Welcome to Ilyas' Site

Tuesday, August 4, 2009

MENEMUKAN KEMBALI JATI DIRI KEMERDEKAAN

Tanggal 17 Agustus kemarin tanpa terasa bangsa kita telah masuk pada usia ke 63 tahun kemerdekaan. Sebuah usia yang telah menuntun bangsa ini pada dinamika perubahan, dinamika kemandirian sebagai bangsa yang berdaulat. Hampir semua rakyat negeri ini berharap dari dinamika tersebut akan lahir kehidupan baru sebagai jati diri kemerdekaan yang merangkum kesejahteraan, kedamaian, keadilan, dan kemakmuran.
Namun, harapan itu hingga hari ini masih menjadi teka teki. Tujuan sekaligus jati diri yang diimpi-impikan dari kemerdekaan yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 ini seolah “hilang” di mata rakyat. Hingga hari ini begitu banyak rakyat yang masih sengsara, menderita, dan hidup di bawah garis kemiskinan. Ini merupakan indikasi bahwa kemerdekaan yang kita agung-agungkan masih dalam tataran “kulit’ saja, belum pada “isi”. Konteks “isi” akan dicapai apabila individu-individu di negeri ini telah mencapai kehidupan yang adil, makmur, dan sejahtera. Artinya, kemerdekaan hakiki akan dicapai apabila tataran “kulit” dan “isi” kemerdekaan itu sudah secara universal dicapai, tidak partikular.
Nah, sekarang pertanyaannya, kenapa kemerdekaan yang masih bersifat partikular atau masih disebut-sebut pada tataran kulit saja ini terus terjadi, apa penyebabnya?
Persoalan ini tentu tak dapat dijawab dari satu sudut pandang saja. Berbagai aspek penting yang menyangkut sosial, ekonomi, politik, pendidikan, dst. Mesti ditelaah kembali. Meski hanya satu sektor yang paling dominan – misalnya – tapi pada dasarnya sektor-sektor tersebut saling berkaitan, sehingga tak dapat dipisahkan satu sama lain. Kalau penderitaan, kesengsaraan, dan kemiskinan rakyat yang dijadikan sampel, maka sektor ekonomi yang paling dominan. Tetapi, di samping itu, ada mata rantai sektor-sektor lain yang juga mempengaruhi. Jelasnya, pasti ada something wrong yang turut mengubur cita-cita kemerdekaan itu sendiri.
Berkaitan dengan ini, ada baiknya jika kita mencoba mengingat kembali apa yang pernah dikatakan Menteri Agama, H. Muhammad Maftuh Basyuni beberapa waktu lalu seperti diberitakan harian Kompas (11/08). Dia mengatakan bahwa banyaknya orang belum menikmati kemerdekaan hingga kini disebabkan perpecahan, belenggu kesesatan, dan suburnya praktek korupsi.
Pernyataan tersebut sangat bersinergi dengan persoalan di atas, yakni berkaitan dengan banyaknya masyarakat kita yang belum menikmati kemerdekaan. Dengan bahasa berbeda, makna “belum menikmati” dapat kita terjemahkan “belum merdeka” dalam rasa, dan hati. Mungkin, secara fisik bangsa ini memang telah merdeka, tetapi secara mental, secara psikologis, yang menyangkut substansi kemerdekaan itu sendiri belum terasa. Kalau dzahirnya saja yang merdeka, belum batinnya, maka kemerdekaan hanya menjadi sekedar konstruks dzahiriyah, belum mampu menjadi bangunan batiniyah yang bisa langsung dirasakan oleh seluruh masyarakat bangsa ini. Karenanya, kemerdekaan tidak lebih hanya sebagai barang langka yang bisa dikonsumsi oleh kalangan terbatas saja. Bagi mereka yang telah menikmati hidup dengan gelimang harta, kekayaan, kesejahteraan, kedamaian, keadilan, serta kemakmuran, maka kemerdekaan pantas disandangkan pada mereka. Tetapi bagi mereka yang menapaki hidup dalam penderitaan, kesusahan, kemalaratan, dan kemiskinan, maka kemerdekaan yang telah diproklamirkan lebih setengah abad itu kuranglah berarti bagi mereka. Bahkan mereka bisa berfikir, bahwa adanya kemerdekaan hampir mirip dengan tidak adanya kemerdekaan.
Karenanya, pernyataan Maftuh tersebut patut diapresiasi dan dicarikan solusi, agar kemerdekaan yang telah terlalu “diagung-agungkan” betul-betul memiliki makna terhadap semua masyarakat negeri ini tanpa terkecuali.
Alasan “tidak menikmati” di atas di antaranya karena adanya perpecahan, praktek korupsi, itu memang benar. Masyarakat kita terlalu “suka” dengan suasana kemelut ketimbang suasana damai, terlalu senang berpecah belah daripada bersatu. Bagaimana perpecahan yang menyangkut perorangan, ataupun kelompok-kelompok tertentu yang akhir-akhir gencar mengisi telinga dan tatapan mata kita? Kita tentu masih ingat dengan “pertikaian” atas nama aliran pemahaman agama antara beberapa ormas Islam – di antaranya Front Pembela Islam (FPI)” – dengan Ahmadiyah dengan bentuk pengrusakan dan atau pengusiran terhadap jemaat Ahmadiyah, tragedi kekerasan antara Aliansi Kerukunan dan Keyakinan Antar Umat Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dan FPI di Monumen Nasional (Monas) awal Juni lalu. Perseteruan wilayah politik dan pilkada. Kasus “pertikaian” internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) antara Gusdur dengan Muhaimin Iskandar yang cukup “membengkakkan” telinga kita, ataupun persoalan Pilkada dengan bentuk ketidak puasan pihak tertentu sehingga menyebabkan konflik berkepanjangan. Anehnya, pihak media terpancing dengan suasana konflik itu, sehingga diblow-up secara besar-besaran di media masing. Seandainya, media mengekspose yang lebih bermanfaat kepada rakyat (pembaca), misalnya, upaya membangun bangsa, upaya mengentaskan kemiskinan, upaya meminimalisir tindak kriminal, dst. Tentu akan lebih bernilai terutama dalam rangka mengisi kemerdekaan.
Sementara persoalan yang tak kalah kuatnya menciptakan keterpurukan di Indonesia ini adalah maraknya kasus-kasus korupsi mulai dari pusat hingga ke daerah, bahkan lembaga-lembaga tinggi negara sekalipun, seperti Mahkamah Agung yang menyeret Artalyta Suryani (Ayin) dalam kasus penyuapan Jaksa Urip Tri Gunawan, di DPR RI, Al Amin Nur Nasution dengan Sekda Bintan, Azirwan, yang terlibat dalam kasus suap alih fungsi hutan lindung di Bintan, kepulauan Riau. Ada pula Bulyan Royan yang tertangkap atas kasus suap Tender Pengadaan Kapal Patroli Dirjen Dephub, belum dengan kasus BLBI yang mencapai hingga triliunan rupiah itu. Bahkan menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk pengadaan barang dan jasa saja dana Rp.400 triliun yang dianggarkan pemerintah kepada tiap departemen/ instansi baik di pusat atau di daerah sebanyak 30 persen selalu mengalami kebocoran akibat dikorupsi. (Pelita, 22/07/2008).
Begitu tinggi tingkat korupsi di negeri ini, dan begitu luas penyebaran para koruptornya. Dalam hal ini istilah “Korupsi Berjemaah” dari Amien Rais ataupun istilah “ditebang satu, tumbuh seribu” itu memang tepat menggambarkan gemparnya kasus-kasus korupsi yang tidak henti-hentinya melanda negeri ini. Ditangkap satu koruptor, muncul koruptor-koruptor lain yang sudah siap menggantikan posisinya sebagai orang yang merugikan jutaan rakyat itu. Negeri ini memang pas dikatakan lumbung para koruptor.
Jika persatuan dan kesatuan makin dihindari dengan selalu berpecah belah, dan praktek korupsi terus mengalir deras, seakan menjadi sesuatu yang legitimated bagi para pelakunya, bagaimana ruang kemerdekaan sejati akan terwujud? dan bagaimana mungkin wacana kemerdekaan yang terus berkelindan ini dapat diterapkan dan diisi sebaik mungkin jika kita, pemerintah kita, wakil kita di DPR, terus dikebiri dengan persoalan-persoalan semacam itu? Bukan tidak mungkin retorika kemerdekaan ke depan akan semakin usang dan semakin meninggalkan substansinya.
Maka, agar kemerdekaan betul-betul menemukan arah dan isinya, hal-hal yang dapat menghambat perjalanan stabilitas negara, termasuk perilaku korupsi dan pertikaian/ perpecahan yang menciderai persatuan dan kesatuan harus segera diakhiri. Kalau perpecahan harus segera dicarikan upaya mendinginkan suasananya, bukan malah makin “dikompori” oleh pihak-pihak tertentu. Sedangkan kalau perilaku korupsi harus ditindak seberat-beratnya, bahkan dengan hukuman mati sekalipun. Hal ini jika mengacu pada UU RI No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yakni Pasal 2 ayat 1, di mana pidana mati dapat dijatuhkan jika pidana korupsi dilakukan bila keadaan negara dalam bahaya, bencana alam nasional, pengulangan tindak pidana korupsi atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Ini bertujuan agar para pelakunya jera dan betul-betul takut akan resiko yang bakal diterimanya. Cara ini juga dilakukan agar aset-aset negara ke depan bisa diselamatkan, dan perekonomian negara juga semakin stabil, dan dengan begitu maka jati diri kemerdekaan akan lebih mudah ditemukan, di mana ketika itu rakyat merasakan betul apa arti kemerdekaan itu.

No comments:

Post a Comment

Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!