Oleh Moh. Ilyas*
Dalam sebuah diskusi bersama Lingkar Meridian di bilangan Bendungan Hilir Jakarta Pusat beberapa waktu lalu menyimpulkan bahwa Indonesia masih merupakan Republik Dinasti. Indonesia seperti dikemukakan Nuril M Nasir, salah satu pembicara perwakilan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), memiliki banyak elemen yang masih mempertahankan identitas Republik Dinasti ini. Misalnya partai politik dan pejabat tinggi mulai dari bupati, wali kota, hingga presiden.
Beberapa partai politik, kata dia, menyimpan tradisi ini untuk mempertahankan kekuasaannya. Sebut saja Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang "Harus keturunan Soekarno" dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang "harus keturunan Abdurrahman Wahid", seperti Muktamar PKB di Surabaya beberapa waktu lalu yang memilih Zannuba Arifah Chafsoh alias Yenni Wahid sebagai Ketua Umum PKB.
Partai-partai lain pun tidak menutup kemungkinan akan mengalami hal serupa. Demokrat misalnya, yang menggembor-gemborkan restu Susilo Bambang Yudhoyono selaku pendirinya, meskipun terpilihnya Anas Urbaningrum pada Kongres di Bandung tahun lalu mematahkan wacana ini. Begitu juga dengan Partai Amanat Nasional (PAN) yang "mesti atas restu Amien Rais".
Sedangkan di level kekuasaan, mendapatkan model dinasti ini tidaklah sulit. Di tingkat kabupaten/kota misalnya tampilnya para istri menggantikan suami, seperti Sri Suryawidati menjadi Bupati Bantul menggantikan suaminya, Idham Samawi; Widya Kandi Susanti menggantikan suaminya, Hendi Budoro sebagai Bupati Kendal; Anna Sophanah menjadi Bupati Indramayu menggantikan suaminya, Arianto MS Syafiuddin (Yance); Titik menjadi Bupati Sukoharjo, Jawa Tengah menggantikan suaminya Bambang Riyanto; dan Haryanti Sutrisno, menggantikan suaminya, Sutrisno, menjadi Bupati Kediri.
Tidak hanya istri menggantikan suami. Fenomena anak menggantikan ayahnya juga terjadi di negeri ini, seperti Bupati Kutai Kartanegara, Kaltim, Rita Widyasari yang menggantikan Syaukani Hasan Rais, dan Wali Kota Cilegon, Banten, Tubagus Imam Ariyadi yang menggantikan Tubagus Aat Syafaat. Bahkan, ada juga menantu yang menggantikan mertuanya, yakni Dadang M Naser menggantikan Obar Sobarna sebagai Bupati Bandung.
Dalam pemerintahan tingkat provinsi pun banyak gubernur yang juga membangun politik dinasti. Misalnya Gubernur Atut Chosiyah di Banten, Gubernur Syahrul Yasin Limpo di Sulawesi Selatan, dan Gubernur Alex Noerdin di Sumatera Selatan.
Bahkan, wacana teranyar yang mengemuka bahwa nama Kristiani Herawati (Ani Yudhoyono) mulai disebut-sebut sebagai calon Presiden RI ke-7 menggantikan SBY yang tak lain adalah suaminya, pada Pemilu 2014 mendatang.
Alternatif mewariskan kekuasaan pada keluarga ini, karena adanya aturan yang membatasi kepemimpinan di negeri ini, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dengan kata lain, aturan ini dicarikan celah dengan mencari pengganti dari kalangan keluarganya. Namun setidaknya hal ini membuat jalan demokrasi di semakin mulus.
Memang, keinginan-keinginan mempertahankan kekuasaan melalui pintu keluarga ini sepintas seperti tidak ada masalah. Tetapi jika dikaji lebih dalam, justru keinginan-keinginan itu dapat menghambat laju demokrasi di Indonesia. Dengan begitu, mestinya praktik semacam ini tidak perlu terjadi di negeri yang belum satu dekade menjalankan demokrasi secara langsung ini.
Menurut penulis, ada banyak alasan mengapa fenomena ini terjadi. Di samping karena memang nikmatnya kekuasaan, bisa saja juga ada faktor lain. Misalnya agar kekuasaan tidak berpindah ke luar dari keluarga. Selain itu juga tidak menutup kemungkinan untuk menyelamatkan “skandal-skandal hukum” yang diperbuat penguasa sebelumnya. Sebab, dengan membangun politik dinasti inilah persoalan-persoalan hukum mudah “diamankan”.
Lebih parah lagi, kekuasaan ini bisa dibuat sebagai alat pemelihara korupsi. Dengan kekuasaan, di samping praktik korupsi yang dilakukan keluarganya tidak diungkap bisa pula justru mudah berkembang ke praktik korupsi yang lainnya. Bukankah sepenggal ungkapan klasik Lord Acton (1834-1902), “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” (kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut melahirkan korupsi secara absolut pula) telah terlihat jelas di negeri ini?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dinasti berarti keturunan raja-raja yang memerintah. Artinya, semuanya berasal dari satu keluarga. Dengan kata lain, pemerintahan yang dilandaskan pada kekuasaan dinasti juga dapat disebut sebagai “Republik Keluarga”.
Model politik dinasti ini merupakan sistem reproduksi kekuasaan yang primitif karena mengandalkan darah dan keturunan dari segelintir orang. Maka, di dalam dinasti sejatinya tidak ada politik, karena peran publik (polis) sama sekali tidak dipertimbangkan. Sehingga secara substantif, dinasti adalah musuh demokrasi.
Fenomena politik dinasti ini memang masih banyak mewarnai demokrasi modern. Padahal, mestinya perkaderan dalam perpolitikan ini dilakukan dengan cara mempersiapkan melalui sistem pendidikan dan rekrutmen politik yang wajar, sehingga arus perpolitikan bisa berjalan lebih wajar dan rasional. Cara semacam ini masih dipraktikkan dalam negara-negara demokratis, misalnya Amerika Serikat dan India.
Di era demokrasi modern ini, kita tidak ingin Indonesia disuguhkan dengan model-model kekuasaan dinasti seperti yang pernah terjadi di Cina sejak zaman kuno, misalnya kerajaan yang terus turun temurun mulai dari Dinasti Xia (2100 SM-1600 SM), Dinasti Shang (1600 SM-1046 SM), dan Dinasti Zhou (1046 SM–256 SM). Hal itu berlanjut hingga zaman kekaisaran mulai dari Dinasti Qin (221 SM–206 SM), Dinasti Han (206 SM–220), hingga Dinasti Ming (1368–1644) dan Dinasti Qing (1644–1911).
* Penulis adalah Wakil Direktur Yayasan Lingkar Meridian Jakarta
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!