Rasulullah SAW. Bersabda: “barang siapa berpuasa di bulan ramadhan dengan penuh keimanan dan kesadaran (mengharap pahala), diampunilah dosa-dosa terdahulu (HR. Bukhori, Muslim, Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ahmad).
***
Kehidupan manusia tiap saat selalu berbenturan dan berelasi dengan unsur positif dan negatif. Relasi yang pertama (positif) mengartikan dan membawa pada keberuntungan bagi pelakunya. Akan tetapi relasi yang kedua (negatif) akan menjadi penghambat perjalanan spritual manusia untuk menuju Rabb, Sang penciptanya. Kejelekan ini akan meniscayakan sebuah perubahan dan pencerahan kembali (re-enlighment) bagi manusia dengan melakukan tapabrata. Yang dalam bahasa agama tapabrata dalam bulan Ramadhan disebut shaum (puasa).
Pertapaan yang disebut shaum ini dilakukan selama satu bulan di bulan ramadhan agar semua perbuatan dan perilaku manusia yang menyimpang atau kebiasaan dalam mantaati hawa nafsu dapat disucikan kembali. Terutama kejelekan yang establishment (mendarah daging) menjadi noda-noda dan bintik-bintik hitam hati yang kemudian melebur menjadi dosa dapat mengembalikan manusia sebagai subjek semua itu pada keadaan fitrah (suci) dengan pengampunan Allah terhadap dosa-dosa manusia yang telah berlalu. Sebagaimana penjelasan Hadits di atas.
Bagaimana peran shaum (puasa) secara fungsional dapat melakukan penyucian jiwa? Tentu puasa di sini bukan hanya puasa dalam arti lughawi al-imsak, yaitu menahan makan dan minum dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Tetapi al-imsak mesti diartikan menahan dari yang membatalkan keabsahan puasa dari segi batini atau dimensi esoterik dari puasa dan segi dzahiri atau dimensi eksoterik puasa.
Penyucian yang dilakukan dengan puasa jenis ini memberikan artikulasi keseimbangan kesucian antara batin dan dzahir. Dengan mengikuti prinsip Ibnu ‘Araby tentang perintah menyucikan delapan self hood (entitas insaniyah) manusia, yaitu: mata, telinga, hidung, mulut, tangan, kaki, kemaluan dan hati yang berpedoman pada Hadits Qudsi: “Mendekatlah anda dengan memperbanyak amalan sunnah seperti amalan wajib yang kuperintahkan kepadamu hingga Aku mencintaimu. Kalau aku sudah mencintaimu, mata-Ku dapat kau pakau untuk melihat (waskita); telinga-Ku pun dapat kau pakai untuk mendengarkan (wisik). Kalau kamu minta pertolongan, akan Kutolong segera, dan jika kamu meminta perlindungan, akan Kulindungi kamu.(HR. Bukhori). (Islam dinamis, 2001).
Sense Of Solidarity
Islam sebagai agama kemanusiaan selalu memiliki identitas nilai di mata pemeluknya. Dan ia akan lebih diperhatikan sebagai nilai plus dan mutu tinggi serta akan menjadi high bargaining (nilai tawar tinggi) tentu jika memberikan manfaat secara taken for granted kepada pemeluknya dalam membina hubungan vertikal dan horizontal. Agama ini secara general memberikan argumen ketuhanan dengan melakukan hubungan spritual dan mengungkapkan nilai spritual itu dalam realitas horontal (sosial).
Hal ini secara mendasar juga dikukuhkan dengan doktrin-doktrin yang menjadi landasan utama dalam Islam yang kesemuanya merujuk pada dimensi sosial. Begitulah kiranya Islam begitu mementingkan aspek sosial. Syahadat, kalimat persaksian dalam Islam yang melibatkan orang lain. sholat lebih afdhal dilaksanakan seara berjama’ah. Zakat tentu saja obyeknya adalah al-mustahiqqun (orang-orang yang berhak menerima zakat) dan apalagi haji sudah barang tentu diketahui dan disaksikan oleh khalayak ramai. Bahkan Nabi pernah seketika mempercepat sholatnya karena mendengar anak kecil menangis. Sebegitu tingginya peran sosial yang terkandung dalam inti ajaran Islam tersebut.
Lalu bagaimana dengan puasa?
Puasa secara kategoris berbeda dengan 4 aspek Islam lainnya. Ia merupakan ibadah yang sangat pribadi dan tidak mengandung kontrol sosial dalam pelaksanaannya. Artinya shaim (orang yang berpuasa) tidak bisa diketahui orang lain bahwa sedang berpuasa. Rasa capek, lapar, dahaga dan sebagainya tidak bisa dijadikan rujukan orang yang berpuasa, meski semua itu termasuk cirinya. Bisa jadi seseorang yang merasakan rasa tersebut adalah Mufthir (orang yang tidak berpuasa). Dan sangat mungkin sekali shaim meski ia berpuasa tetap tegar karena kuatnya raja’ atau harapan akan rahmat dan ampunan Allah yang dijanjikan untuk orang yang berpuasa.
Maka dari itu, privasi puasa bagi yang melakukannya meniscayakan kesadaran akan ke-Maha-hadiran Allah yang menembus batas ruang dan waktu. Karenanya, yang memperoleh pahala puasa itu berbeda dengan pahala ibadah-ibadah lainnya. Kalau ibadah-ibadah selain puasa, pahalanya akan diperoleh langsung oleh pelakunya. Sedangkan kalau dalam ibadah puasa, ‘Ibad hanyalah sebagai subyek ibadah itu seja. Allah-lah yang memiliki ibadah itu dan Dia pulalah yang akan membalasnya. Tertera dalam Hadits Qudsi, Allah berfirman: “puasa itu milik-Ku dan Aku yang akan membalasnya”(HR. Thabrani).
Akan tetapi, kalau kita kaji lebih mendalam di balik kepribadian puasa itu terkandung kepedulian rasa sosial (sense of social) yang sangat tinggi. perasaan ini timbul sebab adanya laku “penderitaan” fisik dari tiap-tiap muslim yang mengantarkan pada kesamaan cipta, rasa dan karsa. Sehingga dorongan solidaritas dan persaudaraan sesama manusia semakin tinggi. kondisi ini yang kemudian menciptakan rasa solidaritas (sense of solidarity) antar sesama dan self restrain (pengendalian diri) dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian, efek puasa sebenarnya mengalir dari level individual kepada level sosial. Dan kedudukannya pun bukan semata-mata cultus privatus, tetapu juga cultus publicus.
Dari Musibah Ke Perbaikan Bangsa
Tidak kurang dari 5 musibah besar sejak Desember 2004 melanda Indonesia. Mulai dari Aceh, Sumatera, Jember, Jogja, Pangandaran dan Sidoarjo yang hingga kini belum ditemukan solusi penyelesaian musibah yang berupa lumpur panas tersebut secara pasti. Ratusan ribu nyawa melayang, ribuan rumah hilang dan rusak, ribuan anak menjadi Yatim dalam musibah tersebut.
Kejadian-kejadian ini cukup menggugah terhadap stabilitas bangsa dari berbagai dimensi. Khususnya dimensi ekonomi yang menjadi mainstream utama dalam perwujudan kesejahteraan bangsa menuju yang lebh ideal. Maka tentunya musibah ini memberikan pelajaran berharga terhadap kita bersama untuk merenung, berfikir dan bertafakkur terhadap kekuasaan dan kehendak Sang Maha Kuasa dengan melakukan introspeksi diri, perbaikan perilaku dengan tidak berbohong, dalam sikap memimpin, sikap dipimpin, sikap berpolitik yang tidak sewenang-wenang, menggantinya dengan sikap solider, jujur, bekerja untuk kepentingan bersama (bukan untuk pribadi dan golongan), toleran dalm pegaulan dan tidak arogan.
Musibah-musibah itu memang pahit. Namun, perlu kita hadap i secara sabar dan optimis bahwa di balik musibah itu terdapat hikmah (wisdom), terutama untuk perbaikan bangsa ke depan. Justru fenomena yang mesti lebih diperhatikan lagi adalah kondisi bangsa yang kian hari kian tercemar statusnya. Pencemaran ini tidak lain disebabkan karena ulah sebagian besar pelaku-pelaku bangsa yang sudah terjebak pada vested interest, provide oriented dalam setiap kerjanya. Hal ini kemudian menjadi alasan maraknya berbagai bentuk keculasan politik, tindak korupsi, tindak kriminal, penyelewengan dana umat dan lain sebagainya.
Maka dari itu, sebagai refleksi bulan puasa kali ini, kita bangun kembali bangsa ini dari keterpurukan rohani, rasa krisis (sense of crisis) yang berkepanjangan, terutama krisis moral yang telah memporak-porandakan bangsa ini, sekaligus menjauhakn bangsa ini dari kategori bangsa yang diistilahkan Al-Qur'an sebagai bangsa yang baik dan diampuni Tuhan (Baldatun Thooyyibatun Wa Robbun Ghafur) (Q.S. Saba’/ 34: 15).
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!