Welcome to Ilyas' Site

Saturday, November 14, 2009

HAJI UNTUK MARTABAT BANGSA


Oleh: Moh. Ilyas

Gaung haji kembali bergema. Jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia sedang melakukan kongres spiritual dan fisik menurut tata cara haji (manasik) sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad SAW.
Tak ketinggalan, di tengah kondisi bangsa yang begitu sembraut dengan menggelembungnya kasus-kasus korupsi, suap, pemerasan hingga rekayasa hukum, jemaah haji asal Indonesia masih juga tetap antusias melaksanakan ritual tahunan ini. Bahkan, dari tahun ke tahun selalu menunjukkan angka peningkatan cukup drastis. Lantas yang menjadi persoalan, kenapa semakin banyak orang melakukan haji, martabat bangsa seolah semakin terpuruk? Tidakkah bias haji dapat mengubah hidup seseorang lebih berkualitas?
Menjawab ini tidak lantas ibadah haji yang mesti disalahkan. Sebab yang dipertaruhkan adalah kualitas haji yang telah dilaksanakan. Apakah seseorang yang menjalaninya betul-betul memperoleh bias positif dari ibadah yang dilakukannya atau tidak? Hal ini tergantung pada kualitas niat dan kualitas pelaksanaan ibadah haji itu sendiri.

Kualitas Niat
Melakukan ibadah haji sejatinya merupakan perjalanan pulang menuju padepokan ruhani, yaitu rumah Allah (Arab: baitullah). Oleh karena ini perjalanan pulang, tentu harus membawa bekal. Orang yang bepergian jauh, seperti biasa oleh-olehnya selalu ditunggu oleh sanak-kerabatnya di rumah. Nah, jika orang melakukan ibadah haji, apa yang harus ia oleh-olehkan kepada Allah? Tiada lain, takwa dan keikhlasan hati.
Takwa dan ikhlas hati di sini memiliki pertautan yang cukup erat. Orang yang takwa (muttaqien) sudah barang tentu hatinya ikhlas untuk melaksanakan ibadah haji. Sehingga tujuan hajinya bukan semata travelling, bersenang-senang, apalagi hanya ingin dipuji tetangga dengan gelar H (haji) atau Hj (hajjah) saja. Perbedaan niat ini memengaruhi kualitas haji seseorang. Biasanya, jika niat seseorang murni ingin mendekatkan diri kepada Allah dan mencapai ridha-Nya, segenap tenaga dan pikirannya terkonsentrasi untuk mencapainya melalui peningkatan kualitas ibadahnya, baik secara vertikal maupun horizontal. Namun, bila niat seseorang melakukan haji di luar itu, seperti hanya senang-senang atau hanya untuk mendapatkan gelar haji, sesampainya di tempat pelaksanaan haji tidak fokus sepenuhnya untuk mencapi ridhanya.
Perbedaan kualitas niat dan proses ibadah inipun yang nantinya juga berimplikasi pada nilai haji seseorang. Apakah nilai hajinya mabrur (baik/ diterima), atau mardud (ditolak). Dua kualitas ini terkadang bisa diketahui melalui indikator-indikator tertentu. Misalnya, jika amal, ibadah dan perbuatan seseorang lebih baik dari sebelum haji, dapat dikatakan kualitas hajinya mabrur. Dan kualitas inilah seharusnya yang menjadi target setiap orang yang melaksanakan haji agar mereka bisa meraih apa yang dijanjikan Allah, yakni surga. Sebagaimana sabda Nabi, ”al-hajj al-mabrur laisa lahu jazaun illa al-jannatu.” (tidak ada balasan untuk haji mabrur melaikan surga).
Sebaliknya, jika setelah melaksanakan haji kehidupan seseorang tetap buruk, atau malah lebih buruk, maka dapat dinilai hajinya mardud. Namun, penilaian ini hanya dalam kacamata manusia. Sebenarnya hanya Allah yang sepenuhnya mengetahui rahasia di balik kualitas haji seseorang. Karenanya, dalam hal haji performance niat menjadi awal yang sangat dipertaruhkan.

Pesan Simbolik
Lebih jauh lagi jika kita hendak mengkaji seputar haji secara mendetil, akan kita dapatkan ritual-ritual haji yang kaya dengan pesan-pesan simbolik. Seperti ihram, thawaf, wukuf dan lainnya. Pakaian ihram misalnya, merupakan pakaian yang sama sekali berbeda dengan pakaian sehari-hari kita yang, kadang, serba wah, kain putih yang sangat sederhana dan tidak ada jahitan. Pakaian yang menjadi simbol latihan mental agar senantiasa ingat seragam perpisahan dengan dunia, ingat akan maut yang pasti datang. Sehingga dengan begitu, kita selalu ingin berbuat yang terbaik untuk menuju kehidupan ukhrawi, sebuah ruang hidup yang sebenarnya kelak.
Selain itu, pakaian ihram menyiratkan bahwa tidak ada status sosial yang diunggulkan, semuanya sama. Yang membedakan hanyalah kualitas ketakwaan dalam hati masing-masing. Semua hal keduniaan harus ditinggalkan sejenak. Yang ada hanya kata Aku dan Engkau.
Thawaf (berputar mengelilingi Ka'bah), Sa’i (berlari dari shofa dan marwah), Mabit (bermalam) di Mina dan Muzdalifah dan wukuf (berdiam diri) di padang Arafah. Jika kita renungkan rangkaian rukun dan sunnah haji tersebut memuat pesan instrospeksi serta pengakuan diri sebagai seorang hamba yang dha’if di hadapan Tuhannya. Rangkaian-rangkain tersebut secara historis mengingatkan kita pada perjuangan dan pengorbanan Nabi Ibrahim dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah swt.
Upaya taqarrub sebagaimana dicontohkan Nabi Ibrahim ini, hingga puncaknya adalah keberanian berkorban menyembelih putranya, nabi Ismail, juga berarti sebagai upaya menanggalkan egoisme kemanusiaannya demi Tuhannya serta wujud kerelaan dan keikhlasan melaksanakan apapun demi mencapai ridha-Nya. Nabi Ibrahim rela menanggalkan baju keduniaan dan harta benda. Dalam arti, ia mencoba menempatkan kepentingan untuk Tuhannya di atas segalanya. Inilah salah satu pesan simbolik ibadah haji yang sangat penting kita teladani.

Demi Martabat Bangsa
Pengalaman melakukan ibadah haji dan pesan-pesan yang dikandungnya menjadi sangat krusial dibawa ke arena bangsa ini. Terutama, di tengah martabat bangsa yang hampir terkubur oleh tindak kriminal yang tak kunjung usai, perilaku korupsi yang mewabah di setiap tempat, hingga klaim-klaim kebenaran (truth claim) yang akhir-akhir ini marak di lingkaran penegak hukum kita (baca: Polisi, kejaksaan dan KPK).
Sekurang-sekurangnya, jika kita, yang notabene belum pernah melakukan ibadah haji, masih bisa berharap pada mereka yang telah melakukan ibadah haji untuk datang sebagai ”juru penyelamat” bangsa ini. Barangkali ajaran-ajaran pengorbanan dan perjuangan Nabi Ibrahim yang banyak dijadikan rukun dan sunnah haji bisa diterapkan di negeri ini. Bagaimana beliau mengajarkan semangat memberi (to give), bukan semangat menerima (to take).
Dalam penerapannya, tiga hal setidaknya yang bisa dilakukan pemerintah, baik eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pertama, pemerintah mesti berfikir bagaimana memberikan yang terbaik untuk bangsa ini, bukan bagaimana menggerus keuntungan sebesar-besarnya dari bangsa ini. Kedua, kejujuran, amanah, dan empati sosial harus dipegang sebagai nilai yang membentuk mekanisme dan prosedur sosial dalam arti seluas-luasnya menuju keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan bersama (common wealth and wellfare). Ketiga, advokasi bagi para yang lemah dan toleransi bagi para penggerak (inisiator) sosial menuju harmonisasi kehidupan dan maslahat umum (public goods), di mana kepentingan publik (public interrest) dapat terpenuhi. Dengan tiga langkah inilah kemungkinan martabat bangsa bisa terselamatkan.

* Penulis, Direktur Centre of Social and Humanism Studies (CSHS), Jakarta.

No comments:

Post a Comment

Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!