Oleh Moh. Ilyas*
Tahun 2010 lalu tampaknya menjadi tahun bergumulnya berbagai persoalan dan konflik di negeri ini, mulai dari konflik kekuasaan hingga konflik sosial. Keduanya merambah di bumi pertiwi ini begitu cepat dan seperti telah didesain, alias terjadi bukan secara kebetulan.
Untuk fenomena konflik kekuasaan misalnya, dimulai sejak meledaknya mega-skandal Bank Century pada 2009 lalu. Kasus yang merugikan negara hingga 6,7 triliun ini terus menuai kritik, intrik, dan kecurigaan masyarakat luas terhadap penguasa yang diduga kuat terlibat di dalamnya hingga saat ini, sebagaimana dikuak George Adi Condro dalam buku kontroversialnya, "Gurita Cikeas (2009)". Apalagi pemeran-pemeran utamanya memang berada di lingkar kekuasaan sekelas Wakil Presiden dan Menteri Keuangan.
Belum selesai, kasus kriminalisasi dua pimpinan KPK juga muncul mencoreng penguasa. Lagi-lagi, konflik kekuasaan tersebut tak terhindarkan dari wajah penguasa yang diduga - meskipun tidak secara langsung - berada di balik fenomena itu. Bahkan nama 'SBY' sempat disebut-sebut dalam isi rekaman Anggodo yang diputar di Mahkamah Konstitusi. Tak berhenti di situ saja, fenomena makelar kasus, makelar pajak, hingga fenomena rekening gendut kepolisian juga mencoreng wajah pengambil kebijakan di negeri ini.
Namun, adakah yang sudah selesai dari sekian banyak masalah itu? Nyaris tak ada yang tuntas penyelesaiannya. Apalagi di tengah kondisi institusi Polri dan Kejaksaan Agung yang kehilangan kredibilitasnya di mata publik. Dua institusi itu dianggap mengubur persoalan internal mereka secara massal, tetapi berusaha mengungkap masalah ekternal, meskipun dalam kasus-kasus di atas bisa dibilang tak berhasil mengusutnya.
Bahkan untuk kasus Gayus HP. Tambunan yang terjerat kasus mafia perpajakan, pihak kepolisian banyak yang 'kepergok' bermain belakang dengan Gayus. Di antaranya dengan menerima suap agar tidak membongkar rekening Gayus dan memberikan keleluasaan bagi Gayus untuk keluar masuk kamar tahanan di Rutan Mako Brimob Depok.
Komisi Pemberantasan Korupsi pun yang selama ini selalu mendapatkan support dari masyarakat, belakangan mulai dicurigai 'takut' mengotak-atik wilayah penguasa. Orang-orang KPK, terlebih pimpinannya -meminjam bahasa Jusuf Kalla- saat ini sudah shock, sehingga tak berani lagi menyentuh pelanggaran kalangan penguasa. Dari sinilah mata-rantai konflik kekuasaan terus berkelindan.
Sementara di sisi lain, konflik sosial seperti mengikuti rentetan konflik kekuasaan. Ia terus mengebiri keamanan negeri ini. Bahkan, konflik sosial ini cenderung membuka 'luka lama' Indonesia, yaitu luka akibat persoalan suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) yang telah relatif mereda dalam beberapa tahun terakhir. Dalam artian, konflik yang terjadi belakangan, banyak kembali disebabkan faktor SARA.
Untuk sekadar menyebutkan beberapa kasus, di antaranya bentrokan antar-kelompok massa akibat tewasnya seorang anggota salah satu ormas di Cengkareng dan Kosambi, Jakarta Barat 30 Mei lalu. Peristiwa itu menewaskan 1 orang. Selain itu, bentrokan antar-etnis di Tarakan Kalimantan Timur pada 26-29 September yang menewaskan 5 orang, dan penusukan jemaah HKBP di Bekasi September lalu.
Konflik sosial lainnya yang juga turut meramaikan pemberitaan media massa adalah bentrokan di Ampera, di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Bentrokan tersebut juga bermuara pada persoalan antar-golongan.
Mengapa Terjadi?
Menjawab pertanyaan ini memang tidaklah mudah, karena kasus yang mendera memang relatif subjektif dan individual. Namun, pada sisi tertentu motif dasar konflik-konflik tersebut cenderung tidak jauh dari adanya kepentingan.
Sebut saja konflik kekuasaan. Asal muasal jenis konflik yang merusak stabilitas bangsa dan negara ini selalu dimulai dari kesenjangan politik tertentu dan hasrat kekuasaan yang begitu menggebu. Penguasa terkadang buta dan mengorbankan kepentingan rakyatnya jika kekuasaannya diusik-usik. Bahkan kriminalisasi dua pimpinan KPK yang menyedot perhatian publik itu banyak disinyalir sebagai upaya pelemahan terhadap KPK karena mulai berani menguak masalah-masalah di lingkar kekuasaan.
Sementara untuk konflik-konflik sosial di antara penyebabnya karena tidak adanya figur yang layak diteladani. Figur-figur utama juga terjerembab masuk ke wilayah kepentingan individu dan kelompoknya belaka. Sementara penguasa berintrik dan berkonflik setiap hari dan DPR hanya ribut merebut jatah-jatah kekuasaan dan mendiskusikan studi banding (baca: pelesiran) ke luar negeri.
Kondisi ini secara tidak langsung membuat rakyat bingung melihat figur-figur yang mestinya ditiru. Rakyat sudah shock melihat para pemimpin mereka yang jauh meninggalkan mereka demi kepentingan individu atau kelompok pemimpin itu sendiri. Sehingga sangat mungkin bahwa konflik sosial yang banyak terjadi dianggap sebagai tumpuan perasaan kekecewaan terhadap tindakan-tindakan pemimpin mereka.
Kesadaran Pluralitas
Menerjemahkan kesadaran ini sejatinya tidak hanya bermuara pada masalah kemajemukan dalam ras dan agama, seperti yang selama ini dipahami. Tetapi lebih jauh, kesadaran pluralitas juga perlu diterjemahkan dalam konteks berbangsa dan bernegara, yakni juga bersentuhan dengan masalah konflik kekuasaan.
Kita tentu sadar bahwa motif dasar terjadinya konflik kekuasaan tidak lepas dari adanya bahasa ke-aku-an dari seseorang. Ia merasa, hanya dirinya saja atau kelompoknya saja yang berhak atas sesuatu tertentu. Dengan paradigma berpikir semacam itu, ia mencoba menghilangkan dan mengabaikan dimensi sosial yang mengajarkan adanya kesamaan hak dan rasa keadilan yang berakibat adanya konflik.
Dengan menghargai pluralitas, bahasa ke-aku-an ini bisa dihilangkan pada 2011 ini dan tahun-tahun mendatang, di mana seseorang tidak akan lagi hanya berpikir tentang kepentingannya saja, tetapi juga kepentingan orang lain. Kepentingan pribadi merupakan sesuatu yang wajar. Hanya saja, ketika itu melanggar kepentingan orang lain, termasuk publik, maka ia tak dapat dipaksakan. Inilah ajaran pluralitas yang berimplikasi secara langsung terhadap terwujudnya kesamaan dan persamaan satu sama lain.
* Penulis Wakil Direktur Yayasan Lingkar Meridian, Jakarta
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!