Oleh: Moh. Ilyas
Minggu malam kemarin (05/7) ketika saya nonton Democrazy, sebuah program yang biasa saya sebut “guyonan-ilmiah” ala Metro TV, saya menyaksikan dua orang Narasumber (La Nyalla Mattalitti dan satu narasumber lain) sama-sama menggugat peran dan kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dianggap tidak profesional dalam melaksanakan Pemilu. Pasalnya, menurut mereka terlalu banyak persoalan yang belum diselesaikan oleh KPU. “Bahkan masalah DPT (daftar pemilih tetap, pen) saja hingga H-3 ini masih banyak yang bermasalah”, ungkap La Nyalla. “Di Jawa Timur Kecurangan KPU terkait masalah DPT sejak Pilgub, Pileg hingga Pilpres kali ini terus meningkat. Bahkan sekitar 30 juta penggelembungan suara di Pilgub Jatim kemarin”, lanjut Ketua Pemuda Pancasila ini sembari menyodorkan bukti DPT salah satu kabupaten/ kota di Jawa Timur.
Wacana seputar ketidaksiapan dan ketidak profesionalan KPU tidak hanya dari La Nyalla saja, komentator satunya juga mengungkapkan hal yang sama dengan kasus-kasus serupa di daerah yang berbeda.
Setengah jam kemudian sekitar jam 22.30 Wib pada malam itu juga channel TV-One menyiarkan secara langsung jumpa pers dua pasangan Capres-Cawapres JK-Wiranto dan Mega-Prabowo di kantor pusat dakwah PP. Muhammadiyah, Menteng Jakarta yang dipimpin langsung oleh ketua Muhammadiyah, Din Syamsuddin setelah sebelumnya mengadakan pertemuan tertutup sekitar 30 menit di lantai dua kantor itu juga. Dalam jumpa pers itu Jusuf Kalla (JK) menyatakan bahwa KPU harus mengevaluasi kembali tentang persiapan Pemilu, terutama berkaitan dengan DPT. Sehingga JK mengharap KPU bisa memperbaiki DPT dan menghapus suara-suara ganda yang di salah satu TPS tertentu mencapai 15 nama yang sama. Sementara Megapun menanggapi kinerja KPU sudah tidak sesuai dengan sistem demokrasi yang pertama, yakni tahun 2004 yang dipandang betul-betul bersih, jujur dan adil.
Apakah Ini Demokrasi Petak Umpet ?
Berbagai tanggapan dari kedua tim sukses pasangan JK-Win dan Mega-Pro mensinyalir ada semacam “permainan belakang” dari KPU. Dugaan mereka semakin menguat ketika KPU menyebarkan contoh surat suara yang disosialisasikan di beberapa daerah yang telah ada contoh contreng di pasangan nomor urut 2. “Kenapa kok hanya nomor 2”? Tanya mereka mengingkari.
Persoalan-persoalan di atas membawa haru dan pilu tersendiri bagi anak-anak bangsa yang masih menginginkan kesucian dalam Pilpres kali ini. Praktek-praktek “ilegal” semacam ini yang dilakukan oleh calon tertentu sebagai ambisiusitas kekuasaan hanya mencoreng citra demokrasi kita. Bahkan, jika langkah “kotor” ini sukses mengantarkan kandidat tertentu, maka demokrasi kita bukan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tetapi lebih tepat jika dikatakan DARI BELAKANG, OLEH ORANG BELAKANG DAN UNTUK ORANG BELAKANG. Jika demikian, tidak lebih tepatkah jika demokrasi kita disebut demokrasi Petak Umpet. Di mana, ada salah satu aktor jadi pencari sementara aktor-aktor lainnya jadi yang dicari. Jika yang dicari ini pandai bersembunyi, ia tidak akan ditemukan, maka ia akan selamat, tetapi jika ia tidak pandai ia akan ditemukan, kemudian dia akan menjadi pencari sebagai konsekuensinya.
Jika inilah model demokrasi kita, maka kita (rakyat) tak lebih dari sekedar boneka yang jadi mainan “KPU” dan orang-orang yang menjalankan “kereta api permainan” mereka. Naudzubillah...
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!