Welcome to Ilyas' Site

Friday, September 4, 2009

Puasa Sosial, Media Penyucian Jiwa

Jika kita mencari makna sosial puasa kita tidak akan menemukannya di dalam proses ibadah puasa itu sendiri. Sebab, puasa itu sendiri adalah ibadah yang sangat vertikal, sangat individual, dan jauh dari kontrol sosial. Dalam sebuah Hadits Qudsi Allah menegaskan bahwa puasa itu hanya untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.
Hal demikian berarti bahwa ibadah puasa sangat berbeda dengan ibadah lainnya semacam Sholat, Zakat dan Haji yang memiliki kontrol sosial secara langsung. Namun, meski puasa merupakan ibadah yang individual, namun individualitasnya tidak serta merta melepaskan diri dari ikatan sosial. Justru, essensi dan tujuannya yang membawa shaim (orang yang berpuasa) pada harkat dan martabat sosialnya. Tujuan yang sekaligus bias proses puasa itu adalah mengentalnya sense of ego (perasaan pribadi) seseorang dan tergadaikan dengan sense of social (perasaan sosial). Artinya, semakin kita berpuasa, semakin tinggi kepekaan sosial kita dan semakin kita menyadari adanya kesamaan dengan orang-orang miskin dan orang-orang yang biasa hidup dalam suasana lapar.
Kepekaan sosial untuk menciptakan perubahan dan keadilan sosial serta memerdekaan kaum papa atau kaum dhuafa’ merupakan serentetan makna sosial ajaran Islam yang tertera dalam ibadah puasa. Seorang intelektual kita, Moeslim Abdurrahman dalam Suara Tuhan Suara Pemerdekaan (2009) mengatakan, makna Islam yang paling murni bukan terletak pada rumusan teologisnya, tetapi dalam pergulatan hidup sehari-hari umatnya untuk menegakkan keadilan.
Sudah mafhum bersama bahwa berpuasa di bulan suci Ramadhan merupakan ritual tahunan umat Islam yang diharapkan akan melahirkan suatu sikap peka terhadap identitas sosialnya. Kepekaan itu direfleksikan tidak hanya memanfaatkan bulan ini untuk meningkatkan kesalehan individualnya saja, tetapi juga kesalehan sosialnya. Sebab, bagi mereka yang melakukan ibadah puasa kesalehan individual saja tidak cukup untuk menupang kesempurnaan ibadah puasanya.
Sesungguhnya inilah yang menjadi kekhawatiran Moeslim Abdurrahman seperti dalam tulisannya, Bulan Suci Bermakna Sosial (Kompas, 22/8/2009):
“Saya takut jika ibadah puasa hanya berhenti pada pelaksanaan ritualnya tanpa mengalirkan kesadaran yang terus menerus sebagai mekanisme refleksi kemanusiaan, bisa jadi kita bisa merasakan bagaimana lapar pada siang hari, tetapi kita akan kehilangan pesan yang paling dasr dari ibadah itu sendiri bahwa “kelaparan adalah musuh agama dan sekaligus musuh kemanusiaan yang paling hakiki”.

Media Penyucian Jiwa
Puasa Ramadhan kali ini memang belum sepenuhnya membahagiakan mengingat masih kuatnya sandungan-sandungan sosial seperti kelaparan, kemiskinan dan penderitaan rakyat lainnya. Anehnya, semua ini tidak selalu terjadi secara alamiah, tetapi terkadang diproduksi oleh manusia sendiri. Seperti kasus penggusuran massal oleh Satuan Polisi Pamung Praja (Satpol PP) yang cenderung tidak melihat sisi kemanusiaan hanya demi ketertiban, dan bahkan tidak sedikit penggusuran yang langsung selesai setelah penggusuran tanpa ada solusi bagi mereka yang tergusur. Kasus-kasus sosial lainnya yang juga membuat kita pilu adalah terus maraknya perampokan, pencurian, penggelapan dana-dana sosial seperti bantuan Raskin, BLT, dan bantuan-bantuan lainnya yang cenderung masih “ditebang” di tengah jalan, bahkan hingga terorisme.
Kasus terorisme yang saat ini kembali menyeruak, terutama setelah pengeboman JW.Marriot dan Ritz-Carlton Juli lalu jelas-jelas merupakan sandungan sosial yang paling membuat ngeri masyarakat kita. Selain ia telah menciderai Humanism principle (prinsip kemanusiaan), ia juga telah membangun traumatika sosial yang mendalam di hati masyarakat – untuk tidak mengatakan – “hantu” bagi masyarakat kita. Masyarakat kita selalu khawatir akan terjadinya pengeboman atau aksi-aksi terorisme lainnya yang pastinya juga akan mengenai orang-orang yang sebenarnya bukan obyek terorisme itu sendiri. Bagaimanapun kasus-kasus semacam itu harus diakui sebagai “dosa sosial”.
Oleh karenanya, momentum puasa kali ini harus terejawantah dalam rumusan “puasa sosial”. Sebab, menurut penulis sebagian besar pelaku pencurian hingga terorisme di atas adalah termasuk orang-orang yang “rajin” melakukan ibadah puasa. Dalam
pengertian, mereka para pelaku-pelaku di atas yang saat ini sedang menjalankan ibadah puasa mestinya meniatkan puasanya untuk kesalehan sosial, tidak hanya individual semata.
Puasa sosial inilah menjadi media untuk menyucikan jiwa para pelakunya (shaim). Tentu, puasa jenis ini tidak hanya bersandar secara definitif pada etimologi imsak, yang berarti menahan. Tetapi lebih dari itu, imsak ini harus juga diterjemahkan dengan menyucikan – meminjam Ibnu ‘Araby –delapan entitas inderawi manusia, yaitu: mata, telinga, hidung, mulut, tangan, kaki, kemaluan, dan hati yang berpedoman pada hadits qudsi: “mendekatlah anda dengan memperbanyak amalan sunnah seprti amalan wajib yang Kuperintahkan kepadamu hingga Aku mencintaimu. Kalau Aku sudah mencintaimu, mata-Ku dapat kau pakai untuk melihat; telinga-Ku dapat kau pakai untuk menengarkan. Kalau kamu minta pertolongan, akan Kutolong segera, dan jika kamu meminta perlindungan, akan Kulindungi dikau” (Bukhori).
Arah penyucian jiwa ini akan berdampak pada terwujudnya tindakan sosial seperti kejujuran bermasyarakat, toleran, solider, tidak menimbulkan kerusakan dan seterusnya. Dari ini diharapkan nantinya tidak ada lagi aksi terorisme, aksi mencuri, mencopet, menipu dan menggelapkan dana sosial. Demikian, agar mereka yang melakukan ibadah puasa tidak jatuh pada sebuah slogan yang merupakan kekhawatiran bagi orang yang berpuasa, “setiap tahun puasa dilakukan, tapi setiap itu pula dosa-dosa sosial terus mengalir”, atau setidaknya tidak termasuk dalam kategori hadits nabi: “betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa selain hanya lapar dan dahaga”.

No comments:

Post a Comment

Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!