Oleh Moh. Ilyas*
Siapa yang tak kenal Gayus Halomoan Tambunan dan Ayin alias Artalyta Suryani? Nama mereka tak henti-hentinya mengisi pemberitaan media massa terkait kasus skandal hukum yang menjerat mereka. Energi masyarakat Indonesia seperti terkuras oleh dua fenomena Gayusisme dan Ayinisme ini.
Gayusisme merujuk pada fenomena Gayus dan kroni-kroninya yang beraksi mempermaikan penegakan hukum di Indonesia. Melalui kekuatan finansialnya, ia telah melunakkan aparat hukum, seperti hakim, jaksa, pengacara, hingga polisi. Sedangkan Ayinisme merujuk pada penyuap kelas kakap yang juga mempermainkan penegak hukum. Namun, permainan Ayin ini boleh dibilang lebih halus dibanding Gayus yang sarkastik.
Gayus ramai disebut-sebut karena 'kecerdikannya' menggadang-gadang masyarakat Indonesia dan penegak hukum kita mulai dari skandalnya menjadi mafia pajak hingga penyuapan terhadap aparat hukum. Ulah Gayus kian tercium setelah dalam tiga bulan terakhir ia diketahui menyuap penjaga Rutan Mako Brimob Kelapa Dua Depok dan berhasil 'melenggang kangkung' mulai ke Bali hingga ke Makau dan Singapura.
Usut demi usut, ternyata ulah Gayus kian tercium lebih jauh. Rupanya Gayus tidak sendirian memainkan lakon ini. Dengan dibantu oknum petugas rutan sendiri dan beberapa petugas imigrasi, aksinya dalam membuat paspor asli tapi palsu, yaitu menggunakan paspor atas nama Sony Laksono berjalan mulus. Apalagi setelah ia menggelontorkan miliaran rupiah dalam proses pembuatan paspor tersebut.
Belum selesai fenomena Gayusisme, kini kita kembali dikaget dengan fenomena Ayinisme, yaitu sebuah peristiwa yang merujuk pada “kejanggalan” hukum terhadap seorang tahanan yang juga dapat menikmati “surga” tahanan. Jika Gayus bebas keluar-masuk penjara “semau gue”, Ayin bisa mendapatkan hak-hak keistimewaan, meski hal itu sebenarnya merupakan sebuah keganjilan.
Bila nama Gayus melambung sejak skandalnya menjadi mafia pajak terungkap 2010 lalu, nama Ayin melangit sejak penyuapan terhadap jaksa Urip Tri Gunawan untuk menghentikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Bank Dagang Nasional Indonesia milik konglomerat Sjamsul Nursalim. Tapi ia mendapatkan keringanan ketika Mahkamah Agung mengurangi hukumannya menjadi empat setengah tahun. Sedangkan jaksa Urip yang tertangkap tangan menerima suap sekitar Rp 6 miliar diganjar 20 tahun penjara.
Setelah sekitar satu tahun penahanan, nama Ayin kembali mencuat dan menghiasi pemberitaan di media karena ulahnya di dalam penjara. Ia mendapatkan tempat istimewa saat “nyantri” di LP Pondok Bambu Jakarta Timur yang tidak didapatkan penghuni LP lainnya. Bahkan, penjara tak ubahnya seperti istana bagi Ayin karena dilengkapi aneka macam fasilitas, seperti AC, lemari es, televisi, dan sebagainya.
Setelah itu, namanya sempat menghilang sejak satu tahun terakhir, terutama setelah tempat tinggalnya dipindah ke LP Perempuan Tangerang Januari 2010 lalu. Namun, lagi-lagi muncul kejanggalan. Kini, pengusaha yang disebut George Adi Condro dalam “Gurita Cikeas”-nya, dekat dengan Ani Yudhoyono itu kembali menghebohkan publik. Betapa tidak, di LP Perempuan Tangerang, dalam setahun ia mendapat dua kali remisi, sehingga hukumannya berkurang tiga bulan 20 hari.
Bahkan akhir Januari ini, ia dikabarkan dapat menghirup udara bebas bersyarat karena sudah menjalani dua per tiga masa hukuman. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 43 ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa terpidana kasus korupsi, terorisme, narkoba, dan pelanggaran HAM berat, berhak mendapatkan pembebasan bersyarat setelah menjalani dua per tiga masa hukuman. Hal itu jika yang bersangkutan berkelakuan baik selama ditahan dan mendapat pertimbangan dari Ditjen Pemasyarakatan.
Anehnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa kelakuan Ayin di dalam penjara justru telah mencoreng hukum. Dengan kecerdikannya – tentu juga dengan fulusnya – ia mendapatkan fasilitas mewah saat di LP Pondok Bambu. Apakah ini dianggap berkelakuan baik? Inilah “negeri para bedebah”, meminjam bahasa puisinya Adi Masardi. Hukum kita menjadi hukum “pesanan”, “jualan”, dan “kongkalikong”.
Lukai Rasa Keadilan
Andai saja kasus “surga” Ayin saat di LP Pondok Bambu diusut tuntas dan disidangkan, bisa saja hukumannya ditambah, bukannya mendapatkan remisi seperti yang telah terjadi. Mengapa semua ini terjadi? Inilah kejanggalan dari kasus Ayin. Tiba-tiba, ia telah “didaulat” menjadi pemuka pendidikan umum di LP Tangerang. Apakah ini skenario untuk mempercepat kebebasannya? Atau apakah dua remisi itu juga skenario?
Terlepas dari apakah ini skenario atau bukan, namun yang jelas perlakuan terhadap Gayus Tambunan dan Artalyta Suryani itu telah menciderai hukum kita dan telah melukai rasa keadilan publik. Publik sudah barang tentu sakit hati dengan kondisi ini. Mereka akan berpikir bahwa keadilan dan hukum tak lebih dari “barang-barang dagangan” yang bisa diperjual-belikan sesuai harga tawaran. Tawaran yang lebih tinggi akan menjadi prioritas.
Tak ayal, kepercayaan publik pun menjadi taruhannya. Saat ini, publik sudah tidak lagi percaya terhadap hukum di negeri ini, sebab hukum sudah kalah pada uang. Bahkan lebih jauh, hukum seolah hanya pajangan dan retorika pasal-pasal saja yang berada di bawah cengkeraman kekuasaan dan uang. Sehingga, negara ini mestinya sudah tidak layak disebut Negara Hukum, tetapi “Negara Uang”. Jika demikian halnya, maka adagium ‘fiat justitia et ruat coelum’ (keadilan harus ditegakkan meski langit harus runtuh) menjadi ungkapan kosong belaka.
Ketidakadilan yang terjadi karena ulah uang ini sudah merusak segala tatanan sosial, hukum, politik, dan budaya. Padahal, meminjam ungkapan Martin Luther King, Jr (1929–1968), seorang pemimpin perjuangan hak sipil Amerika Serikat, “Ketidak-adilan itu di manapun adalah ancaman bagi keadilan di mana-mana.” Sampai kapan ketidakadilan yang dapat ditukar dengan uang di negeri ini bisa berakhir? Tanyakan pada rumput yang bergoyang.
* Penulis adalah Wakil Direktur Yayasan Lingkar Meridian, Jakarta.
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!