Welcome to Ilyas' Site

Thursday, November 12, 2009

”WISDOM” DARI LAPANGAN HIJAU

Oleh: Moh. Ilyas

Saat masyarakat kita disuguhkan dengan tontonan-tontonan yang menayangkan praktek-praktek penegakan hukum yang penuh rekayasa, upaya pelemahan terhadap institusi pemberantasan korupsi (KPK), hingga susahnya mengungkap kebenaran, di saat itu pula tontonan-tontonan olahraga sepak bola di layar kaca semakin banyak peminatnya. Bahkan, mungkin, lebih menarik dibanding tontonan seputar keadilan itu. Apalagi, di tengah masyarakat dunia yang saat ini sedang mempersiapkan ”jago negaranya” berlaga di pentas piala dunia 2010 mendatang. Lantas, kenapa tontonan lapangan hijau lebih menarik?
Tontonan penegakan hukum yang begitu kusut sudah tidak menarik lagi, sebab ia bukan barang baru. Sebelum ”tragedi perang” KPK – Polri dan kejaksaan agung ini kasus BLBI telah lebih dahulu menjadi potret susahnya menguak kebenaran di negeri ini. Bahkan, parahnya, hingga kini kasus yang merugikan negara itu tenggelam begitu saja dalam ”ombak” rekayasa. Tidak ada tindak lanjut.

Lapangan Hijau
Walaupun kasus rekayasa terhadap KPK yang bermula adanya tuduhan penyalahgunaan wewenang, penyuapan dan pemerasan terhadap 2 pimpinan KPK (non aktif), Bibit S.Rianto dan Chandra M.Hamzah oleh Polri bisa dikatakan lebih mujur dibanding kasus BLBI. Namun yang perlu dicatat adalah tidak adanya ketegasan dari – meminjam bahasa lapangan hijau – sang wasit. Dalam hal ini Presiden. Presiden sangat lamban menyikapi hal ini. Bahkan, meski akhirnya ia membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) dinilai banyak kalangan sudah terlambat.
Perspektif filosofi ”lapangan hijau” ini mungkin lebih tepat digunakan oleh seorang presiden dalam menyikapi kasus-kasus negara seperti KPK – Polri ini. Ajaran ketegasan, tidak ada tawar-menawar, hingga pemecatan setidaknya menjadi ciri tersendiri dalam dunia persepakbolaan. Siapapun yang melanggar dapat dikenakan kartu kuning, bahkan jika pelanggarannya tergolong berat, langsung dikenakan kartu merah yang berarti harus out dari lapangan hijau. Karena itulah seorang wasit selaku penentu kebijakan tertinggi harus betul-betul kredibel dan lepas dari kepentingan-kepentingan.
Sementara dalam kasus ”Cicak versus Buaya”yang melanda negeri ini, tidak ubahnya seperti pertandingan yang hanya bisa ditonton, tetapi tidak bisa diatur. Presiden Yudhoyono sama sekali tidak tegas memberikan ”kartu merah” pada orang-orang yang dianggap bertanggung jawab atas kejadian ini, yakni Kapolri dan Kejagung. Bahkan Anggodopun yang sudah jelas-jelas menjadi tokoh kunci kasus ini dan juga telah mengakui melakukan penyuapan dibiarkan saja melenggang bebas. Ini menunjukkan tingginya ketidak-adilan di negeri ini.
Seharusnya, jika memang melakukan tindak pidana, tidak boleh ada seorang pun yang lepas di mata hukum untuk diadili. Di sinilah prinsip dasar persamaan di hadapan hukum (equality before the law) akan terlihat. Karenanya, yang harus segera ditunjukkan kepada publik adalah proses hukum yang transparan, fair dan profesional. Polri tidak punya pilihan, selain menghadirkan bukti-bukti pendukung yang mereka miliki, agar publik pun dapat mengawasi jalannya proses hukum tersebut. Hanya pembuktian hukumlah yang harus menjadi dasar pijakan berhenti atau terus jalannya suatu kasus hukum. Dalam permainan sepak bola, seorang pemain yang ambisius untuk memasukkan gol tetap harus memerhatikan kode etik di lapangan hijau, sehingga golnya dianggap sah.

Keadilan Yang Ditunggu-Tunggu
Pernyataan Martin Luther King, Jr (1929–1968), seorang pemimpin perjuangan hak sipil Amerika Serikat, “di manapun ketidak-adilan adalah ancaman bagi keadilan di mana-mana,” saat ini sudah tertangkap kebenarannya. Praktek ketidak-adilan yang tercium dari kasus KPK–Polri telah menumbuhkan antusiasme yang cukup tinggi di kalangan masyarakat. Hal ini dapat dilihat jutaan facebooker pendukung Bibit-Chandra, seruan-seruan moral tokoh-tokoh bangsa hingga demonstrasi yang bertubi-tubi.
Motif utama yang sesungguhnya dapat dipelajari dari gelombang aksi dukungan terhadap Bibit-Chandra yang begitu memukau tersebut selain masyarakat merindukan adanya sebuah institusi seperti KPK yang tetap kuat berjuang melawan koruptor juga merindukan hadirnya keadilan.
Masyarakat luas mengalami krisis kepercayaan terhadap aparat penegak hukum dan anggota legislatif. Apalagi di tengah-tengah tingginya harapan keadilan itu justru legislatif, yakni komisi III DPR sangat pro terhadap kepolisian dan kejaksaan. Krisis kepercayaan ini bisa mengarah pada pemerintahan SBY-Boediono bila tak segera mengambil sikap jelas dan tegas pro kebenaran dan keadilan.
Bangsa ini harus bangkit meraih kebenaran dengan menegakkan keadilan. Bila tidak, kepercayaan rakyat pun akan kian memudar. Tidak akan ada lagi rakyat yang percaya penegakan hukum dan keadilan. Satu-satunya jalan adalah Pemerintah harus memulihkan kepercayaan rakyat dengan kembali pada komitmen menyelenggarakan clean and good governance.
Bila keadilan yang ditunggu-tunggu ini tidak jua datang, maka meminjam gagasan Francis Fukuyama (dalam State Building, 2006), bangsa kita akan terperosok ke dalam bukan saja situasi negara lemah, melainkan negara gagal atau bahkan negara di ambang kehancuran.
Sebaliknya, jika pemerintah tegas dan akurat dalam membumihanguskan ketidak-adilan, yakni dengan memberikan ”kartu merah” kepada oknum-oknum yang terlibat, maka di saat itu pulalah kata ”wisdom” sebagai lambang kebijaksanaan pemerintah akan menyelamatkan negeri ini dari kehancuran.


* Penulis, Pemerhati Masalah Keadilan
Aktif di Bakornas LAPMI PB HMI.

No comments:

Post a Comment

Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!