Oleh: Moh. Ilyas
Kami Putra-Putri Indonesia,
Bertanah Air Satu
Tanah Air Indonesia
Berbangsa Satu
Bangsa Indonesia
Berbahasa Satu
Bahasa Indonesia
Membaca ulang Trilogi Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 ini selain dapat mengenang jasa dan perjuangan para pemuda tempo dulu juga dapat menghidupkan jiwa patriotik dan optimisme kaum muda hari ini guna melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa di masa depan. Dalam artian, cerahnya masa depan bangsa sangat dipengaruhi oleh cerahnya masa depan pemuda jua.
Secara historis, spirit pemuda eksponen 1928 patut diapresiasi. Para pemuda ketika itu rela bersatu dan bertekad demi kemerdekaan rakyat, bangsa dan negara. Mereka berjuang demi satu tekad, kemerdekaan. Heterogenitas bagi mereka ternisbikan oleh spirit bersatu. Para pemuda yang dilingkupi dengan situasi keterbatasan dan ketertindasan mampu merancang skenario masa depan bangsanya dengan amat cerdas. Jelasnya keberanian untuk mengikrarkan kesatuan ini dilatarbelakangi spirit hidup berbangsa untuk pencapaian kemerdekaan Indonesia secara definitif terletak pada kemampuan menanggalkan egoisme kelompok dan pribadi. Seluruh elemen mengagendakan visi politis strategis, mematahkan ke-terkotak-kan bangsa akibat politik etis kolonial. Bahu membahu membangun simbiosis mutualisme demi terciptanya kemerdekaan dan kesejahteraan hidup berbangsa.
Demikian besar jasa pemuda dalam turut andil membangun bangsa sampai-sampai Mohammad Hatta, tokoh pemuda yang sekaligus salah satu proklamator kemerdekaan RI mengatakan, ”Pemuda Indonesia, engkau pahlawan dalam hatiku!” Jika demikian, bukankah layak dikatakan bahwa masa depan pemuda, masa depan bangsa juga.
Potret Pemuda Hari Ini
Bagaimana dengan pemuda hari ini?
Berbicara tentang peran pemuda (baca juga: mahasiswa) hari ini mungkin memang cukup tabu di mata masyarakat kita. Bagaimana tidak, peran pemuda yang dulunya selalu diberi embel-embel social change, social control hingga moral force kini tinggal kenangannya saja. sebuah contoh, dulu, kalaupun suatu aksi demonstrasi tidak membawa agenda perubahan yang besar. paling tidak media masih meliput aksi tersebut dengan serius. Sehingga gaungnya bisa benar-benar terlihat oleh publik. Dalam kondisi seperti ini, paling tidak aksi yang dilakukan mahasiswa masih bisa memberikan manfaat, yaitu masyarakat menjadi tahu bahwa mereka masih punya tumpuan. Pasca 98 s/d tahun 2004-an, aksi mahasiswa masih bisa dijadikan sarana untuk menunjukkan perhatian kita para mahasiswa terhadap persoalan bangsa. Tapi coba lihat saat ini, banyak pihak yang sudah jemu dengan aksi-aksi tersebut. Rakyat sudah semakin skeptis dengan aksi-aksi yang dilakukan. Media sudah tak lagi menganggap aksi-aksi mahasiswa sebagai berita yang patut disebarluaskan secara masif. Alhasil, demonstrasi mahasiswa kini benar-benar terasa kosong dan tak bermakna. Apakah ini adalah alarm akan matinya suara mahasiswa?
Tentu kita tidak menginginkannya. Mengingat perjalanan bangsa ini untuk menuju bangsa yang bermartabat, adil dengan masyarakatnya yang sejahtera tampaknya masih sangat jauh, maka di sinilah suara pemuda, khususnya mahasiswa yang masih mengemban idealisme selalu dinanti. Karena idealisme inilah yang bisa menyelamatkan gerakan pemuda dari alarm kematiannya.
Fakta Baru
Uraian yang cukup panjang tentang napak tilas peran pemuda tempo dulu dan hari ini di atas ternyata masih menyisakan tanda tanya besar di masa yang akan datang. Hal ini setelah penulis menemukan data-data yang cukup mencengangkan dari hasil jejak pendapat Kompas (26/10) yang mengulas tentang eksistensi pemuda hari ini.
Dari hasil jejak pendapat tersebut ditemukan beberapa data sebagai berikut: Pertama, pragmatis. Sisi pragmatisme pemuda hari ini menempati porsi yang jauh lebih tinggi dari sisi idealisme yang hanya sekitar 25 persen dari seluruh responden. Hal ini dapat diketahui dari harapan atau cita-cita yang ingin dicapai pada masa depan dan pandangan generasi ini terhadap persoalan yang dianggap penting bagi mereka saat ini. Misalnya, persoalan keuangan dan karir adalah persoalan paling utama. Di mana menurut mereka, sebagian pemuda generasi mereka hari ini bercita-cita ingin menjadi kaya dan terkenal. Kedua, mengalami pergeseran orientasi. Sifat pragmatis yang lebih mementingkan kepentingan pribadi tersebut tentu saja menjadi alasan pergeseran orientasi di kalangan pemuda hari ini. Orientasi ranah sosial yang sebelumnya masih cukup tinggi kini menurun drastis. Misalnya, ketertarikan pemuda hari ini untuk bergabung dalam partai politik hanya 16,4 persen, Dewan Perwakilan Rakyat 18,7 persen, organisasi kemasyarakatan 43,1 persen, organisasi kepemudaan 38,2 persen dan Lembaga swadaya masyarakat (LSM) 30,6 persen.
Data-data tersebut dikhawatirkan akan semakin mengecil yang pada akhirnya akan tiba saatnya di mana pemuda sudah tidak ada lagi yang tertarik terlibat dalam organisasi-organisasi tersebut.
Ketiga, lebih terbuka. Di masyarakat perkotaan telah muncul satu generasi muda baru yang sangat melek dengan perkembangan teknologi di bidang informasi dan telekomunikasi. Internet misalnya. Media yang memfasilitasi alat-alat komunikasi terbaru ini, seperti Facebook, Twitter, Friendster dan MySpace telah menyihir masyarakat kita, di mana 79 persennya adalah pemuda untuk hanyut dalam kecanggihan alat komunikasi tersebut. Dan inilah media interaksi sosial baru yang akan membentuk karakter dan alam pikiran pemuda hari ini, yang tentu saja sudah jauh lebih terbuka dibanding sebelum-sebelumnya.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan tiga poin penting yang menggambarkan tentang bagaimana kehidupan pemuda hari ini bukan berarti kita pupus harapan terhadap pemuda di masa depan. Artinya, jika pemuda hari ini bisa merespons berbagai tantangan ke depan itu dengan tepat dan menggunakan berbagai referensi yang ada secara bijak, bangsa ini ke depan masih bisa berharap pada mereka.
* Penulis adalah Pengurus Bakornas LAPMI PB HMI
Aktif di Pena Institute Jakarta
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!