Welcome to Ilyas' Site

Friday, September 4, 2009

Noordin, Aktor Terorisme di Indonesia

Judul : Misteri Noordin M Top dan Jaringan Terorisme di Indonesia
Penulis : AS Nugroho
Tebal : vi + 156 halaman
Penerbit : Pustaka Timur, Yogyakarta, 2009
Peresensi : Moh. Ilyas


Isu dan wacana tentang terorisme kembali menyeruak di bumi pertiwi ini, terutama setelah ledakan dua hotel internasional di Kuningan Jakarta, yaitu JW. Marriot dan Ritz-Carlton 17 Juli lalu yang langsung divonis sebagai aksi terorisme di Indonesia.
Peristiwa yang menewaskan 9 orang ditambah 50 orang luka-luka itu sungguh menjadi pukulan di tengah banyak elite politik bermanuver menduduki jabatan kabinet pemerintah 2009–2014. Sebab ia terjadi pada saat Indonesia baru saja menggelar pesta demokrasi Pemilu Presiden 2009 pada tanggal 08 Juli 2009. Bahkan sempat muncul kabar angin yang berusaha mengkait-kaitkan aksi terorisme tersebut dengan kasus Pilpres. Meskipun kabar angin ini langsung mereda setelah beberapa pasangan Capres-Cawapres menanggapi tudingan yang dianggap tidak berdasar itu.
Namun, terlepas dari motif penyebabnya, aksi yang menodai citra bangsa ini merupakan aksi terorisme yang sudah mengakar kuat di Indonesia. Beberapa hari setelah tragedi pilu tersebut terungkap bahwa dalang sekaligus aktor pengeboman ini adalah Noordin Mohammad Top, seorang “pelaku lama” sekaligus buron nomor wahid di Asia Tenggara, terutama setelah tertangkapnya Dr.Azhari. Tentu saja juga ada dugaan keterlibatan Kelompok Jamaah Islamiyah (JI) seperti sebelum-sebelumnya. Noordin M.Top bisa dikatakan teroris paling licin karena selalu lolos dari penggerebekan polisi. Bahkan hingga hari ini ia masih dapat menghirup udara segar di luar penjara, dan masih mungkin merekrut relawan-relawan baru untuk melakukan aksi-aksi berikutnya.
Siapakah Nordin M Top (NMT) sebenarnya, dan bagaimana sepak terjangnya di dunia terorisme?
Buku “Misteri Noordin M Top dan Jaringan Terorisme di Indonesia” berupaya keras menguak sedalam mungkin tentang NMT. NMT dalam buku ini digambarkan dengan sosok setinggi 173 sentimeter, berbadan gempal, dan berkulit kuning cerah. Laki-laki yang beralamat di Jalan Temenggung 8 No. 29, Tun Aminah, Johor ini adalah kelahiran Johor, Malaysia, 11 Agustus 1969. Ia bercambang. Logat bicaranya kental Melayu. Tas kecil selalu menemaninya dalam beraktifitas. Menurut keterangan Ismail, terdakwa kasus peledakan bom di hotel JW. Marriot I, Jakarta, NMT memiliki peran yang lebih besar daripada Dr.Azhari. Jika Azhari menjadi penasehat dan perakit bom, peran NMT menjadi ketua pelaksana, merangkap bagian pendanaan, penyedia bahan peledak dan penyedia tenaga bom bunuh diri. Penampilannya dalam sebuah kaset video yang ditemukan pada November 2005, lengkap dengan balaclava (topi yang biasanya digunakan di daerah dinginyang menutupi wajahnya kecuali mata dan mulut) tampaknya merupakan usaha untuk meniru video yang dibuat oleh Zarqawi, tokoh relawan AS di Irak.
Sebenarnya jika dipandang dari segala sudut, NMT ini bukanlah seorang figur yang sangat mengesankan. Sebagai seorang Muslim salafi, pengetahuan keagamaannya sangat terbatas, dan ia tidak bisa berbahasa Arab. Ia juga bukan orator ulung. Tetapi ia mempunyai kepiawaian untuk dapat mengumpulkan pengikut-pengikut yang setia yang memiliki keterampilan yang tidak ia punyai.
NMT dan para anggota intinya adalah anggota JI. Ia menjadi Direktur Pondok pesantren Luqmanul Hakim di Malaysia hingga tahun 2001, yang merupakan markas Mantiqi I, yaitu divisi JI yang meliputi wilayah Malaysia dan Singapura. Tetapi sejak aksi bom Marriot pada 2003, tampaknya secara berangsur-angsur ia telah semakin merencakan jalannya sendiri. Pada saat bom kuningan, tampaknya ia telah beroperasi sendiri di luar komando pusat JI, meskipun menurut laporan ia masih menganggap dirinya sebagai anggota JI. (61).
Memang, anggota-anggota JI yang menjadi pelaku pengeboman paling dikenal dan menjadi tokoh-tokoh teroris terkemuka di Indonesia seperti Hambali, Mukhlas, Amrozi, Ali Imran, Zulkarnaen, Faturrahman Al-Ghozi, Dulmatin, Imam Samudra, Azhari dan NMT pernah mengajar atau belajar di Luqmanul Hakiem. Dan NMT sendiri mulai mendengarkan ceramah-ceramah di situ sekitar tahun 1995, pada waktu ia sedang bersekolah untuk mengambil gelar S1 di Universitas Teknologi Malaysia yang letaknya tak jauh dari Luqmanul Hakiem. Mengenai JI di Malaysia dan Pesantren Luqmanul Hakim sendiri pada akhir 2001 berhenti beroperasi setelah digerebek oleh pemerintah Malaysia. Akibatnya, pada awal 2002 NMT pindah ke Riau, dan pada pertengahan 2002 ia dan Mohammad Rais, iparnya yang seorang WNI yang lulusan Luqmanul Hakiem pindah ke Bukit Tinggi, Sumatera Barat. (65).
Selain buku ini mengungkap tentang siapa dan bagaimana latar belakang pendidikan NMT dan beberapa tokoh-tokoh pengebom lainnya, buku ini juga secara detail memotret tentang peran-peran NMT dan napak tilasnya di jalan panjang dunia terorisme di Indonesia seperti tragedi-tragedi pengeboman di Marriot, Bali, Kedubes Australia dan tempat-tempat lain termasuk gereja-gereja di Indonesia.
Namun, tidak berhenti di situ, buku karya AS Nugroho ini juga memotret tentang jaringan Al-Qaeda di Indonesia, dari kemunculannya hingga keterlibatannya dalam ikut menyandang dana bom di Indonesia (13–30), tentang radikalisme Jamaah Islamiyah dari awal mula berdirinya, hingga keterlibatannya dalam berbagai peristiwa bom di Indonesia, termasuk di Poso dan Maluku. (33–52), tentang NMT dan jaringan terorisme di Indonesia (57–91) dan juga tentang kematian Dr. Azhari dan gerakan terorisme pasca kematiannya (109–119). Bahkan turut disertakannya daftar sebagian kasus bom di Indonesia yang dituduhkan kepada Jamaah Islamiyah (JI), indeks nama-nama tersangka terorisme di Indonesia yang dilengkapi dengan pendidikan-pendidikannya menjadi kekuatan tersendiri dalam buku ini. Setidaknya pembaca diajak untuk mengetahui secara datatif tentang tragedi-tragedi bom di Indonesia berikut otak dan pelaku-pelakunya di balik tragedi itu.
Hanya barangkali tidak disertakannya data-data tentang motif mereka melakukan aksi terorisme bisa menjadi koreksi tersendiri terhadap kehadiran buku ini. Meski demikian kehadiran buku ini patut diapresiasi mengingat bahwa terorisme – termasuk aktornya – masih menjadi hantu dan misteri di negeri kita yang pada waktu-waktu tertentu bisa saja kembali terjadi. Oleh karenanya mengantisipasi terulangnya aksi terorisme menjadi tanggung jawab kita bersama.
Setidaknya, sebagaimana diulas dalam buku ini, ada 3 hal yang bisa kita lakukan. Pertama, terus mempersempit ruang gerak dan kesempatan teroris melakukan serangan kembali. Peran tokoh masyarakat, baik agamawan maupun lainnya multak diperlukan. Misalnya dengan memberi arahan-arahan ataupun penyadaran-penyadaran kepada masyarakat. Kedua, melakukan deteksi dini terhadap aktivitas gerakan terorisme. Peran Badan Intelijen Negara (BIN) dan kepolisian perlu dimaksimalkan. Ketiga, membangun kembali kekuatan masyarakat dengan bingkai kekeluargaan, solidaritas, dan gotong royong untuk saling memabntu menghadang para teroris. Dengan cara-cara ini diharapkan tidak terjadi lagi aksi-aksi terorisme yang notabene merupakan aksi yang tidak berperikemanusiaan itu.

* Penulis adalah Pemerhati Buku, tinggal di Jakarta.

No comments:

Post a Comment

Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!