Oleh Moh. Ilyas*
Film spektakuler, 'Alangkah Lucunya Negeri Ini' seperti terus relevan dan menemukan titik-titik kebenarannya jika disesuaikan dengan fenomena akhir-akhir ini. Dalam film besutan Dedy Miswar ini, ditayangkan fenomena sekitar 20 bocah yang menjadi pencopet. Mereka merupakan anak telantar dan hidup di lingkungan kumuh dengan komando seorang pemimpin copet.
Keadaan ini terus terjadi, hingga akhirnya muncullah Muluk (Reza Rahardian), 'Sang Penyelamat' yang berusaha mengubah "tradisi hitam" menjadi "tradisi putih" dalam bentuk pemberdayaan terhadap anak-anak yang berprofesi sebagai pencopet itu. Dengan berbagai bimbingan, termasuk bimbingan sholat, agama dan jiwa patriotisme, watak anak-anak itu berubah. Bahkan, sudah ada yang berhasil diubah dari seorang pencopet menjadi pedagang asongan.
Namun, namanya saja 'negeri lucu', anak-anak yang menjadi pengasong itu harus dikejar-kejar Satpol PP karena aktivitas mereka dianggap mengganggu lalu lintas. Akhirnya, gara-gara ingin melanggengkan pekerjaan halal ini, Sang Penyelamat tadi terpaksa menyerahkan dirinya ke petugas Satpol PP, agar mereka tidak menangkap anak-anak tersebut. Dia seperti berpikir, begitu susahnya mendapatkan pekerjaan, bahkan yang halal pun terpaksa berurusan dengan negara.
Fenomena negeri yang lucu, sebagaimana digambarkan dalam film ini hanyalah 'secuil' dari seabrek masalah yang terjadi di Indonesia. Bahkan, ia telah mewujud menjadi fenomena gunung es yang menunjukkan betapa lucunya negeri ini. Tengok saja, bagaimana pemberantasan masalah skandal hukum yang tak pernah usai dan fenomena skandal mafia yang terus mengebiri.
Indonesia, sebenarnya bukanlah negeri yang lucu. Hanya karena banyaknya persoalan yang dianggap 'nyeleneh' di negeri ini dan tidak kunjung diselesaikan secara tuntas, maka sebutan itupun seperti layak disandangkan bagi negeri ini.
Di antara beberapa kisah lucu yang menggoyang negeri ini, misalnya soal kaburnya Gayus Halomoan Tambunan dari Rutan Mako Brimob Depok. Bahkan, hasil temuan menyatakan bahwa Gayus sudah 'kabur' dengan jalan kongkalikong dari penjara tidak kurang dari 68 kali. Ini menunjukkan betapa hukum di negeri ini begitu mudahnya dipermainkan dan diobok-obok oleh Sang Mafia Pajak itu.
Baru-baru ini, setelah berulah dan tertangkap kamera sedang menonton pertandingan tenis di Bali, permainannya pun semakin terungkap. Hal itu setelah ada salah seorang pelapor yang pernah melihat orang yang mirip Gayus pergi ke Makau dan Kuala Lumpur. Strategi Gayus ke luar negeri ini memang tidak menggunakan nama Gayus, tetapi sesuai identitas paspornya menggunakan nama Sony Laksono. Padahal, semua sudah tahu bahwa Gayus sedang bertapa di balik jeruji besi.
Kendati kasus ini menggegerkan publik dan penegakan hukum serta membuat Presiden SBY gerah dan meminta agar kepolisian mengusut secara tuntas, namun hingga kini pihak kepolisian belum mengungkapnya secara tuntas. Padahal saat itu, Kapolri Jenderal Timur Pradopo, sebagaimana diakui Menko Politik, Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto sudah berjanji untuk mengusutnya dalam waktu 10 hari. Namun, hingga kini janji itu tak kunjung ditepati.
Keanehan lainnya yang semakin menguatkan julukan Indonesia sebagai negeri yang lucu adalah masih terus berlanjutnya upaya "pembungkaman" terhadap orang-orang yang kritis dalam menegakkan hukum. Untuk sekadar menyebut contoh misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi. Lembaga penegak hukum yang concern memberantas kasus korupsi ini ternyata mulai melemah, terutama setelah kasus kriminalisasi dua pimpinannya, Bibit S. Rianto dan Chandra M Hamzah. Padahal, seperti disinyalir banyak kalangan bahwa kriminalisasi ini bertujuan menghentikan daya kritis dan ketegasan KPK dalam memberantas korupsi di tanah air.
Syahdan, ditangkapnya Antasari Azhar pun, yang saat itu sedang memimpin KPK dengan tuduhan pembunuhan terhadap Nasruddin Zulkarnaen juga merupakan 'konspirasi' upaya melemahkan sepak terjang KPK. Maklum, di bawah kendali Antasari, KPK banyak menyebloskan pejabat tinggi negara ke penjara.
Yang terbaru adalah gemparnya isu penyuapan di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam isu yang hingga kini masih dalam penyelidikan tersebut, disebutkan adanya salah satu hakim konstitusi yang menerima suap dari salah seorang calon Bupati yang bersengketa soal Pemilukada di MK. Menanggapi hal ini, sebagian publik mensinyalir adanya upaya pelemahan terhadap MK, mengingat lembaga ini, terutama di bawah pimpinan Mahfud MD sangat kritis dan berwibawa dalam penegakan hukum di Indonesia.
Jika dugaan-dugaan adanya upaya pelemahan itu benar, sungguh tak bisa dipercaya bahwa negeri ini masih dalam kendali orang-orang yang punya kepentingan pribadi. Penegakan hukum secara benar dan tegas pun dicarikan cara agar bisa lemah. Hal-hal yang ‘lurus’ dipolitisir dan dibuatkan permainan agar terkesan ‘bengkok’. Benang kusut inilah yang kian mempertegas bahwa negeri ini memang lucu.
Anehnya, beberapa kasus yang mendera di atas selalu berujung pada seputar uang. Seolah-olah ujung tombak penegakan masalah di negeri ini bukanlah hukum, tetapi uang. Tiga peristiwa di atas mempertontonkan kepada kita bahwa uang telah bisa membeli segalanya. Aparat kepolisian seakan takluk kepada kekuatan uang. Dengan begitu, uang juga telah menyulap negeri ini menjadi negeri yang lucu dan menampilkan lelucon dan jenaka yang menurunkan marwah bangsa ini.
Jika demikian halnya, maka adagium ‘fiat justitia et ruat coelum’ (keadilan harus ditegakkan meski langit harus runtuh) menjadi ungkapan kosong belaka. Karenanya, tidak heran jika banyak bermunculan singkatan-singkatan plesetan tentang nama aparat negara di masyarakat. Misalnya, “polisi” (perkara orang lain itu sumber income), “hakim” (hubungi aku kalau ingin menang), “jaksa” (jajaki aku kalau sesuai anggaran), dan masih banyak yang lainnya.
Maka pertanyaannya kemudian, apalah arti status negara kita sebagai “Negara Hukum” jika dalam praktiknya, hukum hanya menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan? Hendak dikemanakan masa depan negeri ini jikalau setiap masalah hanya bisa dijawab dan dipecahkan dengan uang? Tentu sebagai warga yang merindukan negeri ini berkeadilan dengan keberadaan rakyatnya yang makmur sentosa menggapai kesejahteraan, kita tidak ingin negeri ini menjadi negeri yang (selalu) lucu yang, di antaranya, ditandai dengan fenomena suara uang yang terus mendera.
* Penulis adalah Wakil Direktur Yayasan Lingkar Meridian, Jakarta.
No comments:
Post a Comment
Leburkan semua unek-unekmu tentang blog ini...!