Oleh Moh. Ilyas*
Hingga beberapa tahun ke depan, menemukan pemimpin bersih di Indonesia sepertinya masih sekadar utopia. Alasannya karena budaya dalam kepemimpinan di negeri ini seolah tak peduli dengan identitas diri seorang pemimpin, apakah ia pemimpin bersih apa kotor. Bahkan, impian pemimpin bersih di tanah air tampaknya hanya menjadi sebuah mitos.
Mengapa demikian? Karena calon kepala daerah yang sudah ditetapkan sebagai terdakwa masih dibolehkan ikut pemilukada dan bahkan dilantik sebagai wali kota. Hal ini di antaranya seperti terjadi di Kota Tomohon, Sulawesi Utara, di mana Jefferson Rumajar masih dilantik sebagai Wali Kota Tomohon baru-baru ini untuk periode kedua, padahal statusnya sudah terdakwa.
Jefferson saat ini sedang menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atas dakwaan tindak pidana korupsi dana APBD Kota Tomohon tahun 2006-2008 senilai Rp 3,4 miliar. Ia ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta. Namun, anehnya Jefferson masih dilantik dan bahkan menyusun pimpinan SKPD di Kota Tomohon.
Fenomena Jefferson, memang bukanlah yang pertama di Indonesia. Tidak sedikit kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, namun masih dapat melenggang bebas, bahkan saat mereka kembali mencalonkan sebagai kepala daerah, mereka terpilih kembali.
Lihat saja pada tahun 2010 saja, sebagaimana catatan Indonesian Corruption Watch (ICW), tidak kurang dari 10 kepala daerah yang kembali terpilih, meskipun mereka terganjal kasus korupsi. Anehnya, pemerintah tetap melantik. Seharusnya kalau memang berkomitmen, polda maupun kejaksaan harusnya percepat prosesnya sehingga saat menjabat tidak ada persoalan.
Kesepuluh kepala daerah yang terlibat korupsi dan terpilih lagi itu adalah Bupati Rembang Mochamad Salim, Bupati Kepulauan Aru Theddy Tengko, Bupati Lampung Timur Satono, Wakil Bupati Bangka Selatan Jamro H Jalil, Gubernur Bengkulu Agusrin Najamudin, Wali Kota Blitar Samanhudi Anwar, Bupati Jember Djalal, Wakil Bupati Kusen Andalas, Bupati Boven Digul Yusak Yaluwo, serta Wali Kota Tomohon Jefferson Rumanjar (Tribunnews Pekanbaru, 20/12/2010).
Data ini begitu mengagetkan kita, karena fenomena ini menunjukkan bahwa ada persoalan serius dalam warna perpolitikan kita. Demokrasi sepertinya sudah begitu tumpul dalam mengantarkan pemimpin bersih. Pemilukada yang diharapkan melahirkan pemimpin bersih justru yang terjadi adalah sebaliknya dan mengantarkan koruptor sebagai kepala daerah.
Kita tentu saja bisa berspekulasi tentang hasil ini. Bisa saja masyarakat memilih tidak berdasar pada nuraninya atau hanya sekadar popularitas semata, atau bisa juga mereka memilih karena kuatnya mesin politik, sehingga mereka “buta” dalam melihat calon yang dipilihnya secara jelas. Bahkan, bukan tidak mungkin, pilihan ini bentuk kepolosan masyarakat yang sudah banyak dirasuki ‘kesenangan-kesenangan sesaat’ berupa uang dan sebagainya. Hal ini karena sangat terlihat menggejala sejak Pemilu Legislatif 2009 lalu, sampai ada salah seorang caleg berujar, “Yang ada di pikiran masyarakat saat ini hanyalah ongkos doang.”
Jika faktanya demikian, maka identitas demokrasi yang melandasi dirinya sebagai demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan) sudah tidak lagi natural dan sudah ternodai. Bahkan, suara rakyat yang selalu didengungkan sebagai suara tuhan (vox populi vox dei) hanya menjadi adagium yang perlu didiskusikan lagi. Sebab, tidak selamanya suara terbanyak yang menjadi acuan kemenangan adalah yang terbaik, bisa jadi ia malah sebaliknya.
Sehingga tidak perlu heran jika pemimpin yang dihasilkannya pun tidak lebih baik dari pemilihan yang tidak langsung dipilih oleh rakyat, semisal dipilih DPRD. Bukankah konsekuensi pemilukada yang korup hanya akan menghasilkan pemimpin yang korup, dan bukankah pemimpin yang korup juga akan menghasilkan produk dan kebijakan yang korup pula? Jika ini terjadi, tentu masyarakat tak ubahnya hanya sebagai “sapi perahan” yang diberi kehidupan sesaat, namun dikubur bertahun-tahun.
Tentu saja persoalan ini terjadi bukan karena kesalahan KPU yang membiarkan calon koruptor sekalipun ikut pemilukada atau Mendagri yang mengeluarkan surat keputusan (SK). Ujung dari persoalan ini karena tidak adanya undang-undang yang mengaturnya. Bahkan, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tak melarang seorang terdakwa atau tersangka, kasus apa pun untuk dilantik menjadi kepala daerah.
Hilangnya Keteladanan
Fenomena kepemimpinan yang "kotor" ini menunjukkan bahwa pemimpin di negeri ini masih jauh panggang dari yang namanya keteladanan. Mereka, meminjam ungkapan kebijaksanaan Ary Ginanjar (2001) belum berhasil memimpin dirinya sendiri, sehingga tidak akan pernah berhasil memimpin orang lain.
Kira-kira kepemimpinan di Indonesia bisa kita gambarkan: Menjadi pemimpin di negeri ini adalah rebutan. Tetapi ketika mereka betul-betul diamanahkan kepemimpinan itu, mereka lupa amanah yang diembannya. Mereka berbuat seenaknya saja dan meninggalkan rakyat yang telah mempercayai. Mereka mengkhianati kepercayaan rakyatnya sendiri.
Dengan begitu, kesejahteraan rakyat terabaikan, karena yang mereka pikirkan bukan lagi tetapi perutnya sendiri dan kelompoknya saja. Inilah cermin pemimpin di Indonesia saat ini. Mereka telah menampilkan sebuah personifikasi kacang yang lupa akan kulitnya.
Mestinya para pemimpin di negeri ini meniru Umar Ibn Khattab, ketika rakyat lapar dia merasakan pertama kali, ketika rakyat kenyang dia merasakannya yang terakhir. Inilah keteladanan yang mesti dimiliki seorang pemimpin. Mereka memimpin bukan hanya sekadar ingin mendapatkan previlage, tetapi mereka mesti siap dengan tanggung jawab kepemimpinannya.
Keteladanan ini sebagai salah satu wujud bahwa seorang pemimpin harus berjiwa bersih dan tidak terkotori oleh syahwat kekuasaan yang melampaui batas. Mereka juga mampu memimpin dengan menggunakan – meminjam bahasa Achmad Syafi’i Maarif – “mata batin” dan “mata konstitusi” sebagaimana didengungkan manta Presiden AS, Abraham Lincoln.
* Penulis adalah Wakil Direktur Yayasan Lingkar Meridian Jakarta.
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!