Oleh: Moh. Ilyas
Hiruk pikuk “drama kolosal” KPK – Polri yang berujung pada penahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, kamis (29/10) dinilai banyak pihak sebagai suatu keanehan dan tidak masuk akal. Tak ayal kondisi itu membawa publik (baca: masyarakat) bergejolak keras menyuarakan keadilan dan kebenaran. Mereka yang datang dari berbagai elemen menentang keras penahanan kedua pimpinan KPK non aktif tersebut.
Salah satu dari elemen yang menyatakan menolak penahanan mereka adalah pemuda dan mahasiswa. Bagaimana tidak, setelah sehari sebelumnya (28/10) para pemuda Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda yang seharusnya dapat mengevaluasi secara totalitas peran pemuda saat ini, justru mereka dihadapkan pada suatu kondisi bangsa yang mencoba keluar dari circle of law (lingkaran hukum) dan justice (keadilan), yakni penahanan Bibit – Chandra yang dinilai cacat hukum dan dipandang sebagai langkah pelemahan sekaligus pengerdilan terhadap eksistensi KPK.
Namun, tidak adanya evaluasi bagi pemuda di hari sumpah pemuda tersebut sebenarnya tidak perlu dirisaukan. Sebab, perseteruan Cicak versus Buaya ini sebenarnya dapat dijadikan momentum tersendiri untuk mengevaluasi sejauh mana peran mahasiswa dan pemuda saat ini. Dalam artian, jika mereka mampu menciptakan perubahan, yakni mengembalikan identitas hukum dan keadilan secara benar, terutama dalam kasus KPK - Polri yang oleh banyak pihak dituding “penuh permainan” ini, maka setidaknya peran pemuda sebagai agent of change yang selama ini menjadi icon yang disandangnya dapat dimiliki kembali.
Tentunya dalam upaya menciptakan perubahan tersebut, ketajaman analisis pemuda merupakan sesuatu yang niscaya untuk dimiliki. Artinya, mereka harus mencoba memandang bahwa “pemain-pemain di belakang layar” kasus ini tidak menutup kemungkinan adalah kalangan elit penguasa yang bersembunyi di balik jubah kekuasaannya. KPK, Polri atau Kejagung bisa saja hanya sebagai obyek permainanya. Karenanya, jika konteksnya sudah sampai pada kata ‘kekuasaan’, ada baiknya kita (pemuda) kembali merenungkan gaya politik Machiavelli (1469-1527) yang merupakan "guru" bagi para maniak kekuasaan. Baginya, demi meraup kekuasaan, tidak ada yang mustahil dilakukan, semuanya halal dilakukan, kalau perlu membunuh ribuan atau jutaan orang. Nasihat klasiknya adalah kalau ingin menjadi penguasa, jangan sekali-kali mengikuti norma-norma sehat. Jangan sekali-kali takut berbohong, takut membunuh, atau takut memfitnah. Barangkali momentum inilah yang tepat bagi para pemuda untuk kembali menunjukkan perannya dalam turut membangun bangsa ini.
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!