Oleh Moh. Ilyas*
Sejak Piala AFF akhir 2010 lalu, kata “naturalisasi” cukup akrab di telinga kita. Hal itu disebabkan pemain-pemain naturalisasi mampu mewarnai permainan Timnas kita secara luar biasa. Bahkan bisa dikatakan, pemain naturalisasi pulalah yang mengantarkan Indonesia ke Final Piala AFF.
Sejak saat itu tersebutlah nama-nama semisal Cristian Gonzales dan Irfan Bachdim. Gonzales pemain naturalisasi dari Uruguay, sedangkan Irfan Bachdim pemain naturalisasi dari Belanda. Di lapangan hijau, keduanya tampil secara memukau, bahkan gol Gonzales dua kali berturut-turut menembus gawang Filipina hingga Indonesia dapat berlaga ke babak final.
Tak ayal, nama Gonzales pun melesat pesat menjadi semacam “artis baru” di tanah air. Begitu pula dengan Bachdim. Pemain bernomor punggung 17 ini langsung menyedot perhatian. Bahkan, karena ketampanannya pula, hampir semua perempuan di negeri ini terpikat padanya.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan panjang lebar membahas mengenai sepak bola. Saya hanya hendak mengingatkan bahwa alangkah bagusnya permainan Timnas kita berkat datangnya pemain naturalisasi. Seandainya dalam masalah lain, semisal penegakan hukum di negeri ini ada "penegak hukum naturalisasi", mungkin juga menjadi solusi bagi kebuntuan penegakan hukum di Indonesia.
Penegak hukum naturalisasi itu didatangkan secara sengaja dari negara-negara yang memiliki catatan baik dalam penegakan hukum, misalnya Cina dan Singapura. Di kedua negara ini, skandal korupsi nyaris tidak ada, keadilan ditegakkan secara merata. Begitupun dengan penghianatan terhadap hukum yang jarang sekali ditemukan.
Sementara di negeri ini, ada semacam frustasi dan ketidakpercayaan publik yang begitu parah terhadap hukum. Pasalnya penegak hukum dianggap menyimpan sejuta persoalan dan tak kunjung mampu menjawab masalah-masalah hukum yang mendera bangsa ini. Bahkan, penegak hukum terkesan lembek - untuk tidak mengatakan tak berdaya - memberantas kasus-kasus semisal korupsi dan mafia perpajakan.
Wajar jika lembaga-lembaga penegak hukum, semisal Kejaksaan Agung dan Polri sudah tak lagi dipercaya. Hal itu menyusul beberapa kasus yang justru melibatkan penyidik dari kepolisian, pengacara, hakim, hingga jaksa. Misalnya munculnya beberapa terdakwa, seperti AKP Sri Sumartini dan Kompol Arafat Enanie, yang merupakan penyidik perkara Gayus, Haposan Hutagalung, mantan Pengacara Gayus dan Muhtadi Asnun (Ketua Majelis Hakim yang ketika itu menyidangkan perkara Gayus di Pengadilan Negeri Tangerang).
Bahkan secara perlahan, penegakan hukum dalam menangani seorang Gayus saja semakin terlihat aneh dan penuh permainan. Betapa tidak, meski ia berada di balik jeruji besi di Rutan Mako Brimob Depok, ia bisa mendekam di penjara sejak April 2010 lalu, ia sudah keluar-masuk sel sebanyak 65 kali. Hal itu dilakukannya dengan menyuap penjaga rutan. Sungguh, penegak hukum kita begitu lemah dan takluk dengan “fulus” Si Gayus.
Lelucon, Tapi Mungkin
Sepintas, gagasan perlunya mendatangkan penegak hukum naturalisasi di Indonesia memang lelucon dan bahkan gila. Hanya jika ini dikaji lebih jauh bukan tidak mungkin dapat menjadi alternatif di tengah penegakan hukum yang begitu semrawut dan terkesan mengalami kebuntuan. Barangkali, “cara gila” ini ampuh diterapkan di “negeri gila” ini.
Gagasan ini juga lahir karena melihat lembaga-lembaga penegak hukum terkesan “tak punya ghirah” tinggi lagi untuk menegakkan hukum. Fenomena ini dapat diketahui dari lambannya penegakan hukum di Indonesia. Untuk sekadar menyebut contoh, Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo berjanji akan mengusut tuntas masalah kaburnya Gayus Tambunan dari penjara dalam jangka waktu 10 hari. Namun, sudah hampir dua bulan, masalah tersebut tak kunjung usai diusut.
Di sisi lain, Kejaksaan Agung dan KPK seperti kehilangan “daya gedornya” untuk memberantas skandal hukum. Dua lembaga ini seperti semakin kehilangan identitasnya sebagai penegak hukum. Bahkan, KPK yang selama ini dipandang tegas dalam memberantas korupsi sudah tidak lagi terlihat, terutama pasca-ditahannya mantan Ketua KPK, Antasari Azhar dan kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Mungkin, pimpinan KPK – meminjam bahasa mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla – sedang shock setelah dikriminalisasi.
Bergantung Kemauan Presiden
Mengapa penegak hukum naturalisasi layak didatangkan dari Cina? Sebab Cina telah menampilkan sebuah sikap tegas terhadap para koruptor. Bahkan, Presiden China Hu Jintao bertekad memberantas korupsi di negaranya dengan mempersiapkan 1.000 peti mati untuk pelaku pencurian uang negara tersebut.
Dalam buku “The China Business Handbook” dilaporkan sepanjang tahun 2003 tidak kurang 14.300 kasus yang diungkap dan dibawa ke pengadilan yang sebagiannya divonis hukuman mati. Sampai tahun 2007 Pemerintah Cina telah menghukum mati 4.800 orang pejabat negara yang terlibat praktik korupsi. Tidak hanya itu, Pemerintah China juga mengeluarkan aturan yang mengharuskan pejabat yang hendak bepergian ke luar negeri melapor kepada atasannya terutama yang membawa uang dalam jumlah besar.
Oleh karenanya, ke depan pemberantasan korupsi sangat tergantung pada ketegasan dan kemauan Presiden SBY. Jika SBY mau, maka mendatangkan penegak hukum naturalisasi ini mungkin terjadi atau paling tidak, Indonesia dapat mengadopsi cara Cina dalam memberantas korupsi. Tapi sayang, hingga kini kemauan SBY dalam memberantas korupsi masih dipertanyakan. Bahkan terkesan SBY masih sebatas “bermimpi” untuk memberantas korupsi di Indonesia.
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!