang dilakukan MMS sebelumnya, yang mengatakan bahwa 96 persen responden menyatakan menerima pergaulan dengan kelompok yang berbeda agama. Bahkan 79,6 persen di antaranya menyatakan bersedia jika di lingkungannya dijadikan tempat perayaan agama lain. Dari kasus yang terjadi selama 2010, Umat Kristiani mengalami perlakukan intoleransi sebanyak 33 kali, Ahmadiyah 25 kali, dan kelompok yang dianggap sesat 11 kali (Media Indonesia, 23/12/2010).

Bentuk tindakan intoleransi ini bervariasi. Misalnya, pembongkaran patung naga di Singkawang, ancaman perusakan panti asuhan Ahmadiyah di Tasikmalaya, dan pemukulan Jamaah HKBP di Bekasi. Meskipun, banyak warga Bekasi mengakui bahwa tindakan pemukulan tersebut, karena oknum Jemaah HKBP dianggap tidak mau tahu keinginan dan desakan warga.

Dalam beberapa bulan terakhir di Bandung Raya misalnya, masih tampak “keresahan” warga atas nama agama. Hal ini sebagaimana diakui Forum Ulama Umat Islam (FUUI) yang mengaku menemukan setidaknya 90 titik upaya pemindahan keyakinan yang dilakukan dengan berbagai tindakan.

Terlepas pengakuan tersebut benar atau tidak, semestinya setiap pemeluk agama, baik kaum minoritas ataupun mayoritas sudah merasa “puas” dengan kondisi internal agamanya. Sehingga mereka tidak akan lagi berpikir bagaimana melebarkan sayap atau terus memperbanyak pemeluk agama yang dianut.

Jaga Pluralisme

Jika masing-masing pemeluk agama masih “sibuk” menambah penganut agamanya dan menularkan keyakinan pada orang yang sudah beragama, maka nilai-nilai pluralisme masih diabaikan. Pengabaian ini bila terus berlanjut justru akan menjadi bumerang bagi kaum beragama, minimalnya masih akan terjadi “kecemburuan” antara pemeluk agama satu dengan yang lainnya.

Padahal, konsep tersebut jauh dari ajaran pluralisme yang sebenarnya. Ajaran pluralisme sebagaimana dikemukakan Nurcholish Madjid merupakan suatu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. Pluralisme sendiri merupakan bias pluralitas (kemajemukan) yang memang merupakan suatu keniscayaan yang terjadi dalam hidup ini (Islam Doktrin dan Peradaban, 2000).

Dengan konsep ini, mestinya kerukunan umat beragama tidak hanya terjadi dalam selebrasi hari-hari besar agama saja. Kerukunan dan kedamaian tersebut harus masuk melampaui seremonial keagamaan yang ada, ia harus mampu menuntun dan mengarahkan realitas perbedaan itu menjadi satu kesatuan yang utuh dan tak menciderainya dengan konflik.

Jika pluralitas yang niscaya ini tidak dihargai, kita lantas akan teringat pada “wejangan” Ahmad Wahib dalam catatan hariannya, Pergolakan Pemikiran Islam. Ia mengatakan, “Theis dan Atheis bisa berkumpul, Muslim dan Kristiani bisa bercanda, Artis dan Atlet bisa bergurau, Kafirin dan Muttaqin bisa bermesraan. Tapi, Pluralis dan Anti-Pluralis tak bisa bertemu”. Oleh karenanya, masyarakat Indonesia harus tetap menjunjung tinggi hak masing-masing umat agama. Upaya menghargai hak-hak itulah cerminan bahwa pluralitas di negeri ini tidak sekadar ada, tetapi juga dihargai.

* Penulis adalah Pemerhati Sosial Budaya, tinggal di Jakarta.

Ketika Politik Masuk Sekolah

Oleh Moh. Ilyas*

Setelah Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono digoncang isu kebohongan dan keluhan rendahnya gaji, kini ia kembali digoncang dengan adanya buku-buku tentang dirinya yang masuk ke sekolah. Hal ini setelah pekan lalu, 10 seri buku “Lebih Dekat Dengan SBY” masuk ke beberapa Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Tegal Jawa Tengah.

Kontan saja peristiwa ini langsung menjadi kontroversi di masyarakat, terutama di kalangan pemerhati pendidikan. Sebagian mereka beranggapan bahwa cara semacam ini tidak dapat dibenarkan, karena buku yang kebanyakan berisi tentang profil Yudhoyono itu tidak sesuai dengan kebutuhan siswa, termasuk tidak ada kaitannya dengan mata pelajaran di sekolah. Sebagian lainnya, terutama dari Kementerian Pendidikan Nasional justru menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar dan tidak perlu diperdebatkan, sebab buku-buku itu juga bermanfaat sebagai buku motivasi terhadap siswa.

Terlepas dari perdebatan itu, fenomena ini tergolong aneh dan menimbulkan kecurigaan di masyarakat. Pasalnya, biaya penerbitan buku-buku tersebut menggunakan dana alokasi khusus (DAK). Oleh karena itu, kalangan yang tidak setuju meminta agar Kemendiknas segera menarik buku tersebut dari peredaran. Sementara Kemendiknas sendiri mengaku masih menunggu tim khusus untuk menelaah isi buku itu dan mereka juga mengaku tidak mengetahui peredaran buku itu.

Namun, alih-alih membentuk tim khusus menelusuri isi buku, sikap Kemendiknas bukannya berpikir untuk meneliti atau menarik, mereka malah membiarkan penyebaran buku itu terus berlanjut, bahkan penyebarannya ditemukan di tingkat Sekolah Dasar, yakni di salah satu SD di Kabupaten Garut Jawa Barat.

Padahal, An, Kepala Sekolah tersebut sebagaimana diberitakan Kompas.com, Selasa (1/2/2011) menyesalkan penyebaran buku itu di sekolahnya. Ia mengatakan, “Saya sudah baca semua, ternyata isinya lebih pada profil atau potongan-potongan kisah saja.” Dia mengaku di sekolah yang dipimpinnya masih banyak buku yang seharusnya pengadaannya diprioritaskan sebagai bahan bacaan siswa, apalagi kata dia, buku tersebut menggunakan dana DAK buku.

Kesan Kuat “Politis”

Meskipun Yudhoyono mengaku tidak mengetahui tentang adanya penyebaran buku tersebut, namun masyarakat kita sudah bisa membaca sisi lain di balik pengakuan itu. Masyarakat justru menilai bahwa penyebaran buku itu memiliki unsur politis. Bahkan, secara agak ekstrim Pengamat Komunikasi Politik Universitas Indonesia, Effendi Ghazali, menyebut penyebaran buku itu sebagai pencitraan Yudhoyono, untuk menggantikan album-album ciptaannya yang tidak laku di pasaran (Rakyatmerdeka.co.id, 30/1/2011).

Salah seorang siswa kelas IX SMP Negeri I Slawi pun mengatakan bahwa buku-buku itu hanya menunjukkan keunggulan Yudhoyono, misalnya dalam memberantas kemiskinan. Materi bukunya, kata dia, juga mengandung unsur politik sehingga kurang menunjang pelajaran.

Isi yang hanya menampilkan “ketokohan” dan perjalanan Yudhoyono ini seperti menggiring pikiran anak seusia SMP tentang kepemimpinannya yang dianggapnya sukses. Anak-anak, yang mestinya diberi bekal pengetahuan justru diarahkan ke “jalan-jalan” politik. Politik yang masuk ke sekolah perlahan-lahan akan meniadakan nilai-nilai moral siswa dan menggantinya menjadi nilai-nilai politis yang sarat dengan kepentingan sesaat.

Padahal secara definisi dan tujuan antara pendidikan dan politik tidak memiliki kesamaan. Pendidikan berorientasi pada adanya sebuah proses memanusiakan manusia, sementara politik seperti dikemukakan Harold Laswell (1981) merujuk pada definisi, “Who Get What, When, and How” (siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana). Dengan perbedaan ini saja, jelaslah bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan formal tidak boleh dimasuki kepentingan politik apapun.

Sekolah dan pendidikan itu ada karena bertujuan untuk mencerdaskan bangsa, bukan untuk memuluskan kepentingan maupun kekuasaan. Jika demikian, fenomena ini menunjukkan bahwa pendidikan sudah disubordinasikan pada kekuasaan politik yang selalu berakibat pada konsekuensi kebijakan yang mudah berubah-ubah karena tergantung pada siapa yang memegang kekuasaan. Padahal kepentingan di balik itu, seperti sinyalamen Foucault adalah untuk melestarikan kekuasaan.

Inilah yang membuat pendidikan kita selalu terseok-seok dan tidak mampu mengikuti perubahan yang begitu cepat. Pendidikan kita lebih tergantung pada mesin kekuasaan. Mesin kekuasaan ini selalu mencari kemapanan, ketimbang menginginkan perubahan (Politik Pendidikan Penguasa, 2005).

Potensi Korupsi

Indonesian Corruption Watch (ICW) mencium bau potensi korupsi dalam penyebaran buku-buku tersebut. Hal itu mengingat penerbitannya menggunakan dana DAK buku yang mestinya digunakan untuk membuat buku-buku pelajaran guna meningkatkan mutu kualitas pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun. Kecurigaan ICW ini juga diikuti Fraksi PDI Perjuangan di DPR. Oleh karenanya, Fraksi ini meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit penerbitan buku itu secara tuntas.

Lebih jauh Fraksi PDIP menilai Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta lembaga pendidikan yang terkait tidak menjalankan Permendiknas nomor 19 tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Pendidikan Tahun anggaran 2010 untuk SMP.

Jika kecurigaan ini benar, maka pendidikan sudah dibawa ke jurang kenistaan. Pendidikan yang sejatinya dijadikan media membangun bangsa, justru dijadikan alat memperkaya diri. Praktik korupsi melalui pengadaan buku secara tidak wajar ini dapat dikatakan sebagai bentuk korupsi yang membusukkan legitimasi pemerintahan. Bentuk ini oleh Ben W Heineman, Jr, dimasukkan ke dalam empat persoalan serius yang berhubungan dengan korupsi, terutama dengan kenyataan pahit meluasnya jaringan koruptor. Korupsi jenis ini dapat menjadi alat jagal demokrasi dan keadilan dalam ruang masyarakat politik yang beradab.

* Penulis adalah Wakil Direktur Yayasan Lingkar Meridian Jakarta.

DPR, Wakil Rakyat atau Wakil Partai?

Oleh Moh. Ilyas*

Upaya pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Mafia Pajak di DPR sebagai buntut dari aksi kejahatan Gayus Halomoan Tambunan sepertinya tak lagi mendapatkan support penuh dari rakyat. Rakyat sudah terlihat "cuek" dengan langkah tersebut, karena DPR sudah memiliki track record buruk, terutama dalam menyelesaikan kasus besar seperti Skandal Bank Century.

Mungkin inilah kesadaran baru rakyat yang selama ini terpendam. Mereka sudah trauma dengan mega-skandal Bank Century yang diobok-obok Pansus Century, namun ujung-ujungnya tidak jelas juga. Kasus yang merugikan negara hingga 6,7 triliun itu hilang diterpa angin politik dan perselingkuhan kekuasaan. Padahal, Pansus Century menghabiskan anggaran hingga miliaran rupiah dalam upaya pembongkarannya. Fenomena ini seolah mengingatkan kita bahwa setiap masalah yang dibawa ke wilayah politik akan menjadi politis.

Tidak heran bila Tajuk Rencana Harian Suara Pembaruan pada Jumat (28/1/2011) mengeluarkan judul “DPR Bikin Sinetron Lagi”. Judul ini bukanlah sesuatu yang hiperbolik. Judul ini, menurut penulis, berusaha menegaskan dengan sebenarnya bahwa rakyat sudah terlalu jenuh dipertontonkan jalan panjang pengungkapan Skandal Century. Mereka juga berharap kasus tersebut akan tuntas hingga pelaku-pelakunya ditangkap, tetapi harapan tersebut kandas dan rakyat pun akhirnya hanya bisa mengelus dada.

Penggunaan bahasa “Sinetron” di Senayan memang langsung mencuat, terutama sejak upaya pembongkaran kasus tersebut, sehingga bermunculan juga sebutan-sebutan seperti Anggota DPR mendadak jadi artis, karena selalu menjadi host layar kaca televisi.

Apa yang diangkat Tajuk Suara Pembaruan tersebut juga terkesan menampilkan frustasi dan pesimisme terhadap agenda-agenda DPR semisal pembentukan Pansus. Tajuk tersebut juga memperkukuh kondisi rakyat saat ini yang sudah tidak butuh tontonan-tontonan kosong, rakyat butuh bukti nyata, bukan kata-kata, apalagi hanya buaian janji belaka. Centurygate sudah menjadi bukti yang mengecewakan bagi rakyat.

Bahkan secara lebih pedas pada paragraf terakhir Tajuk tersebut, dinyatakan, "Rasanya percuma kita berkomentar banyak karena ungkapan ‘Anjing menggonggong kafilah berlalu’ sudah menjadi falsafah hidup para wakil rakyat kita. Karena itu, kita hanya bisa mengingatkan; belajarlah dari Pansus Century. Jangan terus menerus membodohi rakyat dengan suguhan sinetron murahan dari Senayan."

Wakil Rakyat, Benarkah?

Bila kita menyaksikan lebih jauh ‘tayangan” dalam penyelesaian Skandal Century beberapa bulan lalu memperlihatkan suatu tarik ulur kepentingan dalam puncak penyelesaiannya. Ini terlihat misalnya tidak samanya anggota DPR satu suara menganggap bahwa bailout (penalangan) merupakan pelanggaran, padahal Badan Pemeriksa Keuangan ditambah data-data Pansus Century sudah memperlihatkan adanya pelanggaran dalam kasus tersebut. Tapi ternyata beberapa partai hanya “tutup mata” dengan fakta itu. Lihat saja misalnya, Partai Demokrat, PKB, dan PAN, yang tetap memilih opsi "tidak ada masalah" atas bailout tersebut.

Kondisi semacam ini tidak hanya di Pansus Century. Berbagai kasus yang melibatkan DPR, ujung-ujungnya tetap apa kata partai. Jika partai yang dihuninya bilang A, maka harus A, begitu seterusnya. Padahal, hemat penulis, belum tentu pilihan anggota DPR yang selalu "apa kata partai" itu sesuai dengan nurani mereka. Mereka, demi keamanan dan kenyamanannya di partai (bebas dari recall), rela mengorbankan nurani dan keberpihakannya kepada rakyat.

Tidak hanya itu, anggota DPR dari Fraksi Golkar misalnya, yang saat di Pansus Century paling “kritis dan ngotot” membongkar skandal itu, kini terus melemah. Kontan saja, isu yang terdengar di publik adalah isu barter dan politik transaksional, termasuk ujungnya ditendangnya Sri Mulyani dari kursi Kabinet ke Bank Dunia, dan tak lama setelah itu langsung dibentuk Sekretariat Gabungan yang dikomandani Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie.

Fenomena-fenomena tersebut kian mengukuhkan bahwa anggota DPR sejatinya bukanlah wakil rakyat, tetapi masih merupakan wakil partai. Dengan kata lain, jika terdapat suatu kebijakan yang merugikan partainya, maka tak peduli rakyat rugi atau tidak, mereka pasti lebih memilih partai. Lihatlah suara-suara bungkam anggota DPR yang terkesan "membela" Skandal Century. Lihat pula mundurnya sejumlah fraksi di DPR dari rencana pembentukan Pansus Angket Mafia Pajak karena induknya (Fraksi Demokrat) telah menyatakan mundur, meskipun Demokrat sebagai inisiator gagasan itu telah menjilat ludahnya sendiri.

Padahal dalam sistem demokrasi, rakyat mestinya tidak boleh ditinggalkan wakil-wakilnya di DPR, karena mereka dipilih oleh dan untuk rakyat. Tapi kenyataan berkata lain, rakyat hanya seperti sapi perahan yang dibutuhkan manakala musim Pemilihan Umum saja, setelah itu mereka ditinggalkan ramai-ramai.

Dalam kondisi wakil yang lupa rakyatnya ini, kita seperti diingatkan oleh Mantan Presiden AS, Harry S. Truman, tentang sikap Parpol yang semestinya dilakukan. Truman mengatakan, "To Me, party platform are contracts with the people" (Bagi saya, platform partai adalah kontrak dengan rakyat).

Sebagai seorang presiden, Truman tentu sadar dengan konsekuensi apa yang diungkapkannya. Ia menyadari, sebagai individu yang bernaung di bawah partai politik, tindakan dan kebijakannya tidak boleh membelakangi rakyat, sebab partai politik tanpa rakyat adalah sesuatu yang mustahil adanya, apalagi dalam sistem demokrasi.

Jaga Marwah

Citra partai politik di mata rakyat kian memudar, terutama pasca-meledaknya Bank Century yang tidak ada kejelasannya. Anggota DPR dan Parpol juga sudah kehilangan marwah atau harga diri, sehingga sebagian rakyat mengatakan, "Semua partai di negeri ini sama, yang ada di otak mereka (orang-orang parpol) hanyalah uang dan kekuasaan. Masalah rakyat sejahtera atau tidak soal belakangan."

Ketidakpercayaan ini bukanlah sesuatu yang sengaja diciptakan oleh rakyat, melainkan itu diciptakan sendiri oleh pelaku-pelaku partai politik. Dengan kata lain, rakyat tidak percaya bukan karena diintimidasi atau bukan karena faktor benci, tetapi karena realitas parpol sendiri yang sudah membangun ketidakpercayaan itu.

Bagaimana agar rakyat bisa kembali percaya? Di antara cara yang bisa ditempuh, partai mesti segera membenahi seluruh persoalan-persoalan yang mendera internalnya. Hilangnya komitmen partai untuk berpihak kepada rakyat segera dikembalikan, adanya jarak dalam persoalan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat harus segera disatukan, dan janji-janji yang sudah diobral, terutama saat kampanye untuk menyejahterakan rakyat dalam Pemilu segera direalisasikan. Bila ini diperbaiki, kepercayaan itu nantinya dimungkinkan bisa pulih kembali.