Oleh: Moh. Ilyas
Minggu malam kemarin (05/7) ketika saya nonton Democrazy, sebuah program yang biasa saya sebut “guyonan-ilmiah” ala Metro TV, saya menyaksikan dua orang Narasumber (La Nyalla Mattalitti dan satu narasumber lain) sama-sama menggugat peran dan kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dianggap tidak profesional dalam melaksanakan Pemilu. Pasalnya, menurut mereka terlalu banyak persoalan yang belum diselesaikan oleh KPU. “Bahkan masalah DPT (daftar pemilih tetap, pen) saja hingga H-3 ini masih banyak yang bermasalah”, ungkap La Nyalla. “Di Jawa Timur Kecurangan KPU terkait masalah DPT sejak Pilgub, Pileg hingga Pilpres kali ini terus meningkat. Bahkan sekitar 30 juta penggelembungan suara di Pilgub Jatim kemarin”, lanjut Ketua Pemuda Pancasila ini sembari menyodorkan bukti DPT salah satu kabupaten/ kota di Jawa Timur.
Wacana seputar ketidaksiapan dan ketidak profesionalan KPU tidak hanya dari La Nyalla saja, komentator satunya juga mengungkapkan hal yang sama dengan kasus-kasus serupa di daerah yang berbeda.
Setengah jam kemudian sekitar jam 22.30 Wib pada malam itu juga channel TV-One menyiarkan secara langsung jumpa pers dua pasangan Capres-Cawapres JK-Wiranto dan Mega-Prabowo di kantor pusat dakwah PP. Muhammadiyah, Menteng Jakarta yang dipimpin langsung oleh ketua Muhammadiyah, Din Syamsuddin setelah sebelumnya mengadakan pertemuan tertutup sekitar 30 menit di lantai dua kantor itu juga. Dalam jumpa pers itu Jusuf Kalla (JK) menyatakan bahwa KPU harus mengevaluasi kembali tentang persiapan Pemilu, terutama berkaitan dengan DPT. Sehingga JK mengharap KPU bisa memperbaiki DPT dan menghapus suara-suara ganda yang di salah satu TPS tertentu mencapai 15 nama yang sama. Sementara Megapun menanggapi kinerja KPU sudah tidak sesuai dengan sistem demokrasi yang pertama, yakni tahun 2004 yang dipandang betul-betul bersih, jujur dan adil.
Apakah Ini Demokrasi Petak Umpet ?
Berbagai tanggapan dari kedua tim sukses pasangan JK-Win dan Mega-Pro mensinyalir ada semacam “permainan belakang” dari KPU. Dugaan mereka semakin menguat ketika KPU menyebarkan contoh surat suara yang disosialisasikan di beberapa daerah yang telah ada contoh contreng di pasangan nomor urut 2. “Kenapa kok hanya nomor 2”? Tanya mereka mengingkari.
Persoalan-persoalan di atas membawa haru dan pilu tersendiri bagi anak-anak bangsa yang masih menginginkan kesucian dalam Pilpres kali ini. Praktek-praktek “ilegal” semacam ini yang dilakukan oleh calon tertentu sebagai ambisiusitas kekuasaan hanya mencoreng citra demokrasi kita. Bahkan, jika langkah “kotor” ini sukses mengantarkan kandidat tertentu, maka demokrasi kita bukan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tetapi lebih tepat jika dikatakan DARI BELAKANG, OLEH ORANG BELAKANG DAN UNTUK ORANG BELAKANG. Jika demikian, tidak lebih tepatkah jika demokrasi kita disebut demokrasi Petak Umpet. Di mana, ada salah satu aktor jadi pencari sementara aktor-aktor lainnya jadi yang dicari. Jika yang dicari ini pandai bersembunyi, ia tidak akan ditemukan, maka ia akan selamat, tetapi jika ia tidak pandai ia akan ditemukan, kemudian dia akan menjadi pencari sebagai konsekuensinya.
Jika inilah model demokrasi kita, maka kita (rakyat) tak lebih dari sekedar boneka yang jadi mainan “KPU” dan orang-orang yang menjalankan “kereta api permainan” mereka. Naudzubillah...
Saturday, November 14, 2009
Kenapa Menjadi Wartawan?
Oleh: Moh. Ilyas
“Menjadi wartawan adalah profesi yang penuh tantangan,” begitulah gambaran beberapa kawan yang pernah “makan garam” dunia kewartawanan. Perjuangannya dalam menguak kebenaran berdasarkan fakta adalah sesuatu yang patut diapresiasi. Bahkan, tidak sedikit wartawan yang rela bertarung melawan maut hanya demi mendapatkan “sepercik” fakta demi mengungkap kebenaran.
Menemukan nama-nama harum sosok mereka tidaklah sulit. Sebut saja Syafruddin, wartawan harian Bernas, Yogyakarta. Udin – sapaan akrabnya – harus kehilangan nyawa hanya demi sepercik fakta kebenaran yang harus dia ungkap kepada publik. Tidak hanya di Indonesia. Di negara yang sering terjadi konflik, profesi wartawan kian menjadi profesi yang mengkhawatirkan. Seperti di Irak, Afganistan, dan lain sebagainya. Irak, mungkin tepat dikatakan sebagai wilayah kematian terbesar bagi para wartawan pada tahun 2007. Menurut survey The International News Safety Institute. Lembaga yang bermarkas di Brussel, Belgia itu menyebutkan bahwa ada 77 orang wartawan yang meninggal dalam separuh tahun 2007. Mereka meninggal saat meliput berbagai berita di negara yang kini kacau balau oleh pendudukan pasukan asing dan konflik etnik itu. (www.eramuslim.com. 30/6/2007)
Selain itu, alasan menjadi wartawan selain merupakan ”rumah” menempa diri dan memupuk diri menjadi seorang penulis juga efektif untuk membangun kapasitas penguasaan terhadap informasi. Hal ini penting, mengingat informasi adalah modal besar untuk menguasai kehidupan. Ziauddin Sardar pernah mengatakan, ”the new source of power is not money in the hand of a few, but informasion in the hand of many.”
Tidak hanya itu, profesi wartawan adalah profesi yang sangat dekat dengan rakyat. Dalam artian, rakyat tidak perlu susah-susah menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah. Wartawan melalui medianya bisa memediasi secara langsung aspirasi rakyat kepada pemerintah. Dan ini sangat efektif. Karenanya, fungsi informasi yang mereka emban adalah demi kepentingan rakyat jua. Wajar bila sebuah adagium populer menggambarkan profesi wartawan ”sejengkal di atas gembel, sejengkal di bawah presiden.”
Alasan-alasan inilah yang menjadi landasan berfikir saya, kenapa saya memilih profesi menjadi wartawan.
“Menjadi wartawan adalah profesi yang penuh tantangan,” begitulah gambaran beberapa kawan yang pernah “makan garam” dunia kewartawanan. Perjuangannya dalam menguak kebenaran berdasarkan fakta adalah sesuatu yang patut diapresiasi. Bahkan, tidak sedikit wartawan yang rela bertarung melawan maut hanya demi mendapatkan “sepercik” fakta demi mengungkap kebenaran.
Menemukan nama-nama harum sosok mereka tidaklah sulit. Sebut saja Syafruddin, wartawan harian Bernas, Yogyakarta. Udin – sapaan akrabnya – harus kehilangan nyawa hanya demi sepercik fakta kebenaran yang harus dia ungkap kepada publik. Tidak hanya di Indonesia. Di negara yang sering terjadi konflik, profesi wartawan kian menjadi profesi yang mengkhawatirkan. Seperti di Irak, Afganistan, dan lain sebagainya. Irak, mungkin tepat dikatakan sebagai wilayah kematian terbesar bagi para wartawan pada tahun 2007. Menurut survey The International News Safety Institute. Lembaga yang bermarkas di Brussel, Belgia itu menyebutkan bahwa ada 77 orang wartawan yang meninggal dalam separuh tahun 2007. Mereka meninggal saat meliput berbagai berita di negara yang kini kacau balau oleh pendudukan pasukan asing dan konflik etnik itu. (www.eramuslim.com. 30/6/2007)
Selain itu, alasan menjadi wartawan selain merupakan ”rumah” menempa diri dan memupuk diri menjadi seorang penulis juga efektif untuk membangun kapasitas penguasaan terhadap informasi. Hal ini penting, mengingat informasi adalah modal besar untuk menguasai kehidupan. Ziauddin Sardar pernah mengatakan, ”the new source of power is not money in the hand of a few, but informasion in the hand of many.”
Tidak hanya itu, profesi wartawan adalah profesi yang sangat dekat dengan rakyat. Dalam artian, rakyat tidak perlu susah-susah menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah. Wartawan melalui medianya bisa memediasi secara langsung aspirasi rakyat kepada pemerintah. Dan ini sangat efektif. Karenanya, fungsi informasi yang mereka emban adalah demi kepentingan rakyat jua. Wajar bila sebuah adagium populer menggambarkan profesi wartawan ”sejengkal di atas gembel, sejengkal di bawah presiden.”
Alasan-alasan inilah yang menjadi landasan berfikir saya, kenapa saya memilih profesi menjadi wartawan.
HAJI UNTUK MARTABAT BANGSA
Oleh: Moh. Ilyas
Gaung haji kembali bergema. Jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia sedang melakukan kongres spiritual dan fisik menurut tata cara haji (manasik) sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad SAW.
Tak ketinggalan, di tengah kondisi bangsa yang begitu sembraut dengan menggelembungnya kasus-kasus korupsi, suap, pemerasan hingga rekayasa hukum, jemaah haji asal Indonesia masih juga tetap antusias melaksanakan ritual tahunan ini. Bahkan, dari tahun ke tahun selalu menunjukkan angka peningkatan cukup drastis. Lantas yang menjadi persoalan, kenapa semakin banyak orang melakukan haji, martabat bangsa seolah semakin terpuruk? Tidakkah bias haji dapat mengubah hidup seseorang lebih berkualitas?
Menjawab ini tidak lantas ibadah haji yang mesti disalahkan. Sebab yang dipertaruhkan adalah kualitas haji yang telah dilaksanakan. Apakah seseorang yang menjalaninya betul-betul memperoleh bias positif dari ibadah yang dilakukannya atau tidak? Hal ini tergantung pada kualitas niat dan kualitas pelaksanaan ibadah haji itu sendiri.
Kualitas Niat
Melakukan ibadah haji sejatinya merupakan perjalanan pulang menuju padepokan ruhani, yaitu rumah Allah (Arab: baitullah). Oleh karena ini perjalanan pulang, tentu harus membawa bekal. Orang yang bepergian jauh, seperti biasa oleh-olehnya selalu ditunggu oleh sanak-kerabatnya di rumah. Nah, jika orang melakukan ibadah haji, apa yang harus ia oleh-olehkan kepada Allah? Tiada lain, takwa dan keikhlasan hati.
Takwa dan ikhlas hati di sini memiliki pertautan yang cukup erat. Orang yang takwa (muttaqien) sudah barang tentu hatinya ikhlas untuk melaksanakan ibadah haji. Sehingga tujuan hajinya bukan semata travelling, bersenang-senang, apalagi hanya ingin dipuji tetangga dengan gelar H (haji) atau Hj (hajjah) saja. Perbedaan niat ini memengaruhi kualitas haji seseorang. Biasanya, jika niat seseorang murni ingin mendekatkan diri kepada Allah dan mencapai ridha-Nya, segenap tenaga dan pikirannya terkonsentrasi untuk mencapainya melalui peningkatan kualitas ibadahnya, baik secara vertikal maupun horizontal. Namun, bila niat seseorang melakukan haji di luar itu, seperti hanya senang-senang atau hanya untuk mendapatkan gelar haji, sesampainya di tempat pelaksanaan haji tidak fokus sepenuhnya untuk mencapi ridhanya.
Perbedaan kualitas niat dan proses ibadah inipun yang nantinya juga berimplikasi pada nilai haji seseorang. Apakah nilai hajinya mabrur (baik/ diterima), atau mardud (ditolak). Dua kualitas ini terkadang bisa diketahui melalui indikator-indikator tertentu. Misalnya, jika amal, ibadah dan perbuatan seseorang lebih baik dari sebelum haji, dapat dikatakan kualitas hajinya mabrur. Dan kualitas inilah seharusnya yang menjadi target setiap orang yang melaksanakan haji agar mereka bisa meraih apa yang dijanjikan Allah, yakni surga. Sebagaimana sabda Nabi, ”al-hajj al-mabrur laisa lahu jazaun illa al-jannatu.” (tidak ada balasan untuk haji mabrur melaikan surga).
Sebaliknya, jika setelah melaksanakan haji kehidupan seseorang tetap buruk, atau malah lebih buruk, maka dapat dinilai hajinya mardud. Namun, penilaian ini hanya dalam kacamata manusia. Sebenarnya hanya Allah yang sepenuhnya mengetahui rahasia di balik kualitas haji seseorang. Karenanya, dalam hal haji performance niat menjadi awal yang sangat dipertaruhkan.
Pesan Simbolik
Lebih jauh lagi jika kita hendak mengkaji seputar haji secara mendetil, akan kita dapatkan ritual-ritual haji yang kaya dengan pesan-pesan simbolik. Seperti ihram, thawaf, wukuf dan lainnya. Pakaian ihram misalnya, merupakan pakaian yang sama sekali berbeda dengan pakaian sehari-hari kita yang, kadang, serba wah, kain putih yang sangat sederhana dan tidak ada jahitan. Pakaian yang menjadi simbol latihan mental agar senantiasa ingat seragam perpisahan dengan dunia, ingat akan maut yang pasti datang. Sehingga dengan begitu, kita selalu ingin berbuat yang terbaik untuk menuju kehidupan ukhrawi, sebuah ruang hidup yang sebenarnya kelak.
Selain itu, pakaian ihram menyiratkan bahwa tidak ada status sosial yang diunggulkan, semuanya sama. Yang membedakan hanyalah kualitas ketakwaan dalam hati masing-masing. Semua hal keduniaan harus ditinggalkan sejenak. Yang ada hanya kata Aku dan Engkau.
Thawaf (berputar mengelilingi Ka'bah), Sa’i (berlari dari shofa dan marwah), Mabit (bermalam) di Mina dan Muzdalifah dan wukuf (berdiam diri) di padang Arafah. Jika kita renungkan rangkaian rukun dan sunnah haji tersebut memuat pesan instrospeksi serta pengakuan diri sebagai seorang hamba yang dha’if di hadapan Tuhannya. Rangkaian-rangkain tersebut secara historis mengingatkan kita pada perjuangan dan pengorbanan Nabi Ibrahim dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah swt.
Upaya taqarrub sebagaimana dicontohkan Nabi Ibrahim ini, hingga puncaknya adalah keberanian berkorban menyembelih putranya, nabi Ismail, juga berarti sebagai upaya menanggalkan egoisme kemanusiaannya demi Tuhannya serta wujud kerelaan dan keikhlasan melaksanakan apapun demi mencapai ridha-Nya. Nabi Ibrahim rela menanggalkan baju keduniaan dan harta benda. Dalam arti, ia mencoba menempatkan kepentingan untuk Tuhannya di atas segalanya. Inilah salah satu pesan simbolik ibadah haji yang sangat penting kita teladani.
Demi Martabat Bangsa
Pengalaman melakukan ibadah haji dan pesan-pesan yang dikandungnya menjadi sangat krusial dibawa ke arena bangsa ini. Terutama, di tengah martabat bangsa yang hampir terkubur oleh tindak kriminal yang tak kunjung usai, perilaku korupsi yang mewabah di setiap tempat, hingga klaim-klaim kebenaran (truth claim) yang akhir-akhir ini marak di lingkaran penegak hukum kita (baca: Polisi, kejaksaan dan KPK).
Sekurang-sekurangnya, jika kita, yang notabene belum pernah melakukan ibadah haji, masih bisa berharap pada mereka yang telah melakukan ibadah haji untuk datang sebagai ”juru penyelamat” bangsa ini. Barangkali ajaran-ajaran pengorbanan dan perjuangan Nabi Ibrahim yang banyak dijadikan rukun dan sunnah haji bisa diterapkan di negeri ini. Bagaimana beliau mengajarkan semangat memberi (to give), bukan semangat menerima (to take).
Dalam penerapannya, tiga hal setidaknya yang bisa dilakukan pemerintah, baik eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pertama, pemerintah mesti berfikir bagaimana memberikan yang terbaik untuk bangsa ini, bukan bagaimana menggerus keuntungan sebesar-besarnya dari bangsa ini. Kedua, kejujuran, amanah, dan empati sosial harus dipegang sebagai nilai yang membentuk mekanisme dan prosedur sosial dalam arti seluas-luasnya menuju keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan bersama (common wealth and wellfare). Ketiga, advokasi bagi para yang lemah dan toleransi bagi para penggerak (inisiator) sosial menuju harmonisasi kehidupan dan maslahat umum (public goods), di mana kepentingan publik (public interrest) dapat terpenuhi. Dengan tiga langkah inilah kemungkinan martabat bangsa bisa terselamatkan.
* Penulis, Direktur Centre of Social and Humanism Studies (CSHS), Jakarta.
Thursday, November 12, 2009
MASA DEPAN PEMUDA, MASA DEPAN BANGSA
Oleh: Moh. Ilyas
Kami Putra-Putri Indonesia,
Bertanah Air Satu
Tanah Air Indonesia
Berbangsa Satu
Bangsa Indonesia
Berbahasa Satu
Bahasa Indonesia
Membaca ulang Trilogi Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 ini selain dapat mengenang jasa dan perjuangan para pemuda tempo dulu juga dapat menghidupkan jiwa patriotik dan optimisme kaum muda hari ini guna melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa di masa depan. Dalam artian, cerahnya masa depan bangsa sangat dipengaruhi oleh cerahnya masa depan pemuda jua.
Secara historis, spirit pemuda eksponen 1928 patut diapresiasi. Para pemuda ketika itu rela bersatu dan bertekad demi kemerdekaan rakyat, bangsa dan negara. Mereka berjuang demi satu tekad, kemerdekaan. Heterogenitas bagi mereka ternisbikan oleh spirit bersatu. Para pemuda yang dilingkupi dengan situasi keterbatasan dan ketertindasan mampu merancang skenario masa depan bangsanya dengan amat cerdas. Jelasnya keberanian untuk mengikrarkan kesatuan ini dilatarbelakangi spirit hidup berbangsa untuk pencapaian kemerdekaan Indonesia secara definitif terletak pada kemampuan menanggalkan egoisme kelompok dan pribadi. Seluruh elemen mengagendakan visi politis strategis, mematahkan ke-terkotak-kan bangsa akibat politik etis kolonial. Bahu membahu membangun simbiosis mutualisme demi terciptanya kemerdekaan dan kesejahteraan hidup berbangsa.
Demikian besar jasa pemuda dalam turut andil membangun bangsa sampai-sampai Mohammad Hatta, tokoh pemuda yang sekaligus salah satu proklamator kemerdekaan RI mengatakan, ”Pemuda Indonesia, engkau pahlawan dalam hatiku!” Jika demikian, bukankah layak dikatakan bahwa masa depan pemuda, masa depan bangsa juga.
Potret Pemuda Hari Ini
Bagaimana dengan pemuda hari ini?
Berbicara tentang peran pemuda (baca juga: mahasiswa) hari ini mungkin memang cukup tabu di mata masyarakat kita. Bagaimana tidak, peran pemuda yang dulunya selalu diberi embel-embel social change, social control hingga moral force kini tinggal kenangannya saja. sebuah contoh, dulu, kalaupun suatu aksi demonstrasi tidak membawa agenda perubahan yang besar. paling tidak media masih meliput aksi tersebut dengan serius. Sehingga gaungnya bisa benar-benar terlihat oleh publik. Dalam kondisi seperti ini, paling tidak aksi yang dilakukan mahasiswa masih bisa memberikan manfaat, yaitu masyarakat menjadi tahu bahwa mereka masih punya tumpuan. Pasca 98 s/d tahun 2004-an, aksi mahasiswa masih bisa dijadikan sarana untuk menunjukkan perhatian kita para mahasiswa terhadap persoalan bangsa. Tapi coba lihat saat ini, banyak pihak yang sudah jemu dengan aksi-aksi tersebut. Rakyat sudah semakin skeptis dengan aksi-aksi yang dilakukan. Media sudah tak lagi menganggap aksi-aksi mahasiswa sebagai berita yang patut disebarluaskan secara masif. Alhasil, demonstrasi mahasiswa kini benar-benar terasa kosong dan tak bermakna. Apakah ini adalah alarm akan matinya suara mahasiswa?
Tentu kita tidak menginginkannya. Mengingat perjalanan bangsa ini untuk menuju bangsa yang bermartabat, adil dengan masyarakatnya yang sejahtera tampaknya masih sangat jauh, maka di sinilah suara pemuda, khususnya mahasiswa yang masih mengemban idealisme selalu dinanti. Karena idealisme inilah yang bisa menyelamatkan gerakan pemuda dari alarm kematiannya.
Fakta Baru
Uraian yang cukup panjang tentang napak tilas peran pemuda tempo dulu dan hari ini di atas ternyata masih menyisakan tanda tanya besar di masa yang akan datang. Hal ini setelah penulis menemukan data-data yang cukup mencengangkan dari hasil jejak pendapat Kompas (26/10) yang mengulas tentang eksistensi pemuda hari ini.
Dari hasil jejak pendapat tersebut ditemukan beberapa data sebagai berikut: Pertama, pragmatis. Sisi pragmatisme pemuda hari ini menempati porsi yang jauh lebih tinggi dari sisi idealisme yang hanya sekitar 25 persen dari seluruh responden. Hal ini dapat diketahui dari harapan atau cita-cita yang ingin dicapai pada masa depan dan pandangan generasi ini terhadap persoalan yang dianggap penting bagi mereka saat ini. Misalnya, persoalan keuangan dan karir adalah persoalan paling utama. Di mana menurut mereka, sebagian pemuda generasi mereka hari ini bercita-cita ingin menjadi kaya dan terkenal. Kedua, mengalami pergeseran orientasi. Sifat pragmatis yang lebih mementingkan kepentingan pribadi tersebut tentu saja menjadi alasan pergeseran orientasi di kalangan pemuda hari ini. Orientasi ranah sosial yang sebelumnya masih cukup tinggi kini menurun drastis. Misalnya, ketertarikan pemuda hari ini untuk bergabung dalam partai politik hanya 16,4 persen, Dewan Perwakilan Rakyat 18,7 persen, organisasi kemasyarakatan 43,1 persen, organisasi kepemudaan 38,2 persen dan Lembaga swadaya masyarakat (LSM) 30,6 persen.
Data-data tersebut dikhawatirkan akan semakin mengecil yang pada akhirnya akan tiba saatnya di mana pemuda sudah tidak ada lagi yang tertarik terlibat dalam organisasi-organisasi tersebut.
Ketiga, lebih terbuka. Di masyarakat perkotaan telah muncul satu generasi muda baru yang sangat melek dengan perkembangan teknologi di bidang informasi dan telekomunikasi. Internet misalnya. Media yang memfasilitasi alat-alat komunikasi terbaru ini, seperti Facebook, Twitter, Friendster dan MySpace telah menyihir masyarakat kita, di mana 79 persennya adalah pemuda untuk hanyut dalam kecanggihan alat komunikasi tersebut. Dan inilah media interaksi sosial baru yang akan membentuk karakter dan alam pikiran pemuda hari ini, yang tentu saja sudah jauh lebih terbuka dibanding sebelum-sebelumnya.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan tiga poin penting yang menggambarkan tentang bagaimana kehidupan pemuda hari ini bukan berarti kita pupus harapan terhadap pemuda di masa depan. Artinya, jika pemuda hari ini bisa merespons berbagai tantangan ke depan itu dengan tepat dan menggunakan berbagai referensi yang ada secara bijak, bangsa ini ke depan masih bisa berharap pada mereka.
* Penulis adalah Pengurus Bakornas LAPMI PB HMI
Aktif di Pena Institute Jakarta
Kami Putra-Putri Indonesia,
Bertanah Air Satu
Tanah Air Indonesia
Berbangsa Satu
Bangsa Indonesia
Berbahasa Satu
Bahasa Indonesia
Membaca ulang Trilogi Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 ini selain dapat mengenang jasa dan perjuangan para pemuda tempo dulu juga dapat menghidupkan jiwa patriotik dan optimisme kaum muda hari ini guna melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa di masa depan. Dalam artian, cerahnya masa depan bangsa sangat dipengaruhi oleh cerahnya masa depan pemuda jua.
Secara historis, spirit pemuda eksponen 1928 patut diapresiasi. Para pemuda ketika itu rela bersatu dan bertekad demi kemerdekaan rakyat, bangsa dan negara. Mereka berjuang demi satu tekad, kemerdekaan. Heterogenitas bagi mereka ternisbikan oleh spirit bersatu. Para pemuda yang dilingkupi dengan situasi keterbatasan dan ketertindasan mampu merancang skenario masa depan bangsanya dengan amat cerdas. Jelasnya keberanian untuk mengikrarkan kesatuan ini dilatarbelakangi spirit hidup berbangsa untuk pencapaian kemerdekaan Indonesia secara definitif terletak pada kemampuan menanggalkan egoisme kelompok dan pribadi. Seluruh elemen mengagendakan visi politis strategis, mematahkan ke-terkotak-kan bangsa akibat politik etis kolonial. Bahu membahu membangun simbiosis mutualisme demi terciptanya kemerdekaan dan kesejahteraan hidup berbangsa.
Demikian besar jasa pemuda dalam turut andil membangun bangsa sampai-sampai Mohammad Hatta, tokoh pemuda yang sekaligus salah satu proklamator kemerdekaan RI mengatakan, ”Pemuda Indonesia, engkau pahlawan dalam hatiku!” Jika demikian, bukankah layak dikatakan bahwa masa depan pemuda, masa depan bangsa juga.
Potret Pemuda Hari Ini
Bagaimana dengan pemuda hari ini?
Berbicara tentang peran pemuda (baca juga: mahasiswa) hari ini mungkin memang cukup tabu di mata masyarakat kita. Bagaimana tidak, peran pemuda yang dulunya selalu diberi embel-embel social change, social control hingga moral force kini tinggal kenangannya saja. sebuah contoh, dulu, kalaupun suatu aksi demonstrasi tidak membawa agenda perubahan yang besar. paling tidak media masih meliput aksi tersebut dengan serius. Sehingga gaungnya bisa benar-benar terlihat oleh publik. Dalam kondisi seperti ini, paling tidak aksi yang dilakukan mahasiswa masih bisa memberikan manfaat, yaitu masyarakat menjadi tahu bahwa mereka masih punya tumpuan. Pasca 98 s/d tahun 2004-an, aksi mahasiswa masih bisa dijadikan sarana untuk menunjukkan perhatian kita para mahasiswa terhadap persoalan bangsa. Tapi coba lihat saat ini, banyak pihak yang sudah jemu dengan aksi-aksi tersebut. Rakyat sudah semakin skeptis dengan aksi-aksi yang dilakukan. Media sudah tak lagi menganggap aksi-aksi mahasiswa sebagai berita yang patut disebarluaskan secara masif. Alhasil, demonstrasi mahasiswa kini benar-benar terasa kosong dan tak bermakna. Apakah ini adalah alarm akan matinya suara mahasiswa?
Tentu kita tidak menginginkannya. Mengingat perjalanan bangsa ini untuk menuju bangsa yang bermartabat, adil dengan masyarakatnya yang sejahtera tampaknya masih sangat jauh, maka di sinilah suara pemuda, khususnya mahasiswa yang masih mengemban idealisme selalu dinanti. Karena idealisme inilah yang bisa menyelamatkan gerakan pemuda dari alarm kematiannya.
Fakta Baru
Uraian yang cukup panjang tentang napak tilas peran pemuda tempo dulu dan hari ini di atas ternyata masih menyisakan tanda tanya besar di masa yang akan datang. Hal ini setelah penulis menemukan data-data yang cukup mencengangkan dari hasil jejak pendapat Kompas (26/10) yang mengulas tentang eksistensi pemuda hari ini.
Dari hasil jejak pendapat tersebut ditemukan beberapa data sebagai berikut: Pertama, pragmatis. Sisi pragmatisme pemuda hari ini menempati porsi yang jauh lebih tinggi dari sisi idealisme yang hanya sekitar 25 persen dari seluruh responden. Hal ini dapat diketahui dari harapan atau cita-cita yang ingin dicapai pada masa depan dan pandangan generasi ini terhadap persoalan yang dianggap penting bagi mereka saat ini. Misalnya, persoalan keuangan dan karir adalah persoalan paling utama. Di mana menurut mereka, sebagian pemuda generasi mereka hari ini bercita-cita ingin menjadi kaya dan terkenal. Kedua, mengalami pergeseran orientasi. Sifat pragmatis yang lebih mementingkan kepentingan pribadi tersebut tentu saja menjadi alasan pergeseran orientasi di kalangan pemuda hari ini. Orientasi ranah sosial yang sebelumnya masih cukup tinggi kini menurun drastis. Misalnya, ketertarikan pemuda hari ini untuk bergabung dalam partai politik hanya 16,4 persen, Dewan Perwakilan Rakyat 18,7 persen, organisasi kemasyarakatan 43,1 persen, organisasi kepemudaan 38,2 persen dan Lembaga swadaya masyarakat (LSM) 30,6 persen.
Data-data tersebut dikhawatirkan akan semakin mengecil yang pada akhirnya akan tiba saatnya di mana pemuda sudah tidak ada lagi yang tertarik terlibat dalam organisasi-organisasi tersebut.
Ketiga, lebih terbuka. Di masyarakat perkotaan telah muncul satu generasi muda baru yang sangat melek dengan perkembangan teknologi di bidang informasi dan telekomunikasi. Internet misalnya. Media yang memfasilitasi alat-alat komunikasi terbaru ini, seperti Facebook, Twitter, Friendster dan MySpace telah menyihir masyarakat kita, di mana 79 persennya adalah pemuda untuk hanyut dalam kecanggihan alat komunikasi tersebut. Dan inilah media interaksi sosial baru yang akan membentuk karakter dan alam pikiran pemuda hari ini, yang tentu saja sudah jauh lebih terbuka dibanding sebelum-sebelumnya.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan tiga poin penting yang menggambarkan tentang bagaimana kehidupan pemuda hari ini bukan berarti kita pupus harapan terhadap pemuda di masa depan. Artinya, jika pemuda hari ini bisa merespons berbagai tantangan ke depan itu dengan tepat dan menggunakan berbagai referensi yang ada secara bijak, bangsa ini ke depan masih bisa berharap pada mereka.
* Penulis adalah Pengurus Bakornas LAPMI PB HMI
Aktif di Pena Institute Jakarta
”WISDOM” DARI LAPANGAN HIJAU
Oleh: Moh. Ilyas
Saat masyarakat kita disuguhkan dengan tontonan-tontonan yang menayangkan praktek-praktek penegakan hukum yang penuh rekayasa, upaya pelemahan terhadap institusi pemberantasan korupsi (KPK), hingga susahnya mengungkap kebenaran, di saat itu pula tontonan-tontonan olahraga sepak bola di layar kaca semakin banyak peminatnya. Bahkan, mungkin, lebih menarik dibanding tontonan seputar keadilan itu. Apalagi, di tengah masyarakat dunia yang saat ini sedang mempersiapkan ”jago negaranya” berlaga di pentas piala dunia 2010 mendatang. Lantas, kenapa tontonan lapangan hijau lebih menarik?
Tontonan penegakan hukum yang begitu kusut sudah tidak menarik lagi, sebab ia bukan barang baru. Sebelum ”tragedi perang” KPK – Polri dan kejaksaan agung ini kasus BLBI telah lebih dahulu menjadi potret susahnya menguak kebenaran di negeri ini. Bahkan, parahnya, hingga kini kasus yang merugikan negara itu tenggelam begitu saja dalam ”ombak” rekayasa. Tidak ada tindak lanjut.
Lapangan Hijau
Walaupun kasus rekayasa terhadap KPK yang bermula adanya tuduhan penyalahgunaan wewenang, penyuapan dan pemerasan terhadap 2 pimpinan KPK (non aktif), Bibit S.Rianto dan Chandra M.Hamzah oleh Polri bisa dikatakan lebih mujur dibanding kasus BLBI. Namun yang perlu dicatat adalah tidak adanya ketegasan dari – meminjam bahasa lapangan hijau – sang wasit. Dalam hal ini Presiden. Presiden sangat lamban menyikapi hal ini. Bahkan, meski akhirnya ia membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) dinilai banyak kalangan sudah terlambat.
Perspektif filosofi ”lapangan hijau” ini mungkin lebih tepat digunakan oleh seorang presiden dalam menyikapi kasus-kasus negara seperti KPK – Polri ini. Ajaran ketegasan, tidak ada tawar-menawar, hingga pemecatan setidaknya menjadi ciri tersendiri dalam dunia persepakbolaan. Siapapun yang melanggar dapat dikenakan kartu kuning, bahkan jika pelanggarannya tergolong berat, langsung dikenakan kartu merah yang berarti harus out dari lapangan hijau. Karena itulah seorang wasit selaku penentu kebijakan tertinggi harus betul-betul kredibel dan lepas dari kepentingan-kepentingan.
Sementara dalam kasus ”Cicak versus Buaya”yang melanda negeri ini, tidak ubahnya seperti pertandingan yang hanya bisa ditonton, tetapi tidak bisa diatur. Presiden Yudhoyono sama sekali tidak tegas memberikan ”kartu merah” pada orang-orang yang dianggap bertanggung jawab atas kejadian ini, yakni Kapolri dan Kejagung. Bahkan Anggodopun yang sudah jelas-jelas menjadi tokoh kunci kasus ini dan juga telah mengakui melakukan penyuapan dibiarkan saja melenggang bebas. Ini menunjukkan tingginya ketidak-adilan di negeri ini.
Seharusnya, jika memang melakukan tindak pidana, tidak boleh ada seorang pun yang lepas di mata hukum untuk diadili. Di sinilah prinsip dasar persamaan di hadapan hukum (equality before the law) akan terlihat. Karenanya, yang harus segera ditunjukkan kepada publik adalah proses hukum yang transparan, fair dan profesional. Polri tidak punya pilihan, selain menghadirkan bukti-bukti pendukung yang mereka miliki, agar publik pun dapat mengawasi jalannya proses hukum tersebut. Hanya pembuktian hukumlah yang harus menjadi dasar pijakan berhenti atau terus jalannya suatu kasus hukum. Dalam permainan sepak bola, seorang pemain yang ambisius untuk memasukkan gol tetap harus memerhatikan kode etik di lapangan hijau, sehingga golnya dianggap sah.
Keadilan Yang Ditunggu-Tunggu
Pernyataan Martin Luther King, Jr (1929–1968), seorang pemimpin perjuangan hak sipil Amerika Serikat, “di manapun ketidak-adilan adalah ancaman bagi keadilan di mana-mana,” saat ini sudah tertangkap kebenarannya. Praktek ketidak-adilan yang tercium dari kasus KPK–Polri telah menumbuhkan antusiasme yang cukup tinggi di kalangan masyarakat. Hal ini dapat dilihat jutaan facebooker pendukung Bibit-Chandra, seruan-seruan moral tokoh-tokoh bangsa hingga demonstrasi yang bertubi-tubi.
Motif utama yang sesungguhnya dapat dipelajari dari gelombang aksi dukungan terhadap Bibit-Chandra yang begitu memukau tersebut selain masyarakat merindukan adanya sebuah institusi seperti KPK yang tetap kuat berjuang melawan koruptor juga merindukan hadirnya keadilan.
Masyarakat luas mengalami krisis kepercayaan terhadap aparat penegak hukum dan anggota legislatif. Apalagi di tengah-tengah tingginya harapan keadilan itu justru legislatif, yakni komisi III DPR sangat pro terhadap kepolisian dan kejaksaan. Krisis kepercayaan ini bisa mengarah pada pemerintahan SBY-Boediono bila tak segera mengambil sikap jelas dan tegas pro kebenaran dan keadilan.
Bangsa ini harus bangkit meraih kebenaran dengan menegakkan keadilan. Bila tidak, kepercayaan rakyat pun akan kian memudar. Tidak akan ada lagi rakyat yang percaya penegakan hukum dan keadilan. Satu-satunya jalan adalah Pemerintah harus memulihkan kepercayaan rakyat dengan kembali pada komitmen menyelenggarakan clean and good governance.
Bila keadilan yang ditunggu-tunggu ini tidak jua datang, maka meminjam gagasan Francis Fukuyama (dalam State Building, 2006), bangsa kita akan terperosok ke dalam bukan saja situasi negara lemah, melainkan negara gagal atau bahkan negara di ambang kehancuran.
Sebaliknya, jika pemerintah tegas dan akurat dalam membumihanguskan ketidak-adilan, yakni dengan memberikan ”kartu merah” kepada oknum-oknum yang terlibat, maka di saat itu pulalah kata ”wisdom” sebagai lambang kebijaksanaan pemerintah akan menyelamatkan negeri ini dari kehancuran.
* Penulis, Pemerhati Masalah Keadilan
Aktif di Bakornas LAPMI PB HMI.
Saat masyarakat kita disuguhkan dengan tontonan-tontonan yang menayangkan praktek-praktek penegakan hukum yang penuh rekayasa, upaya pelemahan terhadap institusi pemberantasan korupsi (KPK), hingga susahnya mengungkap kebenaran, di saat itu pula tontonan-tontonan olahraga sepak bola di layar kaca semakin banyak peminatnya. Bahkan, mungkin, lebih menarik dibanding tontonan seputar keadilan itu. Apalagi, di tengah masyarakat dunia yang saat ini sedang mempersiapkan ”jago negaranya” berlaga di pentas piala dunia 2010 mendatang. Lantas, kenapa tontonan lapangan hijau lebih menarik?
Tontonan penegakan hukum yang begitu kusut sudah tidak menarik lagi, sebab ia bukan barang baru. Sebelum ”tragedi perang” KPK – Polri dan kejaksaan agung ini kasus BLBI telah lebih dahulu menjadi potret susahnya menguak kebenaran di negeri ini. Bahkan, parahnya, hingga kini kasus yang merugikan negara itu tenggelam begitu saja dalam ”ombak” rekayasa. Tidak ada tindak lanjut.
Lapangan Hijau
Walaupun kasus rekayasa terhadap KPK yang bermula adanya tuduhan penyalahgunaan wewenang, penyuapan dan pemerasan terhadap 2 pimpinan KPK (non aktif), Bibit S.Rianto dan Chandra M.Hamzah oleh Polri bisa dikatakan lebih mujur dibanding kasus BLBI. Namun yang perlu dicatat adalah tidak adanya ketegasan dari – meminjam bahasa lapangan hijau – sang wasit. Dalam hal ini Presiden. Presiden sangat lamban menyikapi hal ini. Bahkan, meski akhirnya ia membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) dinilai banyak kalangan sudah terlambat.
Perspektif filosofi ”lapangan hijau” ini mungkin lebih tepat digunakan oleh seorang presiden dalam menyikapi kasus-kasus negara seperti KPK – Polri ini. Ajaran ketegasan, tidak ada tawar-menawar, hingga pemecatan setidaknya menjadi ciri tersendiri dalam dunia persepakbolaan. Siapapun yang melanggar dapat dikenakan kartu kuning, bahkan jika pelanggarannya tergolong berat, langsung dikenakan kartu merah yang berarti harus out dari lapangan hijau. Karena itulah seorang wasit selaku penentu kebijakan tertinggi harus betul-betul kredibel dan lepas dari kepentingan-kepentingan.
Sementara dalam kasus ”Cicak versus Buaya”yang melanda negeri ini, tidak ubahnya seperti pertandingan yang hanya bisa ditonton, tetapi tidak bisa diatur. Presiden Yudhoyono sama sekali tidak tegas memberikan ”kartu merah” pada orang-orang yang dianggap bertanggung jawab atas kejadian ini, yakni Kapolri dan Kejagung. Bahkan Anggodopun yang sudah jelas-jelas menjadi tokoh kunci kasus ini dan juga telah mengakui melakukan penyuapan dibiarkan saja melenggang bebas. Ini menunjukkan tingginya ketidak-adilan di negeri ini.
Seharusnya, jika memang melakukan tindak pidana, tidak boleh ada seorang pun yang lepas di mata hukum untuk diadili. Di sinilah prinsip dasar persamaan di hadapan hukum (equality before the law) akan terlihat. Karenanya, yang harus segera ditunjukkan kepada publik adalah proses hukum yang transparan, fair dan profesional. Polri tidak punya pilihan, selain menghadirkan bukti-bukti pendukung yang mereka miliki, agar publik pun dapat mengawasi jalannya proses hukum tersebut. Hanya pembuktian hukumlah yang harus menjadi dasar pijakan berhenti atau terus jalannya suatu kasus hukum. Dalam permainan sepak bola, seorang pemain yang ambisius untuk memasukkan gol tetap harus memerhatikan kode etik di lapangan hijau, sehingga golnya dianggap sah.
Keadilan Yang Ditunggu-Tunggu
Pernyataan Martin Luther King, Jr (1929–1968), seorang pemimpin perjuangan hak sipil Amerika Serikat, “di manapun ketidak-adilan adalah ancaman bagi keadilan di mana-mana,” saat ini sudah tertangkap kebenarannya. Praktek ketidak-adilan yang tercium dari kasus KPK–Polri telah menumbuhkan antusiasme yang cukup tinggi di kalangan masyarakat. Hal ini dapat dilihat jutaan facebooker pendukung Bibit-Chandra, seruan-seruan moral tokoh-tokoh bangsa hingga demonstrasi yang bertubi-tubi.
Motif utama yang sesungguhnya dapat dipelajari dari gelombang aksi dukungan terhadap Bibit-Chandra yang begitu memukau tersebut selain masyarakat merindukan adanya sebuah institusi seperti KPK yang tetap kuat berjuang melawan koruptor juga merindukan hadirnya keadilan.
Masyarakat luas mengalami krisis kepercayaan terhadap aparat penegak hukum dan anggota legislatif. Apalagi di tengah-tengah tingginya harapan keadilan itu justru legislatif, yakni komisi III DPR sangat pro terhadap kepolisian dan kejaksaan. Krisis kepercayaan ini bisa mengarah pada pemerintahan SBY-Boediono bila tak segera mengambil sikap jelas dan tegas pro kebenaran dan keadilan.
Bangsa ini harus bangkit meraih kebenaran dengan menegakkan keadilan. Bila tidak, kepercayaan rakyat pun akan kian memudar. Tidak akan ada lagi rakyat yang percaya penegakan hukum dan keadilan. Satu-satunya jalan adalah Pemerintah harus memulihkan kepercayaan rakyat dengan kembali pada komitmen menyelenggarakan clean and good governance.
Bila keadilan yang ditunggu-tunggu ini tidak jua datang, maka meminjam gagasan Francis Fukuyama (dalam State Building, 2006), bangsa kita akan terperosok ke dalam bukan saja situasi negara lemah, melainkan negara gagal atau bahkan negara di ambang kehancuran.
Sebaliknya, jika pemerintah tegas dan akurat dalam membumihanguskan ketidak-adilan, yakni dengan memberikan ”kartu merah” kepada oknum-oknum yang terlibat, maka di saat itu pulalah kata ”wisdom” sebagai lambang kebijaksanaan pemerintah akan menyelamatkan negeri ini dari kehancuran.
* Penulis, Pemerhati Masalah Keadilan
Aktif di Bakornas LAPMI PB HMI.
PERAN PEMUDA DI BALIK “DRAMA” KPK – POLRI
Oleh: Moh. Ilyas
Hiruk pikuk “drama kolosal” KPK – Polri yang berujung pada penahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, kamis (29/10) dinilai banyak pihak sebagai suatu keanehan dan tidak masuk akal. Tak ayal kondisi itu membawa publik (baca: masyarakat) bergejolak keras menyuarakan keadilan dan kebenaran. Mereka yang datang dari berbagai elemen menentang keras penahanan kedua pimpinan KPK non aktif tersebut.
Salah satu dari elemen yang menyatakan menolak penahanan mereka adalah pemuda dan mahasiswa. Bagaimana tidak, setelah sehari sebelumnya (28/10) para pemuda Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda yang seharusnya dapat mengevaluasi secara totalitas peran pemuda saat ini, justru mereka dihadapkan pada suatu kondisi bangsa yang mencoba keluar dari circle of law (lingkaran hukum) dan justice (keadilan), yakni penahanan Bibit – Chandra yang dinilai cacat hukum dan dipandang sebagai langkah pelemahan sekaligus pengerdilan terhadap eksistensi KPK.
Namun, tidak adanya evaluasi bagi pemuda di hari sumpah pemuda tersebut sebenarnya tidak perlu dirisaukan. Sebab, perseteruan Cicak versus Buaya ini sebenarnya dapat dijadikan momentum tersendiri untuk mengevaluasi sejauh mana peran mahasiswa dan pemuda saat ini. Dalam artian, jika mereka mampu menciptakan perubahan, yakni mengembalikan identitas hukum dan keadilan secara benar, terutama dalam kasus KPK - Polri yang oleh banyak pihak dituding “penuh permainan” ini, maka setidaknya peran pemuda sebagai agent of change yang selama ini menjadi icon yang disandangnya dapat dimiliki kembali.
Tentunya dalam upaya menciptakan perubahan tersebut, ketajaman analisis pemuda merupakan sesuatu yang niscaya untuk dimiliki. Artinya, mereka harus mencoba memandang bahwa “pemain-pemain di belakang layar” kasus ini tidak menutup kemungkinan adalah kalangan elit penguasa yang bersembunyi di balik jubah kekuasaannya. KPK, Polri atau Kejagung bisa saja hanya sebagai obyek permainanya. Karenanya, jika konteksnya sudah sampai pada kata ‘kekuasaan’, ada baiknya kita (pemuda) kembali merenungkan gaya politik Machiavelli (1469-1527) yang merupakan "guru" bagi para maniak kekuasaan. Baginya, demi meraup kekuasaan, tidak ada yang mustahil dilakukan, semuanya halal dilakukan, kalau perlu membunuh ribuan atau jutaan orang. Nasihat klasiknya adalah kalau ingin menjadi penguasa, jangan sekali-kali mengikuti norma-norma sehat. Jangan sekali-kali takut berbohong, takut membunuh, atau takut memfitnah. Barangkali momentum inilah yang tepat bagi para pemuda untuk kembali menunjukkan perannya dalam turut membangun bangsa ini.
Hiruk pikuk “drama kolosal” KPK – Polri yang berujung pada penahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, kamis (29/10) dinilai banyak pihak sebagai suatu keanehan dan tidak masuk akal. Tak ayal kondisi itu membawa publik (baca: masyarakat) bergejolak keras menyuarakan keadilan dan kebenaran. Mereka yang datang dari berbagai elemen menentang keras penahanan kedua pimpinan KPK non aktif tersebut.
Salah satu dari elemen yang menyatakan menolak penahanan mereka adalah pemuda dan mahasiswa. Bagaimana tidak, setelah sehari sebelumnya (28/10) para pemuda Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda yang seharusnya dapat mengevaluasi secara totalitas peran pemuda saat ini, justru mereka dihadapkan pada suatu kondisi bangsa yang mencoba keluar dari circle of law (lingkaran hukum) dan justice (keadilan), yakni penahanan Bibit – Chandra yang dinilai cacat hukum dan dipandang sebagai langkah pelemahan sekaligus pengerdilan terhadap eksistensi KPK.
Namun, tidak adanya evaluasi bagi pemuda di hari sumpah pemuda tersebut sebenarnya tidak perlu dirisaukan. Sebab, perseteruan Cicak versus Buaya ini sebenarnya dapat dijadikan momentum tersendiri untuk mengevaluasi sejauh mana peran mahasiswa dan pemuda saat ini. Dalam artian, jika mereka mampu menciptakan perubahan, yakni mengembalikan identitas hukum dan keadilan secara benar, terutama dalam kasus KPK - Polri yang oleh banyak pihak dituding “penuh permainan” ini, maka setidaknya peran pemuda sebagai agent of change yang selama ini menjadi icon yang disandangnya dapat dimiliki kembali.
Tentunya dalam upaya menciptakan perubahan tersebut, ketajaman analisis pemuda merupakan sesuatu yang niscaya untuk dimiliki. Artinya, mereka harus mencoba memandang bahwa “pemain-pemain di belakang layar” kasus ini tidak menutup kemungkinan adalah kalangan elit penguasa yang bersembunyi di balik jubah kekuasaannya. KPK, Polri atau Kejagung bisa saja hanya sebagai obyek permainanya. Karenanya, jika konteksnya sudah sampai pada kata ‘kekuasaan’, ada baiknya kita (pemuda) kembali merenungkan gaya politik Machiavelli (1469-1527) yang merupakan "guru" bagi para maniak kekuasaan. Baginya, demi meraup kekuasaan, tidak ada yang mustahil dilakukan, semuanya halal dilakukan, kalau perlu membunuh ribuan atau jutaan orang. Nasihat klasiknya adalah kalau ingin menjadi penguasa, jangan sekali-kali mengikuti norma-norma sehat. Jangan sekali-kali takut berbohong, takut membunuh, atau takut memfitnah. Barangkali momentum inilah yang tepat bagi para pemuda untuk kembali menunjukkan perannya dalam turut membangun bangsa ini.
Friday, September 4, 2009
Noordin, Aktor Terorisme di Indonesia
Judul : Misteri Noordin M Top dan Jaringan Terorisme di Indonesia
Penulis : AS Nugroho
Tebal : vi + 156 halaman
Penerbit : Pustaka Timur, Yogyakarta, 2009
Peresensi : Moh. Ilyas
Isu dan wacana tentang terorisme kembali menyeruak di bumi pertiwi ini, terutama setelah ledakan dua hotel internasional di Kuningan Jakarta, yaitu JW. Marriot dan Ritz-Carlton 17 Juli lalu yang langsung divonis sebagai aksi terorisme di Indonesia.
Peristiwa yang menewaskan 9 orang ditambah 50 orang luka-luka itu sungguh menjadi pukulan di tengah banyak elite politik bermanuver menduduki jabatan kabinet pemerintah 2009–2014. Sebab ia terjadi pada saat Indonesia baru saja menggelar pesta demokrasi Pemilu Presiden 2009 pada tanggal 08 Juli 2009. Bahkan sempat muncul kabar angin yang berusaha mengkait-kaitkan aksi terorisme tersebut dengan kasus Pilpres. Meskipun kabar angin ini langsung mereda setelah beberapa pasangan Capres-Cawapres menanggapi tudingan yang dianggap tidak berdasar itu.
Namun, terlepas dari motif penyebabnya, aksi yang menodai citra bangsa ini merupakan aksi terorisme yang sudah mengakar kuat di Indonesia. Beberapa hari setelah tragedi pilu tersebut terungkap bahwa dalang sekaligus aktor pengeboman ini adalah Noordin Mohammad Top, seorang “pelaku lama” sekaligus buron nomor wahid di Asia Tenggara, terutama setelah tertangkapnya Dr.Azhari. Tentu saja juga ada dugaan keterlibatan Kelompok Jamaah Islamiyah (JI) seperti sebelum-sebelumnya. Noordin M.Top bisa dikatakan teroris paling licin karena selalu lolos dari penggerebekan polisi. Bahkan hingga hari ini ia masih dapat menghirup udara segar di luar penjara, dan masih mungkin merekrut relawan-relawan baru untuk melakukan aksi-aksi berikutnya.
Siapakah Nordin M Top (NMT) sebenarnya, dan bagaimana sepak terjangnya di dunia terorisme?
Buku “Misteri Noordin M Top dan Jaringan Terorisme di Indonesia” berupaya keras menguak sedalam mungkin tentang NMT. NMT dalam buku ini digambarkan dengan sosok setinggi 173 sentimeter, berbadan gempal, dan berkulit kuning cerah. Laki-laki yang beralamat di Jalan Temenggung 8 No. 29, Tun Aminah, Johor ini adalah kelahiran Johor, Malaysia, 11 Agustus 1969. Ia bercambang. Logat bicaranya kental Melayu. Tas kecil selalu menemaninya dalam beraktifitas. Menurut keterangan Ismail, terdakwa kasus peledakan bom di hotel JW. Marriot I, Jakarta, NMT memiliki peran yang lebih besar daripada Dr.Azhari. Jika Azhari menjadi penasehat dan perakit bom, peran NMT menjadi ketua pelaksana, merangkap bagian pendanaan, penyedia bahan peledak dan penyedia tenaga bom bunuh diri. Penampilannya dalam sebuah kaset video yang ditemukan pada November 2005, lengkap dengan balaclava (topi yang biasanya digunakan di daerah dinginyang menutupi wajahnya kecuali mata dan mulut) tampaknya merupakan usaha untuk meniru video yang dibuat oleh Zarqawi, tokoh relawan AS di Irak.
Sebenarnya jika dipandang dari segala sudut, NMT ini bukanlah seorang figur yang sangat mengesankan. Sebagai seorang Muslim salafi, pengetahuan keagamaannya sangat terbatas, dan ia tidak bisa berbahasa Arab. Ia juga bukan orator ulung. Tetapi ia mempunyai kepiawaian untuk dapat mengumpulkan pengikut-pengikut yang setia yang memiliki keterampilan yang tidak ia punyai.
NMT dan para anggota intinya adalah anggota JI. Ia menjadi Direktur Pondok pesantren Luqmanul Hakim di Malaysia hingga tahun 2001, yang merupakan markas Mantiqi I, yaitu divisi JI yang meliputi wilayah Malaysia dan Singapura. Tetapi sejak aksi bom Marriot pada 2003, tampaknya secara berangsur-angsur ia telah semakin merencakan jalannya sendiri. Pada saat bom kuningan, tampaknya ia telah beroperasi sendiri di luar komando pusat JI, meskipun menurut laporan ia masih menganggap dirinya sebagai anggota JI. (61).
Memang, anggota-anggota JI yang menjadi pelaku pengeboman paling dikenal dan menjadi tokoh-tokoh teroris terkemuka di Indonesia seperti Hambali, Mukhlas, Amrozi, Ali Imran, Zulkarnaen, Faturrahman Al-Ghozi, Dulmatin, Imam Samudra, Azhari dan NMT pernah mengajar atau belajar di Luqmanul Hakiem. Dan NMT sendiri mulai mendengarkan ceramah-ceramah di situ sekitar tahun 1995, pada waktu ia sedang bersekolah untuk mengambil gelar S1 di Universitas Teknologi Malaysia yang letaknya tak jauh dari Luqmanul Hakiem. Mengenai JI di Malaysia dan Pesantren Luqmanul Hakim sendiri pada akhir 2001 berhenti beroperasi setelah digerebek oleh pemerintah Malaysia. Akibatnya, pada awal 2002 NMT pindah ke Riau, dan pada pertengahan 2002 ia dan Mohammad Rais, iparnya yang seorang WNI yang lulusan Luqmanul Hakiem pindah ke Bukit Tinggi, Sumatera Barat. (65).
Selain buku ini mengungkap tentang siapa dan bagaimana latar belakang pendidikan NMT dan beberapa tokoh-tokoh pengebom lainnya, buku ini juga secara detail memotret tentang peran-peran NMT dan napak tilasnya di jalan panjang dunia terorisme di Indonesia seperti tragedi-tragedi pengeboman di Marriot, Bali, Kedubes Australia dan tempat-tempat lain termasuk gereja-gereja di Indonesia.
Namun, tidak berhenti di situ, buku karya AS Nugroho ini juga memotret tentang jaringan Al-Qaeda di Indonesia, dari kemunculannya hingga keterlibatannya dalam ikut menyandang dana bom di Indonesia (13–30), tentang radikalisme Jamaah Islamiyah dari awal mula berdirinya, hingga keterlibatannya dalam berbagai peristiwa bom di Indonesia, termasuk di Poso dan Maluku. (33–52), tentang NMT dan jaringan terorisme di Indonesia (57–91) dan juga tentang kematian Dr. Azhari dan gerakan terorisme pasca kematiannya (109–119). Bahkan turut disertakannya daftar sebagian kasus bom di Indonesia yang dituduhkan kepada Jamaah Islamiyah (JI), indeks nama-nama tersangka terorisme di Indonesia yang dilengkapi dengan pendidikan-pendidikannya menjadi kekuatan tersendiri dalam buku ini. Setidaknya pembaca diajak untuk mengetahui secara datatif tentang tragedi-tragedi bom di Indonesia berikut otak dan pelaku-pelakunya di balik tragedi itu.
Hanya barangkali tidak disertakannya data-data tentang motif mereka melakukan aksi terorisme bisa menjadi koreksi tersendiri terhadap kehadiran buku ini. Meski demikian kehadiran buku ini patut diapresiasi mengingat bahwa terorisme – termasuk aktornya – masih menjadi hantu dan misteri di negeri kita yang pada waktu-waktu tertentu bisa saja kembali terjadi. Oleh karenanya mengantisipasi terulangnya aksi terorisme menjadi tanggung jawab kita bersama.
Setidaknya, sebagaimana diulas dalam buku ini, ada 3 hal yang bisa kita lakukan. Pertama, terus mempersempit ruang gerak dan kesempatan teroris melakukan serangan kembali. Peran tokoh masyarakat, baik agamawan maupun lainnya multak diperlukan. Misalnya dengan memberi arahan-arahan ataupun penyadaran-penyadaran kepada masyarakat. Kedua, melakukan deteksi dini terhadap aktivitas gerakan terorisme. Peran Badan Intelijen Negara (BIN) dan kepolisian perlu dimaksimalkan. Ketiga, membangun kembali kekuatan masyarakat dengan bingkai kekeluargaan, solidaritas, dan gotong royong untuk saling memabntu menghadang para teroris. Dengan cara-cara ini diharapkan tidak terjadi lagi aksi-aksi terorisme yang notabene merupakan aksi yang tidak berperikemanusiaan itu.
* Penulis adalah Pemerhati Buku, tinggal di Jakarta.
Penulis : AS Nugroho
Tebal : vi + 156 halaman
Penerbit : Pustaka Timur, Yogyakarta, 2009
Peresensi : Moh. Ilyas
Isu dan wacana tentang terorisme kembali menyeruak di bumi pertiwi ini, terutama setelah ledakan dua hotel internasional di Kuningan Jakarta, yaitu JW. Marriot dan Ritz-Carlton 17 Juli lalu yang langsung divonis sebagai aksi terorisme di Indonesia.
Peristiwa yang menewaskan 9 orang ditambah 50 orang luka-luka itu sungguh menjadi pukulan di tengah banyak elite politik bermanuver menduduki jabatan kabinet pemerintah 2009–2014. Sebab ia terjadi pada saat Indonesia baru saja menggelar pesta demokrasi Pemilu Presiden 2009 pada tanggal 08 Juli 2009. Bahkan sempat muncul kabar angin yang berusaha mengkait-kaitkan aksi terorisme tersebut dengan kasus Pilpres. Meskipun kabar angin ini langsung mereda setelah beberapa pasangan Capres-Cawapres menanggapi tudingan yang dianggap tidak berdasar itu.
Namun, terlepas dari motif penyebabnya, aksi yang menodai citra bangsa ini merupakan aksi terorisme yang sudah mengakar kuat di Indonesia. Beberapa hari setelah tragedi pilu tersebut terungkap bahwa dalang sekaligus aktor pengeboman ini adalah Noordin Mohammad Top, seorang “pelaku lama” sekaligus buron nomor wahid di Asia Tenggara, terutama setelah tertangkapnya Dr.Azhari. Tentu saja juga ada dugaan keterlibatan Kelompok Jamaah Islamiyah (JI) seperti sebelum-sebelumnya. Noordin M.Top bisa dikatakan teroris paling licin karena selalu lolos dari penggerebekan polisi. Bahkan hingga hari ini ia masih dapat menghirup udara segar di luar penjara, dan masih mungkin merekrut relawan-relawan baru untuk melakukan aksi-aksi berikutnya.
Siapakah Nordin M Top (NMT) sebenarnya, dan bagaimana sepak terjangnya di dunia terorisme?
Buku “Misteri Noordin M Top dan Jaringan Terorisme di Indonesia” berupaya keras menguak sedalam mungkin tentang NMT. NMT dalam buku ini digambarkan dengan sosok setinggi 173 sentimeter, berbadan gempal, dan berkulit kuning cerah. Laki-laki yang beralamat di Jalan Temenggung 8 No. 29, Tun Aminah, Johor ini adalah kelahiran Johor, Malaysia, 11 Agustus 1969. Ia bercambang. Logat bicaranya kental Melayu. Tas kecil selalu menemaninya dalam beraktifitas. Menurut keterangan Ismail, terdakwa kasus peledakan bom di hotel JW. Marriot I, Jakarta, NMT memiliki peran yang lebih besar daripada Dr.Azhari. Jika Azhari menjadi penasehat dan perakit bom, peran NMT menjadi ketua pelaksana, merangkap bagian pendanaan, penyedia bahan peledak dan penyedia tenaga bom bunuh diri. Penampilannya dalam sebuah kaset video yang ditemukan pada November 2005, lengkap dengan balaclava (topi yang biasanya digunakan di daerah dinginyang menutupi wajahnya kecuali mata dan mulut) tampaknya merupakan usaha untuk meniru video yang dibuat oleh Zarqawi, tokoh relawan AS di Irak.
Sebenarnya jika dipandang dari segala sudut, NMT ini bukanlah seorang figur yang sangat mengesankan. Sebagai seorang Muslim salafi, pengetahuan keagamaannya sangat terbatas, dan ia tidak bisa berbahasa Arab. Ia juga bukan orator ulung. Tetapi ia mempunyai kepiawaian untuk dapat mengumpulkan pengikut-pengikut yang setia yang memiliki keterampilan yang tidak ia punyai.
NMT dan para anggota intinya adalah anggota JI. Ia menjadi Direktur Pondok pesantren Luqmanul Hakim di Malaysia hingga tahun 2001, yang merupakan markas Mantiqi I, yaitu divisi JI yang meliputi wilayah Malaysia dan Singapura. Tetapi sejak aksi bom Marriot pada 2003, tampaknya secara berangsur-angsur ia telah semakin merencakan jalannya sendiri. Pada saat bom kuningan, tampaknya ia telah beroperasi sendiri di luar komando pusat JI, meskipun menurut laporan ia masih menganggap dirinya sebagai anggota JI. (61).
Memang, anggota-anggota JI yang menjadi pelaku pengeboman paling dikenal dan menjadi tokoh-tokoh teroris terkemuka di Indonesia seperti Hambali, Mukhlas, Amrozi, Ali Imran, Zulkarnaen, Faturrahman Al-Ghozi, Dulmatin, Imam Samudra, Azhari dan NMT pernah mengajar atau belajar di Luqmanul Hakiem. Dan NMT sendiri mulai mendengarkan ceramah-ceramah di situ sekitar tahun 1995, pada waktu ia sedang bersekolah untuk mengambil gelar S1 di Universitas Teknologi Malaysia yang letaknya tak jauh dari Luqmanul Hakiem. Mengenai JI di Malaysia dan Pesantren Luqmanul Hakim sendiri pada akhir 2001 berhenti beroperasi setelah digerebek oleh pemerintah Malaysia. Akibatnya, pada awal 2002 NMT pindah ke Riau, dan pada pertengahan 2002 ia dan Mohammad Rais, iparnya yang seorang WNI yang lulusan Luqmanul Hakiem pindah ke Bukit Tinggi, Sumatera Barat. (65).
Selain buku ini mengungkap tentang siapa dan bagaimana latar belakang pendidikan NMT dan beberapa tokoh-tokoh pengebom lainnya, buku ini juga secara detail memotret tentang peran-peran NMT dan napak tilasnya di jalan panjang dunia terorisme di Indonesia seperti tragedi-tragedi pengeboman di Marriot, Bali, Kedubes Australia dan tempat-tempat lain termasuk gereja-gereja di Indonesia.
Namun, tidak berhenti di situ, buku karya AS Nugroho ini juga memotret tentang jaringan Al-Qaeda di Indonesia, dari kemunculannya hingga keterlibatannya dalam ikut menyandang dana bom di Indonesia (13–30), tentang radikalisme Jamaah Islamiyah dari awal mula berdirinya, hingga keterlibatannya dalam berbagai peristiwa bom di Indonesia, termasuk di Poso dan Maluku. (33–52), tentang NMT dan jaringan terorisme di Indonesia (57–91) dan juga tentang kematian Dr. Azhari dan gerakan terorisme pasca kematiannya (109–119). Bahkan turut disertakannya daftar sebagian kasus bom di Indonesia yang dituduhkan kepada Jamaah Islamiyah (JI), indeks nama-nama tersangka terorisme di Indonesia yang dilengkapi dengan pendidikan-pendidikannya menjadi kekuatan tersendiri dalam buku ini. Setidaknya pembaca diajak untuk mengetahui secara datatif tentang tragedi-tragedi bom di Indonesia berikut otak dan pelaku-pelakunya di balik tragedi itu.
Hanya barangkali tidak disertakannya data-data tentang motif mereka melakukan aksi terorisme bisa menjadi koreksi tersendiri terhadap kehadiran buku ini. Meski demikian kehadiran buku ini patut diapresiasi mengingat bahwa terorisme – termasuk aktornya – masih menjadi hantu dan misteri di negeri kita yang pada waktu-waktu tertentu bisa saja kembali terjadi. Oleh karenanya mengantisipasi terulangnya aksi terorisme menjadi tanggung jawab kita bersama.
Setidaknya, sebagaimana diulas dalam buku ini, ada 3 hal yang bisa kita lakukan. Pertama, terus mempersempit ruang gerak dan kesempatan teroris melakukan serangan kembali. Peran tokoh masyarakat, baik agamawan maupun lainnya multak diperlukan. Misalnya dengan memberi arahan-arahan ataupun penyadaran-penyadaran kepada masyarakat. Kedua, melakukan deteksi dini terhadap aktivitas gerakan terorisme. Peran Badan Intelijen Negara (BIN) dan kepolisian perlu dimaksimalkan. Ketiga, membangun kembali kekuatan masyarakat dengan bingkai kekeluargaan, solidaritas, dan gotong royong untuk saling memabntu menghadang para teroris. Dengan cara-cara ini diharapkan tidak terjadi lagi aksi-aksi terorisme yang notabene merupakan aksi yang tidak berperikemanusiaan itu.
* Penulis adalah Pemerhati Buku, tinggal di Jakarta.
Puasa Sosial, Media Penyucian Jiwa
Jika kita mencari makna sosial puasa kita tidak akan menemukannya di dalam proses ibadah puasa itu sendiri. Sebab, puasa itu sendiri adalah ibadah yang sangat vertikal, sangat individual, dan jauh dari kontrol sosial. Dalam sebuah Hadits Qudsi Allah menegaskan bahwa puasa itu hanya untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.
Hal demikian berarti bahwa ibadah puasa sangat berbeda dengan ibadah lainnya semacam Sholat, Zakat dan Haji yang memiliki kontrol sosial secara langsung. Namun, meski puasa merupakan ibadah yang individual, namun individualitasnya tidak serta merta melepaskan diri dari ikatan sosial. Justru, essensi dan tujuannya yang membawa shaim (orang yang berpuasa) pada harkat dan martabat sosialnya. Tujuan yang sekaligus bias proses puasa itu adalah mengentalnya sense of ego (perasaan pribadi) seseorang dan tergadaikan dengan sense of social (perasaan sosial). Artinya, semakin kita berpuasa, semakin tinggi kepekaan sosial kita dan semakin kita menyadari adanya kesamaan dengan orang-orang miskin dan orang-orang yang biasa hidup dalam suasana lapar.
Kepekaan sosial untuk menciptakan perubahan dan keadilan sosial serta memerdekaan kaum papa atau kaum dhuafa’ merupakan serentetan makna sosial ajaran Islam yang tertera dalam ibadah puasa. Seorang intelektual kita, Moeslim Abdurrahman dalam Suara Tuhan Suara Pemerdekaan (2009) mengatakan, makna Islam yang paling murni bukan terletak pada rumusan teologisnya, tetapi dalam pergulatan hidup sehari-hari umatnya untuk menegakkan keadilan.
Sudah mafhum bersama bahwa berpuasa di bulan suci Ramadhan merupakan ritual tahunan umat Islam yang diharapkan akan melahirkan suatu sikap peka terhadap identitas sosialnya. Kepekaan itu direfleksikan tidak hanya memanfaatkan bulan ini untuk meningkatkan kesalehan individualnya saja, tetapi juga kesalehan sosialnya. Sebab, bagi mereka yang melakukan ibadah puasa kesalehan individual saja tidak cukup untuk menupang kesempurnaan ibadah puasanya.
Sesungguhnya inilah yang menjadi kekhawatiran Moeslim Abdurrahman seperti dalam tulisannya, Bulan Suci Bermakna Sosial (Kompas, 22/8/2009):
“Saya takut jika ibadah puasa hanya berhenti pada pelaksanaan ritualnya tanpa mengalirkan kesadaran yang terus menerus sebagai mekanisme refleksi kemanusiaan, bisa jadi kita bisa merasakan bagaimana lapar pada siang hari, tetapi kita akan kehilangan pesan yang paling dasr dari ibadah itu sendiri bahwa “kelaparan adalah musuh agama dan sekaligus musuh kemanusiaan yang paling hakiki”.
Media Penyucian Jiwa
Puasa Ramadhan kali ini memang belum sepenuhnya membahagiakan mengingat masih kuatnya sandungan-sandungan sosial seperti kelaparan, kemiskinan dan penderitaan rakyat lainnya. Anehnya, semua ini tidak selalu terjadi secara alamiah, tetapi terkadang diproduksi oleh manusia sendiri. Seperti kasus penggusuran massal oleh Satuan Polisi Pamung Praja (Satpol PP) yang cenderung tidak melihat sisi kemanusiaan hanya demi ketertiban, dan bahkan tidak sedikit penggusuran yang langsung selesai setelah penggusuran tanpa ada solusi bagi mereka yang tergusur. Kasus-kasus sosial lainnya yang juga membuat kita pilu adalah terus maraknya perampokan, pencurian, penggelapan dana-dana sosial seperti bantuan Raskin, BLT, dan bantuan-bantuan lainnya yang cenderung masih “ditebang” di tengah jalan, bahkan hingga terorisme.
Kasus terorisme yang saat ini kembali menyeruak, terutama setelah pengeboman JW.Marriot dan Ritz-Carlton Juli lalu jelas-jelas merupakan sandungan sosial yang paling membuat ngeri masyarakat kita. Selain ia telah menciderai Humanism principle (prinsip kemanusiaan), ia juga telah membangun traumatika sosial yang mendalam di hati masyarakat – untuk tidak mengatakan – “hantu” bagi masyarakat kita. Masyarakat kita selalu khawatir akan terjadinya pengeboman atau aksi-aksi terorisme lainnya yang pastinya juga akan mengenai orang-orang yang sebenarnya bukan obyek terorisme itu sendiri. Bagaimanapun kasus-kasus semacam itu harus diakui sebagai “dosa sosial”.
Oleh karenanya, momentum puasa kali ini harus terejawantah dalam rumusan “puasa sosial”. Sebab, menurut penulis sebagian besar pelaku pencurian hingga terorisme di atas adalah termasuk orang-orang yang “rajin” melakukan ibadah puasa. Dalam
pengertian, mereka para pelaku-pelaku di atas yang saat ini sedang menjalankan ibadah puasa mestinya meniatkan puasanya untuk kesalehan sosial, tidak hanya individual semata.
Puasa sosial inilah menjadi media untuk menyucikan jiwa para pelakunya (shaim). Tentu, puasa jenis ini tidak hanya bersandar secara definitif pada etimologi imsak, yang berarti menahan. Tetapi lebih dari itu, imsak ini harus juga diterjemahkan dengan menyucikan – meminjam Ibnu ‘Araby –delapan entitas inderawi manusia, yaitu: mata, telinga, hidung, mulut, tangan, kaki, kemaluan, dan hati yang berpedoman pada hadits qudsi: “mendekatlah anda dengan memperbanyak amalan sunnah seprti amalan wajib yang Kuperintahkan kepadamu hingga Aku mencintaimu. Kalau Aku sudah mencintaimu, mata-Ku dapat kau pakai untuk melihat; telinga-Ku dapat kau pakai untuk menengarkan. Kalau kamu minta pertolongan, akan Kutolong segera, dan jika kamu meminta perlindungan, akan Kulindungi dikau” (Bukhori).
Arah penyucian jiwa ini akan berdampak pada terwujudnya tindakan sosial seperti kejujuran bermasyarakat, toleran, solider, tidak menimbulkan kerusakan dan seterusnya. Dari ini diharapkan nantinya tidak ada lagi aksi terorisme, aksi mencuri, mencopet, menipu dan menggelapkan dana sosial. Demikian, agar mereka yang melakukan ibadah puasa tidak jatuh pada sebuah slogan yang merupakan kekhawatiran bagi orang yang berpuasa, “setiap tahun puasa dilakukan, tapi setiap itu pula dosa-dosa sosial terus mengalir”, atau setidaknya tidak termasuk dalam kategori hadits nabi: “betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa selain hanya lapar dan dahaga”.
Hal demikian berarti bahwa ibadah puasa sangat berbeda dengan ibadah lainnya semacam Sholat, Zakat dan Haji yang memiliki kontrol sosial secara langsung. Namun, meski puasa merupakan ibadah yang individual, namun individualitasnya tidak serta merta melepaskan diri dari ikatan sosial. Justru, essensi dan tujuannya yang membawa shaim (orang yang berpuasa) pada harkat dan martabat sosialnya. Tujuan yang sekaligus bias proses puasa itu adalah mengentalnya sense of ego (perasaan pribadi) seseorang dan tergadaikan dengan sense of social (perasaan sosial). Artinya, semakin kita berpuasa, semakin tinggi kepekaan sosial kita dan semakin kita menyadari adanya kesamaan dengan orang-orang miskin dan orang-orang yang biasa hidup dalam suasana lapar.
Kepekaan sosial untuk menciptakan perubahan dan keadilan sosial serta memerdekaan kaum papa atau kaum dhuafa’ merupakan serentetan makna sosial ajaran Islam yang tertera dalam ibadah puasa. Seorang intelektual kita, Moeslim Abdurrahman dalam Suara Tuhan Suara Pemerdekaan (2009) mengatakan, makna Islam yang paling murni bukan terletak pada rumusan teologisnya, tetapi dalam pergulatan hidup sehari-hari umatnya untuk menegakkan keadilan.
Sudah mafhum bersama bahwa berpuasa di bulan suci Ramadhan merupakan ritual tahunan umat Islam yang diharapkan akan melahirkan suatu sikap peka terhadap identitas sosialnya. Kepekaan itu direfleksikan tidak hanya memanfaatkan bulan ini untuk meningkatkan kesalehan individualnya saja, tetapi juga kesalehan sosialnya. Sebab, bagi mereka yang melakukan ibadah puasa kesalehan individual saja tidak cukup untuk menupang kesempurnaan ibadah puasanya.
Sesungguhnya inilah yang menjadi kekhawatiran Moeslim Abdurrahman seperti dalam tulisannya, Bulan Suci Bermakna Sosial (Kompas, 22/8/2009):
“Saya takut jika ibadah puasa hanya berhenti pada pelaksanaan ritualnya tanpa mengalirkan kesadaran yang terus menerus sebagai mekanisme refleksi kemanusiaan, bisa jadi kita bisa merasakan bagaimana lapar pada siang hari, tetapi kita akan kehilangan pesan yang paling dasr dari ibadah itu sendiri bahwa “kelaparan adalah musuh agama dan sekaligus musuh kemanusiaan yang paling hakiki”.
Media Penyucian Jiwa
Puasa Ramadhan kali ini memang belum sepenuhnya membahagiakan mengingat masih kuatnya sandungan-sandungan sosial seperti kelaparan, kemiskinan dan penderitaan rakyat lainnya. Anehnya, semua ini tidak selalu terjadi secara alamiah, tetapi terkadang diproduksi oleh manusia sendiri. Seperti kasus penggusuran massal oleh Satuan Polisi Pamung Praja (Satpol PP) yang cenderung tidak melihat sisi kemanusiaan hanya demi ketertiban, dan bahkan tidak sedikit penggusuran yang langsung selesai setelah penggusuran tanpa ada solusi bagi mereka yang tergusur. Kasus-kasus sosial lainnya yang juga membuat kita pilu adalah terus maraknya perampokan, pencurian, penggelapan dana-dana sosial seperti bantuan Raskin, BLT, dan bantuan-bantuan lainnya yang cenderung masih “ditebang” di tengah jalan, bahkan hingga terorisme.
Kasus terorisme yang saat ini kembali menyeruak, terutama setelah pengeboman JW.Marriot dan Ritz-Carlton Juli lalu jelas-jelas merupakan sandungan sosial yang paling membuat ngeri masyarakat kita. Selain ia telah menciderai Humanism principle (prinsip kemanusiaan), ia juga telah membangun traumatika sosial yang mendalam di hati masyarakat – untuk tidak mengatakan – “hantu” bagi masyarakat kita. Masyarakat kita selalu khawatir akan terjadinya pengeboman atau aksi-aksi terorisme lainnya yang pastinya juga akan mengenai orang-orang yang sebenarnya bukan obyek terorisme itu sendiri. Bagaimanapun kasus-kasus semacam itu harus diakui sebagai “dosa sosial”.
Oleh karenanya, momentum puasa kali ini harus terejawantah dalam rumusan “puasa sosial”. Sebab, menurut penulis sebagian besar pelaku pencurian hingga terorisme di atas adalah termasuk orang-orang yang “rajin” melakukan ibadah puasa. Dalam
pengertian, mereka para pelaku-pelaku di atas yang saat ini sedang menjalankan ibadah puasa mestinya meniatkan puasanya untuk kesalehan sosial, tidak hanya individual semata.
Puasa sosial inilah menjadi media untuk menyucikan jiwa para pelakunya (shaim). Tentu, puasa jenis ini tidak hanya bersandar secara definitif pada etimologi imsak, yang berarti menahan. Tetapi lebih dari itu, imsak ini harus juga diterjemahkan dengan menyucikan – meminjam Ibnu ‘Araby –delapan entitas inderawi manusia, yaitu: mata, telinga, hidung, mulut, tangan, kaki, kemaluan, dan hati yang berpedoman pada hadits qudsi: “mendekatlah anda dengan memperbanyak amalan sunnah seprti amalan wajib yang Kuperintahkan kepadamu hingga Aku mencintaimu. Kalau Aku sudah mencintaimu, mata-Ku dapat kau pakai untuk melihat; telinga-Ku dapat kau pakai untuk menengarkan. Kalau kamu minta pertolongan, akan Kutolong segera, dan jika kamu meminta perlindungan, akan Kulindungi dikau” (Bukhori).
Arah penyucian jiwa ini akan berdampak pada terwujudnya tindakan sosial seperti kejujuran bermasyarakat, toleran, solider, tidak menimbulkan kerusakan dan seterusnya. Dari ini diharapkan nantinya tidak ada lagi aksi terorisme, aksi mencuri, mencopet, menipu dan menggelapkan dana sosial. Demikian, agar mereka yang melakukan ibadah puasa tidak jatuh pada sebuah slogan yang merupakan kekhawatiran bagi orang yang berpuasa, “setiap tahun puasa dilakukan, tapi setiap itu pula dosa-dosa sosial terus mengalir”, atau setidaknya tidak termasuk dalam kategori hadits nabi: “betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa selain hanya lapar dan dahaga”.
Dari Gempa Menuju Taubat Nasional
Saat saya dan para peserta tengah konsentrasi mendengarkan sambutan Menko Kesra, Aburizal Bakrie Rabu lalu (02/9/2009) dalam acara Sarasehan Nasional Inovasi Usaha dan Keuangan Mikro dan peluncuran buku Dr. B.S Kusmuljono (ketua Komnas PKMI) yang bertempat di auditorium Andhiyana, Wisma Antara lantai 2 Jakarta. Tiba-tiba saya dan semua peserta kaget karena semua yang ada dalam gedung bergoyang. “gempa, gempa” teriak beberapa orang yang sadar akan adanya gempa. Apalagi di tengah-tengah teriakannya, terdengar juga suara seperti suara gedung yang hendak retak. Spontan, Pak menteri langsung menghentikan sambutannya. Kemudian dia, saya dan semua peserta, serta karyawan-karyawan gedung terhanyut dalam kepanikan massal sembari berlari dalam desakan keluar gedung. Terdengar teriakan histeris, ingat hidup dan mati, ada yang keluar sambil komat-kamit baca istighfar, shalawat dan bacaan-bacaan lainnya, dan saya masih ingat teriakan salah seorang, “apa kita mau sombong, wong disentuh sedikit aja oleh Tuhan sudah ketakutan begini”.
Goncangan gempa yang tak lama diketahui berkekuatan 7,3 SR berasal dari Tasikmalaya dan goncangannya juga sampai ke Bali dan Sumatera ternyata tidak hanya terjadi di gedung itu saja. Hampir seluruh Jakarta, terlebih gedung-gedung pencakar langit di kawasan niaga Sudirman dan Mega Kuningan terkena goncangan itu. Hingga malam harinya sekitar jam 23.30 Wib Seperti diberitakan Kompas (03/9) diketahui jumlah korban tewas mencapai 39 orang di lima wilayah kota dan kabupaten di Jawa Barat. 57 warga dua desa di kabupaten Cianjur Selatan terkubur reruntuhan rumah akibat diterjang longsoran tebing akibat gempa. Tercatat pula, 1.200-an rumah rusak. Yang amat disayangkan sirene peringatan gempa dan tsunami yang dipasang di pinggir pantai Pangandaran maupun pesisir selatan Tasikmalaya, Sukabumi, bahkan di pantai teluk Penyu, Cilacap, Jawa Tengah ternyata tidak berbunyi. Penduduk melaporkan, peralatan itu sebagian dicuri orang. Penyebab kedua, goncangan gempa telah memutus aliran listrik sehingga alat tersebut tidak berfungsi.
Kejadian gempa yang saya alami di atas perlahan-lahan menyiratkan tanda tanya tersendiri dalam benak saya, kenapa gempa di negeri kita terus terjadi? Apa yang salah dari negeri ini? Apakah buminya yang sudah betul-betul labil, sehingga kerak bumi bergeser? Atau apakah karena tanahnya digerus atau hutannya yang rindang ditebang oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab? atau apakah karena penghuni negeri ini sudah jauh dari nilai-nilai ajaran agamanya?
Menjawab soal-soal ini di tengah hiruk-pikuk kompleksitas persoalan yang mendera negeri ini tidaklah mudah. Berbagai sisi harus diperhatikan secara seksama, apakah salah satu dari pertanyaan itu benar adanya, atau jangan-jangan semua pertanyaan itu memang benar? Melacak jawaban ini sekilas akan kita temukan titik-titik benar pertanyaan-pertanyaan di atas. Di mana bumi kita digerus, pepohonan yang diharapkan dapat menghindari longsor terutama ketika gempa ditebang, sampah-sampah pabrik dan perusahaan dibuang ke laut, dan seterusnya. Selain itu, menelisik moral bangsa kita dari berbagai sisi sudah sangat jauh dari nilai-nilai agama. Kasus-kasus zina, pemerkosaan, korupsi, perampokan, penipuan, terorisme dan kekerasan, pencegalan dan lain sebagainya sudah betul-betul membumi.
Kasus korupsi misalnya, hampir setiap hari kita menonton kasus-kasus korupsi yang terjadi tidak hanya di lingkaran elit kekuasan di tingkat pusat, tetapi hingga ke daerah bahkan ke tingkat desa. Kasus terorisme yang diwarnai dengan pengeboman dan kekerasan seperti di Jakarta baru-baru ini dan yang terbaru adalah pengeboman terbaru di Poso. Kasus perzinaan tidak hanya terjadi di klub-klub malam yang tertutup di kota-kota besar, tetapi di tempat-tempat terbukapun sudah bukan rahasia lagi. Pelakunya pun sudah meningkat hingga ke bocah-bocah usia dini di sekolah tingkat pertama (SMP), bahkan hingga tingkat dasar (SD). Belum lagi jika kita mencoba “jujur” dan terbuka dengan kasus-kasus lainnya yang sebenarnya sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran agama.
Reposisi Makna Taubat
Kata taubat berasal dari bahasa Arab dan mashdar dari kata taaba – yatuubu – taubatan yang bermakna ‘aada, yang berarti kembali. Artinya, kembali dari jalan yang tidak benar menuju jalan yang benar. Kembali dari tradisi melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dari nilai-nilai agama menuju pada tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama. Singkatnya, taubat berarti kembali ke hal-hal yang positif.
Dalam bahasa agama, taubat direfleksikan dengan pernyataan maaf (istighfar) seorang hamba (manusia) kepada Tuhannya dan sekaligus berjanji kepada-Nya untuk tidak mengulangi kembali perbuatan buruknya.
Dalam konteks gempa, jika perbuatan manusia yang menjadi penyebab gempa itu, maka ia harus siap berhenti dan tidak mengulanginya kembali. Dengan kata lain, setelah kita semua (secara nasional) bertaubat, tidak boleh ada lagi yang namanya penggerusan bumi secara sembarangan, penebangan hutan secara liar, aksi-aksi kekerasan dan terorisme, penipuan, korupsi, perzinaan, pemerkosaan, dan perbuatan-perbuatan kotor lainnya di negeri ini. Sehingga negeri ini bisa terbebas dari azab (siksa) Tuhan. Taubat nasional inilah yang barangkali bisa menjadi media penyelamatan bangsa ini dari keterpurukan yang berkepanjangan.
Kalaupun setelah kita taubat dan mereevaluasi diri masih ada kejadian-kejadian semacam gempa dan lainnya, kita juga bisa memaknainya sebagai ujian dan cobaan dari-Nya untuk mengetahui sejauh mana kualitas seorang hamba di hadapan-Nya, tentunya dilihat dari tingkat kesabaran hamba itu sendiri. Sebab, sebagaimana janji Tuhan (QS. 2: 155-156) bahwasanya Dia akan menguji hamba-Nya dengan rasa takut, rasa lapar, dan kemiskinan dari harta, jiwa dan buah-buahan. Berbahagialah orang-orang yang sabar, yakni orang-orang yang apabila datang musibah kepada mereka, mereka berserah diri kepada-Nya dan menyerahkan diri mereka serta semua apa yang mereka miliki kepada-Nya. Mereka mengatakan Inna Lillahi Wa Innaa Ilaihi Raaji’un.
* Penulis adalah Peneliti pada Social and Islamic Studies (CIS) Jakarta.
Goncangan gempa yang tak lama diketahui berkekuatan 7,3 SR berasal dari Tasikmalaya dan goncangannya juga sampai ke Bali dan Sumatera ternyata tidak hanya terjadi di gedung itu saja. Hampir seluruh Jakarta, terlebih gedung-gedung pencakar langit di kawasan niaga Sudirman dan Mega Kuningan terkena goncangan itu. Hingga malam harinya sekitar jam 23.30 Wib Seperti diberitakan Kompas (03/9) diketahui jumlah korban tewas mencapai 39 orang di lima wilayah kota dan kabupaten di Jawa Barat. 57 warga dua desa di kabupaten Cianjur Selatan terkubur reruntuhan rumah akibat diterjang longsoran tebing akibat gempa. Tercatat pula, 1.200-an rumah rusak. Yang amat disayangkan sirene peringatan gempa dan tsunami yang dipasang di pinggir pantai Pangandaran maupun pesisir selatan Tasikmalaya, Sukabumi, bahkan di pantai teluk Penyu, Cilacap, Jawa Tengah ternyata tidak berbunyi. Penduduk melaporkan, peralatan itu sebagian dicuri orang. Penyebab kedua, goncangan gempa telah memutus aliran listrik sehingga alat tersebut tidak berfungsi.
Kejadian gempa yang saya alami di atas perlahan-lahan menyiratkan tanda tanya tersendiri dalam benak saya, kenapa gempa di negeri kita terus terjadi? Apa yang salah dari negeri ini? Apakah buminya yang sudah betul-betul labil, sehingga kerak bumi bergeser? Atau apakah karena tanahnya digerus atau hutannya yang rindang ditebang oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab? atau apakah karena penghuni negeri ini sudah jauh dari nilai-nilai ajaran agamanya?
Menjawab soal-soal ini di tengah hiruk-pikuk kompleksitas persoalan yang mendera negeri ini tidaklah mudah. Berbagai sisi harus diperhatikan secara seksama, apakah salah satu dari pertanyaan itu benar adanya, atau jangan-jangan semua pertanyaan itu memang benar? Melacak jawaban ini sekilas akan kita temukan titik-titik benar pertanyaan-pertanyaan di atas. Di mana bumi kita digerus, pepohonan yang diharapkan dapat menghindari longsor terutama ketika gempa ditebang, sampah-sampah pabrik dan perusahaan dibuang ke laut, dan seterusnya. Selain itu, menelisik moral bangsa kita dari berbagai sisi sudah sangat jauh dari nilai-nilai agama. Kasus-kasus zina, pemerkosaan, korupsi, perampokan, penipuan, terorisme dan kekerasan, pencegalan dan lain sebagainya sudah betul-betul membumi.
Kasus korupsi misalnya, hampir setiap hari kita menonton kasus-kasus korupsi yang terjadi tidak hanya di lingkaran elit kekuasan di tingkat pusat, tetapi hingga ke daerah bahkan ke tingkat desa. Kasus terorisme yang diwarnai dengan pengeboman dan kekerasan seperti di Jakarta baru-baru ini dan yang terbaru adalah pengeboman terbaru di Poso. Kasus perzinaan tidak hanya terjadi di klub-klub malam yang tertutup di kota-kota besar, tetapi di tempat-tempat terbukapun sudah bukan rahasia lagi. Pelakunya pun sudah meningkat hingga ke bocah-bocah usia dini di sekolah tingkat pertama (SMP), bahkan hingga tingkat dasar (SD). Belum lagi jika kita mencoba “jujur” dan terbuka dengan kasus-kasus lainnya yang sebenarnya sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran agama.
Reposisi Makna Taubat
Kata taubat berasal dari bahasa Arab dan mashdar dari kata taaba – yatuubu – taubatan yang bermakna ‘aada, yang berarti kembali. Artinya, kembali dari jalan yang tidak benar menuju jalan yang benar. Kembali dari tradisi melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dari nilai-nilai agama menuju pada tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama. Singkatnya, taubat berarti kembali ke hal-hal yang positif.
Dalam bahasa agama, taubat direfleksikan dengan pernyataan maaf (istighfar) seorang hamba (manusia) kepada Tuhannya dan sekaligus berjanji kepada-Nya untuk tidak mengulangi kembali perbuatan buruknya.
Dalam konteks gempa, jika perbuatan manusia yang menjadi penyebab gempa itu, maka ia harus siap berhenti dan tidak mengulanginya kembali. Dengan kata lain, setelah kita semua (secara nasional) bertaubat, tidak boleh ada lagi yang namanya penggerusan bumi secara sembarangan, penebangan hutan secara liar, aksi-aksi kekerasan dan terorisme, penipuan, korupsi, perzinaan, pemerkosaan, dan perbuatan-perbuatan kotor lainnya di negeri ini. Sehingga negeri ini bisa terbebas dari azab (siksa) Tuhan. Taubat nasional inilah yang barangkali bisa menjadi media penyelamatan bangsa ini dari keterpurukan yang berkepanjangan.
Kalaupun setelah kita taubat dan mereevaluasi diri masih ada kejadian-kejadian semacam gempa dan lainnya, kita juga bisa memaknainya sebagai ujian dan cobaan dari-Nya untuk mengetahui sejauh mana kualitas seorang hamba di hadapan-Nya, tentunya dilihat dari tingkat kesabaran hamba itu sendiri. Sebab, sebagaimana janji Tuhan (QS. 2: 155-156) bahwasanya Dia akan menguji hamba-Nya dengan rasa takut, rasa lapar, dan kemiskinan dari harta, jiwa dan buah-buahan. Berbahagialah orang-orang yang sabar, yakni orang-orang yang apabila datang musibah kepada mereka, mereka berserah diri kepada-Nya dan menyerahkan diri mereka serta semua apa yang mereka miliki kepada-Nya. Mereka mengatakan Inna Lillahi Wa Innaa Ilaihi Raaji’un.
* Penulis adalah Peneliti pada Social and Islamic Studies (CIS) Jakarta.
Wednesday, August 19, 2009
PUASA DAN SENSE OF SOLIDARITY
Rasulullah SAW. Bersabda: “barang siapa berpuasa di bulan ramadhan dengan penuh keimanan dan kesadaran (mengharap pahala), diampunilah dosa-dosa terdahulu (HR. Bukhori, Muslim, Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ahmad).
***
Kehidupan manusia tiap saat selalu berbenturan dan berelasi dengan unsur positif dan negatif. Relasi yang pertama (positif) mengartikan dan membawa pada keberuntungan bagi pelakunya. Akan tetapi relasi yang kedua (negatif) akan menjadi penghambat perjalanan spritual manusia untuk menuju Rabb, Sang penciptanya. Kejelekan ini akan meniscayakan sebuah perubahan dan pencerahan kembali (re-enlighment) bagi manusia dengan melakukan tapabrata. Yang dalam bahasa agama tapabrata dalam bulan Ramadhan disebut shaum (puasa).
Pertapaan yang disebut shaum ini dilakukan selama satu bulan di bulan ramadhan agar semua perbuatan dan perilaku manusia yang menyimpang atau kebiasaan dalam mantaati hawa nafsu dapat disucikan kembali. Terutama kejelekan yang establishment (mendarah daging) menjadi noda-noda dan bintik-bintik hitam hati yang kemudian melebur menjadi dosa dapat mengembalikan manusia sebagai subjek semua itu pada keadaan fitrah (suci) dengan pengampunan Allah terhadap dosa-dosa manusia yang telah berlalu. Sebagaimana penjelasan Hadits di atas.
Bagaimana peran shaum (puasa) secara fungsional dapat melakukan penyucian jiwa? Tentu puasa di sini bukan hanya puasa dalam arti lughawi al-imsak, yaitu menahan makan dan minum dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Tetapi al-imsak mesti diartikan menahan dari yang membatalkan keabsahan puasa dari segi batini atau dimensi esoterik dari puasa dan segi dzahiri atau dimensi eksoterik puasa.
Penyucian yang dilakukan dengan puasa jenis ini memberikan artikulasi keseimbangan kesucian antara batin dan dzahir. Dengan mengikuti prinsip Ibnu ‘Araby tentang perintah menyucikan delapan self hood (entitas insaniyah) manusia, yaitu: mata, telinga, hidung, mulut, tangan, kaki, kemaluan dan hati yang berpedoman pada Hadits Qudsi: “Mendekatlah anda dengan memperbanyak amalan sunnah seperti amalan wajib yang kuperintahkan kepadamu hingga Aku mencintaimu. Kalau aku sudah mencintaimu, mata-Ku dapat kau pakau untuk melihat (waskita); telinga-Ku pun dapat kau pakai untuk mendengarkan (wisik). Kalau kamu minta pertolongan, akan Kutolong segera, dan jika kamu meminta perlindungan, akan Kulindungi kamu.(HR. Bukhori). (Islam dinamis, 2001).
Sense Of Solidarity
Islam sebagai agama kemanusiaan selalu memiliki identitas nilai di mata pemeluknya. Dan ia akan lebih diperhatikan sebagai nilai plus dan mutu tinggi serta akan menjadi high bargaining (nilai tawar tinggi) tentu jika memberikan manfaat secara taken for granted kepada pemeluknya dalam membina hubungan vertikal dan horizontal. Agama ini secara general memberikan argumen ketuhanan dengan melakukan hubungan spritual dan mengungkapkan nilai spritual itu dalam realitas horontal (sosial).
Hal ini secara mendasar juga dikukuhkan dengan doktrin-doktrin yang menjadi landasan utama dalam Islam yang kesemuanya merujuk pada dimensi sosial. Begitulah kiranya Islam begitu mementingkan aspek sosial. Syahadat, kalimat persaksian dalam Islam yang melibatkan orang lain. sholat lebih afdhal dilaksanakan seara berjama’ah. Zakat tentu saja obyeknya adalah al-mustahiqqun (orang-orang yang berhak menerima zakat) dan apalagi haji sudah barang tentu diketahui dan disaksikan oleh khalayak ramai. Bahkan Nabi pernah seketika mempercepat sholatnya karena mendengar anak kecil menangis. Sebegitu tingginya peran sosial yang terkandung dalam inti ajaran Islam tersebut.
Lalu bagaimana dengan puasa?
Puasa secara kategoris berbeda dengan 4 aspek Islam lainnya. Ia merupakan ibadah yang sangat pribadi dan tidak mengandung kontrol sosial dalam pelaksanaannya. Artinya shaim (orang yang berpuasa) tidak bisa diketahui orang lain bahwa sedang berpuasa. Rasa capek, lapar, dahaga dan sebagainya tidak bisa dijadikan rujukan orang yang berpuasa, meski semua itu termasuk cirinya. Bisa jadi seseorang yang merasakan rasa tersebut adalah Mufthir (orang yang tidak berpuasa). Dan sangat mungkin sekali shaim meski ia berpuasa tetap tegar karena kuatnya raja’ atau harapan akan rahmat dan ampunan Allah yang dijanjikan untuk orang yang berpuasa.
Maka dari itu, privasi puasa bagi yang melakukannya meniscayakan kesadaran akan ke-Maha-hadiran Allah yang menembus batas ruang dan waktu. Karenanya, yang memperoleh pahala puasa itu berbeda dengan pahala ibadah-ibadah lainnya. Kalau ibadah-ibadah selain puasa, pahalanya akan diperoleh langsung oleh pelakunya. Sedangkan kalau dalam ibadah puasa, ‘Ibad hanyalah sebagai subyek ibadah itu seja. Allah-lah yang memiliki ibadah itu dan Dia pulalah yang akan membalasnya. Tertera dalam Hadits Qudsi, Allah berfirman: “puasa itu milik-Ku dan Aku yang akan membalasnya”(HR. Thabrani).
Akan tetapi, kalau kita kaji lebih mendalam di balik kepribadian puasa itu terkandung kepedulian rasa sosial (sense of social) yang sangat tinggi. perasaan ini timbul sebab adanya laku “penderitaan” fisik dari tiap-tiap muslim yang mengantarkan pada kesamaan cipta, rasa dan karsa. Sehingga dorongan solidaritas dan persaudaraan sesama manusia semakin tinggi. kondisi ini yang kemudian menciptakan rasa solidaritas (sense of solidarity) antar sesama dan self restrain (pengendalian diri) dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian, efek puasa sebenarnya mengalir dari level individual kepada level sosial. Dan kedudukannya pun bukan semata-mata cultus privatus, tetapu juga cultus publicus.
Dari Musibah Ke Perbaikan Bangsa
Tidak kurang dari 5 musibah besar sejak Desember 2004 melanda Indonesia. Mulai dari Aceh, Sumatera, Jember, Jogja, Pangandaran dan Sidoarjo yang hingga kini belum ditemukan solusi penyelesaian musibah yang berupa lumpur panas tersebut secara pasti. Ratusan ribu nyawa melayang, ribuan rumah hilang dan rusak, ribuan anak menjadi Yatim dalam musibah tersebut.
Kejadian-kejadian ini cukup menggugah terhadap stabilitas bangsa dari berbagai dimensi. Khususnya dimensi ekonomi yang menjadi mainstream utama dalam perwujudan kesejahteraan bangsa menuju yang lebh ideal. Maka tentunya musibah ini memberikan pelajaran berharga terhadap kita bersama untuk merenung, berfikir dan bertafakkur terhadap kekuasaan dan kehendak Sang Maha Kuasa dengan melakukan introspeksi diri, perbaikan perilaku dengan tidak berbohong, dalam sikap memimpin, sikap dipimpin, sikap berpolitik yang tidak sewenang-wenang, menggantinya dengan sikap solider, jujur, bekerja untuk kepentingan bersama (bukan untuk pribadi dan golongan), toleran dalm pegaulan dan tidak arogan.
Musibah-musibah itu memang pahit. Namun, perlu kita hadap i secara sabar dan optimis bahwa di balik musibah itu terdapat hikmah (wisdom), terutama untuk perbaikan bangsa ke depan. Justru fenomena yang mesti lebih diperhatikan lagi adalah kondisi bangsa yang kian hari kian tercemar statusnya. Pencemaran ini tidak lain disebabkan karena ulah sebagian besar pelaku-pelaku bangsa yang sudah terjebak pada vested interest, provide oriented dalam setiap kerjanya. Hal ini kemudian menjadi alasan maraknya berbagai bentuk keculasan politik, tindak korupsi, tindak kriminal, penyelewengan dana umat dan lain sebagainya.
Maka dari itu, sebagai refleksi bulan puasa kali ini, kita bangun kembali bangsa ini dari keterpurukan rohani, rasa krisis (sense of crisis) yang berkepanjangan, terutama krisis moral yang telah memporak-porandakan bangsa ini, sekaligus menjauhakn bangsa ini dari kategori bangsa yang diistilahkan Al-Qur'an sebagai bangsa yang baik dan diampuni Tuhan (Baldatun Thooyyibatun Wa Robbun Ghafur) (Q.S. Saba’/ 34: 15).
***
Kehidupan manusia tiap saat selalu berbenturan dan berelasi dengan unsur positif dan negatif. Relasi yang pertama (positif) mengartikan dan membawa pada keberuntungan bagi pelakunya. Akan tetapi relasi yang kedua (negatif) akan menjadi penghambat perjalanan spritual manusia untuk menuju Rabb, Sang penciptanya. Kejelekan ini akan meniscayakan sebuah perubahan dan pencerahan kembali (re-enlighment) bagi manusia dengan melakukan tapabrata. Yang dalam bahasa agama tapabrata dalam bulan Ramadhan disebut shaum (puasa).
Pertapaan yang disebut shaum ini dilakukan selama satu bulan di bulan ramadhan agar semua perbuatan dan perilaku manusia yang menyimpang atau kebiasaan dalam mantaati hawa nafsu dapat disucikan kembali. Terutama kejelekan yang establishment (mendarah daging) menjadi noda-noda dan bintik-bintik hitam hati yang kemudian melebur menjadi dosa dapat mengembalikan manusia sebagai subjek semua itu pada keadaan fitrah (suci) dengan pengampunan Allah terhadap dosa-dosa manusia yang telah berlalu. Sebagaimana penjelasan Hadits di atas.
Bagaimana peran shaum (puasa) secara fungsional dapat melakukan penyucian jiwa? Tentu puasa di sini bukan hanya puasa dalam arti lughawi al-imsak, yaitu menahan makan dan minum dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Tetapi al-imsak mesti diartikan menahan dari yang membatalkan keabsahan puasa dari segi batini atau dimensi esoterik dari puasa dan segi dzahiri atau dimensi eksoterik puasa.
Penyucian yang dilakukan dengan puasa jenis ini memberikan artikulasi keseimbangan kesucian antara batin dan dzahir. Dengan mengikuti prinsip Ibnu ‘Araby tentang perintah menyucikan delapan self hood (entitas insaniyah) manusia, yaitu: mata, telinga, hidung, mulut, tangan, kaki, kemaluan dan hati yang berpedoman pada Hadits Qudsi: “Mendekatlah anda dengan memperbanyak amalan sunnah seperti amalan wajib yang kuperintahkan kepadamu hingga Aku mencintaimu. Kalau aku sudah mencintaimu, mata-Ku dapat kau pakau untuk melihat (waskita); telinga-Ku pun dapat kau pakai untuk mendengarkan (wisik). Kalau kamu minta pertolongan, akan Kutolong segera, dan jika kamu meminta perlindungan, akan Kulindungi kamu.(HR. Bukhori). (Islam dinamis, 2001).
Sense Of Solidarity
Islam sebagai agama kemanusiaan selalu memiliki identitas nilai di mata pemeluknya. Dan ia akan lebih diperhatikan sebagai nilai plus dan mutu tinggi serta akan menjadi high bargaining (nilai tawar tinggi) tentu jika memberikan manfaat secara taken for granted kepada pemeluknya dalam membina hubungan vertikal dan horizontal. Agama ini secara general memberikan argumen ketuhanan dengan melakukan hubungan spritual dan mengungkapkan nilai spritual itu dalam realitas horontal (sosial).
Hal ini secara mendasar juga dikukuhkan dengan doktrin-doktrin yang menjadi landasan utama dalam Islam yang kesemuanya merujuk pada dimensi sosial. Begitulah kiranya Islam begitu mementingkan aspek sosial. Syahadat, kalimat persaksian dalam Islam yang melibatkan orang lain. sholat lebih afdhal dilaksanakan seara berjama’ah. Zakat tentu saja obyeknya adalah al-mustahiqqun (orang-orang yang berhak menerima zakat) dan apalagi haji sudah barang tentu diketahui dan disaksikan oleh khalayak ramai. Bahkan Nabi pernah seketika mempercepat sholatnya karena mendengar anak kecil menangis. Sebegitu tingginya peran sosial yang terkandung dalam inti ajaran Islam tersebut.
Lalu bagaimana dengan puasa?
Puasa secara kategoris berbeda dengan 4 aspek Islam lainnya. Ia merupakan ibadah yang sangat pribadi dan tidak mengandung kontrol sosial dalam pelaksanaannya. Artinya shaim (orang yang berpuasa) tidak bisa diketahui orang lain bahwa sedang berpuasa. Rasa capek, lapar, dahaga dan sebagainya tidak bisa dijadikan rujukan orang yang berpuasa, meski semua itu termasuk cirinya. Bisa jadi seseorang yang merasakan rasa tersebut adalah Mufthir (orang yang tidak berpuasa). Dan sangat mungkin sekali shaim meski ia berpuasa tetap tegar karena kuatnya raja’ atau harapan akan rahmat dan ampunan Allah yang dijanjikan untuk orang yang berpuasa.
Maka dari itu, privasi puasa bagi yang melakukannya meniscayakan kesadaran akan ke-Maha-hadiran Allah yang menembus batas ruang dan waktu. Karenanya, yang memperoleh pahala puasa itu berbeda dengan pahala ibadah-ibadah lainnya. Kalau ibadah-ibadah selain puasa, pahalanya akan diperoleh langsung oleh pelakunya. Sedangkan kalau dalam ibadah puasa, ‘Ibad hanyalah sebagai subyek ibadah itu seja. Allah-lah yang memiliki ibadah itu dan Dia pulalah yang akan membalasnya. Tertera dalam Hadits Qudsi, Allah berfirman: “puasa itu milik-Ku dan Aku yang akan membalasnya”(HR. Thabrani).
Akan tetapi, kalau kita kaji lebih mendalam di balik kepribadian puasa itu terkandung kepedulian rasa sosial (sense of social) yang sangat tinggi. perasaan ini timbul sebab adanya laku “penderitaan” fisik dari tiap-tiap muslim yang mengantarkan pada kesamaan cipta, rasa dan karsa. Sehingga dorongan solidaritas dan persaudaraan sesama manusia semakin tinggi. kondisi ini yang kemudian menciptakan rasa solidaritas (sense of solidarity) antar sesama dan self restrain (pengendalian diri) dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian, efek puasa sebenarnya mengalir dari level individual kepada level sosial. Dan kedudukannya pun bukan semata-mata cultus privatus, tetapu juga cultus publicus.
Dari Musibah Ke Perbaikan Bangsa
Tidak kurang dari 5 musibah besar sejak Desember 2004 melanda Indonesia. Mulai dari Aceh, Sumatera, Jember, Jogja, Pangandaran dan Sidoarjo yang hingga kini belum ditemukan solusi penyelesaian musibah yang berupa lumpur panas tersebut secara pasti. Ratusan ribu nyawa melayang, ribuan rumah hilang dan rusak, ribuan anak menjadi Yatim dalam musibah tersebut.
Kejadian-kejadian ini cukup menggugah terhadap stabilitas bangsa dari berbagai dimensi. Khususnya dimensi ekonomi yang menjadi mainstream utama dalam perwujudan kesejahteraan bangsa menuju yang lebh ideal. Maka tentunya musibah ini memberikan pelajaran berharga terhadap kita bersama untuk merenung, berfikir dan bertafakkur terhadap kekuasaan dan kehendak Sang Maha Kuasa dengan melakukan introspeksi diri, perbaikan perilaku dengan tidak berbohong, dalam sikap memimpin, sikap dipimpin, sikap berpolitik yang tidak sewenang-wenang, menggantinya dengan sikap solider, jujur, bekerja untuk kepentingan bersama (bukan untuk pribadi dan golongan), toleran dalm pegaulan dan tidak arogan.
Musibah-musibah itu memang pahit. Namun, perlu kita hadap i secara sabar dan optimis bahwa di balik musibah itu terdapat hikmah (wisdom), terutama untuk perbaikan bangsa ke depan. Justru fenomena yang mesti lebih diperhatikan lagi adalah kondisi bangsa yang kian hari kian tercemar statusnya. Pencemaran ini tidak lain disebabkan karena ulah sebagian besar pelaku-pelaku bangsa yang sudah terjebak pada vested interest, provide oriented dalam setiap kerjanya. Hal ini kemudian menjadi alasan maraknya berbagai bentuk keculasan politik, tindak korupsi, tindak kriminal, penyelewengan dana umat dan lain sebagainya.
Maka dari itu, sebagai refleksi bulan puasa kali ini, kita bangun kembali bangsa ini dari keterpurukan rohani, rasa krisis (sense of crisis) yang berkepanjangan, terutama krisis moral yang telah memporak-porandakan bangsa ini, sekaligus menjauhakn bangsa ini dari kategori bangsa yang diistilahkan Al-Qur'an sebagai bangsa yang baik dan diampuni Tuhan (Baldatun Thooyyibatun Wa Robbun Ghafur) (Q.S. Saba’/ 34: 15).
Tuesday, August 4, 2009
MENEMUKAN KEMBALI JATI DIRI KEMERDEKAAN
Tanggal 17 Agustus kemarin tanpa terasa bangsa kita telah masuk pada usia ke 63 tahun kemerdekaan. Sebuah usia yang telah menuntun bangsa ini pada dinamika perubahan, dinamika kemandirian sebagai bangsa yang berdaulat. Hampir semua rakyat negeri ini berharap dari dinamika tersebut akan lahir kehidupan baru sebagai jati diri kemerdekaan yang merangkum kesejahteraan, kedamaian, keadilan, dan kemakmuran.
Namun, harapan itu hingga hari ini masih menjadi teka teki. Tujuan sekaligus jati diri yang diimpi-impikan dari kemerdekaan yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 ini seolah “hilang” di mata rakyat. Hingga hari ini begitu banyak rakyat yang masih sengsara, menderita, dan hidup di bawah garis kemiskinan. Ini merupakan indikasi bahwa kemerdekaan yang kita agung-agungkan masih dalam tataran “kulit’ saja, belum pada “isi”. Konteks “isi” akan dicapai apabila individu-individu di negeri ini telah mencapai kehidupan yang adil, makmur, dan sejahtera. Artinya, kemerdekaan hakiki akan dicapai apabila tataran “kulit” dan “isi” kemerdekaan itu sudah secara universal dicapai, tidak partikular.
Nah, sekarang pertanyaannya, kenapa kemerdekaan yang masih bersifat partikular atau masih disebut-sebut pada tataran kulit saja ini terus terjadi, apa penyebabnya?
Persoalan ini tentu tak dapat dijawab dari satu sudut pandang saja. Berbagai aspek penting yang menyangkut sosial, ekonomi, politik, pendidikan, dst. Mesti ditelaah kembali. Meski hanya satu sektor yang paling dominan – misalnya – tapi pada dasarnya sektor-sektor tersebut saling berkaitan, sehingga tak dapat dipisahkan satu sama lain. Kalau penderitaan, kesengsaraan, dan kemiskinan rakyat yang dijadikan sampel, maka sektor ekonomi yang paling dominan. Tetapi, di samping itu, ada mata rantai sektor-sektor lain yang juga mempengaruhi. Jelasnya, pasti ada something wrong yang turut mengubur cita-cita kemerdekaan itu sendiri.
Berkaitan dengan ini, ada baiknya jika kita mencoba mengingat kembali apa yang pernah dikatakan Menteri Agama, H. Muhammad Maftuh Basyuni beberapa waktu lalu seperti diberitakan harian Kompas (11/08). Dia mengatakan bahwa banyaknya orang belum menikmati kemerdekaan hingga kini disebabkan perpecahan, belenggu kesesatan, dan suburnya praktek korupsi.
Pernyataan tersebut sangat bersinergi dengan persoalan di atas, yakni berkaitan dengan banyaknya masyarakat kita yang belum menikmati kemerdekaan. Dengan bahasa berbeda, makna “belum menikmati” dapat kita terjemahkan “belum merdeka” dalam rasa, dan hati. Mungkin, secara fisik bangsa ini memang telah merdeka, tetapi secara mental, secara psikologis, yang menyangkut substansi kemerdekaan itu sendiri belum terasa. Kalau dzahirnya saja yang merdeka, belum batinnya, maka kemerdekaan hanya menjadi sekedar konstruks dzahiriyah, belum mampu menjadi bangunan batiniyah yang bisa langsung dirasakan oleh seluruh masyarakat bangsa ini. Karenanya, kemerdekaan tidak lebih hanya sebagai barang langka yang bisa dikonsumsi oleh kalangan terbatas saja. Bagi mereka yang telah menikmati hidup dengan gelimang harta, kekayaan, kesejahteraan, kedamaian, keadilan, serta kemakmuran, maka kemerdekaan pantas disandangkan pada mereka. Tetapi bagi mereka yang menapaki hidup dalam penderitaan, kesusahan, kemalaratan, dan kemiskinan, maka kemerdekaan yang telah diproklamirkan lebih setengah abad itu kuranglah berarti bagi mereka. Bahkan mereka bisa berfikir, bahwa adanya kemerdekaan hampir mirip dengan tidak adanya kemerdekaan.
Karenanya, pernyataan Maftuh tersebut patut diapresiasi dan dicarikan solusi, agar kemerdekaan yang telah terlalu “diagung-agungkan” betul-betul memiliki makna terhadap semua masyarakat negeri ini tanpa terkecuali.
Alasan “tidak menikmati” di atas di antaranya karena adanya perpecahan, praktek korupsi, itu memang benar. Masyarakat kita terlalu “suka” dengan suasana kemelut ketimbang suasana damai, terlalu senang berpecah belah daripada bersatu. Bagaimana perpecahan yang menyangkut perorangan, ataupun kelompok-kelompok tertentu yang akhir-akhir gencar mengisi telinga dan tatapan mata kita? Kita tentu masih ingat dengan “pertikaian” atas nama aliran pemahaman agama antara beberapa ormas Islam – di antaranya Front Pembela Islam (FPI)” – dengan Ahmadiyah dengan bentuk pengrusakan dan atau pengusiran terhadap jemaat Ahmadiyah, tragedi kekerasan antara Aliansi Kerukunan dan Keyakinan Antar Umat Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dan FPI di Monumen Nasional (Monas) awal Juni lalu. Perseteruan wilayah politik dan pilkada. Kasus “pertikaian” internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) antara Gusdur dengan Muhaimin Iskandar yang cukup “membengkakkan” telinga kita, ataupun persoalan Pilkada dengan bentuk ketidak puasan pihak tertentu sehingga menyebabkan konflik berkepanjangan. Anehnya, pihak media terpancing dengan suasana konflik itu, sehingga diblow-up secara besar-besaran di media masing. Seandainya, media mengekspose yang lebih bermanfaat kepada rakyat (pembaca), misalnya, upaya membangun bangsa, upaya mengentaskan kemiskinan, upaya meminimalisir tindak kriminal, dst. Tentu akan lebih bernilai terutama dalam rangka mengisi kemerdekaan.
Sementara persoalan yang tak kalah kuatnya menciptakan keterpurukan di Indonesia ini adalah maraknya kasus-kasus korupsi mulai dari pusat hingga ke daerah, bahkan lembaga-lembaga tinggi negara sekalipun, seperti Mahkamah Agung yang menyeret Artalyta Suryani (Ayin) dalam kasus penyuapan Jaksa Urip Tri Gunawan, di DPR RI, Al Amin Nur Nasution dengan Sekda Bintan, Azirwan, yang terlibat dalam kasus suap alih fungsi hutan lindung di Bintan, kepulauan Riau. Ada pula Bulyan Royan yang tertangkap atas kasus suap Tender Pengadaan Kapal Patroli Dirjen Dephub, belum dengan kasus BLBI yang mencapai hingga triliunan rupiah itu. Bahkan menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk pengadaan barang dan jasa saja dana Rp.400 triliun yang dianggarkan pemerintah kepada tiap departemen/ instansi baik di pusat atau di daerah sebanyak 30 persen selalu mengalami kebocoran akibat dikorupsi. (Pelita, 22/07/2008).
Begitu tinggi tingkat korupsi di negeri ini, dan begitu luas penyebaran para koruptornya. Dalam hal ini istilah “Korupsi Berjemaah” dari Amien Rais ataupun istilah “ditebang satu, tumbuh seribu” itu memang tepat menggambarkan gemparnya kasus-kasus korupsi yang tidak henti-hentinya melanda negeri ini. Ditangkap satu koruptor, muncul koruptor-koruptor lain yang sudah siap menggantikan posisinya sebagai orang yang merugikan jutaan rakyat itu. Negeri ini memang pas dikatakan lumbung para koruptor.
Jika persatuan dan kesatuan makin dihindari dengan selalu berpecah belah, dan praktek korupsi terus mengalir deras, seakan menjadi sesuatu yang legitimated bagi para pelakunya, bagaimana ruang kemerdekaan sejati akan terwujud? dan bagaimana mungkin wacana kemerdekaan yang terus berkelindan ini dapat diterapkan dan diisi sebaik mungkin jika kita, pemerintah kita, wakil kita di DPR, terus dikebiri dengan persoalan-persoalan semacam itu? Bukan tidak mungkin retorika kemerdekaan ke depan akan semakin usang dan semakin meninggalkan substansinya.
Maka, agar kemerdekaan betul-betul menemukan arah dan isinya, hal-hal yang dapat menghambat perjalanan stabilitas negara, termasuk perilaku korupsi dan pertikaian/ perpecahan yang menciderai persatuan dan kesatuan harus segera diakhiri. Kalau perpecahan harus segera dicarikan upaya mendinginkan suasananya, bukan malah makin “dikompori” oleh pihak-pihak tertentu. Sedangkan kalau perilaku korupsi harus ditindak seberat-beratnya, bahkan dengan hukuman mati sekalipun. Hal ini jika mengacu pada UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yakni Pasal 2 ayat 1, di mana pidana mati dapat dijatuhkan jika pidana korupsi dilakukan bila keadaan negara dalam bahaya, bencana alam nasional, pengulangan tindak pidana korupsi atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Ini bertujuan agar para pelakunya jera dan betul-betul takut akan resiko yang bakal diterimanya. Cara ini juga dilakukan agar aset-aset negara ke depan bisa diselamatkan, dan perekonomian negara juga semakin stabil, dan dengan begitu maka jati diri kemerdekaan akan lebih mudah ditemukan, di mana ketika itu rakyat merasakan betul apa arti kemerdekaan itu.
Namun, harapan itu hingga hari ini masih menjadi teka teki. Tujuan sekaligus jati diri yang diimpi-impikan dari kemerdekaan yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 ini seolah “hilang” di mata rakyat. Hingga hari ini begitu banyak rakyat yang masih sengsara, menderita, dan hidup di bawah garis kemiskinan. Ini merupakan indikasi bahwa kemerdekaan yang kita agung-agungkan masih dalam tataran “kulit’ saja, belum pada “isi”. Konteks “isi” akan dicapai apabila individu-individu di negeri ini telah mencapai kehidupan yang adil, makmur, dan sejahtera. Artinya, kemerdekaan hakiki akan dicapai apabila tataran “kulit” dan “isi” kemerdekaan itu sudah secara universal dicapai, tidak partikular.
Nah, sekarang pertanyaannya, kenapa kemerdekaan yang masih bersifat partikular atau masih disebut-sebut pada tataran kulit saja ini terus terjadi, apa penyebabnya?
Persoalan ini tentu tak dapat dijawab dari satu sudut pandang saja. Berbagai aspek penting yang menyangkut sosial, ekonomi, politik, pendidikan, dst. Mesti ditelaah kembali. Meski hanya satu sektor yang paling dominan – misalnya – tapi pada dasarnya sektor-sektor tersebut saling berkaitan, sehingga tak dapat dipisahkan satu sama lain. Kalau penderitaan, kesengsaraan, dan kemiskinan rakyat yang dijadikan sampel, maka sektor ekonomi yang paling dominan. Tetapi, di samping itu, ada mata rantai sektor-sektor lain yang juga mempengaruhi. Jelasnya, pasti ada something wrong yang turut mengubur cita-cita kemerdekaan itu sendiri.
Berkaitan dengan ini, ada baiknya jika kita mencoba mengingat kembali apa yang pernah dikatakan Menteri Agama, H. Muhammad Maftuh Basyuni beberapa waktu lalu seperti diberitakan harian Kompas (11/08). Dia mengatakan bahwa banyaknya orang belum menikmati kemerdekaan hingga kini disebabkan perpecahan, belenggu kesesatan, dan suburnya praktek korupsi.
Pernyataan tersebut sangat bersinergi dengan persoalan di atas, yakni berkaitan dengan banyaknya masyarakat kita yang belum menikmati kemerdekaan. Dengan bahasa berbeda, makna “belum menikmati” dapat kita terjemahkan “belum merdeka” dalam rasa, dan hati. Mungkin, secara fisik bangsa ini memang telah merdeka, tetapi secara mental, secara psikologis, yang menyangkut substansi kemerdekaan itu sendiri belum terasa. Kalau dzahirnya saja yang merdeka, belum batinnya, maka kemerdekaan hanya menjadi sekedar konstruks dzahiriyah, belum mampu menjadi bangunan batiniyah yang bisa langsung dirasakan oleh seluruh masyarakat bangsa ini. Karenanya, kemerdekaan tidak lebih hanya sebagai barang langka yang bisa dikonsumsi oleh kalangan terbatas saja. Bagi mereka yang telah menikmati hidup dengan gelimang harta, kekayaan, kesejahteraan, kedamaian, keadilan, serta kemakmuran, maka kemerdekaan pantas disandangkan pada mereka. Tetapi bagi mereka yang menapaki hidup dalam penderitaan, kesusahan, kemalaratan, dan kemiskinan, maka kemerdekaan yang telah diproklamirkan lebih setengah abad itu kuranglah berarti bagi mereka. Bahkan mereka bisa berfikir, bahwa adanya kemerdekaan hampir mirip dengan tidak adanya kemerdekaan.
Karenanya, pernyataan Maftuh tersebut patut diapresiasi dan dicarikan solusi, agar kemerdekaan yang telah terlalu “diagung-agungkan” betul-betul memiliki makna terhadap semua masyarakat negeri ini tanpa terkecuali.
Alasan “tidak menikmati” di atas di antaranya karena adanya perpecahan, praktek korupsi, itu memang benar. Masyarakat kita terlalu “suka” dengan suasana kemelut ketimbang suasana damai, terlalu senang berpecah belah daripada bersatu. Bagaimana perpecahan yang menyangkut perorangan, ataupun kelompok-kelompok tertentu yang akhir-akhir gencar mengisi telinga dan tatapan mata kita? Kita tentu masih ingat dengan “pertikaian” atas nama aliran pemahaman agama antara beberapa ormas Islam – di antaranya Front Pembela Islam (FPI)” – dengan Ahmadiyah dengan bentuk pengrusakan dan atau pengusiran terhadap jemaat Ahmadiyah, tragedi kekerasan antara Aliansi Kerukunan dan Keyakinan Antar Umat Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dan FPI di Monumen Nasional (Monas) awal Juni lalu. Perseteruan wilayah politik dan pilkada. Kasus “pertikaian” internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) antara Gusdur dengan Muhaimin Iskandar yang cukup “membengkakkan” telinga kita, ataupun persoalan Pilkada dengan bentuk ketidak puasan pihak tertentu sehingga menyebabkan konflik berkepanjangan. Anehnya, pihak media terpancing dengan suasana konflik itu, sehingga diblow-up secara besar-besaran di media masing. Seandainya, media mengekspose yang lebih bermanfaat kepada rakyat (pembaca), misalnya, upaya membangun bangsa, upaya mengentaskan kemiskinan, upaya meminimalisir tindak kriminal, dst. Tentu akan lebih bernilai terutama dalam rangka mengisi kemerdekaan.
Sementara persoalan yang tak kalah kuatnya menciptakan keterpurukan di Indonesia ini adalah maraknya kasus-kasus korupsi mulai dari pusat hingga ke daerah, bahkan lembaga-lembaga tinggi negara sekalipun, seperti Mahkamah Agung yang menyeret Artalyta Suryani (Ayin) dalam kasus penyuapan Jaksa Urip Tri Gunawan, di DPR RI, Al Amin Nur Nasution dengan Sekda Bintan, Azirwan, yang terlibat dalam kasus suap alih fungsi hutan lindung di Bintan, kepulauan Riau. Ada pula Bulyan Royan yang tertangkap atas kasus suap Tender Pengadaan Kapal Patroli Dirjen Dephub, belum dengan kasus BLBI yang mencapai hingga triliunan rupiah itu. Bahkan menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk pengadaan barang dan jasa saja dana Rp.400 triliun yang dianggarkan pemerintah kepada tiap departemen/ instansi baik di pusat atau di daerah sebanyak 30 persen selalu mengalami kebocoran akibat dikorupsi. (Pelita, 22/07/2008).
Begitu tinggi tingkat korupsi di negeri ini, dan begitu luas penyebaran para koruptornya. Dalam hal ini istilah “Korupsi Berjemaah” dari Amien Rais ataupun istilah “ditebang satu, tumbuh seribu” itu memang tepat menggambarkan gemparnya kasus-kasus korupsi yang tidak henti-hentinya melanda negeri ini. Ditangkap satu koruptor, muncul koruptor-koruptor lain yang sudah siap menggantikan posisinya sebagai orang yang merugikan jutaan rakyat itu. Negeri ini memang pas dikatakan lumbung para koruptor.
Jika persatuan dan kesatuan makin dihindari dengan selalu berpecah belah, dan praktek korupsi terus mengalir deras, seakan menjadi sesuatu yang legitimated bagi para pelakunya, bagaimana ruang kemerdekaan sejati akan terwujud? dan bagaimana mungkin wacana kemerdekaan yang terus berkelindan ini dapat diterapkan dan diisi sebaik mungkin jika kita, pemerintah kita, wakil kita di DPR, terus dikebiri dengan persoalan-persoalan semacam itu? Bukan tidak mungkin retorika kemerdekaan ke depan akan semakin usang dan semakin meninggalkan substansinya.
Maka, agar kemerdekaan betul-betul menemukan arah dan isinya, hal-hal yang dapat menghambat perjalanan stabilitas negara, termasuk perilaku korupsi dan pertikaian/ perpecahan yang menciderai persatuan dan kesatuan harus segera diakhiri. Kalau perpecahan harus segera dicarikan upaya mendinginkan suasananya, bukan malah makin “dikompori” oleh pihak-pihak tertentu. Sedangkan kalau perilaku korupsi harus ditindak seberat-beratnya, bahkan dengan hukuman mati sekalipun. Hal ini jika mengacu pada UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yakni Pasal 2 ayat 1, di mana pidana mati dapat dijatuhkan jika pidana korupsi dilakukan bila keadaan negara dalam bahaya, bencana alam nasional, pengulangan tindak pidana korupsi atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Ini bertujuan agar para pelakunya jera dan betul-betul takut akan resiko yang bakal diterimanya. Cara ini juga dilakukan agar aset-aset negara ke depan bisa diselamatkan, dan perekonomian negara juga semakin stabil, dan dengan begitu maka jati diri kemerdekaan akan lebih mudah ditemukan, di mana ketika itu rakyat merasakan betul apa arti kemerdekaan itu.
Subscribe to:
Posts (Atom)